Sandaran
Hal pertama yang dilakukan seorang Yudhistira Damar ketika sampai di depan pintu rumah kekasihnya adalah mengabari Aghniya bahwa ia telah sampai. Selang beberapa saat, tanpa perlu mengetuk, seseorang membukakan pintu. Menampakkan Aghniya dengan kaus dan celana joger santai, merefleksikan pikiran gadis itu yang sama sekali tak berniat pergi ke manapun. Gadis itu menatap Damar dengan tampang kusut, bibirnya ditekuk, rambutnya bahkan tidak disisir dengan rapi. Dibuktikan dari beberapa helainya yang mencuat ke atas, rambutnya sekusut pikirannya.
Damar spontan tertawa, bukannya menghina. Melainkan gemas. Dengan segera ia merentangkan tangannya lebar-lebar, bersiap menyambut sang gadis ke dalam dekapan hangatnya. Kemudian dengan langkah lesu dan mata yang sudah tak dapat lagi menahan tangis, gadis itu menelusup memeluk Damar yang nampak seperti baru pulang kerja. Pria itu datang mengenakan celana jeans dan kaus berwarna hitam, dibalut dengan hoodie abu-abu tua. Sebelah bahunya menjadi tumpuan ransel berisi laptop yang akan ia gunakan untuk menyelesaikan tugas Aghniya.
Sebelah tangan Damar terangkat untuk mengusap-usap kepala Aghniya yang kini bersembunyi di depan dada hangatnya. Berharap sebagian bebannya ikut tersapu selama usapannya belum berhenti. Sesekali Damar menepuk-nepuk kepala gadis yang masih menangis itu.
“Udah mandi belom?” Menjadi pertanyaan yang pertama kali keluar dari mulut Damar. Aghniya memundurkan wajahnya, menyeka air matanya, “Udah.”
“Oooh, udahh. Kiraain belom,” balas Damar seraya terkekeh.
“Salat udah?”
“Lagi nggak salat,” balas gadis itu. Pantesan cranky, batin Damar.
“Masuk cepetan!” ujar Aghniya seraya menarik tangan Damar. Sementara yang diseret hanya tertawa. “Ya sabar, buka sepatu dulu!”
Keduanya kini duduk lesehan di ruang tamu yang sudah berantakan akibat ulah Aghniya. Kabel pengisi daya laptop membentang di lantai, bersamaan dengan buku-buku paket yang terbuka, menampakkan entah halaman berapa.
“Astaghfirullah, kamu tuh ngerjain ppt apa main bola dalem rumah sih?” canda Damar.
“Ah tau ah. Pusing!” balas Aghniya tak peduli, membuat Damar kembali tertawa. Pria itu kemudian ikut duduk dan mengeluarkan laptopnya. Seakan siap bertempur bersama Aghniya memberantas tugas-tugas gadis itu yang merepotkan.
Pemuda itu celingak-celinguk, “Bunay sama Om Aji nggak ada?”
“Pergi,” lagi-lagi Aghniya menjawab dengan singkat. Tubuhnya kini disandarkan ke bagian bawah sofa.
Damar mengangkat kedua alisnya, “Astaghfirullahaladzim, kita berduaan doang nih?”
Aghniya melirik sinis, “Berisik lu! Bentar doang perginya, Papa minta semangka. Aku juga udah bilang kamu mau ke sini.”
Damar kembali tergelak, gadisnya ini benar-benar sedang tidak bisa diganggu. Senggol sedikit, jangan harap selamat (kalau bukan Damar).
“Ya udah, kamu mau ngerjain apa jadinya?” tanya Damar.
Aghniya—yang masih menyandarkan punggungnya ke bagian bawah sofa seraya memeluk kedua lututnya itu menggeleng. “Nggak mau ngerjain apa-apa.”
Damar tak dapat lagi menahan dirinya untuk tidak gemas. Dengan asal ia mencolek pipi tembam gadis itu. “Jangan gitu, dong! Ayo semangat yuk, gimana semangatnya gimana? Acccemangatt cintakuuuuuu!” ucap Damar, menirukan cara Aghniya ketika memberinya semangat.
Seulas senyum tipis mulai nampak di tengah wajah yang sedari tadi tak secerah biasanya. “Aku sebel.”
“Iyaa aku tau,” balas Damar.
“Kelompok aku nggak enak... Nggak ada yang mau kerjaa... Nggak ada yang mau bantuin aku... Nggak ada yang mau nanggepin aku di grup.... Mau marah...”
“Iyaaa, udah yaa? Ini kan aku temenin ngerjainnya sekarang. Aku bantuin. Aku jadi temen kelompok kamu nih sekarang,” balas Damar menenangkan.
“Bete banget aku sama Tina Toon, musuhan pokoknya!” ucap Aghniya.
“Tina Toon?“
“Itu si Bu Tina. Ribet banget dia tau! Nyebelin! Apa-apaan kelompok aku isinya yang beginian semua?!”
Sepersekian detik, Damar pun mengerti apa yang dibicarakan Aghniya. Gadis itu jelas membicarakan guru Prakarya mereka yang kemudian diberi julukan Tina Toon.
“Aghni, nggak gitu ah!” tegur Damar halus. Menjadi anak seorang guru, membuatnya sangat-sangat menghargai profesi itu. Sejengkel apa pun, Damar tidak pernah menjelekkan guru yang pernah mengajarnya.
“Nggak boleh ngejelekin guru gitu. Nanti ilmunya nggak masuk,” ucapnya lagi.
“Abisnya sebel!”
“Iyaa, tapi nggak boleh begitu. Kalo Ibu yang digituin kamu terima?” tanya Damar.
“Ya enggak! Tapi kan ini si Bu Tina nyebelin!”
“Iyaa, tapi kan gimana pun juga Bu Tina tuh orang tua. Kalo sama orang tua adabnya gimana?” tanya Damar, yang berhasil membungkam Aghniya. “Kesel boleh, tapi nggak boleh kelewatan. Oke?”
Aghniya hanya diam, tetap mengerucutkan bibirnya kemudian mengangguk. Setelahnya Damar terkekeh, sudah hapal betul. Setiap kali dinasehati, Aghniya tak akan membantah. Gadis itu hanya akan mengerucutkan bibir dan menuruti nasehat yang diterima.
“Kamu mau ngerjain apa Aghniii?” tanya Damar gemas. “Prakarya boleh nggak?” jawabnya, lebih tepatnya bertanya balik.
“Boleh, berarti aku MTK ya? Materimu apa?”
“Lingkaran. Tapi setiap rumus disuruh kasih contoh soal. Terus abis udah selesai presentasinya disuruh kasih contoh soal lagi lima. Banyak banget nggak—”
Celotehnya terhenti ketika Damar menutup mulut Aghniya dengan tangan kanannya. “Aku yang ngerjain, kamu nggak usah pusing. Tugas kamu sekarang kerjain prakaryanya, mulai dari makalah. Nanti PPT-nya tinggal copas aja. Nggak usah mikirin MTK lagi, itu bagian aku sekarang. Dah, yuk! Mulai.”
Setelahnya Damar memunggungi Aghniya, mulai mengeluarkan laptop dan mengerjakan apa yang harus ia kerjakan. Matanya bolak-balik menatap barisan rumus di buku paket dan internet, setelahnya memasukkannya ke dalam slide power point untuk kebutuhan presentasi.
“Kamu prakarya tugas yang mana sih?” tanya Damar tanpa menjeda pekerjaannya.
“Bikin makalah itu loh, yang makanan khas daerah-daerah tapi yang berbahan dasar nasi. Aku kebagian nasi uduk sih, cuma kan tetep aja repot, harus nyari sejarahnya-lah, ini-lah, itu-lah. Capeeeeeekkk! Ini hari Minggu aja udah tinggal beberapa jam lagi abis tau nggak sih?”
Damar tak langsung menjawab, pemuda itu tertawa kemudian dengan segera berbalik menatap Aghniya yang rupanya belum mengubah posisinya. Gadis itu belum menyentuh pekerjaannya. Damar menangkup kedua pipi Aghniya sebelum kembali membuka suara. “Eh, ngeluh tuh cuma boleh sesekali, loh! Bukannya setiap detik kayak gini, hahahaha. Udah ya? Jangan sebel sebel lagi. Ini kan aku bantuin, aku temenin sampe selesai. Aku mulai, kamu juga mulai. Pasti selesai, kok! Kita kan jago!”
Aghniya tak menjawab, gadis itu kembali mengerucutkan bibir dan hanya mengangguk. Aksinya dibalas dengan Damar yang menepuk-nepuk kepala Aghniya singkat dan kembali memunggunginya. Terdengar gerasak-gerusuk di belakangnya, dalam hati Damar tersenyum. Mungkin nasehatnya berhasil, gadisnya itu mulai menyentuh pekerjaannya.
Namun, dugaannya salah. Tubuhnya sedikit berjengit ketika mendapati punggungnya bersentuhan dengan punggung lain. Damar tahu, Aghniya bersandar di punggungnya. Pria itu baru saja ingin menoleh, namun segera diurungkan ketika mendengar suara sang gadis.
Dengan helaan napas, gadis itu berucap, “Numpang sebentar ya, Dam. Boleh nggak?”
Damar hanya berdeham. Mewakili sebuah jawaban dalam hatinya.
Boleh, dan sampai jangka waktu yang lebih lama nanti, tolong jangan cari tempat bersandar yang lain.