raranotruru

Aghniya dan Aji sudah kembali ke rumah. Keduanya baru saja sampai. Aghniya keluar dari mobil lebih dulu, disusul oleh Aji.

“Assalamu'alaikum,” keduanya mengucap salam bersamaan. Tak lama muncul Ayna yang sejak tadi menjadi satu-satunya orang yang berada di rumah. Wanita itu membukakan pintu, menyambut anak dan suaminya yang pergi berdua.

“Wa'alaikumussalam, lhooo udah pada pulang? Kirain pulangnya nanti agak maleman,” ujar Ayna di ambang pintu.

“Nggak tau, Bun. Kata Papa jam besuknya udah abis,” jawab Aghniya.

“Oohh gitu, ya udah masuk. Cuci tangan, cuci kaki, ganti baju,” titah Ayna pada keduanya. Membuat Aji dan Aghniya bergegas melangkah masuk.

Belum sempat keluarga kecil itu kembali masuk ke rumah mereka, suara motor seseorang yang berhenti tepat di depan pagar berhasil menarik atensi ketiganya. Baik Aji, Ayna, maupun Aghniya sama-sama menoleh ke sumber suara.

“Dhimas?” tebak Aghniya. Gadis itu mengenali helm yang biasa pemuda itu pakai. Juga suara motornya.

Tebakannya benar, Dhimas rupanya menyusul Aji dan Aghniya. Pemuda itu meletakkan helmnya di kaca spion motornya. Kemudian menghampiri Aji.

“Assalamu'alaikum,” ucapnya yang kemudian dijawab serentak oleh Aji dan keluarganya.

“Kenapa, Dhim?” tanya Aji.

Dhimas tak langsung menjawab. Pria itu hanya diam, berdiri di tempatnya. Pandangannya ia tundukkan, memilih menatap kedua kakinya yang turut gemetar.

“Om Aji,” panggilnya. Aji memilih untuk mendengarkan. “berat.. Dhimas nggak kuat,” lanjutnya.

“Kata Om Aji Dhimas boleh pulang ke sini, kan?”

Penuturan Dhimas membuat Aji dan keluarga kecilnya tercengang. Ketiganya menatap sendu pada Dhimas masih tak beranjak dari tempatnya. Aghniya tahu, pemuda itu selalu berusaha untuk terlihat tegar. Namun sepertinya kali ini kekuatannya habis.

Dhimas memilih menjadi dirinya sendiri malam ini. Bukan Dhimas yang tak pernah terlihat menangis, bukan Dhimas yang selalu samarkan sedih dengan tawanya sendiri, bukan Dhimas yang mengusahakan bahagia orang lain tanpa mengusahakan bahagia untuk dirinya sendiri, bukan Dhimas yang terlihat tanpa masalah.

Dhimas memilih menjadi dirinya sendiri malam ini. Yang juga miliki hak atas tangis, yang juga miliki hak atas peluk paling hangat, yang juga miliki hak atas kesempatan untuk utarakan keluh dan kesah, yang juga miliki hak untuk beristirahat dari segala hal yang berenang di kepala.

“Boleh. Dhimas boleh pulang ke sini,” sahut Aji.

“Dhimas takut, Om. Dhimas capek. Dhimas takut sendirian, Dhimas takut Mama kenapa-napa,” ujarnya dengan suara bergetar. Aji masih diam dan mendengarkan setiap tutur yang diucap Dhimas.

“Dhimas udah nggak punya Ayah. Dhimas nggak mau ada difase itu lagi, Om. Dhimas takut sendirian. Dhimas cuma punya Mama, nggak ada lagi..”

“Om, kalo Mama nggak ada— Dhimas nggak bisa apa-apa. Dhimas—”

Aji memutus ucapan Dhimas dengan menariknya ke dalam pelukan, tak ingin pemuda itu berbicara lebih lanjut perihal kemungkinan paling buruk yang bisa ia hadapi.

“Jangan ngomong gitu. Nggak boleh berburuk sangka sama Tuhan. Pasti Dhimas bisa lewatin ini, Mama Dhimas juga pasti bisa,” ujar Aji.

“Lepas, kalo mau nangis jangan ditahan. Om Aji tau Dhimas sekuat apa, nangis bukan berarti lemah, Dhim. Om Aji juga pernah nangis. Manusia nggak harus kuat setiap hari, Dhimas. Nggak pa-pa kok kalo dibagi ceritanya ke orang lain, nggak pa-pa kalo Dhimas mau bagi ke Om Aji, atau ke Aghni. Boleh, boleh banget.”

Tumpah. Tangis yang ia sembunyikan selama ini tumpah pada akhirnya. Perlakuan Aji membuatnya tak sanggup lagi bersikap tegar. Perlakuan Aji membuatnya merasa kembali memiliki sosok ayah yang sama ini selalu ia harapkan ada untuknya. Sosok ayah yang tak lagi ia dapatkan sejak satu tahun yang lalu. Sosok ayah yang selalu merengkuh dirinya ketika miliki sesuatu yang tak sanggup ia pikul sendiri.

Aghniya tahu Dhimas hampir tidak pernah menangis. Dimaki sekeras apapun, dihina sekasar apapun, diperlakukan seburuk apapun, pria itu tak akan menangis.

Dhimas tidak ikut menangis kala semua temannya menangis entah untuk alasan apapun, malah Dhimas menjadi orang yang berperan menyuntikkan semangat pada semua orang.

Namun kali ini, Dhimas Wijaya kembali menangis. Seperti anak umur lima tahun takut kehilangan balon, Dhimas pun takut kehilangan miliknya yang berharga.

Dhimas menangis keras dalam pelukan Aji, memposisikan dirinya sebagai seorang anak laki-laki yang kembali temukan jalan pulang. Sebagai anak laki-laki yang kembali miliki benteng pertahanan untuk berlindung.

Dhimas menangis keras. Bahunya bergetar hebat. Matanya yang bahkan belum selesai hilangkan bengkak akibat tangis sebelumnya itu kembali keluarkan air mata. Bibirnya tak mengeluarkan kata-kata, hanya suara tangis memilukan yang terdengar dari pria itu.

Aji pun tak bersuara, lelaki itu memilih untuk mengusap-usap kepala Dhimas penuh sayang. Memperlakukannya seperti anak laki-lakinya sendiri. Merengkuhnya kuat dengan sebelah tangannya, menyangga punggung kokoh yang selama ini berusaha berdiri sendiri.

Dhimas menangis seperti tak ada lagi kesempatan untuk menangis dikemudian hari. Ia terus membasahi baju Aji dengan air matanya, namun Aji sama sekali tak merasa keberatan.

Semenjak mendengar berita tentang wafatnya ayah Dhimas melalui anaknya sendiri, Aji paham, menjadi anak satu-satunya dengan orang tua yang juga tinggal satu-satunya bukanlah hal mudah. Terlebih, Dhimas adalah laki-laki. Aji tahu suatu saat hidup akan terasa berat untuk Dhimas lalui. Dan dugaannya benar.

Setelah puas menangis, juga lelah menangis, tangisan Dhimas mereda. Kesempatan itu barulah Aji gunakan untuk bicara.

“Dhimas,” panggilnya. “Tau kenapa Om Aji izinin Dhimas pulang ke sini?”

Yang ditanya menghela napas terlebih dulu, kembali mengendalikan diri agar menjadi tenang. Setelahnya ia menggeleng.

“Enggak, Om,” jawabnya dengan suara bergetar.

Aji mengangguk disertai senyuman tipis yang terpatri di wajahnya, “Karena kami bertiga juga keluarganya Dhimas.”

“Om Aji, Bunay, Aghni, itu keluarganya Dhimas juga. Dhimas nggak akan sendirian. Jangan pernah merasa sendirian. Nangis aja, lepasin semuanya. Dhimas tetep hebat karena bertahan sejauh ini.”

“Sini, biasanya di rumah ini, kalo ada anak keren harus dikasih peluk,” ucap Aji. Kemudian kembali menarik Dhimas ke dalam dekapannya. Dhimas terkekeh meski air mata masih menggenang di pelupuk matanya. Dengan segera ia menelusup ke dalam pelukan Aji.

Group Hug!” seru Aghniya girang, gadis yang sedari tadi hanya memperhatikan dari dekat pintu bersama ibunya itu segera berlari. Menyelipkan dirinya di tengah-tengah Dhimas dan papanya sendiri.

“Rusuh, nih!” ucap Dhimas.

“Bodo amat! Bunaaaay sini ikutaaaaaan!” ajaknya pada Ayna yang masih diam di tempatnya. Wanita itu pada akhirnya tertawa, kemudian menghampiri keluarga kecilnya yang selalu membuat hatinya menghangat entah dengan cara apa.

Tangan Aji yang panjang ia gunakan untuk merengkuh seluruh keluarganya. Menjaganya dengan sepenuh hati agar selalu lengkap.

Aji menjaga keluarganya, seluruh keluarganya. Termasuk Dhimas.

Aghniya memang benar-benar pulang ketika Dhimas memintanya. Namun, satu jam kemudian, gadis itu kembali lagi. Kali ini bersama Aji, pasangan ayah dan anak itu membawakan Dhimas makan malam masakan Ayna. Membuat Dhimas sama sekali tidak dapat menolak.

“Ya ampun, Om Aji. Jadi repot-repot ke sini. Ni emang anaknya berulah mulu, Om. Karungin aja, lah!” ujar Dhimas.

Aji terkekeh, “Iya, besok Om karungin. Lagian nggak repot, kok. Om Aji yang ngajak Aghni balik lagi ke sini.”

Dhimas terperangah sejenak, “Hah? K-kenapa emang, Om?”

“Soalnya katanya Dhimas di sini udah hampir seminggu ya? Nggak masuk sekolah?” tanya Aji.

“Ohh, hehe. Iya, Om. Dhimas udah ngasih surat, kok. Cuma ya, Dhimas nggak pake tanda tangan orang tua atau wali gitu. Bodo deh, terserah aja sekolah mau absen Dhimas gimana,” jawabnya.

Aji menoleh pada Aghniya, “Dhimas diabsen apa Agh di sekolah?”

“Aman, Pa. Izinnya diterima sekolah, kok. Kayaknya sekolah ngertiin keadaannya Dhimas. Soalnya dari kemaren guru-guru nggak mempermasalahkan, sih,” jawab Aghniya.

Aji mengangguk-angguk. “Makan, Dhim.”

“Iya, Om. Buat nanti maleman aja, Dhimas masih kenyang. Tadi dibawain nasi padang sama Aghni.”

“Bener masih kenyang?” tanya Aji.

“Boong pasti, Pa! Biasanya perut karet luuuu! Gengsi aja ini mah,” celetuk Aghniya.

“Sembarangan, eluu karet! Gue lagi makan lo mintain suka nggak berasa tiba-tiba masa abisnya sama dia, Om!” adu Dhimas pada Aji. Kini keduanya terlihat seperti anak kembar yang saling mengadu pada papanya.

Aji terkekeh pelan, “Ssst! Udah, udah. Rumah sakit, nggak boleh berisik.”

“Itu Mama kondisinya gimana, Dhim? Udah ada perkembangan?” tanya Aji.

“Kata dokter, Mama banyak luka dalam, Om. Katanya kira-kira banyak benturan di dada sama perut. Sama tulang pundaknya ada yang geser. Tapi alhamdulilah-nya kepala aman, Om. Soalnya pake helm. Tapi ya.. gitu..”

“Dhimas juga nggak tau sih kondisi Mama waktu itu kayak gimana, pas Dhimas nerima kabar dan dateng ke sini, Mama udah begini. Nggak sadar terus harus pake alat pernapasan. Dhimas juga nggak berani nanya-nanya dokter, takut...”

Baik Aji maupun Aghniya, keduanya terdiam mendengar penuturan Dhimas. Namun, detik berikutnya Aghniya menepuk-nepuk pundak Dhimas. “Tenanggg, besok kan sekolaaaah! Besok Mama sembuh, kan? Tadi kan udah janjiaan!”

Dhimas tersenyum tipis menanggapi ucapan Aghniya. “Oh iya ya, Bre. Bener, bener. Besok sekolah!”

Aji ikut tersenyum melihat interaksi keduanya. Setelahnya, ia berniat bicara berdua dengan Dhimas. Sehingga Aji beralibi, meminta Aghniya membelikannya roti untuk dirinya.

“Aghni, tolong ke bawah dong, Nak. Tadi kan di bawah ada yang jual roti, deket meja informasi tadi Aghni liat, kan?” tanya Aji. Aghniya mengangguk. “Nah, tolong beliin Papa roti, ya! Laper.”

“Lah, tadi kurang, Pa makannya?”

“Iya, masih kurang. Tolong ya, Sayang,” ujar Aji sembari menyerahkan selembar uang lima puluh ribu pada anaknya itu.

Setelah Aghniya menghilang dari pandangan keduanya, Aji menepuk pundak Dhimas. “Masih kuat?”

“Hah? Apanya Om?” tanya Dhimas.

“Pundaknya. Masih kuat buat mikul beban sendirian?”

Dhimas terdiam mendengar pertanyaan Aji. Kalau boleh jujur, jawabannya tidak. Dhimas tidak kuat. Dhimas merasa dirinya lemah. Sejujurnya ia takut, sangat. Takut kehilangan, takut kesendirian, takut akan segala kemungkinan buruk yang bisa saja terjadi dalam hidupnya.

Kalau boleh jujur, Dhimas sangat ingin menangis. Dhimas merasa sangat bersalah lantaran mamanya mengalami kecelakaan sepulang menjalani tuntutan menafkahinya. Dhimas merasa sangat bersalah, itulah sebabnya ia tak ingin meninggalkan sang ibu barang sedetik pun meski ia hanya dapat menunggu di luar ruangan.

Setelah cukup lama terdiam, Dhimas menjawab dengan suara bergetar, “Nggak, Om.”

Aji tersenyum, lalu mengacak-acak rambut Dhimas. “Anak hebat!”

Dhimas tertawa getir, “Kok hebat, Om? Kan Dhimas jawab nggak kuat.”

“Yang hebat bukan mereka yang pura-pura kuat. Tapi yang berani jujur akan kelemahannya. Kalo nggak bisa, bilang nggak bisa. Kalo nggak kuat, bilang nggak kuat,” ujar Aji. “Bukan soal siapa yang nggak nangis saat menghadapi musibah, tapi siapa yang bertahan sampe hari-hari beratnya usai.”

“Lepasin aja bebannya, Dhim,” Aji kembali mengusap kepala Dhimas lembut. “Nangis aja kalo mau nangis, Om Aji juga pernah nangis. Cerita aja kalo mau cerita. Nggak usah bingung mau ke mana. Rumah Om Aji selalu terbuka buat Dhimas. Dan setiap orang di dalamnya akan selalu dengan senang hati nerima kedatangan Dhimas.”

“Jangan pernah sungkan buat pulang ke rumah Om Aji kalo rumah Dhimas kosong. Ngerti, ya?” ucap Aji.

“Pasti Mama baik-baik aja. Anak laki-lakinya hebat, pasti ibunya seribu kali lebih hebat. Besok kalo mau nggak masuk sekolah, Om Aji yang bikinin surat. Om Aji yang tanda tangan suratnya.”

Dhimas semakin terdiam. Bedanya, kali ini air mata yang menggenang di pelupuk matanya semakin menumpuk. Namun Dhimas masih enggan menumpahkannya. Ia masih terus berusaha mengatur suasana hatinya, mengendalikan diri agar tidak menangis dan malah merepotkan Aji.

Aji melirik jam tangan yang melingkar pada lengan kirinya. Pria berkaus polo biru tua dengan kacamata yang bertengger pada hidung mancungnya itu kembali tersenyum. “Om Aji pulang ya? Bentar lagi jam besuknya habis. Baik-baik di sini, makanannya dimakan. Jaketnya dipake, kegedean sih kayaknya, tapi pake ya! Tidur yang cukup!”

“Kalo ada apa-apa telepon Om. Pamit ya, Dhim. Om mau nyusul Aghni juga nih, lama banget dari tadi disuruh.”

Setelahnya Aji berlalu meninggalkan Dhimas yang masih terdiam di tempatnya.

“Lah, mau ke mana, Pa?” tanya Aghniya ketika berpapasan dengan Aji. “Pulang, tadi dibilangin jam besuknya abis,” bohong Aji.

“Lah? Yaahh, masa aku nggak ketemu Dhimas lagi? Belom pamitannn,” keluh gadis itu.

“Nggak pa-pa, tadi Papa kan udah pamit sama dia. Yuk, pulang. Kasian juga Bunay nunggu sendirian di rumah,” ujar Aji. Membuat Aghniya tak punya pilihan selain memenuhi ajakan papanya.

Aghniya telah sampai di rumah sakit yang Dhimas beritahukan. Gadis itu menelusuri lorong rumah sakit guna mencari teman karibnya. Gadis itu menoleh dan wajahnya berubah sumringah kala mendapati pemuda yang ia cari.

“Dhimsyyyyyy!!” panggilnya ceria. Gadis itu melangkah riang menghampiri Dhimas yang tadinya sedang menunduk seraya menautkan jemarinya.

Dhimas menoleh, bukan hal sulit menemukan sumber suara karena kerasnya suara gadis itu memenuhi lorong rumah sakit.

Pemuda itu tersenyum lesu, Aghniya dapat melihat jelas kantung mata hitam di sekitar netra indah pemuda itu. Wajah Dhimas pun menjadi sedikit pucat, beruntung gadis itu tidak menuruti perkataan Dhimas yang enggan makan. Untunglah ia tetap membawakam makanan untuk Dhimas.

“Sama siapa ke sini?” tanya Dhimas.

“Sendiri.”

“Ooh,” Dhimas mengangguk-angguk. Ia mengusak matanya sebelum kembali berujar. “Gue kira lo bakal ngasih tau temen-temen gue.”

“Enggak, gue tau lo nggak suka masalah lo beber ke banyak orang. Gue juga nggak berhak ngasih tau mereka, you can tell them when you're ready. It's okay,” ujar Aghniya yang dibalas senyuman tipis oleh Dhimas. Dalam hati pemuda itu bersyukur ada yang benar-benar mengerti dirinya tanpa perlu selalu ia terjemahkan perasaannya.

“Gue juga tau lo belom makan, nih. Nasi padang, pake ayam saaaayyuuuuurr~”

Dhimas terkekeh pelan, “Eh, lo berisik banget tau. Nanti pasien lain keganggu deh sama lo.”

Refleks, Aghniya menutup mulutnya rapat-rapat. Ditambah dengan tangannya yang juga ia gunakan untuk menutup mulutnya. “Hah? Iya ya?” tanyanya. “Ya ampun..” ujarnya lagi, kali ini dengan suara berbisik.

Dhimas lagi-lagi tertawa pelan. “Ini terus gue makannya pake apa, Bro? Nggak dapet sendok?”

“Ih, orang mah makan nasi padang pake tangan, Dhim.”

“Males cuci tangannya. Lo nggak bawa sendok?” tanya Dhimas.

“Mau pake sendok gue?”

“Iya sini, lah. Pinjem,” balas Dhimas. Kemudian Aghniya mengeluarkan sendok miliknya yang ia bawa guna memakan bekalnya di sekolah.

“Nih, bersih kok. Tadi udah gue cuci di sekolah,” ujar Aghniya. “Iyaa, tau gue,” jawab Dhimas kemudian mulai menyantap nasi padang yang berada di tangannya.

Pria itu makan dengan lahap, entah sudah kelaparan sejak kapan. Yang Aghniya tahu, pasti waktu makannya sama sekali tak teratur. Entah sudah berapa banyak jam makan siang dan makan malam yang Dhimas lewatkan hanya untuk memastikan keadaan sang ibu semakin membaik.

“Lo nggak makan berapa hari?” tanya Aghniya. “Laper amat keliatannye, tadi aja gue tawarin makan nggak mau.”

“Nggak tau berapa hari. Tapi gue laper banget sih emang, tadi gue nolak soalnya belom sadar kalo laper,” ujar Dhimas.

Selang beberapa menit, Dhimas selesai makan. Ia merapikan bungkusan nasi untuk dibuang ke tempat sampah. Setelahnya berniat mencuci sendok milik Aghniya yang ia pinjam. Namun, niatnya itu ditahan oleh sang gadis.

“Udah sini, nggak usah dicuci.”

“Serius?” tanyanya. “Iyaa,” jawab Aghniya lalu merebut paksa sendoknya kemudian memasukkannya kembali ke tas bekalnya.

Gadis itu lalu menyerahkan sebungkus teh tawar hangat yang didapat sepaket dengan nasi padang bungkus yang ia beli untuk Dhimas. Mengetahui temperatur teh tawar itu masih cukup hangat, alih-alih menyerahkannya pada Dhimas untuk diminum, gadis itu justru meraih kedua tangan Dhimas dan membuat pemuda itu menangkup seplastik teh tawar hangat itu.

Dhimas memandang Aghniya bingung, memikirkan maksud gadis itu. “Biar apa nih?”

Gadis itu mendongak menatap Dhimas sambil cengegesan. “Hehe, masih panas tehnya kalo diminum, mending dipake begini, biar tangan lo anget. Dingin kan pasti di sini setiap hari?”

“Kok nggak pake jaket atau baju panjang gitu sih, Dhim? Lo nggak pulang ya? Terus mandi nggak? Emang nggak lengket badannya? Nggak meriang? Lo kedinginan nggak? Lo kok nggak makan sih? Emang dari sini nggak dikasih makan? Yah gue nggak bawa jaket lagi, Dhim. Lo dingin banget nggak? Badan lo kaku gitu nggak? Tangan gue suka agak kaku tau kalo udah kena AC lama-lama,” Aghniya terus meracau. Dhimas hanya memandangi gadis itu sambil diam-diam menikmati hangat yang menjalar melalui telapak tangannya. Nyaman. Rupanya selain telapak tangannya, hatinya ikut menghangat. Mendengarkan celotehan gadis di hadapannya yang menanyakan semua hal yang bahkan tak Dhimas sadari.

Aghniya benar, sudah berhari-hari ia di sini. Merasakan dinginnya rumah sakit dengan perut kosong dan tubuh yang tidak terlindungi pakaian hangat. Dhimas bahkan tidak ingat kapan terakhir kali mencuci wajahnya. Prinsipnya sejak tiba di tempat ini adalah selalu berada di sisi mama, tidak boleh melewatkan barang sedetikpun.

“Dah, kayaknya udah nggak terlalu panas. Minum, nih. Biar perutnya juga anget. Tadi pas gue minta minumnya abangnya baru kelar ngerebus aer soalnya.”

Seketika Dhimas kembali tersadar dari lamunannya. Ia berdeham sebelum membalas perkataan Aghniya. “Lo beli nasi padang di mana?”

“Yang deket sekolaaaah, tau kan? Yang serba sepuluh ribu,” jawabnya dengan wajah yang masih ceria. Dhimas terkekeh, “Pelit lu ya, beliin gue makan cuma ceban.”

Seketika gadis itu mendelik, “Kok lo nggak tau terima kasih?”

“Gue taunya terima gaji,” canda Dhimas. Aghniya tak menanggapi, gadis itu membiarkan Dhimas meminum teh tawar hangat yang ia bawakan.

Dhimas menghela napas panjang setelah meneguk habis sebungkus teh tawar hangat. Dirinya merasa sangat enakan dan jauh lebih baik. Perutnya terisi, pening di kepalanya tak lagi mengganggu, dan tubuhnya terasa hangat. Ia lalu memasukkan sampah plastik bekas minumannya ke dalam plastik yang lebih besar, menyatukannya dengan sampah nasi yang sebelumnya lalu mengikatnya rapi.

“Duduk aja, sini gue yang buang. Tong sampah di mana?” tanya Aghniya.

“Kiri sono,” jawab Dhimas. Lalu gadis itu bergegas membuang sampah, kemudian kembali dengan berlari-lari kecil.

“Kenapa sih harus lari-larian? Bocah banget dah, heran.”

“Kelamaan banget anjir kalo jalan biasa, nggak suka,” jawab Aghniya seraya kembali ke tempat duduknya di sebelah Dhimas.

Hening mengisi. Keduanya diam di tempat masing-masing.

“Dari kapan, Dhim?” tanya Aghniya pada akhirnya. Gadis itu memilih memberanikan diri menanyakan hal ini.

“Apa?”

“Itu.. Tante..”

Dhimas menangkap maksud Aghniya, “Ooh. Dari yang waktu lo chat gue malem-malem mau cerita tapi gue bilang gue masih di luar.”

“Hah? Udah lumayan lamaa donggg? Kok nggak cerita sihhhh?”

Dhimas terkekeh pelan, namun Aghniya tetap menangkap keputusasaan yang tersirat di dalam sana. “Nggak tau. Nggak tau kenapa nggak cerita. Gue nggak pernah merasa harus nyeritain masalah gue ke orang lain.”

Aghniya lantas diam dan menunduk. “Sampe akhirnya gue sadar kalo gue nggak bisa sendirian. Berat, Agh. Ternyata kepenuhan kalo disimpen sendiri. Baru deh, gue ngasih tau lo,” lanjut Dhimas, membuat Aghniya kembali menatapnya.

Gadis itu menghela napas, “Kenapa bisa— eh, nggak jadi deh.”

“Kenapa bisa Mama kecelakaan?” tembak Dhimas. Gadis itu mengangguk kaku.

“Pulang ngantor, ngelewatin perempatan di jalan gede. Mama jalan soalnya udah lampu ijo, tiba-tiba ada mobil ngebut dari arah berlawanan. Kayaknya sih remnya blong, soalnya harusnya dia berenti tapi ini malah ngebut. Ya udah, kena Mama.”

“Ya Allah.. terus yang nabrak tanggung jawab nggak, Dhim?” tanya Aghniya.

“Tanggung jawab, kok. Ini dia yang nanggung biaya rumah sakitnya sampe Mama sembuh. Kayaknya yang nabrak orang kaya gitu, cuma gue rasa dia juga pengen dicelakain orang. Makanya remnya dibikin blong.”

Aghniya mengangguk paham. “Syukur deh kalo dia tanggung jawab.”

“Yang nabraknya suka ke sini juga nggak, Dhim?”

Dhimas mengangguk, “Suka. Suka bawain gue makanan. Tapi nggak pernah gue makan. Nggak mood.”

“Dih, badung lo!”

“Gue maunya nasi padang ceban, bukan nasi bento mahal,” canda Dhimas.

“Oh iya ya, selera lo kan lokal ya, Dhim.”

Dhimas tertawa kecil pada akhirnya, “Bener banget.”

“Alias kamseupay!” tambah Aghniya yang dibalas kekehan Dhimas.

“Lo— kapan mau sekolah?”

“Tunggu Mama sembuh,” jawab Dhimas.

“Ah.. iya. Besok sembuh. Besok sekolah, ya?”

“Iya. Besok sekolah. Besok Mama sembuh,” jawab Dhimas yakin. Lebih tepatnya, berusaha yakin.

“Tugas selama lo nggak masuk gimana tuh, Dhim?” tanya Aghniya.

“Gue kerjain, kok di sini. Yang nabrak itu namanya Pak Rusli, supirnya sih yang nabrak, pas lagi nyetirin si Pak Rusli ini. Pak Rusli selalu bilang kalo butuh apa-apa bilang aja, nah gue minta tolong bawain buku gue ke sini aja sih kadang,” ujar Dhimas. “biar nggak keteteran banget pas masuk nanti,” lanjutnya.

“Keren.”

“Emang, lo baru tau?” balas Dhimas.

“Najis.”

“Kok lo nggak konsisten?” ucap Dhimas tak terima.

“Konsisten hanya pada Damar.”

“Goblok.”

Aghniya hanya tertawa. Kalau Dhimas sudah mengumpat, tandanya pria itu sudah mulai membaik.

“Lo nggak balik?” tanya Dhimas.

“Ngusir, Sob?”

“Nah, itu lo tau,” balas Dhimas sambil terkekeh. “kagak, lah. Maksud gue mending lo pulang. Pasti lo capek juga sekolah. Besok-besok ke sini lagi boleh,” lanjut Dhimas.

“Nggak, ah. Capekan lo nggak sih? Mending lo tidur, muka lo udah jelek banget. Tidur sebentar, Mama lo biar gue yang jagain. Oke nggak?”

“Enggak. Lo pulang aja sana. Beneran deh, besok-besok boleh ke sini lagi,” ujar Dhimas.

“Gue udah tidur tadi, Aghniya. Lo liat sendiri tadi gue udah makan, udah minum teh anget. Pulang sonoooo!” ujar Dhimas masih berusaha meyakinkan gadis itu untuk pulang.

“Beneran?” tanya Aghniya.

“Iyeee.”

Aghniya mengembuskan napas berat, sejujurnya ia tak rela meninggalkan Dhimas sendirian. Bagaimanapun juga Dhimas pasti memerlukan seorang teman. Namun, gadis itu juga tak ingin memaksanya bercerita. Gadis itu tak ingin membuat Dhimas kembali harus mengingat hal buruk yang menimpa ibunya. Gadis itu tak ingin membuat Dhimas kembali terfokus pada pikiran negatif yang menyelimutinya.

Tentu saja Aghniya ingin Dhimas mengeluarkan keluh kesahnya. Gadis itu paham, Dhimas sudah menyimpan terlalu banyak hingga pasti tak ada lagi ruang untuknya bernapas sejenak. Namun Aghniya tak ingin memaksa. Biarlah Dhimas mengatakannya kapanpun yang ia kehendaki. Tugasnya hanya memposisikan dirinya pada posisi siap, siap mendengarkan keluh kesah pemuda itu kapanpun diminta.

“Ya udah nih, pulang, nih,” ujar Aghniya.

“Iya sana pulang. Makasih yaa udah jenguk Mama gue. Doain biar cepet sadar, cepet sembuh,” balas Dhimas.

“Pasti, lah. Ya udah, balik yaa?” pamit Aghniya.

“Yoo, hati-hati. Jangan nunggu ojol di tempat sepi, kalo bisa deket-deket satpam. Kalo ada apa-apa telepon gue,” balas Dhimas.

“Iyaa,” jawab Aghniya seadanya. “Istirahat ya, Dhimas!”

“Kan gue bilang udah tidur,” balasnya.”

“Bukan badannya doang yang disuruh istirahat, pikiran sama hatinya juga. Harus baik-baik. Sehat ya? Jangan sakit! Inget, besok sekolah!” ucap Aghniya. Setelahnya dengan riang, gadis itu berpamitan pada Dhimas seraya melambaikan tangannya dengan semangat. Meninggalkan Dhimas dengan segala keterkejutannya.

Dhimas memandangi punggung Aghniya yang semakin menjauh. Langkah ringan yang sesekali harus terhenti karena gadis itu membenahi ransel di pundaknya membuat Dhimas terkekeh pelan. Setelahnya tersenyum tipis seraya mengangguk.

Even on his darkest days, she's there to lighten up the mood. She's there. She's always there.

Aji langsung masuk ke rumah setelah memarkir mobilnya dengan rapi di halaman rumah. Kali ini orang pertama yang dicarinya adalah anak satu-satunya. Berdasarkan informasi yang ia dapat melalui Ayna, anaknya itu terlibat pertengkaran dengan salah satu temannya.

“Aghni,” panggilnya.

Secepat kilat, Aghniya menjawab panggilan sang papa. Kemudian berlali menghampirinya. Gadis itu menyalami tangan Aji sebelum Aji menahannya dengan pertanyaan yang sudah Aghniya tebak sebelumnya.

“Tadi kata Bunay, kamu berantem?” tanya Aji.

“Iya..”

Aji menghela napasnya, “Duduk situ. Papa mandi dulu, jangan kemana-mana!”

Sambil mengerutkan bibir, Aghniya menuruti perkataan Aji. Gadis itu duduk di meja makan sambil menunduk, tak lupa memainkan jemarinya untuk mengurangi rasa gugupnya.

Setelah menunggu cukup lama, Aji kembali ke hadapan anaknya. Kali ini ia muncul dengan pakaian yang jauh lebih santai. Ia memakai baju tidur dengan lengan panjang. Bersama Ayna, Aji duduk dan memulai pertanyaannya.

“Coba ngomong, kenapa bisa kamu sampe berantem?” tanya Aji.

Aghniya menelan ludah sebelum bicara, “Dianya mulai duluan, Pa.”

“Ya mulai gimana? Kalo ngasih penjelasan tuh yang jelas, yang rinci. Gimana Papa bisa ngerti kalo kamu cuma jawab kayak gitu?” balas Aji. Tatapan tajamnya itu tentu saja tak tertinggal.

“Ya dia ngatain aku.”

“Ngatain apa?” tanya Aji lagi.

Aghniya melirik ke arah ibunya sebelum menjawab. Gadis itu tahu, ini akan terdengar menyakitkan bagi ibunya. Aghniya tahu, Ayna akan menangis jika mengetahui ada seseorang yang mengatakan anaknya adalah seseorang yang murahan.

“Murahan.”

Aji membelalakkan matanya, terlebih Ayna. Satu kata dari mulut anaknya membuat pria itu langsung terdiam. Sementara Ayna mulai berkaca-kaca. Aghniya hanya menunduk, inilah sebabnya ia tidak menceritakan secara rinci pada ibunya.

“K-kok jahat banget?” tanya Ayna. Suaranya terdengar bergetar.

“Iyaa, dia nggak suka aku temenan sama cowok yang dia suka, Bun. Tapi aghni nggak pa-pa kok, asli. Aku nggak sakit hati, tadi aghni marah karena dianya lama-lama rusuh ajaa ganggu aghni mau makan,” jawab Aghniya bohong.

“Kamu nggak sakit hati tapi Bunay yang sakit hati, Sayang! Emangnya dia nggak diajarin sopan santun sama orang tuanya apa gimana sih?” balas Ayna.

Aji mengelus surai panjang Ayna, menenangkan istrinya. “Ay, kamu ke kamar aja, gih. Biar aku yang ngomong sama Aghni.”

“Loh, tapi kan, Mas—”

“Ay, ke kamar ya?” perintahnya halus. “Nanti kamu makin kepikiran, biar ini jadi urusan aku.”

Akhirnya Ayna menyerah. Wanita itu memilih pergi dan membiarkan suaminya mengurus hal ini.

Setelah Ayna benar-benar pergi, Aji kembali bicara. “Serius dia ngatain kamu begitu?”

“Beneran, Pa. Tapi beneran juga, Aghni nggak semarah itu pas dia katain. Cuma sebel aja karena emang annoying.”

Aji mengangguk-angguk, “Terus yang bikin marah apa?”

“Ya dia nyakar aku, Pa. Liat nih, jadi kayak Sherina gini. Terus—” Aghniya menggantung ucapannya. Gadis itu memajukan tubuhnya dan memutuskan untuk bicara se-pelan mungkin agar ibunya itu tak mendengar.

“Dia juga ngatain Bunay murahan..”

Aji lagi-lagi terkejut. Dirinya mendadak ingin marah. Tidak ada yang boleh berkata seperti itu pada orang yang benar-benar dicintainya. Sejujurnya Aji berniat memarahi Aghniya kala ia mendengar anaknya itu terlibat pertengkaran. Namun, setelah ia mengetahui alasannya, Aji mengerti mengapa anaknya itu menjadi marah besar.

Aji dan Aghniya seperti dua orang yang sama. Keduanya benar-benar akan melindungi Ayna dengan cara apapun. Keduanya menyayangi Ayna dengan sungguh-sungguh, hingga tidak ada yang boleh menyakiti wanita itu.

Dan Salsa tentu saja membuat kesalahan besar dengan menghina Ayna di hadapan Aghniya.

Aji menghembuskan napas kasar, “Kamu apain anaknya?”

“Aku dorong doang, Pa. Nggak sampe aku gampar, kok. Cuma aku tadi sempet ngebalik meja, terus kena kaki dia. Terus anaknya aku bentak-bentak aja, aku tantangin doang.”

Aji mengangguk, setelahnya hanya diam.

“Maaf ya, Pa..” ucap Aghniya tulus. Bagaimanapun juga ia benar-benar merasa malu, juga merasa bersalah pada kedua orang tuanya, takut membuat keduanya malu.

“Kenapa minta maaf?”

“Aku nggak bisa kontrol emosi hari ini. Maaf hari ini bikin Bunay sama Papaji malu,” jawab Aghniya sambil menunduk.

Aji menggeleng, “Enggak. Kamu nggak pernah bikin Papa sama Bunay malu, kok. Papa ngerti kenapa kamu marah.”

Aghniya mendongak, menatap Aji dengan tatapan kebingungan. “Nggak marah, Pa?”

“Papa marah kalo kamu mulai duluan. Itu baru bikin Papa sama Bunay malu,” jawab Aji.

“Udah, istirahat gih. Udah makan belom?” tanya Aji.

“Hah? Pa seriusan nggak marah?”

“Enggak, Sayang. Emang maunya dimarahin?” tanya Aji.

“ENGGAK.”

Aji terkekeh, lalu bangkit dan menepuk-nepuk kepala anak perempuannya, “Heads up, anak Papaji nggak boleh jatuh cuma karena dihina begini ya?”

Aghniya mendongak, lalu tersenyum kepada sang papa. Kemudian mengangguk semangat. Dalam hatinya dipenuhi rasa syukur lantaran memiliki kedua orang tua yang selalu bisa menambah rasa percaya dirinya. Tentu saja ia juga merasa lega karena lolos persidangan Aji.

Damar tiba di kelas Aghniya, namun yang ia temui hanyalah Salsa yang sedang menangis sambil dikerubungi teman-temannya yang nampak menenangkan gadis itu.

“Sa?” panggil Damar.

Salsa mendongak, menatap Damar dengan netranya yang sudah banjir air mata. Langsung saja ia menghampiri Damar dan menangis di hadapan pemuda itu.

“Damaaarr, sumpah Aghniya jahat banget. Dia dorong gue barusan padahal gue nggak ngapa-ngapain!” adu Salsa sambil terus menangis.

“Iya iya, Aghniya-nya mana?”

“Nggak tau kabur ke mana, dia serem banget, Damar. Gue takut..” ucap Salsa.

“Udah, diem sini. Gue cari Aghni dulu,” balas Damar. Lalu pria itu bergegas meninggalkan Salsa yang tersenyum puas mendengar penuturan Damar.

Damar menelusuri koridor, mencari keberadaan gadis yang baru saja bertengkar itu. Ditemukannya Aghniya sedang melamun, menatap kosong ke arah lapangan sekolah dengan tangannya yang mencengkeram railing besi balkon. Ada luka di pipi Aghniya yang belum diobati, goresan cukup panjang yang terdapat di sana.

Damar menghampiri gadis itu, menyolek bahu kanannya lalu berpindah ke sebelah kiri gadis itu. Membuat Aghniya mencari-cari siapa pelakunya.

Ketika Aghniya menemukan Damar di sebelahnya, gadis itu tak banyak bicara. Malahan ia kembali membuang muka, masih mengerucutkan bibirnya dengan tangan yang masih setia menyalurkan emosinya pada railing balkon yang tak bersalah. Sesekali gadis itu memukul-mukul besi itu.

Damar meraih tangan Aghniya dengan sebelah tangannya. Mencegahnya untuk mencengkeram railing. “Jangan remes-remes besi, nanti sakit tangannya.”

Aghniya menoleh terkejut, gadis itu mengerjapkan matanya kemudian kembali menarik tangannya.

“Kenapa marah?”

Masih enggan bicara, gadis itu hanya menggeleng menjawab pertanyaan Damar.

“Nggak mau ngomongin ini?” tanya Damar. Aghniya kembali menggeleng.

“Ya udah. Kita ngomongin yang lain,” ucap Damar lagi.

“Aghniya udah makan?” tanyanya. Gadis itu kembali menggeleng.

“Waduh, kenapa nggak makan?”

“Males,” jawab Aghniya pada akhirnya.

“Ih, ada suaranyaaa!” balas Damar sambil tersenyum senang sambil menunjuk wajah Aghniya. Membuat gadis itu tersenyum sangat tipis. Hampir terlepas dari pertahanan amarahnya.

“Ngomong lagi dong, tadi di-mute ya? Sekarang udah ada volumenya?” tanya Damar.

“Apa sih?” balas Aghniya ketus.

Damar hanya tertawa. “Mau ketawa juga yaa? Enakan ketawa kann daripada manyunnn? Ketawa aja ayo ketawa!”

Aghniya menggeleng, menahan senyumnya. “Enggak, ah.”

“Jangan cemberut mulu tau, Agh. Nanti mulutnya ilang loh, copot,” canda Damar.

Aghniya tak menjawab kali ini, memilih merapatkan bibirnya. Berusaha keras agar tidak tertawa mendengar ucapan Damar meski sedari tadi senyumnya sangat ingin mengembang.

“Hadeh, lagi nggak mau diganggu ya? Ya udah deh, gue balik lagi ke kelas ya?”

Aghniya hanya mengangguk.

“Eh, enggak deh. Obatin dulu lukanya, yuk. Ke UKS, lesgooo!” ajak Damar. Tanpa menunggu jawaban Aghniya, Damar menarik lengannya.

Keduanya kini tiba di UKS, dengan segera Damar meminta tolong pada petugas PMR yang sedang bersantai di sana untuk mengobati pipi Aghniya. Sementara dirinya memilih menunggu di ranjang yang lain.

“Dam, udah nih, Dam. Tinggal kasih hansaplast aja. Lo aja ya, gue mau ke kantin,” ujar Anita, salah satu anak PMR yang sebenarnya juga merupakan teman sekelas Aghniya.

“Ah, lo kerja setengah-setengah, Nit. Ya udah sini,” balas Damar.

Anita lalu menyerahkan hansaplast itu ke tangan Damar. Setelahnya gadis itu beranjak pergi, meninggalkan keduanya.

“Nit, lo mau ke kantin kan? Nitip ultra cokelat,” ujar Damar lagi. Pria itu lalu bangkit menyusul Nita dan menyerahkan uang untuk membeli titipannya. Sementara Aghniya diam-diam terkejut.

“Sini, pasang ini dulu biar kayak jagoan. Kayak Sherina. Abis ini nyanyi ya di tengah lapangan, Dia pekeeeer dia yang paling hebat! Merasa paling jago, dan paling kuat! Gitu ya?”

“Lo jadi Sadam-nya gitu?” balas Aghniya.

“Iya. Sadam dipanggilnya apa sama maminya? Inget nggak?”

“Yayang,” jawab Aghniya.

“Nah, gue baru mau jadi Sadam-nya kalo lo panggil gue gitu,” jawab Damar iseng.

“APAAN LO!”

Damar cengegesan, sementara Aghniya jengkel. Menutupi fakta bahwa hatinya berbunga-bunga.

“Lama dehh, sini pasang sendiri deh, hansaplastnya!” ujar Aghniya. “Lo mau buka hansaplast aja nggak jadi-jadi, ketawa mulu.”

“Oh iya ya. Ya kan biar lo ketawa juga tauu!” Jawab Damar. Kemudian dengan segera ia membuka bungkusan hansaplast yang sedari tadi berada di tangannya.

“Buset ngejreng banget warnanya, kuning-kuning begini,” celetuk Damar.

“Ih, norak nggak sih, Dam? Tapi gambarnya lucu sih,” balas Aghniya.

Damar menggeleng, “Enggak, kalo lo yang make mah bagus-bagus aja, Agh. Kalo Ojan yang make baru gue ketawain abis-abisan.”

“Dah, udah jadi Sherina,” ucap Damar ketika selesai memasangkan hansaplast di pipi Aghniya. “Cepet sana ke lapangan, joget.”

“Ih, nggak jelas!”

Tak lama, Anita kembali. Menyerahkan susu ultra cokelat titipan Damar. “Nih, Dam.”

Thank you, Nit!”

“Mau nggak?” tawarnya pada Aghniya. “Terus lo gimana?”

“Enggak, ini gue beli emang buat lo,” balas Damar.

“Mau nggak?” tanya Damar lagi. Gadis itu lalu mengangguk. Tidak mungkin menolak minuman favoritnya.

“Senyum dulu, abis itu nggak boleh marah lagi tapi ya?” ujar Damar.

“Ah, nggak bisa lah kalo dipaksain. Aneh,” jawab Aghniya.

“Yah, ya udah nggak jadi ultranya.”

“Rusuh banget looooo!” balas Aghniya.

“Mau gue bantuin nggak biar senyum?” tanya Damar.

“Gimana caranya?”

“Baca chat gue,” jawab Damar.

Aghniya menopang dagu ketika bel istirahat berbunyi. Gadis itu biasanya dengan semangat membuka kotak bekalnya dan dengan senang hati menyantap makanan yang dibawakan sang ibu. Namun, kali ini ia sedikit lesu. Tidak ada Dhimas membuatnya bosan.

Jika biasanya ia tidak berhenti tertawa hingga sakit perut, atau mengoceh tidak jelas pada Dhimas, kali ini ia seperti mati gaya. Hanya mengikuti bagaimana sekolah seharusnya berjalan. Mendengarkan guru, mencatat, mengerjakan latihan, dan sesekali izin ke toilet hanya untuk mengusir bosan.

Tiba-tiba seseorang berdiri di hadapannya. Posisi Aghniya hari ini berada di kursi paling depan kolom kedua. Membuat orang yang berdiri di depan mejanya itu terasa dekat sekali dengannya. Gadis itu mendongak, nampak Salsa berdiri dengan arogan. Kedua tangannya ia gunakan untuk bertolak pinggang.

Aghniya mengerutkan alisnya, “Ngapain lo? Mau mengagumi gue?”

Salsa berdecih, “Najis! Eh, lo tuh bener-bener nggak tau malu ya?”

Aghniya memutar matanya malas, ia sangat tahu ke mana arah pembicaraan ini akan berlabuh. “Apa lagi sih?”

“Udah gue bilang jauhin Damar! Jangan deket-deket sama dia kenapa sih lo susah banget dibilangin?!”

“Lah? Gue nggak deket-deket Damar, tapi ya kalo ketemu gue sapa. Sa, seriously, why don't you just do the same thing? Gue nggak ngelarang lo juga buat ngelakuin hal yang sama,” jawab Aghniya jengkel.

“Enggak! Diem deh lo, lo tuh emang dasarnya murahan! Gatel! Centil!” kesal Salsa.

Aghniya hanya menghela napas panjang, telinganya itu sudah bosan mendengar ucapan semacam itu dari mulut Salsa.

“Gue bilang jauhin Damar, kalo enggak—”

“Kalo enggak apa? Lo pikir gue takut sama lo? Ha?” potong Aghniya cepat.

Salsa tercengang. Aghniya adalah jagonya dalam hal memancing emosi Salsabila Annisa. Amarah dan kekesalan yang gadis itu semakin menumpuk melihat Aghniya yang sama sekali tidak gentar meskipun dirinya sudah mengatai gadis itu habis-habisan.

Sangking kesalnya, Salsa kemudian mencakar wajah Aghniya penuh amarah. Membuatnya berdarah dengan karena tergores kuku Salsa yang panjang.

Aghniya mengerang kesakitan, dengan refleks ia mendorong Salsa hingga gadis itu terjungkal.

“AWWW! SAKIT! KASAR BANGET SIH LO!” ujar Salsa.

“YA SAMA LAH GUE JUGA SAKIT, OTAK LO DI MANA?! MAKSUDNYA APA SIH NYAKAR-NYAKAR?!” balas Aghniya emosi.

Suasana semakin panas, teman-temannya yang lain mulai ragu-ragu. Ingin memisahkan namun juga tak berani mengusik Aghniya ketika sedang marah.

“BIAR LO SADAR! KALO LO TUH KEGATELAN! Lo pasti sama aja kan kayak Ibu lo? Sama-sama gatel! Sama-sama cewek nggak bener! Cabe-cabean! Murahan!” cetus Salsa.

Cukup. Salsa sudah melewati batas. Dalam hidup Aghniya, tak ada yang boleh mengotori nama orang tuanya. Silakan hina dirinya sepuasnya, gadis itu akan diam. Namun, jangan. Pernah. Sentuh. Kedua. Orang tuanya.

Aghniya tidak membalas, gadis itu menggeratakan giginya. Aghniya tidak membalas, namun gadis itu langsung membalikkan mejanya ke arah Salsa. Membuat kaki Salsa terbentur meja yang terjatuh.

Salsa berubah gemetar. Selama ini dirinya terlalu sombong, menganggap Aghniya yang selalu diam itu tidak bisa berbuat apa-apa. Sehingga melihat Aghniya semarah ini hingga mampu membalikkan meja, nyali Salsa ciut.

Aghniya menendang meja yang sudah tergeletak sekuat tenaga. Menimbulkan suara keras yang membuat Salsa dan teman-temannya semakin ketakutan. Lalu Aghniya mendorong Salsa, menghimpitnya di antara papan tulis.

“Lo. Ngomong sekali lagi depan muka gue. NGOMONG SEKALI LAGI DEPAN MUKA GUE LO NGOMONG APA SOAL ORANG TUA GUE?!” jerit Aghniya tepat di depan wajah Salsa.

Salsa hanya diam, tubuhnya yang sedikit lebih pendek dari Aghniya itu rasanya semakin terintimidasi. Gadis itu hanya menunduk, menghindari tatapan nyalang Aghniya.

“Kenapa diem? Ciut nyali lo? ngomong. NGOMONG GUE BILANG! ULANG SEKALI LAGI LO BILANG APA BARUSAN?!”

“Agh udah, Agh,” ujar salah satu teman Salsa.

Aghniya menoleh garang, “Eh, lo diem! Gue nggak ada urusan sama lo!”

Gadis itu kembali menoleh pada Salsa yang sudah ingin menangis. “Selama ini gue diem, terserah, Sa lo mau ngomong apa soal gue. Lo mau bilang gue murahan, lo mau bilang gue cewek nggak bener, terserah. Tapi jangan berani-berani lo bawa-bawa orang tua gue! Lo nggak tau apa-apa soal mereka. Jadi tutup mulut lo sebelum sepatu gue yang nyumpel mulut lo!”

“Udah gue bilang, gue nggak takut sama lo. Sekali lagi lo berani menghina orang tua gue, abis lo sama gue!” ujar Aghniya memberikan penekanan pada setiap kata dalam ucapannya.

Damar sedang bersandar di tempat tidurnya, larut dalam pikirannya. Pria itu masih memikirkan pesan Revan. Meskipun nampak berani membalas pesan-pesan menjatuhkan itu, Damar tetap saja manusia biasa, yang bisa terserang pikirannya akibat kata-kata Revan yang memang menjebak.

Damar bingung, dirinya menjadi ragu. Haruskah ia teruskan langkahnya, atau haruskah ia berhenti dan membiarkan Dhimas mengejar Aghniya.

Damar bermonolog dalam hatinya. Kalau dipikir-pikir, memang benar yang dikatakan Revan. Seringkali Damar melihat Aghniya begitu khawatir terhadap Dhimas. Ketika pria itu terluka, ketika Dhimas terjatuh, ketika Dhimas menjadi lebih banyak diam, dan lain-lain.

Kemudian Damar teringat peristiwa paling kelam dalam hidup Dhimas. Ketika sahabatnya itu harus menghadapi perpisahan dengan sang ayah saat mereka duduk di bangku kelas sepuluh. Dhimas yang jarang menangis, bahkan hampir tidak pernah, kala itu Damar melihatnya menangis keras hingga wajahnya merah padam.

Terekam jelas dalam ingatannya, Dhimas menangis keras di pundak Aghniya. Membasahi seragam gadis itu tanpa ragu, sebelah tangannya meremas tangan Aghniya kuat. Dan gadis itu tanpa sungkan mengusap-usap pundak Dhimas, menyalurkan ketenangan lewat sana.

Damar ragu, kali ini rasanya Revan benar. Bahkan sudah banyak orang di sekolahnya yang mengharapkan Dhimas dan Aghniya bersama. Bahkan sudah banyak orang yang mendukung hubungan keduanya.

Revan benar, kalau bicara soal Aghniya, rasanya Dhimas yang selalu menang.

Damar mengacak-acak rambutnya gusar. Entah mengapa dirinya merasa marah, kesal, dan sedikit kecewa. Ia berguling-guling kesana-kemari.

“Ah anjir gue kok kesel banget dah!”

“Heh! Buocah dipanggilin dari tadi nggak ada jawab-jawabnya!” Wulan tiba-tiba membuka pintu.

“Hah? Siapa yang manggil?” jawab Damar bingung.

“Aku!”

“Kenapa, Mbak? Damar nggak denger lho, asli!” jawab Damar.

“Astaghfirullah, aku manggilin kamu berkali-kali, Damaar!”

“Ahahaha, nggak denger. Kenapaaaa, Mbak eee?” jawab Damar.

“Temenin aku nyari jajan mau nggak?”

“Ah, lagi bad mood nih!” jawab Damar.

“Dibayarin nggak mau?”

“Enggak, deh. Bete,” jawab Damar lagi.

“Kenapa? Tumbenan?”

“Hadaaaaaaaaaah! Sebel deh, Mbak, pokoknya!” balas Damar.

Wulan memilih melipat kedua tangannya di depan dada, menyilangkan kakinya sambil bersandar di depan pintu kamar Damar. “Kenapa?”

Damar mengerucutkan bibirnya, lalu menghela napas. Dirinya memang selalu tertutup pada orang lain, hanya Wulan, kakak sepupunya-lah yang bisa membuatnya nyaman bercerita. Itulah sebabnya Damar sejujurnya terkejut ketika dirinya merasakan kenyamanan yang sama ketika mengutarakan isi kepalanya pada Aghniya.

“Jadi gini, Mbak..”

“Gitu.”

“Kamu beneran tak lempar sendal ya nanti!” balas Wulan. “Yang bener nggak?!”

“Jahahahah kesel. Iya iya. Jadi begini..”

Damar memulai ceritanya, mengenai gadis yang mengisi hatinya belakangan ini. Mengenalkan sosok gadis itu pada sang kakak sepupu, perihal cantiknya, kelakuan manisnya, dan kebaikannya. Mengenalkan pula keadaan di tengah-tengah keduanya. Bagaimana Aghniya begitu dekat dengan sahabatnya sendiri, sangat dekat hingga siapapun yang melihatnya pasti mengira keduanya adalah sepasang kekasih. Mengenalkan pula apa yang membuatnya mendadak ragu, kata-kata Revan yang menyerangnya kali ini.

Wulan menyimak dengan seksama, mendengarkan setiap tutur Damar yang memenuhi indra pendengarannya. Sesekali Wulan tersenyum tipis menahan tawanya lantaran gemas melihat adik sepupunya jatuh cinta.

Damar selesai dengan ceritanya, pemuda itu menatap ke arah Wulan yang terlihat berpikir sebelum bicara. Damar bersiap-siap, ia tahu sebentar lagi pasti akan mendengarkan perkataan Wulan yang selalu berhasil mengalahkan gundahnya, menenangkan hatinya, dan membuka pikirannya.

“Kamu kenapa percaya temenmu yang bilang si Dhimas-Dhimas itu bakal menang terus?” tanya Wulan.

“Ya soalnya emang bener, Mbak. Nggak jarang Damar liat si dia tuh khawatir banget kalo Dhimas kenapa-napa, pokoknya mereka deket banget deh!”

“Terus kamu ngeraguin Dhimas nih ceritanya?” tanya Wulan lagi.

“Iyaaaa....? Mungkin.. Damar juga nggak tau.”

“Dam, kamu tadi yang bilang waktu itu Dhimas pernah cerita kenapa Revan putus sama Aghni, kan? Menurut Mbak, ceritanya Dhimas rinci banget, loh. Sementara Revan cuma bilang bukan karena dia brengsek, tanpa ngasih bukti apapun. Dan kamu juga bilang, kamu juga udah apal banget kan Revan orangnya gimana? Terus apa yang bikin ragu? Menurut Mbak itu udah cukup jelas menentukan kamu harus percaya siapa,” jelas Wulan.

“Tapi kan, Mbakkk—”

“Iyaa, Mbak ngerti. Mbak ngerti kamu cemburu sama temenmu sendiri. Karena dia lebih bisa deket sama doimu itu,” potong Wulan cepat.

“Hah? Apaannnn?! Enggak!”

“Ealah, itu namanya cemburu, Dam. Wajar ituu. Tapi menurut Mbak, jangan sampe pertemananmu yang rusak gara-gara hasutan orang yang kedengeran meyakinkan kayak gitu. Sayang banget. Temen-temenmu baik banget, kan?” ujar Wulan.

“Banget, Mbak. Makanya Damar nggak ngerti lagi deh kalo sampe ternyata Dhimas sama Damar suka sama orang yang sama,” balas Damar.

“Mbak tau kan? Kata orang cewek sama cowok nggak mungkin temenan tanpa ada perasaan gitu. Iya deh, kayaknya bener kata Mbak. Damar takut..”

Wulan tersenyum puas. Setelahnya ia tertawa keras. “Ih, lucu beneran! Lucu banget liat kamu begini! Sebelum-sebelumnya nggak pernah! Aduhhh, jadi pengen kenalan sama doimu. Hebat ya, bikin Yudhistira Damar begini.”

“Tuh, udah curiga aku. Pasti Mbak mau ngeledek doang,” kesal Damar.

“Maaf, maaf. Woooo ngambek? Dibercandain dikit aja ngambeeeek! Tapi iya sih bener, kayaknya temenmu sama doimu itu emang saling sayang.”

“DEMI APA SIH MBAKKKKKKKK???????”

“IYAAAA YA AMPUN BENERAN DEH DAM KAMU BERTEPUK SEBELAH TANGAN!!”

“MBAK YANG BENER AH! Beneran nggak sih...”

“Ahahahaha, enggak lah, bercanda,” jawab Wulan santai.

“MBAAAAAAAAK YA ALLAH!”

“Ya Mbak nggak tau, tanya langsung sama temenmu. Jangan pake tebak-tebakan sendiri, nanti berantem. Perasaan manusia nggak ada yang bisa nebak, sayang juga cakupannya luas, Damar. Nggak melulu soal perasaan yang kamu rasain ke Aghni. Mbak sayang sama kamu, tapi rasanya beda kan kayak rasa sayangmu ke Aghni? Mungkin Dhimas sayang sama Aghni, mungkin juga sebaliknya. Tapi sayang yang gimana dulu?” jelas Wulan.

Damar terdiam. Wulan benar, menyayangi seseorang tak selamanya perihal kupu-kupu yang hinggap di perut.

Wulan benar, perasaan manusia begitu luas. Begitu luas hingga Damar tak seharusnya membatasi dan menyamaratakan perasaannya dengan semua orang. Wulan benar, Dhimas mungkin menyayangi Aghni sama besarnya seperti dirinya. Mungkin juga sebaliknya. Namun, tak menutup kemungkinan perasaan Damar dan Dhimas berbeda.

Damar menyayangi Aghni dengan kupu-kupu yang selalu hadir menemani. Mungkin Dhimas menyayangi gadis itu dengan perasaan ingin melindungi yang selalu hadir menemani.

“Jangan didengerin. Kamu yang bilang Revan nggak penting, kenapa dipikirin?” Wulan berbicara lagi. Memecah lamunan Damar.

“Yaa... Nggak tau...”

“Satu lagi, kamu lebih percaya Dhimas yang udah lama jadi temenmu apa Revan yang udah lama jadi musuhmu?” tanya Wulan.

“Bener juga..”

“Aaaaah nggak jelas! Udah ayo, mending temenin aku jajan. Pegel aku berdiri,” titah Wulan.

“Idih, yang nyuruh berdiri situ siapaaaa coba?”

“Buruaaaaaan!”

“Bawellllll!”

“Assalamu'alaikum!”

“Acamikumm,” Damar menyusul ucapan bapak.

“Salam yang bener, Mas!” sahut bapak. Damar cengegesan, “Assalamu'alaikum!”

“Wa'alaikumussalam,” jawab ibu disertai tawa pelan. Sudah hapal akan kebiasaan anaknya.

Damar dan Bapak baru pulang salat Isya berjamaah di masjid. Sementara ibu dengan pekerjaannya mengoreksi tugas murid-muridnya, yang Damar minta untuk dibawa pulang agar lelaki itu bisa membantu mengoreksinya.

“Sini, Bu, dibantuin!” ujar Damar. Masih dengan sarungnya, pria itu ikut lesehan di sebelah ibu. Kemudian mengambil alih dua tumpukan buku yang lain untuk dikoreksinya.

“Kunci jawabannya mana, Bu? Ibu udah salat? Salat aja gih,” ucap Damar.

“Itu kunci jawabannya Ibu tulis di kertas itu, Mas. Iya ibu salat dulu ya, sebentar.”

Damar hanya mengangguk menanggapi ibu. Lalu ia mulai mengoreksi tugas murid-murid ibunya.

“Ya Allahhh ini anak SMA tulisannya bahlul bener, kagak kebaca. Apaan sih nih?” Damar ngedumel sendiri.

“Ngapain, Mas?”

“Kalo kata anak SD, membantu Ibu di rumah, Pak,” jawab Damar.

Bapak tertawa, lalu duduk di sofa ruang tamu dengan secangkir kopi hitam hangat miliknya.

Tak lama Wulan ikut nimbrung, bergabung dengan ayah-anak yang tengah bercengkrama. “Eh, Lan. Udah maem?”

“Udah, Pak Le. Tadi Wulan makan sama Damar di stasiun,” jawab Wulan.

“Wooo semprul, Mbaknya baru dateng, kok, dipalak?!” seru bapak.

“Ongkos kirim, Pak! Damar laper pulang sekolah lho, disuruh jemput Mbak Wulan sore-sore. Ya minta makan,” balas Damar.

“Walaah, kamu tuh minta makannya yang mahal-mahal!”

“Boong, Pak. Orang tadi berdua cuma enam puluh ribu, kok!” Damar membalas tak terima.

“Buka kartuuu terus, buka kartuuuu!” balas Wulan.

“Lho ya, Mbak Wulan-nya sih begitu! Damar disalahin wuuu,” sahut Damar tidak mau kalah.

“Heeeh heh heh heh! Ini aapa toh ribut-ribut?” tanya ibu yang baru selesai salat.

“Biasa toh, Bu. Damar kalo ada Mbak-nya ni pasti rusuh. Pwoolahnya ada aja,” jawab bapak dengan tawa pelan.

“Emang, iseng aja kamu tuh, Mas, Mas.”

“Jarang ketemu kalo nggak diisengin buat apa, Bu— ADUH! SAAAKIT TOH MBAK! TUH BUUUU, MBAK WULAN PUKUL-PUKUL KEPALA, SARU!”

“LHO YA KAMUNYA!”

“Apa? Aku lagi membantu Ibu ini lho. Mbak Wulan nih, ganggu aja,” ujar Damar santai, namun tentu saja membuat Wulan semakin kesal.

“Ngomong sekali lagi tak lempar sennddddal kamu!” balas Wulan. Sementara Damar hanya tertawa-tawa sambil melanjutkan pekerjaannya mengoreksi tugas murid-murid ibu.

“Siapa yang bikin mata lo berkaca-kaca gitu?”

“Ngantuk!! Nguapp, tadi abis nguaaaap jadi gini, hehehe,” jawab Aghniya. “Emang keliatannya kayak orang mau nangis?”

“Iya. Banget. Lo serius nggak pa-pa?”

“Serius, nggak pa-pa, Damar,” balas Aghniya lagi. Gadis itu mengusahakan ekspresi wajah secerah mungkin. Supaya Damar tidak curiga dan bertanya lebih lanjut.

Damar menghela napasnya pasrah, ia memilih mengalah lalu melepas lengan Aghniya gang sedari tadi berada dalam genggamannya.

“Ya udah. Udah pesen ojol?”

“Ini mau,” jawab Aghniya.

Lalu gadis itu mengutak-atik ponselnya. Damar berdiri di sebelah Aghniya, masih mengamati gadis itu dengan seksama. Sesekali Damar mendapati air muka gadis itu yang lesu, sorot matanya tak secerah biasanya, nada bicara Aghniya pun tadi terdengar gemetar. Damar tahu, ada sesuatu yang terjadi pada gadis itu.

Dan entah mengapa, Damar merasa tidak nyaman. Rasanya gusar. Ada sesuatu yang menghambat keceriaan seorang Aghniya dan Damar tidak menyukainya. Melihat gadis itu berusaha tersenyum di hadapannya dan berpura-pura baik-baik saja, Damar tidak menyukainya.

Damar dengan senang hati mengumpamakan Aghniya sebagai matahari, dan kini ada sesuatu yang menghalangi sinarnya sampai ke bumi. Dan Damar tidak menyukainya.

Aghniya menyelipkan helaian anak rambutnya yang cukup panjang di balik telinga. Lalu mengetikan pesan pada seseorang melalui ponselnya. Damar tersenyum tipis memperhatikan setiap tingkah kecil yang dilakukan Aghniya.

Setelahnya Damar membuang muka, berpura-pura mengedarkan pandangannya ke langit. “Mendung,” ujarnya.

“Hm? Mendung?” ujar Aghniya mengulangi ucapan Damar. “Mana? Enggak, kok! Masih panas, Dam. Terang, kok. Nggak bakal ujan, tenang aja!”

“Lo. Lo yang mendung. Yakin nggak bakal ujan?” tanya Damar.

Aghniya terdiam sejenak. Ia mengerti maksud pertanyaan Damar. Masih dengan senyum yang dipaksakan, ia menjawab. “Enggak.”

“Nggak ujan, atau nggak yakin?” tanya Damar lagi.

Nggak yakin..

“Nggak ujan!” jawabnya sambil tersenyum.

“Bener ya?”

“IYAAAAA! NGGAK UJAN! Capek aja kali ya? Terus gue masih mikirin jugaaa kenapa tugas gue ilang, curiga jatoh, atau emang ada yang sengaja buangg. Makanya gituu, lesuuuu, hehehe,” balas Aghniya.

“Oalaaah, kirain kenapa. Udah, nggak usah dipikirin. Yang penting tadi udah ngumpulin lagi kan langsung ke gurunya?” tanya Damar.

Aghniya mengangguk yakin. “Besok-besok, kalo takut ilang lagi, lo ngumpulinnya terakhir aja. Sekalian lo yang bawa ke ruang guru. Mastiin biar tugas lo nggak ilang lagi,” ujar Damar lagi.

“Iyaaaaaa. Ini ojolnya udah dateng, makasih banyak ya Damar. Folionya, waktunya. Hati-hati nanti ke stasiunnya!”

“Sama-sama, hati-hati juga! Kabarin gue kalo udah sampe rumah,” balas Damar.

“Awkay, dadahh!”

“Siapa yang bikin mata lo berkaca-kaca gitu?”

“Ngantuk!! Nguapp, tadi abis nguaaaap jadi gini, hehehe,” jawab Aghniya. “Emang keliatannya kayak orang mau nangis?”

“Iya. Banget. Lo serius nggak pa-pa?”

“Serius, nggak pa-pa, Damar,” balas Aghniya lagi. Gadis itu mengusahakan ekspresi wajah secerah mungkin. Supaya Damar tidak curiga dan bertanya lebih lanjut.

Damar menghela napasnya pasrah, ia memilih mengalah lalu melepas lengan Aghniya gang sedari tadi berada dalam genggamannya.

“Ya udah. Udah pesen ojol?”

“Ini mau,” jawab Aghniya.

Lalu gadis itu mengutak-atik ponselnya. Damar berdiri di sebelah Aghniya, masih mengamati gadis itu dengan seksama. Sesekali Damar mendapati air muka gadis itu yang lesu, sorot matanya tak secerah biasanya, nada bicara Aghniya pun tadi terdengar gemetar. Damar tahu, ada sesuatu yang terjadi pada gadis itu.

Dan entah mengapa, Damar merasa tidak nyaman. Rasanya gusar. Ada sesuatu yang menghambat keceriaan seorang Aghniya dan Damar tidak menyukainya. Melihat gadis itu berusaha tersenyum di hadapannya dan berpura-pura baik-baik saja, Damar tidak menyukainya.

Damar dengan senang hati mengumpamakan Aghniya sebagai matahari, dan kini ada sesuatu yang menghalangi sinarnya sampai ke bumi. Dan Damar tidak menyukainya.

Aghniya menyelipkan helaian anak rambutnya yang cukup panjang di balik telinga. Lalu mengetikan pesan pada seseorang melalui ponselnya. Damar tersenyum tipis memperhatikan setiap tingkah kecil yang dilakukan Aghniya.

Setelahnya Damar membuang muka, berpura-pura mengedarkan pandangannya ke langit. “Mendung,” ujarnya.

“Hm? Mendung?” ujar Aghniya mengulangi ucapan Damar. “Mana? Enggak, kok! Masih panas, Dam. Terang, kok. Nggak bakal ujan, tenang aja!”

“Lo. Lo yang mendung. Yakin nggak bakal ujan?” tanya Damar.

Aghniya terdiam sejenak. Ia mengerti maksud pertanyaan Damar. Masih dengan senyum yang dipaksakan, ia menjawab. “Enggak.”

“Nggak ujan, atau nggak yakin?” tanya Damar lagi.

Nggak yakin..

“Nggak ujan!” jawabnya sambil tersenyum.

“Bener ya?”

“IYAAAAA! NGGAK UJAN! Capek aja kali ya? Terus gue masih mikirin jugaaa kenapa tugas gue ilang, curiga jatoh, atau emang ada yang sengaja buangg. Makanya gituu, lesuuuu, hehehe,” balas Aghniya.

“Oalaaah, kirain kenapa. Udah, nggak usah dipikirin. Yang penting tadi udah ngumpulin lagi kan langsung ke gurunya?” tanya Damar.

Aghniya mengangguk yakin. “Besok-besok, kalo takut ilang lagi, lo ngumpulinnya terakhir aja. Sekalian lo yang bawa ke ruang guru. Mastiin biar tugas lo nggak ilang lagi,” ujar Damar lagi.

“Iyaaaaaa. Ini ojolnya udah dateng, makasih banyak ya Damar. Folionya, waktunya. Hati-hati nanti ke stasiunnya!”

“Sama-sama, hati-hati juga! Kabarin gue kalo udah sampe rumah,” balas Damar.

“Awkay, dadahh!”