Pertanyaan

Haris buru-buru turun dari motor setelah memarkirkannya asal di depan rumahnya. Pria itu melempar tas, jaket, dan kunci motornya ke atas sofa empuk dan secepat kilat menghampiri Hanum yang sedari tadi menunggunya pulang.

“Mana?” tanya Haris.

“Itu lagi sama Kak Ahmad,” balas Hanum yang wajahnya menampakkan raut khawatir yang jelas. Setelahnya Haris menghela napasnya dan langsung menghampiri Haura.

Di depan kamar Hanum, nampak Ahmad yang bertolak pinggang seraya memandangi pintu kamar yang tertutup rapat. Pemuda itu menyugar rambutnya frustrasi, dan setelah melihat Haris, ia mengangkat tangannya seraya menggeleng. Mengisyaratkan bahwa usahanya pun tak membuahkan hasil.

“Gue diusir, pintunya sekarang dikunci,” ucap Ahmad.

Haris menghela napas kecewa, kemudian mendekat ke arah pintu dan mengetuknya perlahan. “Haura?” panggilnya. “Ini Kak Haris, sayang..”

Hening. Tak ada jawaban. Maka Haris mencobanya sekali lagi. “Haura? Ini Kak Haris, boleh masuk nggak?”

“Hauwa buka pintunya tapi Kak Hawis doang yang boleh masuk!”

“Iyaa, Kakak doang yang masuk.”

Tak perlu menunggu lama, pintu di hadapannya itu terbuka. Menampakkan seorang anak kecil dengan rambut panjangnya terurai berantakan. Pipi tembamnya pun dipenuhi jejak-jejak air mata. Haura mengucak matanya yang masih memerah sehabis menangis, setelahnya dengan bibir yang mengerucut, ia mendongak melihat Haris. Membuat pemuda itu secara otomatis berjongkok di hadapan Haura.

“Kenapa sayang?” tanya Haris. Adik kecilnya tak menjawab, justru menubruk Haris dan bersembunyi di pelukannya. Kembali menangis sekeras-kerasnya di sana. Sontak Haris memeluk Haura erat-erat, mengelus-elus punggungnya.

Setelah cukup lama, Haura lebih dulu melepaskan diri dari dekapan sang kakak. Barulah Haris kembali menanyakan pertanyaan yang sama. “Haura kenapa? Kok tiba-tiba marah begini?”

Alih-alih memberi jawaban, Haura kembali menangis. Pada akhirnya, Haris menghela napasnya. Pria itu memutuskan untuk mencari cara lain untuk mendapatkan jawaban dari pertanyaannya yang juga menjadi pertanyaan semua orang.

“Haura laper nggak?” tanya Haris. Gadis itu mengangguk dengan wajahnya yang masih bersungut.

Haris terkekeh pelan. Seraya mengelus kepala Haura kemudian menangkup pipinya, Haris kembali bicara. “Mau jalan-jalan sama Kak Haris sekalian nyari mam?”

Haura mengangguk, membuat Haris tersenyum dan segera membiarkan Haura menaiki punggungnya. Kemudian keduanya melangkah ke luar rumah.

“Bentar ya, Num. Nanti chat Kakak aja mau dibawain apa,” bisik Haris pada Hanum. Gadis itu pun menurut. Baik dirinya dan Haris, sama-sama paham bahwa Haura sedang tidak ingin diganggu siapapun selain Haris. Hanum pun mengerti bahwa ini bukan saatnya untuk ikut merengek. Maka gadis itu membiarkan kakaknya menghibur si bungsu.


Kini sepasang kakak-beradik itu tengah duduk di sebuah ayunan yang diletakkan bersebelahan di sebuah taman kecil dekat rumah dengan Haura yang tengah asik mengeksekusi sosis goreng yang dilumuri saus tomat beserta Haris yang asik menikmati telur gulung. Pemandangan yang membuat mata pengunjung lain memandang ke arah keduanya dengan tatapan hangat serta iri.

“Laper ya?” tanya Haris ketika melihat betapa cepat Haura menghabiskan sosis goreng miliknya. Tak seperti biasanya, Haura kini sudah menghabiskan tiga tusuk dalam waktu singkat.

Gadis kecil itu hanya mengangguk sambil tetap memakan makanannya. Haris tergelak, “Lagian Haura emangnya kenapa sih? Kok nggak mau makan? Kalo nggak makan kan nanti perutnya bisa sakit tau!”

Mendadak, Haura kembali murung. Tangannya yang tadinya selalu mengambang di udara untuk memegang sosis itu kini diturunkan. Kepalanya kembali tertunduk, membuat Haris sedikit menyesali pertanyaannya.

“Kakak cuma nanya aja, kok. Kalo Haura nggak mau cerita, nggak apa-apa. Kak Haris cuma nanya kenapa Haura nggak mau makan, emang perutnya nggak sakit? Nggak bunyi gitu perutnya?” Dengan sigap Haris berusaha membalikkan situasi. Namun adiknya itu sudah telanjur sedih.

“Kata Kak Hanum, Haura nangis terus hari ini?” tanya Haris. Masih sama seperti yang sudah-sudah, Haura hanya mengangguk tanpa suara.

“Oohh gitu. Haura lagi sedih ya?” tanya Haris lagi, dan gadis itu kembali mengangguk.

“Hmm gituu. Haura boleh kok sedih, soalnya semua orang juga ngerasain itu. Tapi, besok-besok kalo lagi sedih harus tetep mam ya?” ujar Haris. “Soalnya kalo nggak mam, nanti perutnya sakit. Kalo perutnya sakit, nanti Haura pusing. Kalo pusing, nanti nggak bisa sekolah,” lanjutnya.

“Aku nggak mau sekolah,” tegas Haura, tanpa menatap Haris. Sontak pemuda itu mengerutkan dahi, “Kenapa?”

Sepersekian detik, Haris membulatkan matanya. “Ada yang jahatin Haura?”

Tidak sesuai dugaan, Haura menggeleng. “Hauwa malu, Kak.”

Kerutan di kening Haris semakin bertambah dalam, “Malu kenapa?”

Haura menghela napasnya. Nampak jelas raut kecewa yang melebihi sebelumnya. “Kemarin Hauwa disuruh gambar keluarga.”

“Oke, terus?” tanya Haris.

“Hauwa gambar Mama, Kak Hanum, Kak Hawis,” jawabnya.

Haris menyimak dengan serius, rasanya ia tahu akan ke mana arah pembicaraan ini. Hatinya memanas, Haris merasakan darahnya berdesir dalam sekujur tubuhnya. Pun jantungnya berdegup kencang seakan siap untuk meledak. “Terus? Temen Haura bilang gambarnya jelek?” tanyanya, seraya berusaha untuk tetap tenang.

Haura menggeleng, setelahnya hening menyelimuti keduanya. Tak ada yang bersuara hingga Haura menoleh, menatap Haris dengan matanya yang berkaca-kaca. Seketika raut muka ceria yang dipertahankan Haris selama ini sirna. Dan pertanyaan yang selama ini Haris perkirakan akan muncul dari mulut Haura, hari ini terutarakan.

“Kita.. nggak punya papa ya, Kak?”

Hatinya resmi mencelos. Sejak lama, bahkan sejak Haura lahir ke dunia, Haris sudah memprediksi suatu saat nanti gadis itu akan mempertanyakan sosok yang tak pernah hadir di hidupnya. Sosok yang selalu menjadi alasan kosongnya satu kursi di meja makan. Sosok yang katanya kepala keluarga, namun memilih untuk menyerah atas keluarganya.

Haris mengerjapkan mata, kemudian dengan cepat mengembalikan fokusnya. “Hah? Punya kok!”

“Kalo punya kok nggak ada di rumah? Semua temen Hauwa, papanya ada di rumah, Kak,” ucap Haura dengan suara bergetar. Butiran air mata bahkan sudah kembali berkumpul di pelupuk mata gadis itu, siap untuk membasahi pipi tembamnya dalam satu kedipan mata.

Haris memajukan tubuhnya, mendekatkan diri pada Haura. Sebelah tangannya terangkat menghapus air mata yang baru saja jatuh.

“Papanya Haura, papanya Kak Haris sama Kak Hanum juga, beda sama papanya temen Haura,” ucapnya dengan nada lembut. “Dulu, Papa tinggal bareng sama kita. Tapi sekarang, Papa punya urusan sendiri sayang. Jadinya nggak bisa lagi bareng-bareng sama kita,” jelas Haris.

“Hauwa mau ketemu Papa!”

Haris mengangguk, “Boleh. Tapi Kak Haris nggak janji bisa ya? Karena kalo udah gede, pasti banyak tugasnya. Haura liat Mama, kan? Mama suka pulang malem. Nah, Papa juga begitu. Sama sibuknya kayak Mama, jadi nggak bisa pulang.”

“Papa benci sama Hauwa ya, Kak? Temen-temen Hauwa bilang Papa nggak ada di rumah karena nggak sayang sama Hauwa,” ujarnya murung.

“Papa nggak benci sama Haura, cuma—”

Kosong. Pikiran Haris mendadak kosong. Rupanya sekeras apapun ia mempersiapkan diri untuk menghadapi hari ini, rencananya tetap berantakan. Haris tetap tidak tahu bagaimana cara menjelaskan semuanya pada Haura.

Setelahnya Haura diam, tak ada lagi pertanyaan yang keluar dari mulutnya. Haris pun turut merapatkan bibir. Berusaha mengendalikan diri agar tidak menangis di hadapan Haura. Melihatnya seperti ini, membuat Haris merasa patah hati.

“Haura,” panggil Haris. Gadis kecil yang tadinya menunduk itu kini kembali menatap ke arah sang kakak. Sebelah tangan Haris terangkat guna menyelipkan helaian rambut Haura ke balik telinga.

“Kak Haris minta maaf, karena nggak bisa ceritain tentang Papa ke Haura sejelas-jelasnya. Nanti, kalo Haura sudah besarrr, udah setinggi Kak Hanum, pasti Kak Haris kasih tau,” ujar Haris.

“Untuk sekarang, yang perlu Haura tau adalah—meskipun Papa nggak bisa selalu ada buat Haura, Kak Haris akan selalu ada buat Haura. Oke?”

“Emangnya kalo Kak Hawis udah besar, nggak akan kayak Papa?” tanya Haura polos.

Pria itu menggeleng yakin, “Enggak, Kak Haris bakal di sini terus sama Haura. Kalaupun nanti Kak Haris tinggalnya jauh, pasti Kak Haris telepon Haura. Pasti Kak Haris pulang.”

Setelahnya, secercah senyuman mulai kembali terpatri di wajah manis Haura. Membuat Haris pun turut melakukan hal yang sama. “Jangan takut sendirian ya? Haura punya Kak Haris, Kak Hanum, Mama, Kak Ahmad, Kak Ojan, Kak Damar, Kak Dhimas, Kak Adel. Banyak. Banyak yang sayang sama Haura selain Papa.”

“Kok diem aja? Oke nggak nih?” tanya Haris. Setelahnya gadis itu mengangguk. Kemudian seraya tersenyum, Haura mengangkat jempol mungilnya dan mempertemukannya dengan jempol besar milik Haris.

Sekon berikutnya, terdengar suara perut yang kelaparan lantaran belum terisi sejak pagi berasal dari Haura. Membuat Haris tergelak, “Ih suara apa tuh?”

Haura tertawa sama kerasnya dengan Haris. Setelahnya pria itu bangkit dan menepuk-nepuk celananya, menyimpan makanannya ke dalam kresek. Setelahnya mengajak Haura, “Yuk, pulang! Apa mau beli makan dulu? Haura mau mam apa?”

“Ayammmm!”

“Okee, kita beliin buat Kak Hanum juga yaa!”

“Okey!”

Pertanyaan yang keluar dari mulut Haura mungkin bisa dialihkan dan ditepis hari ini. Namun perasaan kecewanya, perasaan patah hatinya, masih utuh terasa di relung si anak sulung yang paling lama berada di tengah-tengah keluarga.