Whole Family (2)

Aghniya dan Aji sudah kembali ke rumah. Keduanya baru saja sampai. Aghniya keluar dari mobil lebih dulu, disusul oleh Aji.

“Assalamu'alaikum,” keduanya mengucap salam bersamaan. Tak lama muncul Ayna yang sejak tadi menjadi satu-satunya orang yang berada di rumah. Wanita itu membukakan pintu, menyambut anak dan suaminya yang pergi berdua.

“Wa'alaikumussalam, lhooo udah pada pulang? Kirain pulangnya nanti agak maleman,” ujar Ayna di ambang pintu.

“Nggak tau, Bun. Kata Papa jam besuknya udah abis,” jawab Aghniya.

“Oohh gitu, ya udah masuk. Cuci tangan, cuci kaki, ganti baju,” titah Ayna pada keduanya. Membuat Aji dan Aghniya bergegas melangkah masuk.

Belum sempat keluarga kecil itu kembali masuk ke rumah mereka, suara motor seseorang yang berhenti tepat di depan pagar berhasil menarik atensi ketiganya. Baik Aji, Ayna, maupun Aghniya sama-sama menoleh ke sumber suara.

“Dhimas?” tebak Aghniya. Gadis itu mengenali helm yang biasa pemuda itu pakai. Juga suara motornya.

Tebakannya benar, Dhimas rupanya menyusul Aji dan Aghniya. Pemuda itu meletakkan helmnya di kaca spion motornya. Kemudian menghampiri Aji.

“Assalamu'alaikum,” ucapnya yang kemudian dijawab serentak oleh Aji dan keluarganya.

“Kenapa, Dhim?” tanya Aji.

Dhimas tak langsung menjawab. Pria itu hanya diam, berdiri di tempatnya. Pandangannya ia tundukkan, memilih menatap kedua kakinya yang turut gemetar.

“Om Aji,” panggilnya. Aji memilih untuk mendengarkan. “berat.. Dhimas nggak kuat,” lanjutnya.

“Kata Om Aji Dhimas boleh pulang ke sini, kan?”

Penuturan Dhimas membuat Aji dan keluarga kecilnya tercengang. Ketiganya menatap sendu pada Dhimas masih tak beranjak dari tempatnya. Aghniya tahu, pemuda itu selalu berusaha untuk terlihat tegar. Namun sepertinya kali ini kekuatannya habis.

Dhimas memilih menjadi dirinya sendiri malam ini. Bukan Dhimas yang tak pernah terlihat menangis, bukan Dhimas yang selalu samarkan sedih dengan tawanya sendiri, bukan Dhimas yang mengusahakan bahagia orang lain tanpa mengusahakan bahagia untuk dirinya sendiri, bukan Dhimas yang terlihat tanpa masalah.

Dhimas memilih menjadi dirinya sendiri malam ini. Yang juga miliki hak atas tangis, yang juga miliki hak atas peluk paling hangat, yang juga miliki hak atas kesempatan untuk utarakan keluh dan kesah, yang juga miliki hak untuk beristirahat dari segala hal yang berenang di kepala.

“Boleh. Dhimas boleh pulang ke sini,” sahut Aji.

“Dhimas takut, Om. Dhimas capek. Dhimas takut sendirian, Dhimas takut Mama kenapa-napa,” ujarnya dengan suara bergetar. Aji masih diam dan mendengarkan setiap tutur yang diucap Dhimas.

“Dhimas udah nggak punya Ayah. Dhimas nggak mau ada difase itu lagi, Om. Dhimas takut sendirian. Dhimas cuma punya Mama, nggak ada lagi..”

“Om, kalo Mama nggak ada— Dhimas nggak bisa apa-apa. Dhimas—”

Aji memutus ucapan Dhimas dengan menariknya ke dalam pelukan, tak ingin pemuda itu berbicara lebih lanjut perihal kemungkinan paling buruk yang bisa ia hadapi.

“Jangan ngomong gitu. Nggak boleh berburuk sangka sama Tuhan. Pasti Dhimas bisa lewatin ini, Mama Dhimas juga pasti bisa,” ujar Aji.

“Lepas, kalo mau nangis jangan ditahan. Om Aji tau Dhimas sekuat apa, nangis bukan berarti lemah, Dhim. Om Aji juga pernah nangis. Manusia nggak harus kuat setiap hari, Dhimas. Nggak pa-pa kok kalo dibagi ceritanya ke orang lain, nggak pa-pa kalo Dhimas mau bagi ke Om Aji, atau ke Aghni. Boleh, boleh banget.”

Tumpah. Tangis yang ia sembunyikan selama ini tumpah pada akhirnya. Perlakuan Aji membuatnya tak sanggup lagi bersikap tegar. Perlakuan Aji membuatnya merasa kembali memiliki sosok ayah yang sama ini selalu ia harapkan ada untuknya. Sosok ayah yang tak lagi ia dapatkan sejak satu tahun yang lalu. Sosok ayah yang selalu merengkuh dirinya ketika miliki sesuatu yang tak sanggup ia pikul sendiri.

Aghniya tahu Dhimas hampir tidak pernah menangis. Dimaki sekeras apapun, dihina sekasar apapun, diperlakukan seburuk apapun, pria itu tak akan menangis.

Dhimas tidak ikut menangis kala semua temannya menangis entah untuk alasan apapun, malah Dhimas menjadi orang yang berperan menyuntikkan semangat pada semua orang.

Namun kali ini, Dhimas Wijaya kembali menangis. Seperti anak umur lima tahun takut kehilangan balon, Dhimas pun takut kehilangan miliknya yang berharga.

Dhimas menangis keras dalam pelukan Aji, memposisikan dirinya sebagai seorang anak laki-laki yang kembali temukan jalan pulang. Sebagai anak laki-laki yang kembali miliki benteng pertahanan untuk berlindung.

Dhimas menangis keras. Bahunya bergetar hebat. Matanya yang bahkan belum selesai hilangkan bengkak akibat tangis sebelumnya itu kembali keluarkan air mata. Bibirnya tak mengeluarkan kata-kata, hanya suara tangis memilukan yang terdengar dari pria itu.

Aji pun tak bersuara, lelaki itu memilih untuk mengusap-usap kepala Dhimas penuh sayang. Memperlakukannya seperti anak laki-lakinya sendiri. Merengkuhnya kuat dengan sebelah tangannya, menyangga punggung kokoh yang selama ini berusaha berdiri sendiri.

Dhimas menangis seperti tak ada lagi kesempatan untuk menangis dikemudian hari. Ia terus membasahi baju Aji dengan air matanya, namun Aji sama sekali tak merasa keberatan.

Semenjak mendengar berita tentang wafatnya ayah Dhimas melalui anaknya sendiri, Aji paham, menjadi anak satu-satunya dengan orang tua yang juga tinggal satu-satunya bukanlah hal mudah. Terlebih, Dhimas adalah laki-laki. Aji tahu suatu saat hidup akan terasa berat untuk Dhimas lalui. Dan dugaannya benar.

Setelah puas menangis, juga lelah menangis, tangisan Dhimas mereda. Kesempatan itu barulah Aji gunakan untuk bicara.

“Dhimas,” panggilnya. “Tau kenapa Om Aji izinin Dhimas pulang ke sini?”

Yang ditanya menghela napas terlebih dulu, kembali mengendalikan diri agar menjadi tenang. Setelahnya ia menggeleng.

“Enggak, Om,” jawabnya dengan suara bergetar.

Aji mengangguk disertai senyuman tipis yang terpatri di wajahnya, “Karena kami bertiga juga keluarganya Dhimas.”

“Om Aji, Bunay, Aghni, itu keluarganya Dhimas juga. Dhimas nggak akan sendirian. Jangan pernah merasa sendirian. Nangis aja, lepasin semuanya. Dhimas tetep hebat karena bertahan sejauh ini.”

“Sini, biasanya di rumah ini, kalo ada anak keren harus dikasih peluk,” ucap Aji. Kemudian kembali menarik Dhimas ke dalam dekapannya. Dhimas terkekeh meski air mata masih menggenang di pelupuk matanya. Dengan segera ia menelusup ke dalam pelukan Aji.

Group Hug!” seru Aghniya girang, gadis yang sedari tadi hanya memperhatikan dari dekat pintu bersama ibunya itu segera berlari. Menyelipkan dirinya di tengah-tengah Dhimas dan papanya sendiri.

“Rusuh, nih!” ucap Dhimas.

“Bodo amat! Bunaaaay sini ikutaaaaaan!” ajaknya pada Ayna yang masih diam di tempatnya. Wanita itu pada akhirnya tertawa, kemudian menghampiri keluarga kecilnya yang selalu membuat hatinya menghangat entah dengan cara apa.

Tangan Aji yang panjang ia gunakan untuk merengkuh seluruh keluarganya. Menjaganya dengan sepenuh hati agar selalu lengkap.

Aji menjaga keluarganya, seluruh keluarganya. Termasuk Dhimas.