Sidang

Aji langsung masuk ke rumah setelah memarkir mobilnya dengan rapi di halaman rumah. Kali ini orang pertama yang dicarinya adalah anak satu-satunya. Berdasarkan informasi yang ia dapat melalui Ayna, anaknya itu terlibat pertengkaran dengan salah satu temannya.

“Aghni,” panggilnya.

Secepat kilat, Aghniya menjawab panggilan sang papa. Kemudian berlali menghampirinya. Gadis itu menyalami tangan Aji sebelum Aji menahannya dengan pertanyaan yang sudah Aghniya tebak sebelumnya.

“Tadi kata Bunay, kamu berantem?” tanya Aji.

“Iya..”

Aji menghela napasnya, “Duduk situ. Papa mandi dulu, jangan kemana-mana!”

Sambil mengerutkan bibir, Aghniya menuruti perkataan Aji. Gadis itu duduk di meja makan sambil menunduk, tak lupa memainkan jemarinya untuk mengurangi rasa gugupnya.

Setelah menunggu cukup lama, Aji kembali ke hadapan anaknya. Kali ini ia muncul dengan pakaian yang jauh lebih santai. Ia memakai baju tidur dengan lengan panjang. Bersama Ayna, Aji duduk dan memulai pertanyaannya.

“Coba ngomong, kenapa bisa kamu sampe berantem?” tanya Aji.

Aghniya menelan ludah sebelum bicara, “Dianya mulai duluan, Pa.”

“Ya mulai gimana? Kalo ngasih penjelasan tuh yang jelas, yang rinci. Gimana Papa bisa ngerti kalo kamu cuma jawab kayak gitu?” balas Aji. Tatapan tajamnya itu tentu saja tak tertinggal.

“Ya dia ngatain aku.”

“Ngatain apa?” tanya Aji lagi.

Aghniya melirik ke arah ibunya sebelum menjawab. Gadis itu tahu, ini akan terdengar menyakitkan bagi ibunya. Aghniya tahu, Ayna akan menangis jika mengetahui ada seseorang yang mengatakan anaknya adalah seseorang yang murahan.

“Murahan.”

Aji membelalakkan matanya, terlebih Ayna. Satu kata dari mulut anaknya membuat pria itu langsung terdiam. Sementara Ayna mulai berkaca-kaca. Aghniya hanya menunduk, inilah sebabnya ia tidak menceritakan secara rinci pada ibunya.

“K-kok jahat banget?” tanya Ayna. Suaranya terdengar bergetar.

“Iyaa, dia nggak suka aku temenan sama cowok yang dia suka, Bun. Tapi aghni nggak pa-pa kok, asli. Aku nggak sakit hati, tadi aghni marah karena dianya lama-lama rusuh ajaa ganggu aghni mau makan,” jawab Aghniya bohong.

“Kamu nggak sakit hati tapi Bunay yang sakit hati, Sayang! Emangnya dia nggak diajarin sopan santun sama orang tuanya apa gimana sih?” balas Ayna.

Aji mengelus surai panjang Ayna, menenangkan istrinya. “Ay, kamu ke kamar aja, gih. Biar aku yang ngomong sama Aghni.”

“Loh, tapi kan, Mas—”

“Ay, ke kamar ya?” perintahnya halus. “Nanti kamu makin kepikiran, biar ini jadi urusan aku.”

Akhirnya Ayna menyerah. Wanita itu memilih pergi dan membiarkan suaminya mengurus hal ini.

Setelah Ayna benar-benar pergi, Aji kembali bicara. “Serius dia ngatain kamu begitu?”

“Beneran, Pa. Tapi beneran juga, Aghni nggak semarah itu pas dia katain. Cuma sebel aja karena emang annoying.”

Aji mengangguk-angguk, “Terus yang bikin marah apa?”

“Ya dia nyakar aku, Pa. Liat nih, jadi kayak Sherina gini. Terus—” Aghniya menggantung ucapannya. Gadis itu memajukan tubuhnya dan memutuskan untuk bicara se-pelan mungkin agar ibunya itu tak mendengar.

“Dia juga ngatain Bunay murahan..”

Aji lagi-lagi terkejut. Dirinya mendadak ingin marah. Tidak ada yang boleh berkata seperti itu pada orang yang benar-benar dicintainya. Sejujurnya Aji berniat memarahi Aghniya kala ia mendengar anaknya itu terlibat pertengkaran. Namun, setelah ia mengetahui alasannya, Aji mengerti mengapa anaknya itu menjadi marah besar.

Aji dan Aghniya seperti dua orang yang sama. Keduanya benar-benar akan melindungi Ayna dengan cara apapun. Keduanya menyayangi Ayna dengan sungguh-sungguh, hingga tidak ada yang boleh menyakiti wanita itu.

Dan Salsa tentu saja membuat kesalahan besar dengan menghina Ayna di hadapan Aghniya.

Aji menghembuskan napas kasar, “Kamu apain anaknya?”

“Aku dorong doang, Pa. Nggak sampe aku gampar, kok. Cuma aku tadi sempet ngebalik meja, terus kena kaki dia. Terus anaknya aku bentak-bentak aja, aku tantangin doang.”

Aji mengangguk, setelahnya hanya diam.

“Maaf ya, Pa..” ucap Aghniya tulus. Bagaimanapun juga ia benar-benar merasa malu, juga merasa bersalah pada kedua orang tuanya, takut membuat keduanya malu.

“Kenapa minta maaf?”

“Aku nggak bisa kontrol emosi hari ini. Maaf hari ini bikin Bunay sama Papaji malu,” jawab Aghniya sambil menunduk.

Aji menggeleng, “Enggak. Kamu nggak pernah bikin Papa sama Bunay malu, kok. Papa ngerti kenapa kamu marah.”

Aghniya mendongak, menatap Aji dengan tatapan kebingungan. “Nggak marah, Pa?”

“Papa marah kalo kamu mulai duluan. Itu baru bikin Papa sama Bunay malu,” jawab Aji.

“Udah, istirahat gih. Udah makan belom?” tanya Aji.

“Hah? Pa seriusan nggak marah?”

“Enggak, Sayang. Emang maunya dimarahin?” tanya Aji.

“ENGGAK.”

Aji terkekeh, lalu bangkit dan menepuk-nepuk kepala anak perempuannya, “Heads up, anak Papaji nggak boleh jatuh cuma karena dihina begini ya?”

Aghniya mendongak, lalu tersenyum kepada sang papa. Kemudian mengangguk semangat. Dalam hatinya dipenuhi rasa syukur lantaran memiliki kedua orang tua yang selalu bisa menambah rasa percaya dirinya. Tentu saja ia juga merasa lega karena lolos persidangan Aji.