She's There
Aghniya telah sampai di rumah sakit yang Dhimas beritahukan. Gadis itu menelusuri lorong rumah sakit guna mencari teman karibnya. Gadis itu menoleh dan wajahnya berubah sumringah kala mendapati pemuda yang ia cari.
“Dhimsyyyyyy!!” panggilnya ceria. Gadis itu melangkah riang menghampiri Dhimas yang tadinya sedang menunduk seraya menautkan jemarinya.
Dhimas menoleh, bukan hal sulit menemukan sumber suara karena kerasnya suara gadis itu memenuhi lorong rumah sakit.
Pemuda itu tersenyum lesu, Aghniya dapat melihat jelas kantung mata hitam di sekitar netra indah pemuda itu. Wajah Dhimas pun menjadi sedikit pucat, beruntung gadis itu tidak menuruti perkataan Dhimas yang enggan makan. Untunglah ia tetap membawakam makanan untuk Dhimas.
“Sama siapa ke sini?” tanya Dhimas.
“Sendiri.”
“Ooh,” Dhimas mengangguk-angguk. Ia mengusak matanya sebelum kembali berujar. “Gue kira lo bakal ngasih tau temen-temen gue.”
“Enggak, gue tau lo nggak suka masalah lo beber ke banyak orang. Gue juga nggak berhak ngasih tau mereka, you can tell them when you're ready. It's okay,” ujar Aghniya yang dibalas senyuman tipis oleh Dhimas. Dalam hati pemuda itu bersyukur ada yang benar-benar mengerti dirinya tanpa perlu selalu ia terjemahkan perasaannya.
“Gue juga tau lo belom makan, nih. Nasi padang, pake ayam saaaayyuuuuurr~”
Dhimas terkekeh pelan, “Eh, lo berisik banget tau. Nanti pasien lain keganggu deh sama lo.”
Refleks, Aghniya menutup mulutnya rapat-rapat. Ditambah dengan tangannya yang juga ia gunakan untuk menutup mulutnya. “Hah? Iya ya?” tanyanya. “Ya ampun..” ujarnya lagi, kali ini dengan suara berbisik.
Dhimas lagi-lagi tertawa pelan. “Ini terus gue makannya pake apa, Bro? Nggak dapet sendok?”
“Ih, orang mah makan nasi padang pake tangan, Dhim.”
“Males cuci tangannya. Lo nggak bawa sendok?” tanya Dhimas.
“Mau pake sendok gue?”
“Iya sini, lah. Pinjem,” balas Dhimas. Kemudian Aghniya mengeluarkan sendok miliknya yang ia bawa guna memakan bekalnya di sekolah.
“Nih, bersih kok. Tadi udah gue cuci di sekolah,” ujar Aghniya. “Iyaa, tau gue,” jawab Dhimas kemudian mulai menyantap nasi padang yang berada di tangannya.
Pria itu makan dengan lahap, entah sudah kelaparan sejak kapan. Yang Aghniya tahu, pasti waktu makannya sama sekali tak teratur. Entah sudah berapa banyak jam makan siang dan makan malam yang Dhimas lewatkan hanya untuk memastikan keadaan sang ibu semakin membaik.
“Lo nggak makan berapa hari?” tanya Aghniya. “Laper amat keliatannye, tadi aja gue tawarin makan nggak mau.”
“Nggak tau berapa hari. Tapi gue laper banget sih emang, tadi gue nolak soalnya belom sadar kalo laper,” ujar Dhimas.
Selang beberapa menit, Dhimas selesai makan. Ia merapikan bungkusan nasi untuk dibuang ke tempat sampah. Setelahnya berniat mencuci sendok milik Aghniya yang ia pinjam. Namun, niatnya itu ditahan oleh sang gadis.
“Udah sini, nggak usah dicuci.”
“Serius?” tanyanya. “Iyaa,” jawab Aghniya lalu merebut paksa sendoknya kemudian memasukkannya kembali ke tas bekalnya.
Gadis itu lalu menyerahkan sebungkus teh tawar hangat yang didapat sepaket dengan nasi padang bungkus yang ia beli untuk Dhimas. Mengetahui temperatur teh tawar itu masih cukup hangat, alih-alih menyerahkannya pada Dhimas untuk diminum, gadis itu justru meraih kedua tangan Dhimas dan membuat pemuda itu menangkup seplastik teh tawar hangat itu.
Dhimas memandang Aghniya bingung, memikirkan maksud gadis itu. “Biar apa nih?”
Gadis itu mendongak menatap Dhimas sambil cengegesan. “Hehe, masih panas tehnya kalo diminum, mending dipake begini, biar tangan lo anget. Dingin kan pasti di sini setiap hari?”
“Kok nggak pake jaket atau baju panjang gitu sih, Dhim? Lo nggak pulang ya? Terus mandi nggak? Emang nggak lengket badannya? Nggak meriang? Lo kedinginan nggak? Lo kok nggak makan sih? Emang dari sini nggak dikasih makan? Yah gue nggak bawa jaket lagi, Dhim. Lo dingin banget nggak? Badan lo kaku gitu nggak? Tangan gue suka agak kaku tau kalo udah kena AC lama-lama,” Aghniya terus meracau. Dhimas hanya memandangi gadis itu sambil diam-diam menikmati hangat yang menjalar melalui telapak tangannya. Nyaman. Rupanya selain telapak tangannya, hatinya ikut menghangat. Mendengarkan celotehan gadis di hadapannya yang menanyakan semua hal yang bahkan tak Dhimas sadari.
Aghniya benar, sudah berhari-hari ia di sini. Merasakan dinginnya rumah sakit dengan perut kosong dan tubuh yang tidak terlindungi pakaian hangat. Dhimas bahkan tidak ingat kapan terakhir kali mencuci wajahnya. Prinsipnya sejak tiba di tempat ini adalah selalu berada di sisi mama, tidak boleh melewatkan barang sedetikpun.
“Dah, kayaknya udah nggak terlalu panas. Minum, nih. Biar perutnya juga anget. Tadi pas gue minta minumnya abangnya baru kelar ngerebus aer soalnya.”
Seketika Dhimas kembali tersadar dari lamunannya. Ia berdeham sebelum membalas perkataan Aghniya. “Lo beli nasi padang di mana?”
“Yang deket sekolaaaah, tau kan? Yang serba sepuluh ribu,” jawabnya dengan wajah yang masih ceria. Dhimas terkekeh, “Pelit lu ya, beliin gue makan cuma ceban.”
Seketika gadis itu mendelik, “Kok lo nggak tau terima kasih?”
“Gue taunya terima gaji,” canda Dhimas. Aghniya tak menanggapi, gadis itu membiarkan Dhimas meminum teh tawar hangat yang ia bawakan.
Dhimas menghela napas panjang setelah meneguk habis sebungkus teh tawar hangat. Dirinya merasa sangat enakan dan jauh lebih baik. Perutnya terisi, pening di kepalanya tak lagi mengganggu, dan tubuhnya terasa hangat. Ia lalu memasukkan sampah plastik bekas minumannya ke dalam plastik yang lebih besar, menyatukannya dengan sampah nasi yang sebelumnya lalu mengikatnya rapi.
“Duduk aja, sini gue yang buang. Tong sampah di mana?” tanya Aghniya.
“Kiri sono,” jawab Dhimas. Lalu gadis itu bergegas membuang sampah, kemudian kembali dengan berlari-lari kecil.
“Kenapa sih harus lari-larian? Bocah banget dah, heran.”
“Kelamaan banget anjir kalo jalan biasa, nggak suka,” jawab Aghniya seraya kembali ke tempat duduknya di sebelah Dhimas.
Hening mengisi. Keduanya diam di tempat masing-masing.
“Dari kapan, Dhim?” tanya Aghniya pada akhirnya. Gadis itu memilih memberanikan diri menanyakan hal ini.
“Apa?”
“Itu.. Tante..”
Dhimas menangkap maksud Aghniya, “Ooh. Dari yang waktu lo chat gue malem-malem mau cerita tapi gue bilang gue masih di luar.”
“Hah? Udah lumayan lamaa donggg? Kok nggak cerita sihhhh?”
Dhimas terkekeh pelan, namun Aghniya tetap menangkap keputusasaan yang tersirat di dalam sana. “Nggak tau. Nggak tau kenapa nggak cerita. Gue nggak pernah merasa harus nyeritain masalah gue ke orang lain.”
Aghniya lantas diam dan menunduk. “Sampe akhirnya gue sadar kalo gue nggak bisa sendirian. Berat, Agh. Ternyata kepenuhan kalo disimpen sendiri. Baru deh, gue ngasih tau lo,” lanjut Dhimas, membuat Aghniya kembali menatapnya.
Gadis itu menghela napas, “Kenapa bisa— eh, nggak jadi deh.”
“Kenapa bisa Mama kecelakaan?” tembak Dhimas. Gadis itu mengangguk kaku.
“Pulang ngantor, ngelewatin perempatan di jalan gede. Mama jalan soalnya udah lampu ijo, tiba-tiba ada mobil ngebut dari arah berlawanan. Kayaknya sih remnya blong, soalnya harusnya dia berenti tapi ini malah ngebut. Ya udah, kena Mama.”
“Ya Allah.. terus yang nabrak tanggung jawab nggak, Dhim?” tanya Aghniya.
“Tanggung jawab, kok. Ini dia yang nanggung biaya rumah sakitnya sampe Mama sembuh. Kayaknya yang nabrak orang kaya gitu, cuma gue rasa dia juga pengen dicelakain orang. Makanya remnya dibikin blong.”
Aghniya mengangguk paham. “Syukur deh kalo dia tanggung jawab.”
“Yang nabraknya suka ke sini juga nggak, Dhim?”
Dhimas mengangguk, “Suka. Suka bawain gue makanan. Tapi nggak pernah gue makan. Nggak mood.”
“Dih, badung lo!”
“Gue maunya nasi padang ceban, bukan nasi bento mahal,” canda Dhimas.
“Oh iya ya, selera lo kan lokal ya, Dhim.”
Dhimas tertawa kecil pada akhirnya, “Bener banget.”
“Alias kamseupay!” tambah Aghniya yang dibalas kekehan Dhimas.
“Lo— kapan mau sekolah?”
“Tunggu Mama sembuh,” jawab Dhimas.
“Ah.. iya. Besok sembuh. Besok sekolah, ya?”
“Iya. Besok sekolah. Besok Mama sembuh,” jawab Dhimas yakin. Lebih tepatnya, berusaha yakin.
“Tugas selama lo nggak masuk gimana tuh, Dhim?” tanya Aghniya.
“Gue kerjain, kok di sini. Yang nabrak itu namanya Pak Rusli, supirnya sih yang nabrak, pas lagi nyetirin si Pak Rusli ini. Pak Rusli selalu bilang kalo butuh apa-apa bilang aja, nah gue minta tolong bawain buku gue ke sini aja sih kadang,” ujar Dhimas. “biar nggak keteteran banget pas masuk nanti,” lanjutnya.
“Keren.”
“Emang, lo baru tau?” balas Dhimas.
“Najis.”
“Kok lo nggak konsisten?” ucap Dhimas tak terima.
“Konsisten hanya pada Damar.”
“Goblok.”
Aghniya hanya tertawa. Kalau Dhimas sudah mengumpat, tandanya pria itu sudah mulai membaik.
“Lo nggak balik?” tanya Dhimas.
“Ngusir, Sob?”
“Nah, itu lo tau,” balas Dhimas sambil terkekeh. “kagak, lah. Maksud gue mending lo pulang. Pasti lo capek juga sekolah. Besok-besok ke sini lagi boleh,” lanjut Dhimas.
“Nggak, ah. Capekan lo nggak sih? Mending lo tidur, muka lo udah jelek banget. Tidur sebentar, Mama lo biar gue yang jagain. Oke nggak?”
“Enggak. Lo pulang aja sana. Beneran deh, besok-besok boleh ke sini lagi,” ujar Dhimas.
“Gue udah tidur tadi, Aghniya. Lo liat sendiri tadi gue udah makan, udah minum teh anget. Pulang sonoooo!” ujar Dhimas masih berusaha meyakinkan gadis itu untuk pulang.
“Beneran?” tanya Aghniya.
“Iyeee.”
Aghniya mengembuskan napas berat, sejujurnya ia tak rela meninggalkan Dhimas sendirian. Bagaimanapun juga Dhimas pasti memerlukan seorang teman. Namun, gadis itu juga tak ingin memaksanya bercerita. Gadis itu tak ingin membuat Dhimas kembali harus mengingat hal buruk yang menimpa ibunya. Gadis itu tak ingin membuat Dhimas kembali terfokus pada pikiran negatif yang menyelimutinya.
Tentu saja Aghniya ingin Dhimas mengeluarkan keluh kesahnya. Gadis itu paham, Dhimas sudah menyimpan terlalu banyak hingga pasti tak ada lagi ruang untuknya bernapas sejenak. Namun Aghniya tak ingin memaksa. Biarlah Dhimas mengatakannya kapanpun yang ia kehendaki. Tugasnya hanya memposisikan dirinya pada posisi siap, siap mendengarkan keluh kesah pemuda itu kapanpun diminta.
“Ya udah nih, pulang, nih,” ujar Aghniya.
“Iya sana pulang. Makasih yaa udah jenguk Mama gue. Doain biar cepet sadar, cepet sembuh,” balas Dhimas.
“Pasti, lah. Ya udah, balik yaa?” pamit Aghniya.
“Yoo, hati-hati. Jangan nunggu ojol di tempat sepi, kalo bisa deket-deket satpam. Kalo ada apa-apa telepon gue,” balas Dhimas.
“Iyaa,” jawab Aghniya seadanya. “Istirahat ya, Dhimas!”
“Kan gue bilang udah tidur,” balasnya.”
“Bukan badannya doang yang disuruh istirahat, pikiran sama hatinya juga. Harus baik-baik. Sehat ya? Jangan sakit! Inget, besok sekolah!” ucap Aghniya. Setelahnya dengan riang, gadis itu berpamitan pada Dhimas seraya melambaikan tangannya dengan semangat. Meninggalkan Dhimas dengan segala keterkejutannya.
Dhimas memandangi punggung Aghniya yang semakin menjauh. Langkah ringan yang sesekali harus terhenti karena gadis itu membenahi ransel di pundaknya membuat Dhimas terkekeh pelan. Setelahnya tersenyum tipis seraya mengangguk.
Even on his darkest days, she's there to lighten up the mood. She's there. She's always there.