Another Savior?

“Mana sih? Perasaan gue tadi duduk di sini, nggak mungkin jauh-jauh kan pindahnya? Emang tadi laporan gue dipinjem sampe ujung mana sih ya Allah ya Rabbi...”

Aghniya masih mencari laporannya frustrasi. Bolak-balik dari meja guru di laboratorium hingga meja paling belakang barisan meja yang sebelumnya ia tempati. Entahlah hari ini dirinya sempat makan atau tidak, rasanya hidupnya akan ia dedikasikan mencari laporan yang harus dikumpulkan hari itu juga, sebelum jam istirahat berakhir.

Setelah menyelipkan rambutnya ke belakang telinga, ia kembali berjongkok untuk mengecek laci-laci meja yang lain. Sesekali matanya mengintip ke arah pintu, takut-takut anak kelas lain sudah masuk menempati kursi lab. Sebab berdasarkan informasi, ia dengar bahwa setelah ini laboratorium akan dipakai oleh kelas XI MIPA 4 untuk melakukan praktikum yang sama.

“Ya Allah di mana sih.. tolong lah...”

Demi Tuhan, akan kah ia menangis lagi hari ini? Ia sudah mengerahkan tenaganya. Namun belum juga menemukan hasil. Gadis itu hampir putus asa, diliriknya jam dinding yang menggantung di laboratorium. Sekitar tujuh menit lagi waktu istirahat akan berakhir. Artinya, sebentar lagi pun kesempatannya untuk mengumpulkan laporannya akan hangus.

“Ketemu nggak, Bre?” tanya Dhimas yang baru saja kembali. Pria itu izin sebentar untuk pergi ke toilet, setelahnya berjanji akan kembali dan membantu temannya mencari laporannya yang entah di mana.

Aghniya menggeleng dengan wajahnya yang sama sekali tidak menampakkan lega. “Nggak ada Dhim...”

“Masa gue nulis ulang? Nggak bakal keburu juga, bentar lagi masuk..”

“Di belakang nggak ada?” tanya Dhimas. “Nggak ada...”

“Apa di kelas ya? Kebawa temen-temen yang tadi minjem?” Dhimas menduga hal yang sama. Gadis itu mengangguk lesu, “Bisa jadi. Tadi sih gue udah minta tolong Damar tanyain ke kelas gue.”

“Ya udah coba gue ke atas ya? Gue bantuin Damar cari. Siapa tau ada, biar nanti gue yang ngumpulin sekalian,” balas Dhimas. Setelah disetujui Aghniya, Dhimas berlari secepat kilat menuju kelasnya. Menaiki tangga tanpa hati-hati, beruntung ia tidak terpeleset.

Sementara Aghniya masih ragu untuk meninggalkan laboratorium. Ia merasa belum mencari dengan benar, namun di sisi lain pun ia merasa bahwa sudah mengerahkan tenaganya secara maksimal. Kemudian dengan berat hati, gadis itu melangkah meninggalkan laboratorium sebab seseorang dari kelas lain mulai menempati laboratorium.

Namun, sebelum kakinya melangkah lebih jauh, seseorang memanggil Aghniya dari belakang. “Eh, sorry ini punya lo bukan ya?”

Aghniya tidak menjawab, ia memperhatikan seseorang di hadapannya. Seorang lelaki dengan rambut yang sedikit gondrong, tubuhnya tegap dan lebih berisi dibanding Damar, mungkin lebih tinggi dari Damar, kulitnya putih bersinar, Demi Tuhan, apakah dirinya sedang memandang sebuah bentuk kesempurnaan?

“Halo?” sapa lelaki itu. Aghniya masih terpaku, diam-diam mengagumi seseorang di hadapannya. Bahkan suaranya terdengar mempesona di telinganya.

Pemuda itu berdeham, membuat gadis itu mengerjapkan matanya berkali-kali. “Ya?”

“Ini punya lo bukan?” tanyanya sekali lagi. Dengan hati-hati, Aghniya meraih secarik kertas folio yang disodorkan pemuda di hadapannya. Ia membaca nama yang tertera di sana. Sekon berikutnya gadis itu membelalakkan matanya. “EH IYA BENER, kok bisa sama lo?”

“Tadi ada di laci meja paling pojok belakang,” balasnya.

“Ya ampunn, makasih banyak ya! Gue nyariin ini dari tadi tapi nggak ketemu,” sahut Aghniya.

Pemuda itu terkekeh, menampakkan lesung pipi yang juga ia miliki. MAMPUS GUE ADA LESUNG PIPINYA.

“Lo pasti nggak nyari ke pojok-pojok ya?” tanyanya. “Iyaaaa, abis capek banget. Gue udah putus asa duluan. Eh makasih ya sekali lagi! Gilak lo penyelemat gue banget hari ini!” ucap Aghniya kemudian berlalu pergi. Secepat kilat gadis itu berlari, menggunakan tangga lain yang lebih dekat dengan ruang guru sebab harus mengejar waktu mengumpulkan laporan praktikum miliknya.

Mungkin kesenangannya terlalu mendominasi, hingga Aghniya tidak menyadari keberadaan Damar di dekatnya yang berdiri bersebelahan dengan Dhimas yang baru saja turun dari tangga belakang. Memperhatikannya sejak pertama kali berbincang dengan lelaki yang entah siapa. Damar pun baru melihat wajahnya.

Damar berdiri di sana sejak kata pertama yang keluar dari mulut lelaki itu. Termasuk ketika Aghniya terpaku di tempatnya. Termasuk ketika gadis itu mengatakan bahwa pemuda itu-lah penyelamatnya hari ini.

Damar menatap gadisnya nanar, ia tak mungkin berbohong bahwa ada sedikit bagian hatinya yang patah.

So i'm not her savior anymore?