The Only One That She Had
Agung memarkirkan vespa biru kesayangannya di halaman rumah dengan repot sendiri lantaran pria itu harus membuka gerbangnya sendiri sebab keponakan satu-satunya itu nampak tertidur pulas dengan kepala yang bersandar pada kursi kayu panjang di teras rumah. Tangannya menjuntai lemas, membuat ponselnya bahkan terlepas dan tergeletak di lantai. Mungkin itu sebabnya ketika Agung meneleponnya, gadis itu tidak menjawab
Dengan sebelah tangannya Agung menepuk-nepuk pipi Gia perlahan. Iseng, sesekali ia mencolok-colok pipi Gia dengan telunjuk panjangnya. Gadis itu menggeliat sebelum akhirnya mengerjapkan matanya. “Bangun, Gi! Ngapain dah lu tidur di sini?” ucap Agung.
Gia mengusak kedua matanya, setelahnya gadis itu berusaha keras untuk membuka mata dan menatap ke arah om-nya yang baru pulang. Dengan suara parau, Gia menjawab pertanyaan Agung. “Kan mati lampu, gelap ah Gia takut sendirian di dalem!”
“Belom nyala juga dari tadi? Udah tau kenapa belom?” tanya Agung.
“Barusan Bu RT telepon PLN, katanya ada perbaikan dari sananya. Cuma nggak tau nih, mati lampunya sampe jam berapa. Gia ngantuk banget, Om!”
“Yah, bakalan lama nih kalo begini. Ya udah ayo masuk, ada lilin nggak di dalem?” tanya Agung.
“Ini lilin, udah Gia bawa-bawa dari tadi tapi nggak punya korek!”
Agung sontak tertawa melihat kelakuan keponakannya, “Ngapain lu bawa-bawa doang, dasar Digimon!”
Gia menggerutu mendengar panggilan masa kecilnya yang kembali disebut-sebut oleh Agung. Om-nya itu memanggilnya Digimon sebab semasa kecilnya Gia selalu memiliki badan berisi dengan pipi yang bulat menggemaskan. Dari sanalah panggilan itu berasal, awalnya Agung memanggil Gia dengan sebutan 'Gimon' alias Gia montok. Namun seiring gadis itu bertambah dewasa dengan kelakuannya yang beringasan—suka sekali menggigit tangan Agung semenjak tumbuh gigi, maka Agung memanggilnya Digimon. Monster kecil dari anime Jepang, yang menurut Agung, sangat cocok untuk menggambarkan Gia waktu itu.
“Ya orang nggak ada korek!”
“Ya pinjem ke tetangga, lah! Makanya bergaul! Semprul!” ejek Agung. “Mana sini lilinnya!”
Dengan segera Gia menyerahkan sebatang lilin putih beserta piring kecil yang ia bawa guna menjadi tatakan lilin pada Agung. Setelahnya Agung dengan mudah menyalakan lilin dengan korek api yang ia simpan di saku celana.
“Ya udah ayo masuk!” titah Agung.
“Di luar aja emang kenapa sih, Om? Panas tau di dalem. Sini aja dulu sampe nyala deh, itu tetangga yang lain juga masih pada di luar.”
Agung tersenyum jahil, matanya yang belo itu membuat ejekannya semakin jelas terlihat sebab bentuk matanya sangat mendukung wajahnya untuk menjadi ekspresif. “Tuh kaan, udah gue duga, Gi lo pasti mau mejeng! Lagi naksir siapa sih? Anaknya Pak RT ya?”
Gia memasang wajah galaknya, “APAAN SIHHHHHH, NGARANG!”
“Ih gue bilangin ah sama Pak RT, 'PAK ERTEEE SALAMIN SAMA MAS YUDI!' gitu ya?”
“OM AGUNG IH! Nanti kedengeran orang malu ih!”
“Kenapa malu? Beneran ya naksir si Yudi? Ih gue bilangin mama lo ya? Biar dijodohin sekalian, nggak perlu PDKT PDKT gituuu,” ucap Agung.
“ENGGAK IH! Siapa juga yang naksir Mas Yudi?!” balasnya seraya memukul lengan Agung. Sementara yang mendapat perilaku kekerasan tanpa tenaga itu hanya terkikik geli.
Setelahnya Agung memilih duduk di sebelah Gia, tak lupa pria itu meletakkan lilin yang kini menjadi satu-satunya sumber penerangan di antara keduanya itu di atas meja.
“Gia udah makan?” tanya Agung.
“Belom, tadi Gia mau keluar beli makan cuma males. Terus tiba-tiba mati lampu, ya udah deh lupa.”
Tanpa membalas perkataan Gia, pria itu langsung mengeluarkan sebungkus nasi goreng dari tasnya yang sempat ia beli saat perjalanan pulang. Agung tahu pasti, keponakannya itu pasti belum makan malam sebab menurutnya, Gia adalah orang yang paling enggan mengisi perutnya sendiri. Seringkali Agung pun bingung, sebab sewaktu kecil mulut gadis itu tak henti-hentinya mengunyah makanan. Namun seiring memasuki kelas 5 SD, Gia mendadak mulai susah makan. Porsi makannya menjadi sedikit dan berbanding terbalik dengan porsi makannya sewaktu kecil. Bahkan setiap hari gadis itu hanya makan satu kali jika Agung tidak memaksanya untuk makan malam.
“Makan dulu nih, nanti kalo nggak abis buat Om,” ucap Agung.
Gadis itu hanya menggeleng, “Nggak ah, Gia nggak laper.”
“Emang udah makan berapa kali?” tanya Agung.
“Sekali, tadi di sekolah doang makan bekel Gia.”
Pria yang lebih tua itu otomatis berdecak, “Kalo gitu makan lagi lah, badan lu udah ceking begitu masih aja kagak mau makan. Mau jadi setipis apa lau?”
“Ih, nggak mau nanti gembul,” balas Gia.
“Apa sih?! Gembul apanya? Ini badan lu dihempas angin juga melayang, Gi. Udah sini makan, berdua deh sama Om. Makan dulu nih, kalo udah kenyang kan tidurnya enak.”
Pada akhirnya Gia menyerah. Gadis itu ikut memakan nasi goreng yang dibawakan Agung sebab cara Agung memakannya berhasil membuat seleranya tergugah. Meskipun tetap saja, porsi yang gadis itu makan tidak mencapai setengahnya.
Setelah selesai makan, Gia memilih bersandar di kursi sambil terus mengunyah sisa makanan di mulutnya.
“Seret, nih,” ucap Agung kode meminta diambilkan air minum. Berkali-kali ia berdeham berharap Gia akan bangkit dan segera membawakannya segelas air.
Namun gadis ifu hanya diam dan justru membalas, “Sama. Om nggak sekalian beli minum sih.”
Mendadak Agung mengubah ekspresinya menjadi semakin jengkel, “Semprul! Orang udah bilang aus mah ambilin minum gitu. Kagak ada makasih makasihnya lu, Gi!”
“Apa sih, Om?”
“Ambilin minum dong, cantik!”
“Ih nggak mau ah gelap, serem!”
“Ya ilahhhhh,” keluh Agung. “Sereman juga emak lu, Gi. Udah sana buruan tolong ambilin air. Kering banget nih tenggorokan udah kayak di padang pasir.”
Gia mendelik, “Lebaaaay!”
Agung hanya terkekeh menjawab perkataan Gia. Setelahnya ia kembali menitahkan gadis itu untuk mengambilkan air minum untuk keduanya. “Buru, Gi. Tolong ambilin air!”
“Gelaaaap, Om Aguuuung!”
“Ini pake lilin sana bawa masuk, pake hp lu noh ada senternya kan?” ucap Agung. Namun Gia masih enggan, gadis itu benar-benar ngeri jika harus masuk ke dalam rumahnya yang gelap sendirian.
“Astagaa, ini bawa lilin. Uji nyali sana gih, nggak bakal ada apa-apa, Gi. Lu di rumah sendiri aja takut gimana di hutan lu?” ucap Agung lagi. Kali ini pria itu berhasil membuat hati Gia tergerak untuk melaksanakan permintaan Agung. Sebab perkataan Agung ada benarnya, sebentar lagi Gia akan mengikuti kegiatan LDKS. Gadis itu mengetahuinya melalui bocoran dari Zahra yang memang dekat dengan Aghniya, kakak kelas mereka. Bukankah itu artinya ia perlu melatih mentalnya?
Dengan sebuah decakan dan raut wajah terpaksa tapi penasaran ingin mencoba, Gia akhirnya bangkit. “Ya udah, sini lilinnya!”
Setelahnya gadis itu masuk ke dalam rumah dan berusaha mencapai dapur. Satu menit, tiga menit, masih aman. Agung pun sejujurnya ketar-ketir, namun segala pikiran buruknya segera ia tepis. Hampir lima menit, baru saja Agung ingin menghela napas lega, tiba-tiba—
“OM AGUNGGGGGGGG!!!!!!”
“OM AGUNG CEPETAN TOLONGIN GIAAAAAAAAA!!!! OM AGUNGGGGGGGG!!!”
Panik, Agung melesat menyusul Gia. Akalnya tak lagi dapat berpikir dengan baik, detak jantungnya yang mendadak terpacu akibat suara melengking Gia itu membuatnya masuk ke dalam rumah tanpa penerangan apapun. Membuat tubuhnya terbentur entah ujung meja atau kursi.
“KENAPA GI? KENAPAA??? ADA YANG LUKA? KEPENTOK? JATOH? KENAPA SIH? ADA YANG KORSLET?!” tanyanya ikut panik.
“ADA TIKUUUUUSSSS!!!!! ITU DI TONG SAMPAH SUMPAH GELIIIIIIIIIIIII!!!!” Gia membalas dengan kehebohan yang sama. Gadis itu kini bahkan berjongkok di atas meja makan dengan sebelah tangan memegang lilin dan sebelahnya lagi memeluk lututnya sendiri.
“LUUUUU!!! GUE KIRA KAKI LU PATAH, KELINGKING LU KEPELETAK APA GIMANA, NGGAK TAUNYA CUMA TIKUS DOANG!” kesal Agung. Pasalnya teriakan Gia berhasil membuat jantungnya nyaris copot. Sejahil apapun Agung kepada keponakannya, sesering apapun Agung mengatai Gia dan mengajaknya ribut, kehilangan Gia atau melihatnya celaka adalah sesuatu yang sama sekali tidak ingin ia alami.
“Ihhh, ilangin dulu tikusnya, Om! Itu lagi makan apaan nggak tau di tempat sampah. Tadi dia nabrak kaki Gia sumpah HUEEEEEEE GELI BANGET KALO INGET LAGI!” Gia mulai merengek, Agung mengetahui gadis itu menangis meskipun tak dapat melihat ekspresinya dengan jelas di tengah kegelapan.
“Ya Allah, ada tikus doang aja teriakan lu kayak digrebek serdadu Belanda tau nggak?! Jantung gue ilang, Gi! Kebangetan banget lu!”
“MAAAAAAAF! ABIS TIKUSNYA NGAGETIN!” balas Gia disela tangisannya. Tanpa membalas lagi, Agung meninggalkan Gia yang masih setia dengan posisinya di atas meja makan. Dengan sedikit pertarungan sengit, Agung berhasil mengusir tikus yang membuat kehebohan malam itu. Setelahnya ia kembali beralih pada Gia.
“Turun nggak lu?! Ini meja buat makan, bukan buat merasakan sikil lu ya, Anggia!” ucap Agung.
Gia menggeleng gemetar, “Nggak mau! Nanti ada tikus lagi aaaa nggak mau! Gia nggak pake sendal loh, Om! Nanti kalo ditabrak tikus lagi gimana aaaaaaaa nggak mau! Pokoknya nggak mau!”
“Ya udah gue tinggal,” balas Agung. Pria itu kemudian berbalik, berniat meninggalkan Gia di sana.
“IH OM AGUNG JANGAN TINGGALIN GIA DONG?!”
“YA TURUN BURUAN?! Orang tikusnya udah gue buang?!”
“NGGAK MAU TURUN!”
“YA UDAH LU DIEM AJA DI SINI!”
“YA NGGAK MAU?!”
“REPOT BANGET SIH WANITA?!” Agung mulai frustrasi. “Ya udah terus apa mau lu, ha?”
“Gendong..”
“Nyusahin.”
“GENDONG!”
“GIMANA CARANYA?! Udah bangkotan masih minta gendong!”
“GENDONG BELAKANG!”
“Nyusahin.” balas Agung.
“IH BILANGIN PAPA NIH! Biar nanti Om Agung nggak dibawain oleh-oleh kalo Papa pulang!” Gia membalas sengit.
“Kayak bapak lu bakal pulang aja!”
“HEH SEMBARANGAN!”
Agung kemudian tertawa. Secercah ide jahil muncul di kepalanya yang memang hanya terisi seribu satu cara mengusili seorang Anggia Kalila. “Mau gendong?”
“Mau!”
“Bilang dulu gue ganteng,” balas Agung dengan senyuman lebar khasnya.
“Ogah!”
“Ya udah. Dadah, Giaa! Nginep aja di sini sama tikus.”
“IHHHH—OM AGUNGG OM-KU YANG PALING GANTENG SEDUNIA!!”
“Sedunia doang?”
Gia mendelik sebelum membalas perkataan Agung, “Emang mau semana lagi?”
“Sejagat raya ini gitu,” balas Agung.
“NGELUNJAK BANGET!”
Setelahnya Agung hanya tertawa terbahak-bahak. Kemudian pria itu merendah, membiarkan punggungnya sejajar dengan Gia. “Buru naik,” ucap Agung.
Tanpa basa-basi lagi, Gia melompat ke punggung Agung. Membuat pria itu mengaduh kesakitan dan kembali mengejek Gia dengan mengatakan punggungnya bagaikan ditimpa beras tiga ton. Lebay, namun setidaknya itulah alasan Gia bisa tertawa sebanyak-banyaknya di rumah.
Agung adalah alasan gadis itu tidak kesepian di rumah mengingat mamanya yang begitu sibuk dengan karirnya dan papanya yang berada jauh dari rumah.
Malam itu keduanya terus bergurau hingga sama-sama kelelahan dan memilih bersandar pada satu sama lain. Kemudian terlelap hingga lampu kembali menyala entah pukul berapa.
Yang jelas, Agung menjaga Gia dengan sangat baik. Memberinya perlindungan penuh sebab gadis itu bersikeras untuk tidur di luar hingga lampu menyala. Sejujurnya sejak tadi, Gia sama sekali tak tahu apa yang harus ia lakukan. Gemetar, keringat dingin, panik, gadis itu ketakutan.
Ketika setiap anak di lingkungannya memiliki seseorang untuk dituju setiap kali gelap yang menyeramkan itu datang, Gia masih harus memikirkan ke mana ia harus melangkah. Karenanya, keberadaan Agung adalah yang paling ia syukuri di dunia. Because at the end of day, he's the only one that she had.