Wise Words
Damar sedang bersandar di tempat tidurnya, larut dalam pikirannya. Pria itu masih memikirkan pesan Revan. Meskipun nampak berani membalas pesan-pesan menjatuhkan itu, Damar tetap saja manusia biasa, yang bisa terserang pikirannya akibat kata-kata Revan yang memang menjebak.
Damar bingung, dirinya menjadi ragu. Haruskah ia teruskan langkahnya, atau haruskah ia berhenti dan membiarkan Dhimas mengejar Aghniya.
Damar bermonolog dalam hatinya. Kalau dipikir-pikir, memang benar yang dikatakan Revan. Seringkali Damar melihat Aghniya begitu khawatir terhadap Dhimas. Ketika pria itu terluka, ketika Dhimas terjatuh, ketika Dhimas menjadi lebih banyak diam, dan lain-lain.
Kemudian Damar teringat peristiwa paling kelam dalam hidup Dhimas. Ketika sahabatnya itu harus menghadapi perpisahan dengan sang ayah saat mereka duduk di bangku kelas sepuluh. Dhimas yang jarang menangis, bahkan hampir tidak pernah, kala itu Damar melihatnya menangis keras hingga wajahnya merah padam.
Terekam jelas dalam ingatannya, Dhimas menangis keras di pundak Aghniya. Membasahi seragam gadis itu tanpa ragu, sebelah tangannya meremas tangan Aghniya kuat. Dan gadis itu tanpa sungkan mengusap-usap pundak Dhimas, menyalurkan ketenangan lewat sana.
Damar ragu, kali ini rasanya Revan benar. Bahkan sudah banyak orang di sekolahnya yang mengharapkan Dhimas dan Aghniya bersama. Bahkan sudah banyak orang yang mendukung hubungan keduanya.
Revan benar, kalau bicara soal Aghniya, rasanya Dhimas yang selalu menang.
Damar mengacak-acak rambutnya gusar. Entah mengapa dirinya merasa marah, kesal, dan sedikit kecewa. Ia berguling-guling kesana-kemari.
“Ah anjir gue kok kesel banget dah!”
“Heh! Buocah dipanggilin dari tadi nggak ada jawab-jawabnya!” Wulan tiba-tiba membuka pintu.
“Hah? Siapa yang manggil?” jawab Damar bingung.
“Aku!”
“Kenapa, Mbak? Damar nggak denger lho, asli!” jawab Damar.
“Astaghfirullah, aku manggilin kamu berkali-kali, Damaar!”
“Ahahaha, nggak denger. Kenapaaaa, Mbak eee?” jawab Damar.
“Temenin aku nyari jajan mau nggak?”
“Ah, lagi bad mood nih!” jawab Damar.
“Dibayarin nggak mau?”
“Enggak, deh. Bete,” jawab Damar lagi.
“Kenapa? Tumbenan?”
“Hadaaaaaaaaaah! Sebel deh, Mbak, pokoknya!” balas Damar.
Wulan memilih melipat kedua tangannya di depan dada, menyilangkan kakinya sambil bersandar di depan pintu kamar Damar. “Kenapa?”
Damar mengerucutkan bibirnya, lalu menghela napas. Dirinya memang selalu tertutup pada orang lain, hanya Wulan, kakak sepupunya-lah yang bisa membuatnya nyaman bercerita. Itulah sebabnya Damar sejujurnya terkejut ketika dirinya merasakan kenyamanan yang sama ketika mengutarakan isi kepalanya pada Aghniya.
“Jadi gini, Mbak..”
“Gitu.”
“Kamu beneran tak lempar sendal ya nanti!” balas Wulan. “Yang bener nggak?!”
“Jahahahah kesel. Iya iya. Jadi begini..”
Damar memulai ceritanya, mengenai gadis yang mengisi hatinya belakangan ini. Mengenalkan sosok gadis itu pada sang kakak sepupu, perihal cantiknya, kelakuan manisnya, dan kebaikannya. Mengenalkan pula keadaan di tengah-tengah keduanya. Bagaimana Aghniya begitu dekat dengan sahabatnya sendiri, sangat dekat hingga siapapun yang melihatnya pasti mengira keduanya adalah sepasang kekasih. Mengenalkan pula apa yang membuatnya mendadak ragu, kata-kata Revan yang menyerangnya kali ini.
Wulan menyimak dengan seksama, mendengarkan setiap tutur Damar yang memenuhi indra pendengarannya. Sesekali Wulan tersenyum tipis menahan tawanya lantaran gemas melihat adik sepupunya jatuh cinta.
Damar selesai dengan ceritanya, pemuda itu menatap ke arah Wulan yang terlihat berpikir sebelum bicara. Damar bersiap-siap, ia tahu sebentar lagi pasti akan mendengarkan perkataan Wulan yang selalu berhasil mengalahkan gundahnya, menenangkan hatinya, dan membuka pikirannya.
“Kamu kenapa percaya temenmu yang bilang si Dhimas-Dhimas itu bakal menang terus?” tanya Wulan.
“Ya soalnya emang bener, Mbak. Nggak jarang Damar liat si dia tuh khawatir banget kalo Dhimas kenapa-napa, pokoknya mereka deket banget deh!”
“Terus kamu ngeraguin Dhimas nih ceritanya?” tanya Wulan lagi.
“Iyaaaa....? Mungkin.. Damar juga nggak tau.”
“Dam, kamu tadi yang bilang waktu itu Dhimas pernah cerita kenapa Revan putus sama Aghni, kan? Menurut Mbak, ceritanya Dhimas rinci banget, loh. Sementara Revan cuma bilang bukan karena dia brengsek, tanpa ngasih bukti apapun. Dan kamu juga bilang, kamu juga udah apal banget kan Revan orangnya gimana? Terus apa yang bikin ragu? Menurut Mbak itu udah cukup jelas menentukan kamu harus percaya siapa,” jelas Wulan.
“Tapi kan, Mbakkk—”
“Iyaa, Mbak ngerti. Mbak ngerti kamu cemburu sama temenmu sendiri. Karena dia lebih bisa deket sama doimu itu,” potong Wulan cepat.
“Hah? Apaannnn?! Enggak!”
“Ealah, itu namanya cemburu, Dam. Wajar ituu. Tapi menurut Mbak, jangan sampe pertemananmu yang rusak gara-gara hasutan orang yang kedengeran meyakinkan kayak gitu. Sayang banget. Temen-temenmu baik banget, kan?” ujar Wulan.
“Banget, Mbak. Makanya Damar nggak ngerti lagi deh kalo sampe ternyata Dhimas sama Damar suka sama orang yang sama,” balas Damar.
“Mbak tau kan? Kata orang cewek sama cowok nggak mungkin temenan tanpa ada perasaan gitu. Iya deh, kayaknya bener kata Mbak. Damar takut..”
Wulan tersenyum puas. Setelahnya ia tertawa keras. “Ih, lucu beneran! Lucu banget liat kamu begini! Sebelum-sebelumnya nggak pernah! Aduhhh, jadi pengen kenalan sama doimu. Hebat ya, bikin Yudhistira Damar begini.”
“Tuh, udah curiga aku. Pasti Mbak mau ngeledek doang,” kesal Damar.
“Maaf, maaf. Woooo ngambek? Dibercandain dikit aja ngambeeeek! Tapi iya sih bener, kayaknya temenmu sama doimu itu emang saling sayang.”
“DEMI APA SIH MBAKKKKKKKK???????”
“IYAAAA YA AMPUN BENERAN DEH DAM KAMU BERTEPUK SEBELAH TANGAN!!”
“MBAK YANG BENER AH! Beneran nggak sih...”
“Ahahahaha, enggak lah, bercanda,” jawab Wulan santai.
“MBAAAAAAAAK YA ALLAH!”
“Ya Mbak nggak tau, tanya langsung sama temenmu. Jangan pake tebak-tebakan sendiri, nanti berantem. Perasaan manusia nggak ada yang bisa nebak, sayang juga cakupannya luas, Damar. Nggak melulu soal perasaan yang kamu rasain ke Aghni. Mbak sayang sama kamu, tapi rasanya beda kan kayak rasa sayangmu ke Aghni? Mungkin Dhimas sayang sama Aghni, mungkin juga sebaliknya. Tapi sayang yang gimana dulu?” jelas Wulan.
Damar terdiam. Wulan benar, menyayangi seseorang tak selamanya perihal kupu-kupu yang hinggap di perut.
Wulan benar, perasaan manusia begitu luas. Begitu luas hingga Damar tak seharusnya membatasi dan menyamaratakan perasaannya dengan semua orang. Wulan benar, Dhimas mungkin menyayangi Aghni sama besarnya seperti dirinya. Mungkin juga sebaliknya. Namun, tak menutup kemungkinan perasaan Damar dan Dhimas berbeda.
Damar menyayangi Aghni dengan kupu-kupu yang selalu hadir menemani. Mungkin Dhimas menyayangi gadis itu dengan perasaan ingin melindungi yang selalu hadir menemani.
“Jangan didengerin. Kamu yang bilang Revan nggak penting, kenapa dipikirin?” Wulan berbicara lagi. Memecah lamunan Damar.
“Yaa... Nggak tau...”
“Satu lagi, kamu lebih percaya Dhimas yang udah lama jadi temenmu apa Revan yang udah lama jadi musuhmu?” tanya Wulan.
“Bener juga..”
“Aaaaah nggak jelas! Udah ayo, mending temenin aku jajan. Pegel aku berdiri,” titah Wulan.
“Idih, yang nyuruh berdiri situ siapaaaa coba?”
“Buruaaaaaan!”
“Bawellllll!”