Smile
Damar tiba di kelas Aghniya, namun yang ia temui hanyalah Salsa yang sedang menangis sambil dikerubungi teman-temannya yang nampak menenangkan gadis itu.
“Sa?” panggil Damar.
Salsa mendongak, menatap Damar dengan netranya yang sudah banjir air mata. Langsung saja ia menghampiri Damar dan menangis di hadapan pemuda itu.
“Damaaarr, sumpah Aghniya jahat banget. Dia dorong gue barusan padahal gue nggak ngapa-ngapain!” adu Salsa sambil terus menangis.
“Iya iya, Aghniya-nya mana?”
“Nggak tau kabur ke mana, dia serem banget, Damar. Gue takut..” ucap Salsa.
“Udah, diem sini. Gue cari Aghni dulu,” balas Damar. Lalu pria itu bergegas meninggalkan Salsa yang tersenyum puas mendengar penuturan Damar.
Damar menelusuri koridor, mencari keberadaan gadis yang baru saja bertengkar itu. Ditemukannya Aghniya sedang melamun, menatap kosong ke arah lapangan sekolah dengan tangannya yang mencengkeram railing besi balkon. Ada luka di pipi Aghniya yang belum diobati, goresan cukup panjang yang terdapat di sana.
Damar menghampiri gadis itu, menyolek bahu kanannya lalu berpindah ke sebelah kiri gadis itu. Membuat Aghniya mencari-cari siapa pelakunya.
Ketika Aghniya menemukan Damar di sebelahnya, gadis itu tak banyak bicara. Malahan ia kembali membuang muka, masih mengerucutkan bibirnya dengan tangan yang masih setia menyalurkan emosinya pada railing balkon yang tak bersalah. Sesekali gadis itu memukul-mukul besi itu.
Damar meraih tangan Aghniya dengan sebelah tangannya. Mencegahnya untuk mencengkeram railing. “Jangan remes-remes besi, nanti sakit tangannya.”
Aghniya menoleh terkejut, gadis itu mengerjapkan matanya kemudian kembali menarik tangannya.
“Kenapa marah?”
Masih enggan bicara, gadis itu hanya menggeleng menjawab pertanyaan Damar.
“Nggak mau ngomongin ini?” tanya Damar. Aghniya kembali menggeleng.
“Ya udah. Kita ngomongin yang lain,” ucap Damar lagi.
“Aghniya udah makan?” tanyanya. Gadis itu kembali menggeleng.
“Waduh, kenapa nggak makan?”
“Males,” jawab Aghniya pada akhirnya.
“Ih, ada suaranyaaa!” balas Damar sambil tersenyum senang sambil menunjuk wajah Aghniya. Membuat gadis itu tersenyum sangat tipis. Hampir terlepas dari pertahanan amarahnya.
“Ngomong lagi dong, tadi di-mute ya? Sekarang udah ada volumenya?” tanya Damar.
“Apa sih?” balas Aghniya ketus.
Damar hanya tertawa. “Mau ketawa juga yaa? Enakan ketawa kann daripada manyunnn? Ketawa aja ayo ketawa!”
Aghniya menggeleng, menahan senyumnya. “Enggak, ah.”
“Jangan cemberut mulu tau, Agh. Nanti mulutnya ilang loh, copot,” canda Damar.
Aghniya tak menjawab kali ini, memilih merapatkan bibirnya. Berusaha keras agar tidak tertawa mendengar ucapan Damar meski sedari tadi senyumnya sangat ingin mengembang.
“Hadeh, lagi nggak mau diganggu ya? Ya udah deh, gue balik lagi ke kelas ya?”
Aghniya hanya mengangguk.
“Eh, enggak deh. Obatin dulu lukanya, yuk. Ke UKS, lesgooo!” ajak Damar. Tanpa menunggu jawaban Aghniya, Damar menarik lengannya.
Keduanya kini tiba di UKS, dengan segera Damar meminta tolong pada petugas PMR yang sedang bersantai di sana untuk mengobati pipi Aghniya. Sementara dirinya memilih menunggu di ranjang yang lain.
“Dam, udah nih, Dam. Tinggal kasih hansaplast aja. Lo aja ya, gue mau ke kantin,” ujar Anita, salah satu anak PMR yang sebenarnya juga merupakan teman sekelas Aghniya.
“Ah, lo kerja setengah-setengah, Nit. Ya udah sini,” balas Damar.
Anita lalu menyerahkan hansaplast itu ke tangan Damar. Setelahnya gadis itu beranjak pergi, meninggalkan keduanya.
“Nit, lo mau ke kantin kan? Nitip ultra cokelat,” ujar Damar lagi. Pria itu lalu bangkit menyusul Nita dan menyerahkan uang untuk membeli titipannya. Sementara Aghniya diam-diam terkejut.
“Sini, pasang ini dulu biar kayak jagoan. Kayak Sherina. Abis ini nyanyi ya di tengah lapangan, Dia pekeeeer dia yang paling hebat! Merasa paling jago, dan paling kuat! Gitu ya?”
“Lo jadi Sadam-nya gitu?” balas Aghniya.
“Iya. Sadam dipanggilnya apa sama maminya? Inget nggak?”
“Yayang,” jawab Aghniya.
“Nah, gue baru mau jadi Sadam-nya kalo lo panggil gue gitu,” jawab Damar iseng.
“APAAN LO!”
Damar cengegesan, sementara Aghniya jengkel. Menutupi fakta bahwa hatinya berbunga-bunga.
“Lama dehh, sini pasang sendiri deh, hansaplastnya!” ujar Aghniya. “Lo mau buka hansaplast aja nggak jadi-jadi, ketawa mulu.”
“Oh iya ya. Ya kan biar lo ketawa juga tauu!” Jawab Damar. Kemudian dengan segera ia membuka bungkusan hansaplast yang sedari tadi berada di tangannya.
“Buset ngejreng banget warnanya, kuning-kuning begini,” celetuk Damar.
“Ih, norak nggak sih, Dam? Tapi gambarnya lucu sih,” balas Aghniya.
Damar menggeleng, “Enggak, kalo lo yang make mah bagus-bagus aja, Agh. Kalo Ojan yang make baru gue ketawain abis-abisan.”
“Dah, udah jadi Sherina,” ucap Damar ketika selesai memasangkan hansaplast di pipi Aghniya. “Cepet sana ke lapangan, joget.”
“Ih, nggak jelas!”
Tak lama, Anita kembali. Menyerahkan susu ultra cokelat titipan Damar. “Nih, Dam.”
“Thank you, Nit!”
“Mau nggak?” tawarnya pada Aghniya. “Terus lo gimana?”
“Enggak, ini gue beli emang buat lo,” balas Damar.
“Mau nggak?” tanya Damar lagi. Gadis itu lalu mengangguk. Tidak mungkin menolak minuman favoritnya.
“Senyum dulu, abis itu nggak boleh marah lagi tapi ya?” ujar Damar.
“Ah, nggak bisa lah kalo dipaksain. Aneh,” jawab Aghniya.
“Yah, ya udah nggak jadi ultranya.”
“Rusuh banget looooo!” balas Aghniya.
“Mau gue bantuin nggak biar senyum?” tanya Damar.
“Gimana caranya?”
“Baca chat gue,” jawab Damar.