Savior
Sudah setengah tiga sore, pekerjaan keduanya hampir selesai. Damar masih berkutat dengan laptopnya, begitu pun Aghniya. Lagu-lagu yang menjadi pengisi hening pun merajalela ke segala jenis. Mulai dari lagu-lagu selera Damar yang berkualitas, menuju lagu K-Pop, beralih ke lagu dangdut, lagu India, hingga lagu barat yang keduanya senandungkan bersama-sama.
“Tadi contoh soalnya suruh berapa?” tanya Damar.
“Lima ya, ayaaaang,” balas Aghniya. “Tapi yang rumus-rumus sebelumnya juga dikasih contoh. Tolong ya, Daam! Gila Damar ganteng banget hari ini uwaw!”
Salah tingkah, Damar menahan sebuah senyuman merekah di wajahnya. “Perez banget, dih!”
Namun pemuda itu lega, sebab suasana hati gadisnya sudah mulai membaik. Gadisnya mulai bersenandung lagi, wajahnya mulai cerah lagi, rambutnya mulai dirapikan, dan semangatnya mulai kembali.
“Kamu udah sampe mana, Ni?” tanya Damar lagi. “Heuummm, dikit lagi. Tinggal buat tabel bahan-bahan sama harganya aja abis itu udah,” jawab Aghniya.
Damar mengangguk, “Aku udahan nih. Kamu cek dulu, sini aku bikinin tabel harganya. Tuker tempat cepet!”
“Hah udah?”
Pemuda itu lagi-lagi mengangguk, “Tukeran.”
“Canggih banget kamu sumpah keren banget ya Allah. HAH KAMU EDITIN JUGA PPTNYA? ANIMASI SEGALA MACEMNYA?”
Gerakan Damar terhenti begitu Aghniya bertanya dengan suara lantang yang mewakili keterkejutannya. Setelahnya ia mengangguk kaku. “Sumpah? Sumpah.... Makasih ya, Dam.....”
Damar lagi-lagi terkekeh, rasanya yang membuatnya jatuh cinta setiap hari adalah kegemasan Aghniya yang menurutnya, tiada habisnya. “Udah itu cek dulu,” ujarnya.
Tak lama, suara azan berkumandang. “Aku ke masjid dulu, nanti aku bantuin lagi. Kamu cek dulu, kalo ada yang mau dibenerin bilang aja.”
“Okeee, dadaaah! Nanti ini aku benerin sendiri aja kalo ada yang mau dibenerin. Makasih ya sumpah makasih banyak gue sayang banget sama lu dah.”
“Lebay!” Setelah itu keduanya tertawa bersama. Dengan Damar yang berjalan keluar.
“Pinjem sendal yakkk!” teriak Damar dari luar. “Pake ajaaaaah!”
Sepulangnya dari masjid, Damar kembali ke ruang tamu untuk melanjutkan tugasnya yang tertunda. Seperti biasa, Damar mengucap salam. Namun, berbeda dari yang sebelumnya, kali ini tak ada jawaban. Rupanya yang ia temukan adalah Aghniya yang tertidur pulas di atas sofa empuk dengan posisi meringkuk. Helaian rambutnya jatuh sebagian menutupi wajah, namun tak kunjung menutupi kecantikannya. Dengusan serta tawa milik Damar menguar ketika mendapati napas gadis itu yang teratur.
Pada akhirnya ia membiarkan gadis itu tertidur dan melanjutkan apa yang sempat tertunda. Sedari tadi, Aghniya mengeluh terlalu banyak. Mungkin ini sudah melebihi yang bisa ia tanggung sendiri. Yang seharusnya ditanggung empat sampai lima orang, ia tanggung sendiri. Maka Damar mewajarkan gadis itu mengeluh, Damar mewajarkan gadis itu mengoceh tiada henti, dan kali ini Damar mewajarkan gadis itu tertidur. Pasti Aghniya kelelahan, sudah sejak pagi ia berusaha menuntaskan semuanya. Maka Damar membiarkannya beristirahat.
Sekon berikut, rupanya Ayna dan Aji sudah kembali pulang. Keduanya menyapa Damar yang duduk manis di atas karpet ruang tamu. “Eeeeh ada si ganteng,” ucap Ayna.
Damar tersenyum sopan, setelahnya bangkit untuk menyalami kedua orang tua Aghniya. “Dari tadi, Dam?” tanya Aji.
“Iya, lumayan Om. Dari lohor tadi,” jawab Damar. “Itu kok Aghninya malah tidur? Bangunin aja, Dam!” ucap Aji lagi.
Damar terkekeh, “Iya. Biarin aja, Om. Ini tinggal dikit lagi kok, tadi Aghni juga ngerjain. Damar bantu dikit doang.”
“Mau aja dah disuruh bantuin, Om mah ogah!” balas Aji.
“Yeuuu boong banget, dulu jaman Bunay kuliah juga Om Aji sering bantuin kok, Dam. Apa lagi pas skripsi, dia bantuin nyari bahan. Sok-sokan nggak mau ngaku lagi!” timpal Ayna, membuat Aji gelagapan. Sementara Damar hanya tertawa di tempatnya.
“Kamu mah gitu Ay.. kebiasaan...”
Ayna tak menjawab, ia memilih untuk cuek. Setelahnya tatapannya beralih pada Damar. “Damar udah makan?”
“Udah, Bun tadi pagi,” jawabnya.
“Ah, sekarang udah sore. Nanti jangan pulang dulu ya! Harus makan dulu! Bareng sama Aghni tuh, dia juga belom makan dari pagi,” balas Ayna. Setelahnya pamit untuk ke dapur bersama dengan Aji yang masih membawa belanjaan.
Ah betul juga, gadis itu belum makan. Maka dengan segera Damar membangunkannya. Pemuda itu menepuk-nepuk pipi Aghniya pelan, “Aghni, bangun hei!”
Gadis itu menggeliat, meregangkan otot-ototnya yang mungkin terasa pegal karena posisi tidur yang tidak leluasa. Namun, sebab matanya masih terpejam, Damar membangunkannya sekali lagi.
“Aghniyaa, bangun yuk. Kamu belom makan,” ucapnya halus.
Perlahan, Aghniya mengerjapkan matanya. Setelah sepenuhnya tersadar, gadis itu mendudukkan dirinya dan menatap Damar dengan tatapan datar. “Kirain tadi mimpi doang ada kamu.”
“Lah, kan dari tadi aku di sini sama kamu?”
“Iya, kirain mimpi doang soalnya aku tidur. Atau kirain kamu udah pulang,” balas Aghniya.
“Nggak boleh pulang sama Bunay kalo nggak makan dulu,” balas Damar. Gadis itu mengangkat sebelah alisnya, “Bunay sama Papaji udah pulang?”
“Baru aja,” balas Damar. “Ayo makan dulu deh, kamu juga belom makan kan?”
“Iya, baru inget aku belom makan dari pagi. Pantesan laper,” sahut Aghniya. Sementara Damar menepuk kening gadis di hadapannya. Pelan, namun cukup untuk membuat gadis itu berjengit. “Tadi aku suruh makan dulu katanya nggak mood!”
“Iya sekarang berarti udah balik lagi mood-nya. Tapi ntar aja deh, tanggung. Ini belom selesai,” balas Aghniya.
“Kata siapa belom?”
“Lah emang belom kan?”
“Udah. Ini mau aku save,” balas Damar santai. Kemudian kembali berkutat dengan laptopnya dan laptop Aghniya. Mengabaikan gadis itu yang masih tidak menyangka bahwa tugas-tugasnya selesai dalam waktu singkat, oleh seorang Yudhistira Damar. Bahkan dirinya mendapat kesempatan untuk beristirahat sejenak.
“Demi apa sih, Dam? Cepet amat lu ngerjain?” tanya Aghniya tak percaya. “Ngapain lama-lama, keburu laper,” balas Damar.
Dengan tatapan yang berbinar, gadis itu tak henti-hentinya mengucap terima kasih. Rasanya kalau bisa, Aghniya ingin memeluk Damar erat-erat tanpa melepaskannya.
Alhasil, kedua tangannya terarah pada kedua bahu kokoh Damar, “Makasih banyak ya... Serius... Makasih banget...”
“Iyaaa sama-samaaaa. Udah yuk, beresin dulu,” ucap Damar.
“Semua orang pasti pengen punya pacar kayak kamu,” celetuk Aghniya asal.
Damar tertawa, “Kenapa emangnya?”
“Kamu baik banget. Terus apa ya, nggak tau deh. Kayaknya nggak ada masalah yang nggak selesai kalo ada kamu.”
“Jekkkhh, lebaaaaaay!” balas Damar.
“Seriuuuuuus! Makasih ya, kamu savior aku banget hari ini. JADI TENAAAANG nanti malem udah tinggal beresin buku nggak mikirin ini lagi huhuhu tinggal print,” ucap Aghniya. Mewakili perasaan lega yang kini mendominasi hatinya.
Seraya menatap Aghniya, Damar tersenyum, turut merasakan lega sebab gadisnya kini kembali berbahagia. Tidak seperti pagi tadi ketika pikirannya kalut.
Setelah selesai merapikan kabel-kabel laptop dan mematikan benda yang sudah menyala berjam-jam itu, Damar kembali membuka suara.
“Kamu savior aku setiap hari.”