Whole Family
Aghniya memang benar-benar pulang ketika Dhimas memintanya. Namun, satu jam kemudian, gadis itu kembali lagi. Kali ini bersama Aji, pasangan ayah dan anak itu membawakan Dhimas makan malam masakan Ayna. Membuat Dhimas sama sekali tidak dapat menolak.
“Ya ampun, Om Aji. Jadi repot-repot ke sini. Ni emang anaknya berulah mulu, Om. Karungin aja, lah!” ujar Dhimas.
Aji terkekeh, “Iya, besok Om karungin. Lagian nggak repot, kok. Om Aji yang ngajak Aghni balik lagi ke sini.”
Dhimas terperangah sejenak, “Hah? K-kenapa emang, Om?”
“Soalnya katanya Dhimas di sini udah hampir seminggu ya? Nggak masuk sekolah?” tanya Aji.
“Ohh, hehe. Iya, Om. Dhimas udah ngasih surat, kok. Cuma ya, Dhimas nggak pake tanda tangan orang tua atau wali gitu. Bodo deh, terserah aja sekolah mau absen Dhimas gimana,” jawabnya.
Aji menoleh pada Aghniya, “Dhimas diabsen apa Agh di sekolah?”
“Aman, Pa. Izinnya diterima sekolah, kok. Kayaknya sekolah ngertiin keadaannya Dhimas. Soalnya dari kemaren guru-guru nggak mempermasalahkan, sih,” jawab Aghniya.
Aji mengangguk-angguk. “Makan, Dhim.”
“Iya, Om. Buat nanti maleman aja, Dhimas masih kenyang. Tadi dibawain nasi padang sama Aghni.”
“Bener masih kenyang?” tanya Aji.
“Boong pasti, Pa! Biasanya perut karet luuuu! Gengsi aja ini mah,” celetuk Aghniya.
“Sembarangan, eluu karet! Gue lagi makan lo mintain suka nggak berasa tiba-tiba masa abisnya sama dia, Om!” adu Dhimas pada Aji. Kini keduanya terlihat seperti anak kembar yang saling mengadu pada papanya.
Aji terkekeh pelan, “Ssst! Udah, udah. Rumah sakit, nggak boleh berisik.”
“Itu Mama kondisinya gimana, Dhim? Udah ada perkembangan?” tanya Aji.
“Kata dokter, Mama banyak luka dalam, Om. Katanya kira-kira banyak benturan di dada sama perut. Sama tulang pundaknya ada yang geser. Tapi alhamdulilah-nya kepala aman, Om. Soalnya pake helm. Tapi ya.. gitu..”
“Dhimas juga nggak tau sih kondisi Mama waktu itu kayak gimana, pas Dhimas nerima kabar dan dateng ke sini, Mama udah begini. Nggak sadar terus harus pake alat pernapasan. Dhimas juga nggak berani nanya-nanya dokter, takut...”
Baik Aji maupun Aghniya, keduanya terdiam mendengar penuturan Dhimas. Namun, detik berikutnya Aghniya menepuk-nepuk pundak Dhimas. “Tenanggg, besok kan sekolaaaah! Besok Mama sembuh, kan? Tadi kan udah janjiaan!”
Dhimas tersenyum tipis menanggapi ucapan Aghniya. “Oh iya ya, Bre. Bener, bener. Besok sekolah!”
Aji ikut tersenyum melihat interaksi keduanya. Setelahnya, ia berniat bicara berdua dengan Dhimas. Sehingga Aji beralibi, meminta Aghniya membelikannya roti untuk dirinya.
“Aghni, tolong ke bawah dong, Nak. Tadi kan di bawah ada yang jual roti, deket meja informasi tadi Aghni liat, kan?” tanya Aji. Aghniya mengangguk. “Nah, tolong beliin Papa roti, ya! Laper.”
“Lah, tadi kurang, Pa makannya?”
“Iya, masih kurang. Tolong ya, Sayang,” ujar Aji sembari menyerahkan selembar uang lima puluh ribu pada anaknya itu.
Setelah Aghniya menghilang dari pandangan keduanya, Aji menepuk pundak Dhimas. “Masih kuat?”
“Hah? Apanya Om?” tanya Dhimas.
“Pundaknya. Masih kuat buat mikul beban sendirian?”
Dhimas terdiam mendengar pertanyaan Aji. Kalau boleh jujur, jawabannya tidak. Dhimas tidak kuat. Dhimas merasa dirinya lemah. Sejujurnya ia takut, sangat. Takut kehilangan, takut kesendirian, takut akan segala kemungkinan buruk yang bisa saja terjadi dalam hidupnya.
Kalau boleh jujur, Dhimas sangat ingin menangis. Dhimas merasa sangat bersalah lantaran mamanya mengalami kecelakaan sepulang menjalani tuntutan menafkahinya. Dhimas merasa sangat bersalah, itulah sebabnya ia tak ingin meninggalkan sang ibu barang sedetik pun meski ia hanya dapat menunggu di luar ruangan.
Setelah cukup lama terdiam, Dhimas menjawab dengan suara bergetar, “Nggak, Om.”
Aji tersenyum, lalu mengacak-acak rambut Dhimas. “Anak hebat!”
Dhimas tertawa getir, “Kok hebat, Om? Kan Dhimas jawab nggak kuat.”
“Yang hebat bukan mereka yang pura-pura kuat. Tapi yang berani jujur akan kelemahannya. Kalo nggak bisa, bilang nggak bisa. Kalo nggak kuat, bilang nggak kuat,” ujar Aji. “Bukan soal siapa yang nggak nangis saat menghadapi musibah, tapi siapa yang bertahan sampe hari-hari beratnya usai.”
“Lepasin aja bebannya, Dhim,” Aji kembali mengusap kepala Dhimas lembut. “Nangis aja kalo mau nangis, Om Aji juga pernah nangis. Cerita aja kalo mau cerita. Nggak usah bingung mau ke mana. Rumah Om Aji selalu terbuka buat Dhimas. Dan setiap orang di dalamnya akan selalu dengan senang hati nerima kedatangan Dhimas.”
“Jangan pernah sungkan buat pulang ke rumah Om Aji kalo rumah Dhimas kosong. Ngerti, ya?” ucap Aji.
“Pasti Mama baik-baik aja. Anak laki-lakinya hebat, pasti ibunya seribu kali lebih hebat. Besok kalo mau nggak masuk sekolah, Om Aji yang bikinin surat. Om Aji yang tanda tangan suratnya.”
Dhimas semakin terdiam. Bedanya, kali ini air mata yang menggenang di pelupuk matanya semakin menumpuk. Namun Dhimas masih enggan menumpahkannya. Ia masih terus berusaha mengatur suasana hatinya, mengendalikan diri agar tidak menangis dan malah merepotkan Aji.
Aji melirik jam tangan yang melingkar pada lengan kirinya. Pria berkaus polo biru tua dengan kacamata yang bertengger pada hidung mancungnya itu kembali tersenyum. “Om Aji pulang ya? Bentar lagi jam besuknya habis. Baik-baik di sini, makanannya dimakan. Jaketnya dipake, kegedean sih kayaknya, tapi pake ya! Tidur yang cukup!”
“Kalo ada apa-apa telepon Om. Pamit ya, Dhim. Om mau nyusul Aghni juga nih, lama banget dari tadi disuruh.”
Setelahnya Aji berlalu meninggalkan Dhimas yang masih terdiam di tempatnya.
“Lah, mau ke mana, Pa?” tanya Aghniya ketika berpapasan dengan Aji. “Pulang, tadi dibilangin jam besuknya abis,” bohong Aji.
“Lah? Yaahh, masa aku nggak ketemu Dhimas lagi? Belom pamitannn,” keluh gadis itu.
“Nggak pa-pa, tadi Papa kan udah pamit sama dia. Yuk, pulang. Kasian juga Bunay nunggu sendirian di rumah,” ujar Aji. Membuat Aghniya tak punya pilihan selain memenuhi ajakan papanya.