raranotruru

Setelah melewati berbagai rintangan yang menghadang, tiga personel Petantang-Petenteng itu akhirnya tiba di rumah Damar pukul delapan malam. Setelah merusuh di depan gerbang dengan menimbulkan suara-suara berisik, Dhimas, Haris, dan Ojan akhirnya masuk ke dalam rumah Damar. Bergabung dengan keluarga lelaki itu di ruang keluarga yang sederhana namun hangat.

“Ibuuu, sehat, Bu?” sapa Haris. Tidak basa-basi, memang rasanya sudah cukup lama tidak bertemu dengan ibu Damar. Wanita itu tersenyum, “Alhamdulillah, Mas. Mama sehat?”

“Sehatt alhamdulillah,” balas Haris yang kemudian lanjut duduk bersila di atas karpet yang membentang menutupi lantai ruang keluarga Damar.

“Udah pada makan belum?” tanya ibu. “Belom Bu, belomm!” Ojan, manusia yang menjadi alasan kepergian ketiganya tertunda itu menjawab paling semangat.

“Boong, Bu! Dia pasti udah makan tiga piring!” balas Dhimas.

Sontak Ojan mendorong tubuh Dhimas pelan seraya menyuarakan protes, “Apaan lu! Belom makan malem nih gue.”

“Iya, Bu. Abis nyangsang dia tadi kasian dah. Ini makanya kita lama tadi ke sininya, Bu. Gara-gara nurunin Ojan dulu,” jawab Haris.

Ibu menunjukkan ekspresi bingung, berbeda dengan Damar yang sudah meluncurkan tawanya dengan bebas. “Nyangsang? Di mana? Kok bisa sih?”

“Nyangsang di genteng rumah sendiri, Bu. Emang kurang kerjaan, malem-malem naek-naek genteng!” sahut Damar.

“Maksudnya gimana, Mas?”

“Ojan tuh lagi ngadem, Buu di genteng. Gerah banget di kamar, AC-nya mati belom di-service. Kipas juga masih dipake Mama. Nah, ya udah dongg Ojan ke genteng, soalnya biasanya adem banget di situ, Bu. Naik pake tangga, terus tangganya Ojan senderin aja gitu, kaaann! Terus pada rame nih, Bu di grup, bla bla bla mau ke rumah Damar. Dalem hati, Oh oke, saatnya turun. Pas mau turun, tangganya ilang. Nggak taunya dibawa masuk bapak Ojaaaaan!”

Tak ada balasan yang keluar dari siapapun, semuanya kompak menertawakan Ojan dan idenya yang selalu luar biasa. Orang macam apa yang kegerahan pada malam hari dan memilih untuk naik ke atas genting rumah? Jauzan Narendra-lah jawabannya.

“Maen catur, Dam,” usul Dhimas.

“Yah, dibawa bapak gua tadi ke depan RW,” balas Damar.

“Yah, maen apa dong?” keluh Ojan. Setelahnya ketiganya diam, tak ada yang menjawab. Sama-sama sibuk mencari ide mengenai apa yang harus dilakukan. Hal ini biasa terjadi, sering kali mereka hanya berencana untuk bertemu tanpa tahu akan melakukan apa. Alhasil, keempatnya hanya akan diam hingga menemukan sesuatu untuk dikerjakan.

“Maen congklak yuk?” ajak Damar. Sontak Dhimas, Haris, dan Ojan pun menoleh ke arahnya secara bersamaan.

“Ada?” tanya Ojan.

“Ada,” balas Damar seraya terkekeh.

Kuuuy lah! Eh tapi kan congklak berdua-berdua egeee! Kagak bisa berempat!” balas Dhimas.

“Ya udah gambreng, item sama item, putih sama putih. Tiap ronde ganti pemain,” Damar menengahi sebelum akhirnya bangkit untuk mengambil papan permainan congklak beserta bijinya yang ia simpan di salah satu sudut rumahnya.

“Eh emang lu pada ngerti main congklak?” tanya Damar.

“Ngerti, anjirrr! Gue biasa main lawan emak gue!” sahut Dhimas.

“Ngerti guaa, biasa lawan tetangga gue dari kecil,” Haris ikut menambahkan.

“Lu ngerti, Jan?” tanya Damar.

Ojan, pemuda itu menyeringai, “Lu ngeremehin gua?”

“IDIIIIIIIISSSSS SAIK BENER GAYA LU!” ujar Dhimas menanggapi reaksi Ojan. “Ngerti?” tanya Dhimas lagi.

“Kenalin, Jauzan Narendra anak Pak Jarwo, jawara kampung cabang congklak dan menaklukan hati wanita,” ucapnya percaya diri. Membuat teman-temannya bertepuk tangan heboh seraya tertawa terbahak-bahak. Ini, ini lah yang selalu menjadi alasan Haris untuk selalu ingin bertemu dengan teman-temannya ketika hatinya sedang berduka. Meskipun tidak diceritakan, rasanya masalahnya tetap sirna ketika menjumpai ketiga temannya yang tak pernah absen membawakan keceriaan dalam hidupnya yang sudah suram sejak lama.

“Ayo dah, gambreng!” ajak Dhimas. Setelahnya pemuda itu memimpin nyanyian khas memulai permainan yang biasa dinyanyikan oleh anak-anak.

Hom pim pa alaihum gambreng!” Hitam semua.

Hom pim pa alaihum gambreng!” Putih semua.

Hom eidmsksjjdidsjdj gambreng!” Putih semua.

“Dongo! Jangan sama melulu dong! Kapan kita maennya kalo begini?!” Dhimas kesal, pasalnya ia juga mulai lelah menyanyikan lagu yang sama terus-menerus.

“Ya udah gambreng lagi sini gue yang nyanyi,” balas Damar. Setelahnya ia mulai bernyanyi. Hasil akhirnya adalah Damar dengan Haris, Dhimas dengan Ojan.

“Jan, yang bener ye!” ucap Dhimas. Sementara Haris dan Damar di seberangnya sudah berpelukan. Keduanya sama-sama bahagia mengetahui mereka berada dalam tim yang sama.

“Yang kalah foto pake atribut terus difoto ye!” usul Haris.

DEAL! Kagak bakal kalah nih gue!” balas Ojan.


Keempat lelaki itu kini sudah memainkan tiga ronde, dan kini memasuki ronde ke-empat. Sekarang adalah giliran Haris melawan Ojan. Duo yang nampak tak terpisahkan, namun sekalinya menjadi rival, persaingan akan sangat dijunjung tinggi.

“ANYING CURANG LU YA?! DITILEP NIHHH BIJINYA!” ucap Haris.

“LU BUKA TELAPAK GUE LU GELEDAH SESUKA LU RISSSS YA ILLAHI!” balas Ojan tidak mau kalah.

“Damar curang anjrit ngitung mulu kalo mau jalan gue sebel!”

“YA DIITUNG LAH?! BIAR NGGAK SALAH JALAN, nggak asal pilih kayak eluuuu!”

“MAMPUS MATI!!!!!”

Dan kehebohan lainnya. Entahlah, keempatnya memang selalu ramai. Entah karena memang berbagi brain cells yang sama atau bagaimana, Haris, Damar, Ojan, dan Dhimas memang ditakdirkan untuk bertemu dan melengkapi satu sama lain.

Meski timnya unggul, Haris tetap bermain dengan menggebu-gebu. Otaknya sibuk memikirkan strategi apa yang harus ia gunakan agar tidak salah jalan. Syukur-syukur, bisa menembak dan mengambil alih biji congklak milik Ojan.

“EH—yah, mati itu Ris. Kurang satu,” ucap Damar. “Iya anjir salah itung. Gue kita bisa munggahan,” balas Haris.

“Udah anjrit napsu banget dari tadi di-munggahin semua bijinya,” balas Dhimas.

“Ya udah jalan, Jan!” ucap Haris.

“ANJ— ADUHH JANGAN LIAT JANGAN LIAT!” seru Damar tiba-tiba, ketika ada peluang bagi Ojan untuk 'menembak' biji congklak milik Haris yang menggunung pada satu lubang.

“ADUH ANJRIIIIIIIT REJEKI NOMPLOK!” balas Haris frustrasi. Kini ia dan Damar saling memegang bahu satu sama lain. Keduanya saling menggigit bibir gemas sekaligus takut melihat Ojan yang masih mencari apa yang dimaksud Damar dan Haris.

Beruntung Dhimas sebagai rekannya sigap memberi tahu. “JAN ITU ANJRIT LOBANG KE-LIMA! TEMBAK TEMBAK LUMAYAN BIAR KITA NGGAK NGACANG!”

“WAHAHAHAHAHAH! MAMPUS LUUUUU!! Rejeki nomplok rejeki nomplok,” balas Ojan. Sebelum melanjutkan langkahnya, ia memilih untuk merayakannya dengan berjoget di depan Haris dan Damar. Meledek keduanya yang sebentar lagi akan kehilangan banyak biji congklak.

“Tembak, Jan, tembak!” ucap Dhimas.

“HAHAHAHAAAAYYY!!” seru Ojan, pria itu kini mengusap-usap tangannya. Bersiap untuk menggeser satu biji congklak yang akan membawakannya 'rejeki nomplok'. Namun, bukan Ojan jika tidak bertindak di luar dugaan.

Ketika tangannya sedikit lagi menyentuh biji congklak, ia menghentikannya. Menggantinya dengan sebuah simbol hati di udara dan melayangkan finger heart itu ke arah Haris. Setelahnya, sesuai instruksi Dhimas, ia benar-benar menembak.

“Mau nggak jadi pacar aku?” ucapnya dengan satu kedipan mata. Detik itu juga, ketiga temannya buyar. Dhimas memilih masuk ke kamar mandi, Haris menutup wajahnya dengan bantal di sofa, dan Damar memilih untuk keluar rumah. Selang beberapa detik, ketiganya kembali menghampiri Ojan dan berteriak.

“NAJJJJEEEEEESSSSSS!!!!!”

Haris buru-buru turun dari motor setelah memarkirkannya asal di depan rumahnya. Pria itu melempar tas, jaket, dan kunci motornya ke atas sofa empuk dan secepat kilat menghampiri Hanum yang sedari tadi menunggunya pulang.

“Mana?” tanya Haris.

“Itu lagi sama Kak Ahmad,” balas Hanum yang wajahnya menampakkan raut khawatir yang jelas. Setelahnya Haris menghela napasnya dan langsung menghampiri Haura.

Di depan kamar Hanum, nampak Ahmad yang bertolak pinggang seraya memandangi pintu kamar yang tertutup rapat. Pemuda itu menyugar rambutnya frustrasi, dan setelah melihat Haris, ia mengangkat tangannya seraya menggeleng. Mengisyaratkan bahwa usahanya pun tak membuahkan hasil.

“Gue diusir, pintunya sekarang dikunci,” ucap Ahmad.

Haris menghela napas kecewa, kemudian mendekat ke arah pintu dan mengetuknya perlahan. “Haura?” panggilnya. “Ini Kak Haris, sayang..”

Hening. Tak ada jawaban. Maka Haris mencobanya sekali lagi. “Haura? Ini Kak Haris, boleh masuk nggak?”

“Hauwa buka pintunya tapi Kak Hawis doang yang boleh masuk!”

“Iyaa, Kakak doang yang masuk.”

Tak perlu menunggu lama, pintu di hadapannya itu terbuka. Menampakkan seorang anak kecil dengan rambut panjangnya terurai berantakan. Pipi tembamnya pun dipenuhi jejak-jejak air mata. Haura mengucak matanya yang masih memerah sehabis menangis, setelahnya dengan bibir yang mengerucut, ia mendongak melihat Haris. Membuat pemuda itu secara otomatis berjongkok di hadapan Haura.

“Kenapa sayang?” tanya Haris. Adik kecilnya tak menjawab, justru menubruk Haris dan bersembunyi di pelukannya. Kembali menangis sekeras-kerasnya di sana. Sontak Haris memeluk Haura erat-erat, mengelus-elus punggungnya.

Setelah cukup lama, Haura lebih dulu melepaskan diri dari dekapan sang kakak. Barulah Haris kembali menanyakan pertanyaan yang sama. “Haura kenapa? Kok tiba-tiba marah begini?”

Alih-alih memberi jawaban, Haura kembali menangis. Pada akhirnya, Haris menghela napasnya. Pria itu memutuskan untuk mencari cara lain untuk mendapatkan jawaban dari pertanyaannya yang juga menjadi pertanyaan semua orang.

“Haura laper nggak?” tanya Haris. Gadis itu mengangguk dengan wajahnya yang masih bersungut.

Haris terkekeh pelan. Seraya mengelus kepala Haura kemudian menangkup pipinya, Haris kembali bicara. “Mau jalan-jalan sama Kak Haris sekalian nyari mam?”

Haura mengangguk, membuat Haris tersenyum dan segera membiarkan Haura menaiki punggungnya. Kemudian keduanya melangkah ke luar rumah.

“Bentar ya, Num. Nanti chat Kakak aja mau dibawain apa,” bisik Haris pada Hanum. Gadis itu pun menurut. Baik dirinya dan Haris, sama-sama paham bahwa Haura sedang tidak ingin diganggu siapapun selain Haris. Hanum pun mengerti bahwa ini bukan saatnya untuk ikut merengek. Maka gadis itu membiarkan kakaknya menghibur si bungsu.


Kini sepasang kakak-beradik itu tengah duduk di sebuah ayunan yang diletakkan bersebelahan di sebuah taman kecil dekat rumah dengan Haura yang tengah asik mengeksekusi sosis goreng yang dilumuri saus tomat beserta Haris yang asik menikmati telur gulung. Pemandangan yang membuat mata pengunjung lain memandang ke arah keduanya dengan tatapan hangat serta iri.

“Laper ya?” tanya Haris ketika melihat betapa cepat Haura menghabiskan sosis goreng miliknya. Tak seperti biasanya, Haura kini sudah menghabiskan tiga tusuk dalam waktu singkat.

Gadis kecil itu hanya mengangguk sambil tetap memakan makanannya. Haris tergelak, “Lagian Haura emangnya kenapa sih? Kok nggak mau makan? Kalo nggak makan kan nanti perutnya bisa sakit tau!”

Mendadak, Haura kembali murung. Tangannya yang tadinya selalu mengambang di udara untuk memegang sosis itu kini diturunkan. Kepalanya kembali tertunduk, membuat Haris sedikit menyesali pertanyaannya.

“Kakak cuma nanya aja, kok. Kalo Haura nggak mau cerita, nggak apa-apa. Kak Haris cuma nanya kenapa Haura nggak mau makan, emang perutnya nggak sakit? Nggak bunyi gitu perutnya?” Dengan sigap Haris berusaha membalikkan situasi. Namun adiknya itu sudah telanjur sedih.

“Kata Kak Hanum, Haura nangis terus hari ini?” tanya Haris. Masih sama seperti yang sudah-sudah, Haura hanya mengangguk tanpa suara.

“Oohh gitu. Haura lagi sedih ya?” tanya Haris lagi, dan gadis itu kembali mengangguk.

“Hmm gituu. Haura boleh kok sedih, soalnya semua orang juga ngerasain itu. Tapi, besok-besok kalo lagi sedih harus tetep mam ya?” ujar Haris. “Soalnya kalo nggak mam, nanti perutnya sakit. Kalo perutnya sakit, nanti Haura pusing. Kalo pusing, nanti nggak bisa sekolah,” lanjutnya.

“Aku nggak mau sekolah,” tegas Haura, tanpa menatap Haris. Sontak pemuda itu mengerutkan dahi, “Kenapa?”

Sepersekian detik, Haris membulatkan matanya. “Ada yang jahatin Haura?”

Tidak sesuai dugaan, Haura menggeleng. “Hauwa malu, Kak.”

Kerutan di kening Haris semakin bertambah dalam, “Malu kenapa?”

Haura menghela napasnya. Nampak jelas raut kecewa yang melebihi sebelumnya. “Kemarin Hauwa disuruh gambar keluarga.”

“Oke, terus?” tanya Haris.

“Hauwa gambar Mama, Kak Hanum, Kak Hawis,” jawabnya.

Haris menyimak dengan serius, rasanya ia tahu akan ke mana arah pembicaraan ini. Hatinya memanas, Haris merasakan darahnya berdesir dalam sekujur tubuhnya. Pun jantungnya berdegup kencang seakan siap untuk meledak. “Terus? Temen Haura bilang gambarnya jelek?” tanyanya, seraya berusaha untuk tetap tenang.

Haura menggeleng, setelahnya hening menyelimuti keduanya. Tak ada yang bersuara hingga Haura menoleh, menatap Haris dengan matanya yang berkaca-kaca. Seketika raut muka ceria yang dipertahankan Haris selama ini sirna. Dan pertanyaan yang selama ini Haris perkirakan akan muncul dari mulut Haura, hari ini terutarakan.

“Kita.. nggak punya papa ya, Kak?”

Hatinya resmi mencelos. Sejak lama, bahkan sejak Haura lahir ke dunia, Haris sudah memprediksi suatu saat nanti gadis itu akan mempertanyakan sosok yang tak pernah hadir di hidupnya. Sosok yang selalu menjadi alasan kosongnya satu kursi di meja makan. Sosok yang katanya kepala keluarga, namun memilih untuk menyerah atas keluarganya.

Haris mengerjapkan mata, kemudian dengan cepat mengembalikan fokusnya. “Hah? Punya kok!”

“Kalo punya kok nggak ada di rumah? Semua temen Hauwa, papanya ada di rumah, Kak,” ucap Haura dengan suara bergetar. Butiran air mata bahkan sudah kembali berkumpul di pelupuk mata gadis itu, siap untuk membasahi pipi tembamnya dalam satu kedipan mata.

Haris memajukan tubuhnya, mendekatkan diri pada Haura. Sebelah tangannya terangkat menghapus air mata yang baru saja jatuh.

“Papanya Haura, papanya Kak Haris sama Kak Hanum juga, beda sama papanya temen Haura,” ucapnya dengan nada lembut. “Dulu, Papa tinggal bareng sama kita. Tapi sekarang, Papa punya urusan sendiri sayang. Jadinya nggak bisa lagi bareng-bareng sama kita,” jelas Haris.

“Hauwa mau ketemu Papa!”

Haris mengangguk, “Boleh. Tapi Kak Haris nggak janji bisa ya? Karena kalo udah gede, pasti banyak tugasnya. Haura liat Mama, kan? Mama suka pulang malem. Nah, Papa juga begitu. Sama sibuknya kayak Mama, jadi nggak bisa pulang.”

“Papa benci sama Hauwa ya, Kak? Temen-temen Hauwa bilang Papa nggak ada di rumah karena nggak sayang sama Hauwa,” ujarnya murung.

“Papa nggak benci sama Haura, cuma—”

Kosong. Pikiran Haris mendadak kosong. Rupanya sekeras apapun ia mempersiapkan diri untuk menghadapi hari ini, rencananya tetap berantakan. Haris tetap tidak tahu bagaimana cara menjelaskan semuanya pada Haura.

Setelahnya Haura diam, tak ada lagi pertanyaan yang keluar dari mulutnya. Haris pun turut merapatkan bibir. Berusaha mengendalikan diri agar tidak menangis di hadapan Haura. Melihatnya seperti ini, membuat Haris merasa patah hati.

“Haura,” panggil Haris. Gadis kecil yang tadinya menunduk itu kini kembali menatap ke arah sang kakak. Sebelah tangan Haris terangkat guna menyelipkan helaian rambut Haura ke balik telinga.

“Kak Haris minta maaf, karena nggak bisa ceritain tentang Papa ke Haura sejelas-jelasnya. Nanti, kalo Haura sudah besarrr, udah setinggi Kak Hanum, pasti Kak Haris kasih tau,” ujar Haris.

“Untuk sekarang, yang perlu Haura tau adalah—meskipun Papa nggak bisa selalu ada buat Haura, Kak Haris akan selalu ada buat Haura. Oke?”

“Emangnya kalo Kak Hawis udah besar, nggak akan kayak Papa?” tanya Haura polos.

Pria itu menggeleng yakin, “Enggak, Kak Haris bakal di sini terus sama Haura. Kalaupun nanti Kak Haris tinggalnya jauh, pasti Kak Haris telepon Haura. Pasti Kak Haris pulang.”

Setelahnya, secercah senyuman mulai kembali terpatri di wajah manis Haura. Membuat Haris pun turut melakukan hal yang sama. “Jangan takut sendirian ya? Haura punya Kak Haris, Kak Hanum, Mama, Kak Ahmad, Kak Ojan, Kak Damar, Kak Dhimas, Kak Adel. Banyak. Banyak yang sayang sama Haura selain Papa.”

“Kok diem aja? Oke nggak nih?” tanya Haris. Setelahnya gadis itu mengangguk. Kemudian seraya tersenyum, Haura mengangkat jempol mungilnya dan mempertemukannya dengan jempol besar milik Haris.

Sekon berikutnya, terdengar suara perut yang kelaparan lantaran belum terisi sejak pagi berasal dari Haura. Membuat Haris tergelak, “Ih suara apa tuh?”

Haura tertawa sama kerasnya dengan Haris. Setelahnya pria itu bangkit dan menepuk-nepuk celananya, menyimpan makanannya ke dalam kresek. Setelahnya mengajak Haura, “Yuk, pulang! Apa mau beli makan dulu? Haura mau mam apa?”

“Ayammmm!”

“Okee, kita beliin buat Kak Hanum juga yaa!”

“Okey!”

Pertanyaan yang keluar dari mulut Haura mungkin bisa dialihkan dan ditepis hari ini. Namun perasaan kecewanya, perasaan patah hatinya, masih utuh terasa di relung si anak sulung yang paling lama berada di tengah-tengah keluarga.

Gadis bertubuh mungil itu masih berjalan dengan hentakkan kaki yang menimbulkan suara keras di tangga sekolah yang menggema. Wajahnya memerah menahan marah, hatinya dongkol, suasana hatinya sama sekali tidak baik. Beberapa orang yang melewatinya bahkan tak berani menegur, hanya berani melirik dan setelahnya menebak-nebak apa yang terjadi hingga membuatnya marah.

Satu-satunya orang yang berani menegur Gia adalah seseorang yang kini berhasil menyamai langkahnya meskipun Gia sudah berjalan jauh lebih dulu. “Kok langsung pergi?”

Gadis itu sontak menoleh. Di sebelahnya kini Haris berjanji menyamai langkahnya yang terburu-buru. Setelah terhenti sesaat, Gia melanjutkan langkahnya lagi tanpa membalas perkataan Haris.

“Gi, saya nanya loh?”

Masih tak digubris. Gia meneruskan langkahnya tanpa mempedulikan Haris. Gadis itu sudah kepalang kesal mendengar perkataan Haris. Pun melihat sikapnya yang 180 derajat berbeda dengan sikapnya kemarin.

Gemas, Haris berniat menahan tangan Gia pelan agar keduanya dapet berbicara dengan tenang. Namun entah ilham dari mana, Gia berbalik sebelum Haris sempat menjangkau pergelangan tangannya.

“Ngapain sih, Kak?”

“Ngapain apa?”

“Ngapain ngikutin saya?”

“Mau ngobrol,” jawab Haris santai. Seolah tidak memedulikan wajah Gia yang memerah karena emosinya yang mendidih.

Seraya mendelik, Gia menjawab meskipun bingung. “Saya nggak mau!”

Haris mengangkat sebelah alisnya, kedua tangannya ia selipkan di saku celana. Berdiri dengan santai menatap Gia seraya menahan tawanya. Satu-satunya alasan mengapa Haris bisa tetap tenang meskipun berhadapan dengan Gia yang sudah meledak-ledak itu adalah karena ia sudah biasa menangani dua adiknya dengan segala emosinya. Perannya sebagai kakak berguna kali ini. “Kenapa nggak mau?” tanya Haris.

“Ya, ngapain Kakak ngobrol sama orang yang dari awal aja udah buat masalah?! Ngapain Kakak ngajak ngobrol aku setelah Kakak nyuruh temen Kakak untuk nggak peduliin aku?!”

Sepersekian detik Haris terpaku mendengar Gia melepas kata ganti “saya” dan menggantinya dengan “aku”. Entah mengapa hatinya merasakan sebuah percikan baru yang membuatnya menghangat. Haris menyukainya. Kata sapaan yang diganti itu seakan mengatakan pada siapapun di dunia bahwa keduanya sudah lebih dekat.

“Aku?” ucap Haris. Membuat Gia mengerjapkan matanya sendiri, menyadari kesalahannya. “Saya!”

Haris menunduk kecewa sesaat kemudian, rupanya itu hanya kesalahan. Gadis itu bahkan tidak menyadari dirinya mengubah kata ganti dirinya sendiri ketika berbicara dengan Haris. Detik berikutnya ia kembali mengangkat wajahnya. “Sengaja, Gi.”

Mendengar jawaban Haris, Gia semakin mengerutkan alisnya. “Sengaja gimana?”

“Saya liat dari awal kejadiannya. Gimana Gina sama Salsa yang tiba-tiba ngomongin kamu, nyindir kamu di depan kamu, dan malah jadi ngajakin kamu ribut. Sampe kamu emosi dan akhirnya bales mereka,” ucap Haris. Setelah mengetahui Gia yang nampak berminat mendengar perkataannya, ia melanjutkan bicaranya. “Saya nggak nyalahin kamu, saya ngerti kamu marah. Saya pun akan bereaksi sama. Tapi, Gi, ribut sama mereka itu percuma. Satu, nggak bakal ada ujungnya. Dua, nggak bakal menang.”

Gia masih saja diam, emosinya yang sedari tadi memuncak kini perlahan mereda mendengar suara bariton yang bertutur halus menasehatinya. “Kalo kamu bales nanti jadi rame, ketahuan sama guru. Mereka yang bergerombol itu bisa langsung nyudutin kamu dan bikin kamu keliatan kayak yang mulai semuanya. Sementara kamu? Siapa yang mau dukung kamu? Siapa yang berani dukung kamu?” lanjut Haris lagi.

“Marah boleh, tapi jangan sampe ngerugiin diri sendiri, Anggia. Tetep harus mikir panjang. Kamu nggak tau kan mereka semanipulatif apa? Orang-orang kayak mereka tuh selalu naro ego di atas kepalanya. Maunya menang terus, maunya bener terus seakan-akan nggak ada kata kalah dan salah di kamus mereka. Apapun bakal mereka lakuin supaya bisa jatohin orang yang nggak mereka suka. Kalo kamu udah masuk list orang yang nggak mereka sukain, kamu diem aja salah, Gi. Karena mereka akan selalu cari kesalahan kamu.”

“Saya emang sengaja nyempil di tengah-tengah kalian, saya sengaja memvalidasi perkataan Gina sama temen-temennya. Supaya mereka diem dan nggak ganggu kamu lagi. Saya denger kalian ngomongin saya, saya denger Gina bawa-bawa nama saya. Makanya saya pura-pura pro ke Gina biar dia diem. Maaf bikin kamu jadi makin emosi. Jangan salah paham ya, Gi? Saya nggak dukung Gina, kok.”

Diantara ribuan detik yang bergulir di antara keduanya, saat itu juga, amarah Gia berhasil padam. Haris kembali melihat ke arah Gia setelah mengalihkan pandangannya untuk beberapa saat, gadis itu menghela napasnya. “Kirain Kak Haris belain Kak Gina. Soalnya kan Kak Gina temennya Kak Haris.”

Sudut bibir Haris berkedut menahan senyuman, “Enggak. Tenang aja.”

Hening sementara, sampai ketika Gia memulai pembicaraan. “Tapi serius deh, Kak. Kalo emang interaksi kita bikin banyak orang nggak suka atau bikin Kak Haris nggak nyaman, saya nggak apa-apa kok kalo emang harus jauhin Kak Haris.”

Haris terkekeh, “Emangnya saya keliatan nggak nyaman interaksi sama kamu?”

“Hah? Y-ya nggak tau! Siapa tau gitu?”

“Enggak, kok.”

“Ooh, oke..” balas Gia.

Kemudian kembali hening. Sebuah atmosfer canggung menyelimuti keduanya. Haris menggaruk tengkuknya yang tidak gatal seraya menunduk, sementara Gia mengalihkan pandangannya ke sembarang arah seraya tersenyum tipis.

Hingga lelaki yang setahun lebih tua itu kembali memulai percakapan. “Gia,” panggilnya. Gadis itu hanya mengangkat alisnya sebagai jawaban, dengan tatapan yang kembali diarahkan pada Haris.

“Kalo Gina kayak gitu lagi, bilang ya?” ucap Haris. Gia mengerutkan keningnya, “Kenapa emangnya, Kak?”

Haris tak langsung menjawab, pemuda itu terdiam beberapa saat. Kemudian seiring bola matanya menatap kurus pada milik Gia, ia menjawab.

“Sebagaimana Hanum bisa merasa aman sekolah di sekolahnya karena ada kamu, kamu juga bisa merasa aman sekolah di sini...”

”...karena ada saya.”

Gia hanya melipat tangan di dada seraya berusaha sabar menunggu gilirannya tiba untuk memesan minum di salah satu stand jajanan di kantin. Gadis itu kini berada di tengah-tengah antrean, terapit oleh gerombolan kakak kelas yang entah siapa. Gia tidak terlalu memperhatikan. Dirinya sibuk menghitung orang-orang di depannya, berapa giliran lagi untuk sampai pada gilirannya.

Ketika sedang asik dengan urusannya, salah seorang dari gerombolan kakak kelas yang berdiri di depannya itu membuka suara. Gia tak tahu pasti siapa dia, yang jelas suaranya kini dilebih-lebihkan. Seolah sengaja dibuat keras agar yang lain mendengarnya.

“Adek kelas sekarang pada centil-centil ya?” ucapnya. Gia mencoba tidak peduli.

“Banget, sih. Makin pada nggak tau sopan santun. Masa ada loh, yang waktu itu minta iketin tali sepatu sama kakak kelasnya! Bayangin deh, kakak kelasnya disuruh jongkok ngiketin tali sepatunya!” ucapan itu keluar dari mulut Gina. Detik itu juga, Gia paham bahwa dirinya-lah yang menjadi topik pembicaraan segerombol kakak kelas yang bibirnya merah dengan kompak.

Gia masih berusaha untuk tidak menggubris, namun mereka seakan-akan membuat semuanya semakin mengerucut pada dirinya. “Iya sumpah! Masa kan gue basket kan bareng si adek kelas ini. Emang gue liatin sih matanya nggak lepas dari Haris. Gue tuh sebenernya nggak enak, i mean, mikirin Haris nggak sih? Pasti kan nggak nyaman ya kalo diliatin terus begitu?” ucap Gina, sesekali melirik menyindir ke arah Gia yang masih berusaha diam.

“Yang mana sih, Gin, orangnya?” tanya seseorang yang gayanya paling mendominasi. Gia prediksi, perempuan itu adalah ketua gengnya.

“Aduh, Salsa! Yang—,” balas Gina dengan tidak menyelesaikan kalimatnya. Perempuan itu menunjuk ke arah Gia menggunakan lirikan matanya. Setelahnya Gina tertawa dengan teman-temannya. Tentu saja, Gia tersinggung.

Setelah tawanya mereda, Salsa sebagai teman yang baik mendukung kegiatan nyinyir yang semakin disulut oleh Gina. “Oh yang ini, Gin? Biasa aja ya? Jauh sih, sama Haris yang keren banget. Agak nggak tau diri ya?”

That's it. Sudah melebihi batas kesabaran seorang Anggia untuk menahan kejengkelannya dan menelannya mentah-mentah. Kemudian dengan segala keberanian yang ia punya, dilapisi dengan amarah yang siap meledak, Gia menegur Gina dan Salsa yang kini menertawakannya. Di hadapannya.

“Maaf, Kak. Kakak ngomongin saya?” tanya Gia. Matanya menatap nyalang ke arah Gina dan Salsa, mengingat keduanya yang paling mendominasi obrolan. Tidak peduli lebih tua, Gia sudah kesal.

Salsa menoleh, “Hm? Enggak tuh? Kenapa emangnya? Berasa ya?”

“Salsaa, nggak boleh gitu dong!” ucap Gina, yang Gia tahu penuh kepura-puraan. Gia mendecih, seiring Gina kembali membuka suara. Kali ini tertuju padanya. “Kita nggak ngomongin kamu kok, Gia. Kamu tersinggung ya? Duh, maaf banget ya!”

“Ya elah, ngapain minta maaf. Emang bener kok nggak tau diri,” Salsa menimpali seraya melipat kedua tangannya di depan dada.

“Maksudnya gimana, Kak?” tanya Gia. Masih berusaha mempertahankan sopan santunnya.

“Yaa, coba aja dipake otaknya. Menurut kamu, kamu pantes emang deket-deket sama Haris? Tau diri kali, jangan belagu. Mentang-mentang kamu kenal adeknya Haris?” tanya Salsa. Sementara Gina, gadis itu bertingkah seolah-olah meredakan emosi Salsa.

Muak, Gia muak memperhatikan drama di depannya. “Lah, Kakak kok ikut campur? Emangnya kenapa kalo saya kenal adeknya Kak Haris? Sirik? Iri?”

“Loh, kok jadi berani sama kakak kelas? Emang bener ya adek kelas sekarang nggak tau sopan santun! Maksudnya apa bentak-bentak temen gue?” Gina kembali buka suara. Sepertinya perempuan itu sekaligus melampiaskan amarahnya yang selama ini terpendam pada Gia.

Baru saja Gia ingin membalas lebih lanjut, sang bintang utama bergabung dengan mereka. Haris, pemuda itu menyelak antrean di depan Gia. Setelahnya berbicara pada Gina seolah tidak melihat perdebatan apapun sebelumnya. “Gin, nitip es teh dong!”

Sontak ketiga gadis yang sedang berdebat itu terdiam. Salsa dan Gina sama-sama menutup mulutnya rapat-rapat. Namun tidak dengan Gia. Emosinya yang sudah tersulut itu membuatnya semakin emosi ketika Haris menyerobot antrean.

“Kak, ngantre kali! Kakak nggak liat saya duluan yang di sini? Ngelama-lamain aja pake nitip-nitip!” ujar Gia emosi.

Haris sontak menoleh, melihat Gia yang jauh lebih pendek darinya. “Oh ada Gia? Yah, maaf deh. Nggak keliatan,” balas Haris.

“Dih—”

“Eh sumpah ini adek kelas nyebelin banget Ris dari tadi. Kelas berapa sih kamu? Belagu deh!” Salsa memotong ucapan Gia.

“Ipa dua, Saaa. Bergaulnya juga sama Aghni sih, nggak heran gue,” timpal Gina.

“Ini ada apa sih?” tanya Haris.

“Ini nih, adek kelas nggak tau malu. Nggak sopan sama kakak kelasnya!” ucap Salsa. Dengan segera Haris melihat ke arah yang ditunjuk Salsa.

“Gia?” tanya Haris memastikan. Kedua gadis di hadapannya mengangguk. “Dia mah dari awal juga udah bikin masalah. Udah diemin aja, Gin,” Haris menambahkan.

Kedua mata Gia membulat, benarkah seorang Haris berlaku begitu kali ini? Pemuda itu bahkan tidak tahu akar permasalahannya, siapa yang memulai, kemudian lantas dengan mudah mempercayai Gina hanya karena mereka satu angkatan? Menyebalkan.

Gia merasakan kepalanya mendidih, ini sudah benar-benar di luar batas kesabarannya. Gadis itu melupakan niatnya untuk membeli minuman dingin. Dengan marah, Gia melangkahkan kakinya menjauh. Kembali ke kelas.

Nyebelin banget, orang jelas-jelas dia ngomongin aku duluan malah jadi ngatain aku nggak sopan! Dalam hatinya, Gia tak henti-hentinya misuh-misuh.

Kak Haris juga, nggak tau apa-apa tiba-tiba kayak gitu! Nggak jelas! Kemaren aja nolongin, sekarang begini. Dasar sok baik doang!

Gia termasuk golongan orang yang selalu diam, hampir tidak pernah mengeluarkan amarahnya di tempat umum. Segala sesuatunya sering kali ia simpan sendiri. Didukung wajahnya yang hampir tanpa ekspresi. Namun hari ini, terima kasih kepada Gina dan teman satu gengnya, Gia berhasil meledak.

“Mana sih? Perasaan gue tadi duduk di sini, nggak mungkin jauh-jauh kan pindahnya? Emang tadi laporan gue dipinjem sampe ujung mana sih ya Allah ya Rabbi...”

Aghniya masih mencari laporannya frustrasi. Bolak-balik dari meja guru di laboratorium hingga meja paling belakang barisan meja yang sebelumnya ia tempati. Entahlah hari ini dirinya sempat makan atau tidak, rasanya hidupnya akan ia dedikasikan mencari laporan yang harus dikumpulkan hari itu juga, sebelum jam istirahat berakhir.

Setelah menyelipkan rambutnya ke belakang telinga, ia kembali berjongkok untuk mengecek laci-laci meja yang lain. Sesekali matanya mengintip ke arah pintu, takut-takut anak kelas lain sudah masuk menempati kursi lab. Sebab berdasarkan informasi, ia dengar bahwa setelah ini laboratorium akan dipakai oleh kelas XI MIPA 4 untuk melakukan praktikum yang sama.

“Ya Allah di mana sih.. tolong lah...”

Demi Tuhan, akan kah ia menangis lagi hari ini? Ia sudah mengerahkan tenaganya. Namun belum juga menemukan hasil. Gadis itu hampir putus asa, diliriknya jam dinding yang menggantung di laboratorium. Sekitar tujuh menit lagi waktu istirahat akan berakhir. Artinya, sebentar lagi pun kesempatannya untuk mengumpulkan laporannya akan hangus.

“Ketemu nggak, Bre?” tanya Dhimas yang baru saja kembali. Pria itu izin sebentar untuk pergi ke toilet, setelahnya berjanji akan kembali dan membantu temannya mencari laporannya yang entah di mana.

Aghniya menggeleng dengan wajahnya yang sama sekali tidak menampakkan lega. “Nggak ada Dhim...”

“Masa gue nulis ulang? Nggak bakal keburu juga, bentar lagi masuk..”

“Di belakang nggak ada?” tanya Dhimas. “Nggak ada...”

“Apa di kelas ya? Kebawa temen-temen yang tadi minjem?” Dhimas menduga hal yang sama. Gadis itu mengangguk lesu, “Bisa jadi. Tadi sih gue udah minta tolong Damar tanyain ke kelas gue.”

“Ya udah coba gue ke atas ya? Gue bantuin Damar cari. Siapa tau ada, biar nanti gue yang ngumpulin sekalian,” balas Dhimas. Setelah disetujui Aghniya, Dhimas berlari secepat kilat menuju kelasnya. Menaiki tangga tanpa hati-hati, beruntung ia tidak terpeleset.

Sementara Aghniya masih ragu untuk meninggalkan laboratorium. Ia merasa belum mencari dengan benar, namun di sisi lain pun ia merasa bahwa sudah mengerahkan tenaganya secara maksimal. Kemudian dengan berat hati, gadis itu melangkah meninggalkan laboratorium sebab seseorang dari kelas lain mulai menempati laboratorium.

Namun, sebelum kakinya melangkah lebih jauh, seseorang memanggil Aghniya dari belakang. “Eh, sorry ini punya lo bukan ya?”

Aghniya tidak menjawab, ia memperhatikan seseorang di hadapannya. Seorang lelaki dengan rambut yang sedikit gondrong, tubuhnya tegap dan lebih berisi dibanding Damar, mungkin lebih tinggi dari Damar, kulitnya putih bersinar, Demi Tuhan, apakah dirinya sedang memandang sebuah bentuk kesempurnaan?

“Halo?” sapa lelaki itu. Aghniya masih terpaku, diam-diam mengagumi seseorang di hadapannya. Bahkan suaranya terdengar mempesona di telinganya.

Pemuda itu berdeham, membuat gadis itu mengerjapkan matanya berkali-kali. “Ya?”

“Ini punya lo bukan?” tanyanya sekali lagi. Dengan hati-hati, Aghniya meraih secarik kertas folio yang disodorkan pemuda di hadapannya. Ia membaca nama yang tertera di sana. Sekon berikutnya gadis itu membelalakkan matanya. “EH IYA BENER, kok bisa sama lo?”

“Tadi ada di laci meja paling pojok belakang,” balasnya.

“Ya ampunn, makasih banyak ya! Gue nyariin ini dari tadi tapi nggak ketemu,” sahut Aghniya.

Pemuda itu terkekeh, menampakkan lesung pipi yang juga ia miliki. MAMPUS GUE ADA LESUNG PIPINYA.

“Lo pasti nggak nyari ke pojok-pojok ya?” tanyanya. “Iyaaaa, abis capek banget. Gue udah putus asa duluan. Eh makasih ya sekali lagi! Gilak lo penyelemat gue banget hari ini!” ucap Aghniya kemudian berlalu pergi. Secepat kilat gadis itu berlari, menggunakan tangga lain yang lebih dekat dengan ruang guru sebab harus mengejar waktu mengumpulkan laporan praktikum miliknya.

Mungkin kesenangannya terlalu mendominasi, hingga Aghniya tidak menyadari keberadaan Damar di dekatnya yang berdiri bersebelahan dengan Dhimas yang baru saja turun dari tangga belakang. Memperhatikannya sejak pertama kali berbincang dengan lelaki yang entah siapa. Damar pun baru melihat wajahnya.

Damar berdiri di sana sejak kata pertama yang keluar dari mulut lelaki itu. Termasuk ketika Aghniya terpaku di tempatnya. Termasuk ketika gadis itu mengatakan bahwa pemuda itu-lah penyelamatnya hari ini.

Damar menatap gadisnya nanar, ia tak mungkin berbohong bahwa ada sedikit bagian hatinya yang patah.

So i'm not her savior anymore?

Sudah setengah tiga sore, pekerjaan keduanya hampir selesai. Damar masih berkutat dengan laptopnya, begitu pun Aghniya. Lagu-lagu yang menjadi pengisi hening pun merajalela ke segala jenis. Mulai dari lagu-lagu selera Damar yang berkualitas, menuju lagu K-Pop, beralih ke lagu dangdut, lagu India, hingga lagu barat yang keduanya senandungkan bersama-sama.

“Tadi contoh soalnya suruh berapa?” tanya Damar.

“Lima ya, ayaaaang,” balas Aghniya. “Tapi yang rumus-rumus sebelumnya juga dikasih contoh. Tolong ya, Daam! Gila Damar ganteng banget hari ini uwaw!”

Salah tingkah, Damar menahan sebuah senyuman merekah di wajahnya. “Perez banget, dih!”

Namun pemuda itu lega, sebab suasana hati gadisnya sudah mulai membaik. Gadisnya mulai bersenandung lagi, wajahnya mulai cerah lagi, rambutnya mulai dirapikan, dan semangatnya mulai kembali.

“Kamu udah sampe mana, Ni?” tanya Damar lagi. “Heuummm, dikit lagi. Tinggal buat tabel bahan-bahan sama harganya aja abis itu udah,” jawab Aghniya.

Damar mengangguk, “Aku udahan nih. Kamu cek dulu, sini aku bikinin tabel harganya. Tuker tempat cepet!”

“Hah udah?”

Pemuda itu lagi-lagi mengangguk, “Tukeran.”

“Canggih banget kamu sumpah keren banget ya Allah. HAH KAMU EDITIN JUGA PPTNYA? ANIMASI SEGALA MACEMNYA?”

Gerakan Damar terhenti begitu Aghniya bertanya dengan suara lantang yang mewakili keterkejutannya. Setelahnya ia mengangguk kaku. “Sumpah? Sumpah.... Makasih ya, Dam.....”

Damar lagi-lagi terkekeh, rasanya yang membuatnya jatuh cinta setiap hari adalah kegemasan Aghniya yang menurutnya, tiada habisnya. “Udah itu cek dulu,” ujarnya.

Tak lama, suara azan berkumandang. “Aku ke masjid dulu, nanti aku bantuin lagi. Kamu cek dulu, kalo ada yang mau dibenerin bilang aja.”

“Okeee, dadaaah! Nanti ini aku benerin sendiri aja kalo ada yang mau dibenerin. Makasih ya sumpah makasih banyak gue sayang banget sama lu dah.”

“Lebay!” Setelah itu keduanya tertawa bersama. Dengan Damar yang berjalan keluar.

“Pinjem sendal yakkk!” teriak Damar dari luar. “Pake ajaaaaah!”


Sepulangnya dari masjid, Damar kembali ke ruang tamu untuk melanjutkan tugasnya yang tertunda. Seperti biasa, Damar mengucap salam. Namun, berbeda dari yang sebelumnya, kali ini tak ada jawaban. Rupanya yang ia temukan adalah Aghniya yang tertidur pulas di atas sofa empuk dengan posisi meringkuk. Helaian rambutnya jatuh sebagian menutupi wajah, namun tak kunjung menutupi kecantikannya. Dengusan serta tawa milik Damar menguar ketika mendapati napas gadis itu yang teratur.

Pada akhirnya ia membiarkan gadis itu tertidur dan melanjutkan apa yang sempat tertunda. Sedari tadi, Aghniya mengeluh terlalu banyak. Mungkin ini sudah melebihi yang bisa ia tanggung sendiri. Yang seharusnya ditanggung empat sampai lima orang, ia tanggung sendiri. Maka Damar mewajarkan gadis itu mengeluh, Damar mewajarkan gadis itu mengoceh tiada henti, dan kali ini Damar mewajarkan gadis itu tertidur. Pasti Aghniya kelelahan, sudah sejak pagi ia berusaha menuntaskan semuanya. Maka Damar membiarkannya beristirahat.

Sekon berikut, rupanya Ayna dan Aji sudah kembali pulang. Keduanya menyapa Damar yang duduk manis di atas karpet ruang tamu. “Eeeeh ada si ganteng,” ucap Ayna.

Damar tersenyum sopan, setelahnya bangkit untuk menyalami kedua orang tua Aghniya. “Dari tadi, Dam?” tanya Aji.

“Iya, lumayan Om. Dari lohor tadi,” jawab Damar. “Itu kok Aghninya malah tidur? Bangunin aja, Dam!” ucap Aji lagi.

Damar terkekeh, “Iya. Biarin aja, Om. Ini tinggal dikit lagi kok, tadi Aghni juga ngerjain. Damar bantu dikit doang.”

“Mau aja dah disuruh bantuin, Om mah ogah!” balas Aji.

“Yeuuu boong banget, dulu jaman Bunay kuliah juga Om Aji sering bantuin kok, Dam. Apa lagi pas skripsi, dia bantuin nyari bahan. Sok-sokan nggak mau ngaku lagi!” timpal Ayna, membuat Aji gelagapan. Sementara Damar hanya tertawa di tempatnya.

“Kamu mah gitu Ay.. kebiasaan...”

Ayna tak menjawab, ia memilih untuk cuek. Setelahnya tatapannya beralih pada Damar. “Damar udah makan?”

“Udah, Bun tadi pagi,” jawabnya.

“Ah, sekarang udah sore. Nanti jangan pulang dulu ya! Harus makan dulu! Bareng sama Aghni tuh, dia juga belom makan dari pagi,” balas Ayna. Setelahnya pamit untuk ke dapur bersama dengan Aji yang masih membawa belanjaan.

Ah betul juga, gadis itu belum makan. Maka dengan segera Damar membangunkannya. Pemuda itu menepuk-nepuk pipi Aghniya pelan, “Aghni, bangun hei!”

Gadis itu menggeliat, meregangkan otot-ototnya yang mungkin terasa pegal karena posisi tidur yang tidak leluasa. Namun, sebab matanya masih terpejam, Damar membangunkannya sekali lagi.

“Aghniyaa, bangun yuk. Kamu belom makan,” ucapnya halus.

Perlahan, Aghniya mengerjapkan matanya. Setelah sepenuhnya tersadar, gadis itu mendudukkan dirinya dan menatap Damar dengan tatapan datar. “Kirain tadi mimpi doang ada kamu.”

“Lah, kan dari tadi aku di sini sama kamu?”

“Iya, kirain mimpi doang soalnya aku tidur. Atau kirain kamu udah pulang,” balas Aghniya.

“Nggak boleh pulang sama Bunay kalo nggak makan dulu,” balas Damar. Gadis itu mengangkat sebelah alisnya, “Bunay sama Papaji udah pulang?”

“Baru aja,” balas Damar. “Ayo makan dulu deh, kamu juga belom makan kan?”

“Iya, baru inget aku belom makan dari pagi. Pantesan laper,” sahut Aghniya. Sementara Damar menepuk kening gadis di hadapannya. Pelan, namun cukup untuk membuat gadis itu berjengit. “Tadi aku suruh makan dulu katanya nggak mood!”

“Iya sekarang berarti udah balik lagi mood-nya. Tapi ntar aja deh, tanggung. Ini belom selesai,” balas Aghniya.

“Kata siapa belom?”

“Lah emang belom kan?”

“Udah. Ini mau aku save,” balas Damar santai. Kemudian kembali berkutat dengan laptopnya dan laptop Aghniya. Mengabaikan gadis itu yang masih tidak menyangka bahwa tugas-tugasnya selesai dalam waktu singkat, oleh seorang Yudhistira Damar. Bahkan dirinya mendapat kesempatan untuk beristirahat sejenak.

“Demi apa sih, Dam? Cepet amat lu ngerjain?” tanya Aghniya tak percaya. “Ngapain lama-lama, keburu laper,” balas Damar.

Dengan tatapan yang berbinar, gadis itu tak henti-hentinya mengucap terima kasih. Rasanya kalau bisa, Aghniya ingin memeluk Damar erat-erat tanpa melepaskannya.

Alhasil, kedua tangannya terarah pada kedua bahu kokoh Damar, “Makasih banyak ya... Serius... Makasih banget...”

“Iyaaa sama-samaaaa. Udah yuk, beresin dulu,” ucap Damar.

“Semua orang pasti pengen punya pacar kayak kamu,” celetuk Aghniya asal.

Damar tertawa, “Kenapa emangnya?”

“Kamu baik banget. Terus apa ya, nggak tau deh. Kayaknya nggak ada masalah yang nggak selesai kalo ada kamu.”

“Jekkkhh, lebaaaaaay!” balas Damar.

“Seriuuuuuus! Makasih ya, kamu savior aku banget hari ini. JADI TENAAAANG nanti malem udah tinggal beresin buku nggak mikirin ini lagi huhuhu tinggal print,” ucap Aghniya. Mewakili perasaan lega yang kini mendominasi hatinya.

Seraya menatap Aghniya, Damar tersenyum, turut merasakan lega sebab gadisnya kini kembali berbahagia. Tidak seperti pagi tadi ketika pikirannya kalut.

Setelah selesai merapikan kabel-kabel laptop dan mematikan benda yang sudah menyala berjam-jam itu, Damar kembali membuka suara.

“Kamu savior aku setiap hari.”

Hal pertama yang dilakukan seorang Yudhistira Damar ketika sampai di depan pintu rumah kekasihnya adalah mengabari Aghniya bahwa ia telah sampai. Selang beberapa saat, tanpa perlu mengetuk, seseorang membukakan pintu. Menampakkan Aghniya dengan kaus dan celana joger santai, merefleksikan pikiran gadis itu yang sama sekali tak berniat pergi ke manapun. Gadis itu menatap Damar dengan tampang kusut, bibirnya ditekuk, rambutnya bahkan tidak disisir dengan rapi. Dibuktikan dari beberapa helainya yang mencuat ke atas, rambutnya sekusut pikirannya.

Damar spontan tertawa, bukannya menghina. Melainkan gemas. Dengan segera ia merentangkan tangannya lebar-lebar, bersiap menyambut sang gadis ke dalam dekapan hangatnya. Kemudian dengan langkah lesu dan mata yang sudah tak dapat lagi menahan tangis, gadis itu menelusup memeluk Damar yang nampak seperti baru pulang kerja. Pria itu datang mengenakan celana jeans dan kaus berwarna hitam, dibalut dengan hoodie abu-abu tua. Sebelah bahunya menjadi tumpuan ransel berisi laptop yang akan ia gunakan untuk menyelesaikan tugas Aghniya.

Sebelah tangan Damar terangkat untuk mengusap-usap kepala Aghniya yang kini bersembunyi di depan dada hangatnya. Berharap sebagian bebannya ikut tersapu selama usapannya belum berhenti. Sesekali Damar menepuk-nepuk kepala gadis yang masih menangis itu.

“Udah mandi belom?” Menjadi pertanyaan yang pertama kali keluar dari mulut Damar. Aghniya memundurkan wajahnya, menyeka air matanya, “Udah.”

“Oooh, udahh. Kiraain belom,” balas Damar seraya terkekeh.

“Salat udah?”

“Lagi nggak salat,” balas gadis itu. Pantesan cranky, batin Damar.

“Masuk cepetan!” ujar Aghniya seraya menarik tangan Damar. Sementara yang diseret hanya tertawa. “Ya sabar, buka sepatu dulu!”

Keduanya kini duduk lesehan di ruang tamu yang sudah berantakan akibat ulah Aghniya. Kabel pengisi daya laptop membentang di lantai, bersamaan dengan buku-buku paket yang terbuka, menampakkan entah halaman berapa.

“Astaghfirullah, kamu tuh ngerjain ppt apa main bola dalem rumah sih?” canda Damar.

“Ah tau ah. Pusing!” balas Aghniya tak peduli, membuat Damar kembali tertawa. Pria itu kemudian ikut duduk dan mengeluarkan laptopnya. Seakan siap bertempur bersama Aghniya memberantas tugas-tugas gadis itu yang merepotkan.

Pemuda itu celingak-celinguk, “Bunay sama Om Aji nggak ada?”

“Pergi,” lagi-lagi Aghniya menjawab dengan singkat. Tubuhnya kini disandarkan ke bagian bawah sofa.

Damar mengangkat kedua alisnya, “Astaghfirullahaladzim, kita berduaan doang nih?”

Aghniya melirik sinis, “Berisik lu! Bentar doang perginya, Papa minta semangka. Aku juga udah bilang kamu mau ke sini.”

Damar kembali tergelak, gadisnya ini benar-benar sedang tidak bisa diganggu. Senggol sedikit, jangan harap selamat (kalau bukan Damar).

“Ya udah, kamu mau ngerjain apa jadinya?” tanya Damar.

Aghniya—yang masih menyandarkan punggungnya ke bagian bawah sofa seraya memeluk kedua lututnya itu menggeleng. “Nggak mau ngerjain apa-apa.”

Damar tak dapat lagi menahan dirinya untuk tidak gemas. Dengan asal ia mencolek pipi tembam gadis itu. “Jangan gitu, dong! Ayo semangat yuk, gimana semangatnya gimana? Acccemangatt cintakuuuuuu!” ucap Damar, menirukan cara Aghniya ketika memberinya semangat.

Seulas senyum tipis mulai nampak di tengah wajah yang sedari tadi tak secerah biasanya. “Aku sebel.”

“Iyaa aku tau,” balas Damar.

“Kelompok aku nggak enak... Nggak ada yang mau kerjaa... Nggak ada yang mau bantuin aku... Nggak ada yang mau nanggepin aku di grup.... Mau marah...”

“Iyaaa, udah yaa? Ini kan aku temenin ngerjainnya sekarang. Aku bantuin. Aku jadi temen kelompok kamu nih sekarang,” balas Damar menenangkan.

“Bete banget aku sama Tina Toon, musuhan pokoknya!” ucap Aghniya.

Tina Toon?

“Itu si Bu Tina. Ribet banget dia tau! Nyebelin! Apa-apaan kelompok aku isinya yang beginian semua?!”

Sepersekian detik, Damar pun mengerti apa yang dibicarakan Aghniya. Gadis itu jelas membicarakan guru Prakarya mereka yang kemudian diberi julukan Tina Toon.

“Aghni, nggak gitu ah!” tegur Damar halus. Menjadi anak seorang guru, membuatnya sangat-sangat menghargai profesi itu. Sejengkel apa pun, Damar tidak pernah menjelekkan guru yang pernah mengajarnya.

“Nggak boleh ngejelekin guru gitu. Nanti ilmunya nggak masuk,” ucapnya lagi.

“Abisnya sebel!”

“Iyaa, tapi nggak boleh begitu. Kalo Ibu yang digituin kamu terima?” tanya Damar.

“Ya enggak! Tapi kan ini si Bu Tina nyebelin!”

“Iyaa, tapi kan gimana pun juga Bu Tina tuh orang tua. Kalo sama orang tua adabnya gimana?” tanya Damar, yang berhasil membungkam Aghniya. “Kesel boleh, tapi nggak boleh kelewatan. Oke?”

Aghniya hanya diam, tetap mengerucutkan bibirnya kemudian mengangguk. Setelahnya Damar terkekeh, sudah hapal betul. Setiap kali dinasehati, Aghniya tak akan membantah. Gadis itu hanya akan mengerucutkan bibir dan menuruti nasehat yang diterima.

“Kamu mau ngerjain apa Aghniii?” tanya Damar gemas. “Prakarya boleh nggak?” jawabnya, lebih tepatnya bertanya balik.

“Boleh, berarti aku MTK ya? Materimu apa?”

“Lingkaran. Tapi setiap rumus disuruh kasih contoh soal. Terus abis udah selesai presentasinya disuruh kasih contoh soal lagi lima. Banyak banget nggak—”

Celotehnya terhenti ketika Damar menutup mulut Aghniya dengan tangan kanannya. “Aku yang ngerjain, kamu nggak usah pusing. Tugas kamu sekarang kerjain prakaryanya, mulai dari makalah. Nanti PPT-nya tinggal copas aja. Nggak usah mikirin MTK lagi, itu bagian aku sekarang. Dah, yuk! Mulai.”

Setelahnya Damar memunggungi Aghniya, mulai mengeluarkan laptop dan mengerjakan apa yang harus ia kerjakan. Matanya bolak-balik menatap barisan rumus di buku paket dan internet, setelahnya memasukkannya ke dalam slide power point untuk kebutuhan presentasi.

“Kamu prakarya tugas yang mana sih?” tanya Damar tanpa menjeda pekerjaannya.

“Bikin makalah itu loh, yang makanan khas daerah-daerah tapi yang berbahan dasar nasi. Aku kebagian nasi uduk sih, cuma kan tetep aja repot, harus nyari sejarahnya-lah, ini-lah, itu-lah. Capeeeeeekkk! Ini hari Minggu aja udah tinggal beberapa jam lagi abis tau nggak sih?”

Damar tak langsung menjawab, pemuda itu tertawa kemudian dengan segera berbalik menatap Aghniya yang rupanya belum mengubah posisinya. Gadis itu belum menyentuh pekerjaannya. Damar menangkup kedua pipi Aghniya sebelum kembali membuka suara. “Eh, ngeluh tuh cuma boleh sesekali, loh! Bukannya setiap detik kayak gini, hahahaha. Udah ya? Jangan sebel sebel lagi. Ini kan aku bantuin, aku temenin sampe selesai. Aku mulai, kamu juga mulai. Pasti selesai, kok! Kita kan jago!”

Aghniya tak menjawab, gadis itu kembali mengerucutkan bibir dan hanya mengangguk. Aksinya dibalas dengan Damar yang menepuk-nepuk kepala Aghniya singkat dan kembali memunggunginya. Terdengar gerasak-gerusuk di belakangnya, dalam hati Damar tersenyum. Mungkin nasehatnya berhasil, gadisnya itu mulai menyentuh pekerjaannya.

Namun, dugaannya salah. Tubuhnya sedikit berjengit ketika mendapati punggungnya bersentuhan dengan punggung lain. Damar tahu, Aghniya bersandar di punggungnya. Pria itu baru saja ingin menoleh, namun segera diurungkan ketika mendengar suara sang gadis.

Dengan helaan napas, gadis itu berucap, “Numpang sebentar ya, Dam. Boleh nggak?”

Damar hanya berdeham. Mewakili sebuah jawaban dalam hatinya.

Boleh, dan sampai jangka waktu yang lebih lama nanti, tolong jangan cari tempat bersandar yang lain.

Sunyi. Tak ada suara yang mendominasi dalam ruangan yang di dalamnya terbaring seorang perempuan dengan wajah pucat dan mata terpejam rapat. Entah kapan bola matanya yang indah dan miliki binar cantik itu kembali bisa dipamerkan pada dunia. Azriel menunggu di sana dengan wajah frustrasi yang sudah lupa kapan terakhir kali ia bilas. Matanya bengkak lantaran sering menangis, membuatnya selalu merasakan kantuk.

Tangan kuatnya menggenggam lembut tangan sang adik yang dialiri cairan infus yang menetes perlahan-lahan. Pikirannya berkecamuk memikirkan segala kemungkinan buruk yang bukan mustahil untuk terjadi. Azriel menghela napasnya, meletakkan kepalanya yang terasa berat itu di sebelah tangan Yasmine. Menyembunyikan wajahnya di sana.

Meskipun keluarganya nampak baik-baik saja, namun nyatanya tak satu pun dari mereka yang benar-benar tak apa. Bunda dengan segala kekhawatirannya, ayah dengan segala penyesalannya, dan Azriel dengan keluhnya.

Ia baru saja pulang. Selama di perjalanan, tak ada hal lain yang memenuhi kepalanya selain perasaan tidak sabar. Buru-buru ingin bertemu dengan sang adik yang selama ini ia rindukan. Semakin panjang kah rambut hitamnya? Semakin cerah kah wajahnya? Satu-satunya hal yang Azriel harapkan untuk temukan pertama kali adalah binar mata Yasmine dan seruan semangat darinya ketika keduanya kembali bertemu setelah berpisah cukup lama.

Sayangnya, harapannya sirna seketika saat ia mendengar suara teriakan yang menyuarakan sebuah amarah. Sepersekian detik, pemuda itu langsung paham pada siapa amarah itu tertuju. Dengan segera ia melangkah masuk, dan dugaannya benar.

Remuk, hatinya remuk kala mendapati Yasmine meringkuk ketakutan di dalam dekapan sang bunda. Lebih-lebih ketika ia menemukan pipi Yasmine yang kini dilengkapi sebuah warna kebiruan. Pikirannya seketika berkecamuk, Azriel tak lagi dapat berpikir lurus kala itu. Kepalanya dipenuhi dengan bayangan hari-hari Yasmine tanpanya yang entah menjadi seberat apa. Rasa bersalah pun turut hadir memenuhi relungnya. Seandainya, ia tidak pergi.

Sejujurnya, Azriel pun lelah. Ia lelah berada di tengah-tengah keluarga yang—menurutnya—penuh kepura-puraan. Mereka selalu bersikap seolah-olah sama-sama bangga ketika semuanya bercerita tentang prestasi, jabatan, tahta. Padahal, Azriel tahu betul bahwa sejak dirinya kecil, wajah-wajah penuh senyum itu akan mengeluarkan cibiran ketika sudah sama-sama berpaling.

Azriel lelah, melihat Yasmine yang selalu mendapat diskriminasi dan ditiadakan dari daftar nama keluarga. Tidak pernah dianggap, tak pernah ikut terhitung ketika eyang putri sedang absen keluarga. Azriel lelah, hatinya ikut merasakan beban dan sesak setiap kali melihat air muka Yasmine yang selalu pancarkan kesedihan dan sorot mata yang mengiginkan peluk yang sama yang diberikan eyang pada seluruh anggota keluarganya yang lain.

“Yas,” panggilnya pada sang adik meskipun ia tahu betul gadis itu tak akan memberi jawaban.

“Tadi kata Ayah, Yasmine pasti capek banget ya selama ini?”

”...”

“Yasmine juga suka cerita sama Mas Jiel, Yayas capek banget. Yayas nggak kuat.”

”...”

“Yayas capek banget ya? Makanya Yayas mau istirahat?”

Azriel menghela napasnya pasrah, sebelum kembali buka suara. Pelan, namun suaranya tetap saja menjadi yang paling keras mendominasi ruangan. “Iya, deh. Nggak apa-apa, Mas Jiel ngerti. Yayas cuma mau istirahat aja kan, bukan mau ninggalin Mas Jiel?”

“Jangan lama-lama ya, Yas. Mas Jiel kangen.”

Setelahnya, tanpa melepas tautan jemarinya dengan milik Yasmine, Azriel kembali merebahkan kepalanya di pinggir kasur rumah sakit. Membiarkan air matanya menetes melintasi hidung mancungnya. Tak lama kemudian, Azriel memejamkan matanya. Sebelum pulas tertidur, ia meracau.

“Yayas.. Mas Jiel juga istirahat dulu ya.. Mamas nggak ninggalin Yayas, kok. Yayas juga jangan tinggalin Mamas ya? Soalnya kita cuma istirahat sebentar.”

Setelah ngabarin Bunay (dan Papaji) kalo debat udah selesai, yang gue lakuin sekarang adalah merenung. Jujur gue udah tau dari awal kalo gue nggak bisa, gue pun ikut cuma karena pengen bantu Miss Devi aja. Cuma sekarang gue jadi takut, takut ngecewain beliau. Masalahnya, selama tim gue debat tadi Miss Devi beneran cuma ngeliatin gue sama Khansa aja.

Semua tim udah selesai tampil. Sekarang waktunya para juri mengakumulasi nilai untuk nentuin pemenangnya. Alhasil, semua peserta diperbolehkan untuk istirahat. Gue liat panitia-panitia mulai bagiin konsumsi untuk para peserta dan guru pembimbing. Baik banget dah ini penyelenggaranya, dikasih makanan mulu.

Kanan kiri gue udah pada sibuk masing-masing. Sebelah gue adalah tim dari sekolah lain, mereka sibuk evaluasi satu sama lain. Bahkan hampir berantem karena tadi salah satu anggota timnya ada yang terlalu menggebu-gebu saat nyampein argumennya. Gue tutup kuping aja deh, berusaha nggak nguping dan ngelirik meskipun enak banget kayaknya nontonin mereka ribut.

Sementara itu tim gue sendiri sibuk buka-bukain snack box dan saling berebut kue sus. Gue, salah satu yang nggak suka kue sus pun ngasih punya gue ke mereka. Dari pada mubazir.

“HAH SERIUS KAK AGHNI NGGAK MAKAN INI?” tanya adek kelas gue.

“Enggak, aku nggak suka hehe.”

“Astaga, kue sus tuh surga dunia banget, Kakkk!” ucapnya. Gue ketawa, “Iya udah makan aja, makan.”

Tawa gue makin kenceng setelah gue denger dia dan temennya teriak Kue sus, jaya! Jaya! Jaya! Kagak jelas anjir, tapi ya nggak apa-apa sih. Hiburan banget buat masa-masa tegang kayak gini.

Tiba-tiba Khansa—yang kue susnya juga diambil—negur gue. “Aghni, salat nggak?”

Otomatis gue ngangguk, “Salat, Sa. Udah boleh?”

“Boleh, tapi belum azan sih. Sebentar lagi mungkin. Bareng ya?” ucap Khansa. Duh, jujur ya, Khansa tuh idaman banget. Gue kalo jadi cowok pasti naksir ya Khansa. Ini orang tuh udah cantik, tutur katanya alus banget, ibadahnya rajin, plus dia nggak pernah pelit sama temennya. Kadang gue minder sendiri temenan sama Khansa, berasa terlalu tidak layak untuk temenan sama manusia spek bidadari kayak dia.

“Iya, Sa,” jawab gue yang ternyata bertepatan dengan suara merdu yang memenuhi speaker masjid. Ini nggak adil, pikir gue. Kenapa di sekolah gue nggak ada yang.. AZANNYA SEMERDU INI?!?!?

“Eh, tuh azan. Mau salat sekarang?” tanya Khansa.

“Kalo tunggu jamaah mereka selesai mau nggak, Sa? Pasti mukenanya juga dipake semua sementara kita nggak bawa mukena sendiri. Udah gitu malu deh.. gabungnya..” balas gue jujur. Emang iya malu, soalnya berasa 'lu siapa sih gabung-gabung kuta salat?' meskipun seharusnya nggak boleh mikir gitu. Tapi tetep aja, namanya juga orang luar. Ada aja segannya.

“Oh iya juga sih, ya udah. Tunggu jamaah mereka selesai aja baru kita salat. Lagian Miss Devi juga belom balik, takutnya nyariin kalo kita nggak izin dulu,” balas Khansa. Nah, begini kan cakep.


Akhirnya gue sama Khansa nggak jadi nunggu bentar. Kita memutuskan untuk nunggu bel masuk bunyi biar masjidnya sepi hehehe. Barusan belnya bunyi dan sekarang gue sama Khansa udah menuju masjid.

Setelah ambil wudu, gue sama Khansa muter-muter. Sumpah, beneran muter-muter soalnya kita nggak tau masuknya lewat mana ya Tuhan. Asal nemu pintu, dikunci. Atau ternyata kehalingan sama tembok kecil yang dijadiin pembatas jalanan. Atau ternyata harus turun tangga dulu. Gue sama Khansa jadi makin bingung, ini ke mana sih?!

Setelah muterin masjidnya, ternyata nemu caranya menuju pintu. Pas udah nemu pintunya, NGGAK TAU BUKANYA GIMANA. Memang kalo mau berbuat baik tuh ada aja ujiannya. Ini gue mau ibadah aja dikasih ujian dulu. Nggak apa-apa, sabaaaar.

“Sa, ini bukanya gimana sih?!” tanya gue frustrasi. Udah capek banget jujur. Gue cuma berharap biar gue nggak kentut supaya nggak perlu ambil wudu lagi di tempat yang sangat jauh dan harus muter-muter itu.

“Didorong coba, Ni,” balas Khansa. “Udah, Saa! Ini gue udah dorong, tarik, nggak bisa juga. Digeser juga nggak bisa dah aneh banget ni pintu subhanallah..”

Khansa ketawa. Dalem hati gue, masih bisa aja ni orang ketawa sementara gue bentar lagi jadi singa. Kalo di animasi-animasi mungkin rambut gue udah mekar dan jadi berapi-api.

Tiba-tiba ada seseorang dari dalam masjid yang baru selesai berdoa, kemudian dia jalan ke arah gue dan Khansa yang masih stuck di depan pintu kayu masjid yang memang dilengkapi kaca transparan. Gue nggak tau dia kelas berapa, tapi mas mas ini akhirnya bukain pintu buat gue dan Khansa. Ya sekalian dia mau keluar juga sih.

Sambil senyum, dia nanya gue yang dari tadi emang berkutat sama pintu masjid ini. “Kenapa? Susah ya buka pintunya?”

Demi Allah tampar diri lo sendiri Aghniya. Lo udah punya pacar. Tapi gue nggak bisa bohong ini orang emang ganteng banget. Apa lagi abis salat...

TAPI MALU BANGET YA ALLAH, ketauan gue bodoh banget! Buka pintu aja nggak bisa. Akhirnya gue cuma ketawa aja, nahan malu. “Hehehe, iyaa susah.”

“Emang suka macet pintunya,” katanya.

“Ohh, kirain salah cara bukanya. Ya udah, makasih banyak ya, Kakk!”

Setelahnya dia ngangguk dan pergi duluan setelah gue sama Khansa melipir ngasih dia jalan. Gue sama Khansa masih heboh sendiri, SOALNYA JUJUR GANTENG BANGET.

“Sa ya Allah, berkah Zuhur, Sa!” ucap gue, bisik-bisik tentunya. Gue nggak mau bikin keluarga gue makin malu.

“Iya Aghni ya Allahhh, masya Allahh HAHAHAHAH,” balas Khansa. Yeu, bisa naksir orang juga dia.

Setelahnya gue liat mas mas berkah zuhur itu ngambil HP dari kantung celananya. Tapi ada yang ikut jatuh. Gue rasa itu name tag punya dia yang menandakan bahwa dia adalah seorang panitia.

Karena mas masnya udah nolongin gue, harusnya gue nolongin dia juga kan? Sebagai balas budi mumpung sempat. Toh, gue juga nggak tau akan ketemu dia lagi atau enggak.

Gue ambil name tag yang terjatuh tanpa sengaja itu. Setelahnya gue panggil lagi si mas mas berkah zuhur ini.

“Kak!” panggil gue. Mas mas itu noleh lagi. “Saya?”

“Iya, ini tadi jatoh. Punya Kakak bukan?” tanya gue.

Dia balik lagi, melangkah ke arah gue yang sekarang menyodorkan sebuah name tag yang sekilas sempet gue baca. Tangannya dengan hati-hati meraih benda itu, berusaha nggak menyentuh tangan gue—gue rasa karena dia tau kalo gue udah wudu.

“Ohh, iya bener. Makasih ya!”

“Sama-sama!”

Abis itu dia pergi lagi. Dan gue juga balik lagi nyusul Khansa untuk melaksanakan niat salat zuhur kita yang udah molor banget dari waktu yang direncanakan.

Hari ini gue udah nggak berharap banyak. Menang atau kalah, nggak akan jadi masalah. Soalnya gue tetep bisa ngambil pelajaran sesuai kata bunay. Soalnya.. gue bisa ketemu mas mas berkah zuhur.

Sayangnya namanya nggak ditulis lengkap. Gue baca name tag-nya tadi cuma ada tulisan nama depannya. Sisanya disingkat.

Yudhistira D. W. Sie Perlengkapan

Keringat dingin. Cuma itu kayaknya yang sekarang gue bisa rasain. Padahal dari sebelum lomba ini dinyatakan mulai, gue berkali-kali berusaha untuk sugestiin diri biar tenang. Tapi tetep aja, apa lagi ngeliat semua peserta yang terlihat jelas otaknya berisi. Nggak kayak gue yang masih selalu bingung mau ngomong apa, gimana nata bahasanya biar enak dan terdengar berbobot, gimana caranya biar argumen gue kuat, dan lain-lain.

Gue dari tadi nyimak mereka ngomong apa, dan nggak ada tanggapan selain mulut gue yang berkali-kali nganga ngeliat kehebatan mereka. Gimana ya? Selalu salut sama mereka yang sepantaran sama gue tapi bisa achieve lebih banyak dari gue, bisa punya pengalaman lebih banyak dari gue, dan lebih gigih dari gue yang sukanya cuma luntang-lantung.

Gue masih memperhatikan mereka yang sekarang dapet giliran debat. Sesuai urutan, tim gue tadi dapet urutan ke lima, sesuai sama nama sekolah gue. Yang gue lakuin ya bersyukur aja, karena toh nomornya nggak terlalu awal jadi masih bisa ngambil contoh dan juga nggak terlalu akhir jadi nunggunya nggak lama.

“Itu yang pake kacamata jago deh, i like how he stays calm walaupun lawannya kayak nyolot banget,” ucap Khansa yang dari tadi duduk di sebelah gue. Sontak gue menoleh dan ngangguk. Meskipun nggak terlalu merhatiin karena kebanyakan bengong dan mikirin jantung gue yang dag dig dug ser itu, gue sempet liat sekilas cara debat orang yang dimaksud Khansa. Dan emang bener, dia sejago itu ngontrol emosinya. Padahal lawan di depannya nyolot banget dan keliatan banget pengen ngejatohin dia.

Pertanyaan gue, bisa nggak ya gue kayak gitu? Masalahnya gue kalo ada yang nyolek dikit aja kayaknya ANJEEEEEENG RIBUT LAH! tapi kan kali ini nggak bisa.

“Sa, menurut lo gimana caranya dia bisa tetep tenang begitu?” penasaran, akhirnya gue memutuskan untuk nanya Khansa walaupun mungkin dia juga nggak tau jawabannya apa.

Khansa mikir sesaat, kemudian dia nggak ngegantungin gue gitu aja. “Hmm, aku juga nggak tau sih, Ni. Tapi aku pernah denger gitu dari alumni, aku sempet ngobrol sama dia karena kebetulan juga sebelum lulus dia sempet ikut lomba debat. Dia bilang ketika berhadapan sama tim yang harus debat sama dia, dia nggak menganggap mereka sebagai lawan. Katanya, itu yang bantu dia untuk tetap tenang selama dia deliver his argument.”

Gue otomatis menghadapkan badan gue ke Khansa. Menarik, pikir gue. “Gimana tuh, Sa?!”

“Ya dia bilang sih dia nganggep tim yang berhadapan sama dia itu teman berdiskusi gitu. Supaya dia juga tenang, nggak tegang. Karena pikirannya mau diskusi, bukan mau debat. Jadi, kalo ada yang nyolot kayak gitu ya dia cuma anggep itu orang yang beda pendapat. Bukan seorang lawan yang emang mau jatohin dia,” balas Khansa. Setelah itu gue refleks tepuk tangan pelan, keren gimana seseorang bisa buat strategi kayak gitu.

“Keren, deh! Gue takut nggak bisa, Sa,” balas gue. Khansa ketawa pelan, “Tenang aja, Aghni. Kamu bisa kok.”

“Takut nge-blank gitu loh, Sa!”

“Nggak apa-apa, Aghni. Namanya juga baru pertama kali nyoba, yang penting sekarang mah nambah pengalaman aja,” ucap Khansa.

Gue cuma diem terus ngangguk. Iya deh, nggak usah ngarepin apa-apa. Yang penting nambah pengalaman aja.

Sekitar tujuh menit, nggak berasa ternyata udah saatnya tim gue untuk diskusi. Sama seperti tim yang lain, tim gue dikasih tau mosi dan akhirnya akan dibimbing ke perpustakaan untuk nyusun argumen. Gue ngambil perlengkapan dan jalan nyusul Khansa. Nggak tau, hari ini gue kayak anak ayam yang nggak mau lepas dari induknya. Gue terus-terusan ngintilin Khansa.

Kami masih di luar kelas, nunggu panitia yang akan nganter kita ke perpustakaan. Kaki gue yang tadinya udah mendingan itu mendadak gemeteran lagi, suara yang keluar dari mulut gue bahkan ikut menyuarakan betapa gemetarnya gue saat itu. Temen-temen gue yang lain bahkan ngetawain gue saat gue ngomong.

Gue jadi lemes sendiri, rasanya gue jalan harus pegangan. Tangan gue dingin, kaki gue gemeteran, suara gue ikutan getar. Ancur, dah.

Bener aja, kan. Emang dasar yang namanya Aghniya tuh selalu ada aja kelakuannya yang bikin malu keluarga. Gue yang nggak bisa jalan dengan benar dan lurus kali itu nggak sengaja nabrak salah satu panitia yang lagi ngangkatin kursi tambahan ke dalam ruangan.

Dia noleh dan mukanya tampak tersinggung, YA JELAS.. siapa yang nggak marah orang lagi ngangkat kursi tiba-tiba disenggol?!

Sontak gue minta maaf berkali-kali pada laki-laki yang ada di hadapan gue ini, tatapannya udah garang banget gue takut. “Astaga, maaf maaf! Ya ampun, maaf banget, Kak! Saya nggak liat!”

Dia diem aja, nggak nerima permintaan maaf gue, nggak juga nolak. Tapi yang gue tau, seenggaknya matanya itu udah nggak menatap setajam tadi ke arah gue. Gue juga masih diem, masih nunggu balasan dari lelaki di depan gue ini.

Dia masih diem aja, sampe akhirnya Khansa manggil gue karena harus buru-buru ke pepustakaan berhubung tim gue udah jalan.

Akhirnya, gue memutuskan untuk minta maaf sekali lagi dan buru-buru nyusul Khansa.

“Kak, maaf banget sekali lagi. Saya nggak bermaksud apa-apa, kok. Beneran nggak sengaja soalnya saya gemeteran. Maaf ya, Kak!”

Jujur, dalem hati gue saat itu udah bukan doa biar debat gue lancar. Tapi berubah jadi doa biar kesalahan gue hari itu nggak jadi pemicu keributan antara sekolah gue dan sekolah yang gue pijaki saat ini.