raranotruru

Agung memarkirkan vespa biru kesayangannya di halaman rumah dengan repot sendiri lantaran pria itu harus membuka gerbangnya sendiri sebab keponakan satu-satunya itu nampak tertidur pulas dengan kepala yang bersandar pada kursi kayu panjang di teras rumah. Tangannya menjuntai lemas, membuat ponselnya bahkan terlepas dan tergeletak di lantai. Mungkin itu sebabnya ketika Agung meneleponnya, gadis itu tidak menjawab

Dengan sebelah tangannya Agung menepuk-nepuk pipi Gia perlahan. Iseng, sesekali ia mencolok-colok pipi Gia dengan telunjuk panjangnya. Gadis itu menggeliat sebelum akhirnya mengerjapkan matanya. “Bangun, Gi! Ngapain dah lu tidur di sini?” ucap Agung.

Gia mengusak kedua matanya, setelahnya gadis itu berusaha keras untuk membuka mata dan menatap ke arah om-nya yang baru pulang. Dengan suara parau, Gia menjawab pertanyaan Agung. “Kan mati lampu, gelap ah Gia takut sendirian di dalem!”

“Belom nyala juga dari tadi? Udah tau kenapa belom?” tanya Agung.

“Barusan Bu RT telepon PLN, katanya ada perbaikan dari sananya. Cuma nggak tau nih, mati lampunya sampe jam berapa. Gia ngantuk banget, Om!”

“Yah, bakalan lama nih kalo begini. Ya udah ayo masuk, ada lilin nggak di dalem?” tanya Agung.

“Ini lilin, udah Gia bawa-bawa dari tadi tapi nggak punya korek!”

Agung sontak tertawa melihat kelakuan keponakannya, “Ngapain lu bawa-bawa doang, dasar Digimon!”

Gia menggerutu mendengar panggilan masa kecilnya yang kembali disebut-sebut oleh Agung. Om-nya itu memanggilnya Digimon sebab semasa kecilnya Gia selalu memiliki badan berisi dengan pipi yang bulat menggemaskan. Dari sanalah panggilan itu berasal, awalnya Agung memanggil Gia dengan sebutan 'Gimon' alias Gia montok. Namun seiring gadis itu bertambah dewasa dengan kelakuannya yang beringasan—suka sekali menggigit tangan Agung semenjak tumbuh gigi, maka Agung memanggilnya Digimon. Monster kecil dari anime Jepang, yang menurut Agung, sangat cocok untuk menggambarkan Gia waktu itu.

“Ya orang nggak ada korek!”

“Ya pinjem ke tetangga, lah! Makanya bergaul! Semprul!” ejek Agung. “Mana sini lilinnya!”

Dengan segera Gia menyerahkan sebatang lilin putih beserta piring kecil yang ia bawa guna menjadi tatakan lilin pada Agung. Setelahnya Agung dengan mudah menyalakan lilin dengan korek api yang ia simpan di saku celana.

“Ya udah ayo masuk!” titah Agung.

“Di luar aja emang kenapa sih, Om? Panas tau di dalem. Sini aja dulu sampe nyala deh, itu tetangga yang lain juga masih pada di luar.”

Agung tersenyum jahil, matanya yang belo itu membuat ejekannya semakin jelas terlihat sebab bentuk matanya sangat mendukung wajahnya untuk menjadi ekspresif. “Tuh kaan, udah gue duga, Gi lo pasti mau mejeng! Lagi naksir siapa sih? Anaknya Pak RT ya?”

Gia memasang wajah galaknya, “APAAN SIHHHHHH, NGARANG!”

“Ih gue bilangin ah sama Pak RT, 'PAK ERTEEE SALAMIN SAMA MAS YUDI!' gitu ya?”

“OM AGUNG IH! Nanti kedengeran orang malu ih!”

“Kenapa malu? Beneran ya naksir si Yudi? Ih gue bilangin mama lo ya? Biar dijodohin sekalian, nggak perlu PDKT PDKT gituuu,” ucap Agung.

“ENGGAK IH! Siapa juga yang naksir Mas Yudi?!” balasnya seraya memukul lengan Agung. Sementara yang mendapat perilaku kekerasan tanpa tenaga itu hanya terkikik geli.

Setelahnya Agung memilih duduk di sebelah Gia, tak lupa pria itu meletakkan lilin yang kini menjadi satu-satunya sumber penerangan di antara keduanya itu di atas meja.

“Gia udah makan?” tanya Agung.

“Belom, tadi Gia mau keluar beli makan cuma males. Terus tiba-tiba mati lampu, ya udah deh lupa.”

Tanpa membalas perkataan Gia, pria itu langsung mengeluarkan sebungkus nasi goreng dari tasnya yang sempat ia beli saat perjalanan pulang. Agung tahu pasti, keponakannya itu pasti belum makan malam sebab menurutnya, Gia adalah orang yang paling enggan mengisi perutnya sendiri. Seringkali Agung pun bingung, sebab sewaktu kecil mulut gadis itu tak henti-hentinya mengunyah makanan. Namun seiring memasuki kelas 5 SD, Gia mendadak mulai susah makan. Porsi makannya menjadi sedikit dan berbanding terbalik dengan porsi makannya sewaktu kecil. Bahkan setiap hari gadis itu hanya makan satu kali jika Agung tidak memaksanya untuk makan malam.

“Makan dulu nih, nanti kalo nggak abis buat Om,” ucap Agung.

Gadis itu hanya menggeleng, “Nggak ah, Gia nggak laper.”

“Emang udah makan berapa kali?” tanya Agung.

“Sekali, tadi di sekolah doang makan bekel Gia.”

Pria yang lebih tua itu otomatis berdecak, “Kalo gitu makan lagi lah, badan lu udah ceking begitu masih aja kagak mau makan. Mau jadi setipis apa lau?”

“Ih, nggak mau nanti gembul,” balas Gia.

“Apa sih?! Gembul apanya? Ini badan lu dihempas angin juga melayang, Gi. Udah sini makan, berdua deh sama Om. Makan dulu nih, kalo udah kenyang kan tidurnya enak.”

Pada akhirnya Gia menyerah. Gadis itu ikut memakan nasi goreng yang dibawakan Agung sebab cara Agung memakannya berhasil membuat seleranya tergugah. Meskipun tetap saja, porsi yang gadis itu makan tidak mencapai setengahnya.

Setelah selesai makan, Gia memilih bersandar di kursi sambil terus mengunyah sisa makanan di mulutnya.

“Seret, nih,” ucap Agung kode meminta diambilkan air minum. Berkali-kali ia berdeham berharap Gia akan bangkit dan segera membawakannya segelas air.

Namun gadis ifu hanya diam dan justru membalas, “Sama. Om nggak sekalian beli minum sih.”

Mendadak Agung mengubah ekspresinya menjadi semakin jengkel, “Semprul! Orang udah bilang aus mah ambilin minum gitu. Kagak ada makasih makasihnya lu, Gi!”

“Apa sih, Om?”

“Ambilin minum dong, cantik!”

“Ih nggak mau ah gelap, serem!”

“Ya ilahhhhh,” keluh Agung. “Sereman juga emak lu, Gi. Udah sana buruan tolong ambilin air. Kering banget nih tenggorokan udah kayak di padang pasir.”

Gia mendelik, “Lebaaaay!”

Agung hanya terkekeh menjawab perkataan Gia. Setelahnya ia kembali menitahkan gadis itu untuk mengambilkan air minum untuk keduanya. “Buru, Gi. Tolong ambilin air!”

“Gelaaaap, Om Aguuuung!”

“Ini pake lilin sana bawa masuk, pake hp lu noh ada senternya kan?” ucap Agung. Namun Gia masih enggan, gadis itu benar-benar ngeri jika harus masuk ke dalam rumahnya yang gelap sendirian.

“Astagaa, ini bawa lilin. Uji nyali sana gih, nggak bakal ada apa-apa, Gi. Lu di rumah sendiri aja takut gimana di hutan lu?” ucap Agung lagi. Kali ini pria itu berhasil membuat hati Gia tergerak untuk melaksanakan permintaan Agung. Sebab perkataan Agung ada benarnya, sebentar lagi Gia akan mengikuti kegiatan LDKS. Gadis itu mengetahuinya melalui bocoran dari Zahra yang memang dekat dengan Aghniya, kakak kelas mereka. Bukankah itu artinya ia perlu melatih mentalnya?

Dengan sebuah decakan dan raut wajah terpaksa tapi penasaran ingin mencoba, Gia akhirnya bangkit. “Ya udah, sini lilinnya!”

Setelahnya gadis itu masuk ke dalam rumah dan berusaha mencapai dapur. Satu menit, tiga menit, masih aman. Agung pun sejujurnya ketar-ketir, namun segala pikiran buruknya segera ia tepis. Hampir lima menit, baru saja Agung ingin menghela napas lega, tiba-tiba—

“OM AGUNGGGGGGGG!!!!!!”

“OM AGUNG CEPETAN TOLONGIN GIAAAAAAAAA!!!! OM AGUNGGGGGGGG!!!”

Panik, Agung melesat menyusul Gia. Akalnya tak lagi dapat berpikir dengan baik, detak jantungnya yang mendadak terpacu akibat suara melengking Gia itu membuatnya masuk ke dalam rumah tanpa penerangan apapun. Membuat tubuhnya terbentur entah ujung meja atau kursi.

“KENAPA GI? KENAPAA??? ADA YANG LUKA? KEPENTOK? JATOH? KENAPA SIH? ADA YANG KORSLET?!” tanyanya ikut panik.

“ADA TIKUUUUUSSSS!!!!! ITU DI TONG SAMPAH SUMPAH GELIIIIIIIIIIIII!!!!” Gia membalas dengan kehebohan yang sama. Gadis itu kini bahkan berjongkok di atas meja makan dengan sebelah tangan memegang lilin dan sebelahnya lagi memeluk lututnya sendiri.

“LUUUUU!!! GUE KIRA KAKI LU PATAH, KELINGKING LU KEPELETAK APA GIMANA, NGGAK TAUNYA CUMA TIKUS DOANG!” kesal Agung. Pasalnya teriakan Gia berhasil membuat jantungnya nyaris copot. Sejahil apapun Agung kepada keponakannya, sesering apapun Agung mengatai Gia dan mengajaknya ribut, kehilangan Gia atau melihatnya celaka adalah sesuatu yang sama sekali tidak ingin ia alami.

“Ihhh, ilangin dulu tikusnya, Om! Itu lagi makan apaan nggak tau di tempat sampah. Tadi dia nabrak kaki Gia sumpah HUEEEEEEE GELI BANGET KALO INGET LAGI!” Gia mulai merengek, Agung mengetahui gadis itu menangis meskipun tak dapat melihat ekspresinya dengan jelas di tengah kegelapan.

“Ya Allah, ada tikus doang aja teriakan lu kayak digrebek serdadu Belanda tau nggak?! Jantung gue ilang, Gi! Kebangetan banget lu!”

“MAAAAAAAF! ABIS TIKUSNYA NGAGETIN!” balas Gia disela tangisannya. Tanpa membalas lagi, Agung meninggalkan Gia yang masih setia dengan posisinya di atas meja makan. Dengan sedikit pertarungan sengit, Agung berhasil mengusir tikus yang membuat kehebohan malam itu. Setelahnya ia kembali beralih pada Gia.

“Turun nggak lu?! Ini meja buat makan, bukan buat merasakan sikil lu ya, Anggia!” ucap Agung.

Gia menggeleng gemetar, “Nggak mau! Nanti ada tikus lagi aaaa nggak mau! Gia nggak pake sendal loh, Om! Nanti kalo ditabrak tikus lagi gimana aaaaaaaa nggak mau! Pokoknya nggak mau!”

“Ya udah gue tinggal,” balas Agung. Pria itu kemudian berbalik, berniat meninggalkan Gia di sana.

“IH OM AGUNG JANGAN TINGGALIN GIA DONG?!”

“YA TURUN BURUAN?! Orang tikusnya udah gue buang?!”

“NGGAK MAU TURUN!”

“YA UDAH LU DIEM AJA DI SINI!”

“YA NGGAK MAU?!”

“REPOT BANGET SIH WANITA?!” Agung mulai frustrasi. “Ya udah terus apa mau lu, ha?”

“Gendong..”

“Nyusahin.”

“GENDONG!”

“GIMANA CARANYA?! Udah bangkotan masih minta gendong!”

“GENDONG BELAKANG!”

“Nyusahin.” balas Agung.

“IH BILANGIN PAPA NIH! Biar nanti Om Agung nggak dibawain oleh-oleh kalo Papa pulang!” Gia membalas sengit.

“Kayak bapak lu bakal pulang aja!”

“HEH SEMBARANGAN!”

Agung kemudian tertawa. Secercah ide jahil muncul di kepalanya yang memang hanya terisi seribu satu cara mengusili seorang Anggia Kalila. “Mau gendong?”

“Mau!”

“Bilang dulu gue ganteng,” balas Agung dengan senyuman lebar khasnya.

“Ogah!”

“Ya udah. Dadah, Giaa! Nginep aja di sini sama tikus.”

“IHHHH—OM AGUNGG OM-KU YANG PALING GANTENG SEDUNIA!!”

“Sedunia doang?”

Gia mendelik sebelum membalas perkataan Agung, “Emang mau semana lagi?”

“Sejagat raya ini gitu,” balas Agung.

“NGELUNJAK BANGET!”

Setelahnya Agung hanya tertawa terbahak-bahak. Kemudian pria itu merendah, membiarkan punggungnya sejajar dengan Gia. “Buru naik,” ucap Agung.

Tanpa basa-basi lagi, Gia melompat ke punggung Agung. Membuat pria itu mengaduh kesakitan dan kembali mengejek Gia dengan mengatakan punggungnya bagaikan ditimpa beras tiga ton. Lebay, namun setidaknya itulah alasan Gia bisa tertawa sebanyak-banyaknya di rumah.

Agung adalah alasan gadis itu tidak kesepian di rumah mengingat mamanya yang begitu sibuk dengan karirnya dan papanya yang berada jauh dari rumah.

Malam itu keduanya terus bergurau hingga sama-sama kelelahan dan memilih bersandar pada satu sama lain. Kemudian terlelap hingga lampu kembali menyala entah pukul berapa.

Yang jelas, Agung menjaga Gia dengan sangat baik. Memberinya perlindungan penuh sebab gadis itu bersikeras untuk tidur di luar hingga lampu menyala. Sejujurnya sejak tadi, Gia sama sekali tak tahu apa yang harus ia lakukan. Gemetar, keringat dingin, panik, gadis itu ketakutan.

Ketika setiap anak di lingkungannya memiliki seseorang untuk dituju setiap kali gelap yang menyeramkan itu datang, Gia masih harus memikirkan ke mana ia harus melangkah. Karenanya, keberadaan Agung adalah yang paling ia syukuri di dunia. Because at the end of day, he's the only one that she had.

Agung memarkirkan vespa biru kesayangannya di halaman rumah dengan repot sendiri lantaran pria itu harus membuka gerbangnya sendiri sebab keponakan satu-satunya itu nampak tertidur pulas dengan kepala yang bersandar pada kursi kayu panjang di teras rumah. Tangannya menjuntai lemas, membuat ponselnya bahkan terlepas dan tergeletak di lantai. Mungkin itu sebabnya ketika Agung meneleponnya, gadis itu tidak menjawab

Dengan sebelah tangannya Agung menepuk-nepuk pipi Gia perlahan. Iseng, sesekali ia mencolok-colok pipi Gia dengan telunjuk panjangnya. Gadis itu menggeliat sebelum akhirnya mengerjapkan matanya. “Bangun, Gi! Ngapain dah lu tidur di sini?” ucap Agung.

Gia mengusak kedua matanya, setelahnya gadis itu berusaha keras untuk membuka mata dan menatap ke arah om-nya yang baru pulang. Dengan suara parau, Gia menjawab pertanyaan Agung. “Kan mati lampu, gelap ah Gia takut sendirian di dalem!”

“Belom nyala juga dari tadi? Udah tau kenapa belom?” tanya Agung.

“Barusan Bu RT telepon PLN, katanya ada perbaikan dari sananya. Cuma nggak tau nih, mati lampunya sampe jam berapa. Gia ngantuk banget, Om!”

“Yah, bakalan lama nih kalo begini. Ya udah ayo masuk, ada lilin nggak di dalem?” tanya Agung.

“Ini lilin, udah Gia bawa-bawa dari tadi tapi nggak punya korek!”

Agung sontak tertawa melihat kelakuan keponakannya, “Ngapain lu bawa-bawa doang, dasar Digimon!”

Gia menggerutu mendengar panggilan masa kecilnya yang kembali disebut-sebut oleh Agung. Om-nya itu memanggilnya Digimon sebab semasa kecilnya Gia selalu memiliki badan berisi dengan pipi yang bulat menggemaskan. Dari sanalah panggilan itu berasal, awalnya Agung memanggil Gia dengan sebutan 'Gimon' alias Gia montok. Namun seiring gadis itu bertambah dewasa dengan kelakuannya yang beringasan—suka sekali menggigit tangan Agung semenjak tumbuh gigi, maka Agung memanggilnya Digimon. Monster kecil dari anime Jepang, yang menurut Agung, sangat cocok untuk menggambarkan Gia waktu itu.

“Ya orang nggak ada korek!”

“Ya pinjem ke tetangga, lah! Makanya bergaul! Semprul!” ejek Agung. “Mana sini lilinnya!”

Dengan segera Gia menyerahkan sebatang lilin putih beserta piring kecil yang ia bawa guna menjadi tatakan lilin pada Agung. Setelahnya Agung dengan mudah menyalakan lilin dengan korek api yang ia simpan di saku celana.

“Ya udah ayo masuk!” titah Agung.

“Di luar aja emang kenapa sih, Om? Panas tau di dalem. Sini aja dulu sampe nyala deh, itu tetangga yang lain juga masih pada di luar.”

Agung tersenyum jahil, matanya yang belo itu membuat ejekannya semakin jelas terlihat sebab bentuk matanya sangat mendukung wajahnya untuk menjadi ekspresif. “Tuh kaan, udah gue duga, Gi lo pasti mau mejeng! Lagi naksir siapa sih? Anaknya Pak RT ya?”

Gia memasang wajah galaknya, “APAAN SIHHHHHH, NGARANG!”

“Ih gue bilangin ah sama Pak RT, 'PAK ERTEEE SALAMIN SAMA MAS YUDI!' gitu ya?”

“OM AGUNG IH! Nanti kedengeran orang malu ih!”

“Kenapa malu? Beneran ya naksir si Yudi? Ih gue bilangin mama lo ya? Biar dijodohin sekalian, nggak perlu PDKT PDKT gituuu,” ucap Agung.

“ENGGAK IH! Siapa juga yang naksir Mas Yudi?!” balasnya seraya memukul lengan Agung. Sementara yang mendapat perilaku kekerasan tanpa tenaga itu hanya terkikik geli.

Setelahnya Agung memilih duduk di sebelah Gia, tak lupa pria itu meletakkan lilin yang kini menjadi satu-satunya sumber penerangan di antara keduanya itu di atas meja.

“Gia udah makan?” tanya Agung.

“Belom, tadi Gia mau keluar beli makan cuma males. Terus tiba-tiba mati lampu, ya udah deh lupa.”

Tanpa membalas perkataan Gia, pria itu langsung mengeluarkan sebungkus nasi goreng dari tasnya yang sempat ia beli saat perjalanan pulang. Agung tahu pasti, keponakannya itu pasti belum makan malam sebab menurutnya, Gia adalah orang yang paling enggan mengisi perutnya sendiri. Seringkali Agung pun bingung, sebab sewaktu kecil mulut gadis itu tak henti-hentinya mengunyah makanan. Namun seiring memasuki kelas 5 SD, Gia mendadak mulai susah makan. Porsi makannya menjadi sedikit dan berbanding terbalik dengan porsi makannya sewaktu kecil. Bahkan setiap hari gadis itu hanya makan satu kali jika Agung tidak memaksanya untuk makan malam.

“Makan dulu nih, nanti kalo nggak abis buat Om,” ucap Agung.

Gadis itu hanya menggeleng, “Nggak ah, Gia nggak laper.”

“Emang udah makan berapa kali?” tanya Agung.

“Sekali, tadi di sekolah doang makan bekel Gia.”

Pria yang lebih tua itu otomatis berdecak, “Kalo gitu makan lagi lah, badan lu udah ceking begitu masih aja kagak mau makan. Mau jadi setipis apa lau?”

“Ih, nggak mau nanti gembul,” balas Gia.

“Apa sih?! Gembul apanya? Ini badan lu dihempas angin juga melayang, Gi. Udah sini makan, berdua deh sama Om. Makan dulu nih, kalo udah kenyang kan tidurnya enak.”

Pada akhirnya Gia menyerah. Gadis itu ikut memakan nasi goreng yang dibawakan Agung sebab cara Agung memakannya berhasil membuat seleranya tergugah. Meskipun tetap saja, porsi yang gadis itu makan tidak mencapai setengahnya.

Setelah selesai makan, Gia memilih bersandar di kursi sambil terus mengunyah sisa makanan di mulutnya.

“Seret, nih,” ucap Agung kode meminta diambilkan air minum. Berkali-kali ia berdeham berharap Gia akan bangkit dan segera membawakannya segelas air.

Namun gadis ifu hanya diam dan justru membalas, “Sama. Om nggak sekalian beli minum sih.”

Mendadak Agung mengubah ekspresinya menjadi semakin jengkel, “Semprul! Orang udah bilang aus mah ambilin minum gitu. Kagak ada makasih makasihnya lu, Gi!”

“Apa sih, Om?”

“Ambilin minum dong, cantik!”

“Ih nggak mau ah gelap, serem!”

“Ya ilahhhhh,” keluh Agung. “Sereman juga emak lu, Gi. Udah sana buruan tolong ambilin air. Kering banget nih tenggorokan udah kayak di padang pasir.”

Gia mendelik, “Lebaaaay!”

Agung hanya terkekeh menjawab perkataan Gia. Setelahnya ia kembali menitahkan gadis itu untuk mengambilkan air minum untuk keduanya. “Buru, Gi. Tolong ambilin air!”

“Gelaaaap, Om Aguuuung!”

“Ini pake lilin sana bawa masuk, pake hp lu noh ada senternya kan?” ucap Agung. Namun Gia masih enggan, gadis itu benar-benar ngeri jika harus masuk ke dalam rumahnya yang gelap sendirian.

“Astagaa, ini bawa lilin. Uji nyali sana gih, nggak bakal ada apa-apa, Gi. Lu di rumah sendiri aja takut gimana di hutan lu?” ucap Agung lagi. Kali ini pria itu berhasil membuat hati Gia tergerak untuk melaksanakan permintaan Agung. Sebab perkataan Agung ada benarnya, sebentar lagi Gia akan mengikuti kegiatan LDKS. Gadis itu mengetahuinya melalui bocoran dari Zahra yang memang dekat dengan Aghniya, kakak kelas mereka. Bukankah itu artinya ia perlu melatih mentalnya?

Dengan sebuah decakan dan raut wajah terpaksa tapi penasaran ingin mencoba, Gia akhirnya bangkit. “Ya udah, sini lilinnya!”

Setelahnya gadis itu masuk ke dalam rumah dan berusaha mencapai dapur. Satu menit, tiga menit, masih aman. Agung pun sejujurnya ketar-ketir, namun segala pikiran buruknya segera ia tepis. Hampir lima menit, baru saja Agung ingin menghela napas lega, tiba-tiba—

“OM AGUNGGGGGGGG!!!!!!”

“OM AGUNG CEPETAN TOLONGIN GIAAAAAAAAA!!!! OM AGUNGGGGGGGG!!!”

Panik, Agung melesat menyusul Gia. Akalnya tak lagi dapat berpikir dengan baik, detak jantungnya yang mendadak terpacu akibat suara melengking Gia itu membuatnya masuk ke dalam rumah tanpa penerangan apapun. Membuat tubuhnya terbentur entah ujung meja atau kursi.

“KENAPA GI? KENAPAA??? ADA YANG LUKA? KEPENTOK? JATOH? KENAPA SIH? ADA YANG KORSLET?!” tanyanya ikut panik.

“ADA TIKUUUUUSSSS!!!!! ITU DI TONG SAMPAH SUMPAH GELIIIIIIIIIIIII!!!!” Gia membalas dengan kehebohan yang sama. Gadis itu kini bahkan berjongkok di atas meja makan dengan sebelah tangan memegang lilin dan sebelahnya lagi memeluk lututnya sendiri.

“LUUUUU!!! GUE KIRA KAKI LU PATAH, KELINGKING LU KEPELETAK APA GIMANA, NGGAK TAUNYA CUMA TIKUS DOANG!” kesal Agung. Pasalnya teriakan Gia berhasil membuat jantungnya nyaris copot. Sejahil apapun Agung kepada keponakannya, sesering apapun Agung mengatai Gia dan mengajaknya ribut, kehilangan Gia atau melihatnya celaka adalah sesuatu yang sama sekali tidak ingin ia alami.

“Ihhh, ilangin dulu tikusnya, Om! Itu lagi makan apaan nggak tau di tempat sampah. Tadi dia nabrak kaki Gia sumpah HUEEEEEEE GELI BANGET KALO INGET LAGI!” Gia mulai merengek, Agung mengetahui gadis itu menangis meskipun tak dapat melihat ekspresinya dengan jelas di tengah kegelapan.

“Ya Allah, ada tikus doang aja teriakan lu kayak digrebek serdadu Belanda tau nggak?! Jantung gue ilang, Gi! Kebangetan banget lu!”

“MAAAAAAAF! ABIS TIKUSNYA NGAGETIN!” balas Gia disela tangisannya. Tanpa membalas lagi, Agung meninggalkan Gia yang masih setia dengan posisinya di atas meja makan. Dengan sedikit pertarungan sengit, Agung berhasil mengusir tikus yang membuat kehebohan malam itu. Setelahnya ia kembali beralih pada Gia.

“Turun nggak lu?! Ini meja buat makan, bukan buat merasakan sikil lu ya, Anggia!” ucap Agung.

Gia menggeleng gemetar, “Nggak mau! Nanti ada tikus lagi aaaa nggak mau! Gia nggak pake sendal loh, Om! Nanti kalo ditabrak tikus lagi gimana aaaaaaaa nggak mau! Pokoknya nggak mau!”

“Ya udah gue tinggal,” balas Agung. Pria itu kemudian berbalik, berniat meninggalkan Gia di sana.

“IH OM AGUNG JANGAN TINGGALIN GIA DONG?!”

“YA TURUN BURUAN?! Orang tikusnya udah gue buang?!”

“NGGAK MAU TURUN!”

“YA UDAH LU DIEM AJA DI SINI!”

“YA NGGAK MAU?!”

“REPOT BANGET SIH WANITA?!” Agung mulai frustrasi. “Ya udah terus apa mau lu, ha?”

“Gendong..”

“Nyusahin.”

“GENDONG!”

“GIMANA CARANYA?! Udah bangkotan masih minta gendong!”

“GENDONG BELAKANG!”

“Nyusahin.” balas Agung.

“IH BILANGIN PAPA NIH! Biar nanti Om Agung nggak dibawain oleh-oleh kalo Papa pulang!” Gia membalas sengit.

“Kayak bapak lu bakal pulang aja!”

“HEH SEMBARANGAN!”

Agung kemudian tertawa. Secercah ide jahil muncul di kepalanya yang memang hanya terisi seribu satu cara mengusili seorang Anggia Kalila. “Mau gendong?”

“Mau!”

“Bilang dulu gue ganteng,” balas Agung dengan senyuman lebar khasnya.

“Ogah!”

“Ya udah. Dadah, Giaa! Nginep aja di sini sama tikus.”

“IHHHH—OM AGUNGG OM-KU YANG PALING GANTENG SEDUNIA!!”

“Sedunia doang?”

Gia mendelik sebelum membalas perkataan Agung, “Emang mau semana lagi?”

“Sejagat raya ini gitu,” balas Agung.

“NGELUNJAK BANGET!”

Setelahnya Agung hanya tertawa terbahak-bahak. Kemudian pria itu merendah, membiarkan punggungnya sejajar dengan Gia. “Buru naik,” ucap Agung.

Tanpa basa-basi lagi, Gia melompat ke punggung Agung. Membuat pria itu mengaduh kesakitan dan kembali mengejek Gia dengan mengatakan punggungnya bagaikan ditimpa beras tiga ton. Lebay, namun setidaknya itulah alasan Gia bisa tertawa sebanyak-banyaknya di rumah.

Agung adalah alasan gadis itu tidak kesepian di rumah mengingat mamanya yang begitu sibuk dengan karirnya dan papanya yang berada jauh dari rumah.

Malam itu keduanya terus bergurau hingga sama-sama kelelahan dan memilih bersandar pada satu sama lain. Kemudian terlelap hingga lampu kembali menyala entah pukul berapa.

Yang jelas, Agung menjaga Gia dengan sangat baik. Memberinya perlindungan penuh sebab gadis itu bersikeras untuk tidur di luar hingga lampu menyala. Sejujurnya sejak tadi, Gia sama sekali tak tahu apa yang harus ia lakukan. Gemetar, keringat dingin, panik, gadis itu ketakutan.

Ketika setiap anak di lingkungannya memiliki seseorang untuk dituju setiap kali gelap yang menyeramkan itu datang, Gia masih harus memikirkan ke mana ia harus melangkah. Karenanya, keberadaan Agung adalah yang paling ia syukuri di dunia. Because at the end of day, he's the only one she had.

Dengan membonceng kedua adiknya, Haris membawa mereka ke sebuah taman tak jauh dari rumah yang memang ramai pengunjung ketika sore hingga malam hari. Haris tak berharap apapun, ia hanya ingin menyegarkan pikiran serta menghabiskan waktu dengan kedua adiknya setelah sekian lama tidak bermain dengan keduanya lantaran jadwal sekolah yang berbeda.

Ketiganya berjalan menyusuri taman yang dipenuhi sinar lampu warna-warni yang berpendar cantik. Pelengkap yang tepat untuk sebuah taman pada malam hari, menambah suasana romantik nan mengangatkan hati meski angin malam semakin dingin.

Haris mengambil posisi di tengah, kedua tangannya tak menganggur lantaran digunakan untuk bertautan dengan tangan adik-adiknya yang lebih kecil. Haris menggenggam tangan keduanya erat di kedua sisinya. Telapak tangannya yang paling besar di tengah-tengah keluarga seolah adalah representasi bahwa dirinya-lah yang harus menjaga anggota lain dalam keluarganya. Melindunginya dan mendekapnya hangat hingga tak seorang pun jumpai bahaya.

Sementara si anak sulung berjalan dengan santai, berusaha mengurangi lebar langkahnya supaya adik-adiknya tak kesusahan menyamai langkahnya, sang anak tengah dan bungsu sudah sibuk celingak-celinguk. Memilah-milah jajanan mana yang harus pertama kali dihampiri sebab semuanya nampak memanjakan mata.

“Mau ke mana dulu?” Haris memulai sebuah komunikasi terbuka, membebaskan adik-adiknya untuk memberi jawaban.

“ES KRIM KAKKK!!” jawab Haura semangat. Haris terkekeh kemudian menoleh pada Hanum yang masih belum memberi jawaban, “Hanum mau ke mana?”

“Mau corn dog dong, Kak. Tapi di sanaaa,” balas Hanum. Menunjuk arah yang berlawanan dengan yang dimaksud Haura.

“Mau beli sendiri? Kakak temenin Haura dulu, nanti kita ketemu di meja itu aja tuh. Gimana?” usul Haris yang langsung mendapat persetujuan dari Hanum. Dengan semangat gadis itu menadahkan tangannya, meminta uang dari sang kakak yang berjanji memberikan traktiran.

“Kakak mau juga nggak?” tanya Hanum. “Mau mau, samain aja kayak punya kamu. Nanti sekalian Kakak beli jajanan yang lain abis itu kita makan bareng di situ,” jawab Haris.

“OKEEE! SEE YOU! Daah Hauraa! Kak Hanum ke sana dulu yaaa!”

Setelahnya mereka berpisah. Selang sepuluh menit, ketiganya kembali berjumpa di tempat yang sudah disepakati. Haris meletakkan sekantung penuh jajanan dengan berbagai jenis. Bakso bakar, sosis goreng, takoyaki, serta tiga air putih dingin kini hadir memenuhi meja. Sementara Hanum yang kembali dengan hanya membawa dua buah corn dog itu terperangah. “KAKAK?! Banyak banget, abis emangnya ini?”

“Halah lo kayak nanti nggak ikut makan aja!” balas Haris. Sekon berikutnya Hanum tertawa, “Iya sih, tapi tetep aja ini berasanya banyak banget.”

“Ini kok pedes semua, Kak? Nanti Haura makan apa?” tanya Hanum.

Haris menggeleng, “Enggak, ini takoyaki nggak pedes kok isinya keju. Atasnya juga cuma saos tomat, ini sosis nggak pedes juga.”

Mendengar jawaban Haris yang begitu memikirkan adik bungsu mereka, Hanum bertepuk tangan, “Keren banget emang kakakku. Jadi makin sayyyyang deeeech!”

Haris bergidik, “Jijay!”

“Duduk sini, nanti Kakak ambil kursi lagi,” titah Haris pada Hanum yang masih berdiri. Setelahnya pria itu bangkit guna mengambil kursi untuk dirinya sendiri dan kembali bergabung dengan Hanum dan Haura.

“Haura awas kena baju yaa esnya!” ucap Hanum lembut. “Tissue-nya mana?”

Gadis kecil itu tak menjawab, ia hanya asik mengeksekusi es krimnya dan menunjukkan selembar tissue yang ia letakkan di atas meja. Setelahnya Hanum hanya mengangguk dan mengacungkan jempol pada Haura sebelum akhirnya mulai memakan makanannya.

“Kemaren kamu kok belajar, Num? Emang udah ulangan?” tanya Haris yang juga mulai memakan makanannya.

“Udah, ulangan harian gitu. Guruku minta ulangan tiba-tiba soalnya beliau nggak mau nanti pas ulangan harian materinya malah kebanyakan. Katanya materi sedikit aja nilainya anjlok semua gimana kalo banyak, hehehehe.”

Haris mengangguk-angguk, “Ohh. Tapi bisa?”

“Bisaa, masih awal jadi masih belom terlalu susah, Kak. Lagian juga guruku ngajarnya enak, aku jadi nggak sungkan nanya sama beliau kalo emang aku nggak ngerti. TAPI YA, pas pertama kali beliau masuk aku kayak—TAKUT banget. Eh tapi pas udah kenal asik banget ternyata,” celoteh Hanum panjang lebar.

Sejujurnya, ini-lah yang Haris tunggu-tunggu setiap kali berkumpul bertiga dengan adik-adiknya. Mereka bisa bertukar cerita hingga akhirnya Hanum dan dirinya berakhir tertawa bersama lantaran menahan gemas pada sang bungsu yang tingkah lakunya selalu menghangatkan hati.

Haris selalu mensyukuri momen ini, bahkan jika ia bisa menghentikan waktu, Haris akan menghentikannya pada momen ini. Haris senang rutinitas seperti ini tak pernah menghilang dari dalam hidupnya.

Dulu, Haris-lah yang menjadi penutur cerita. Sementara mama dan papa akan duduk manis, menatapnya dengan penuh cinta seraya menyimak ceritanya yang disampaikan dengan penuh ekspresi. Haris kecil selalu berbahagia setiap kali melakukan itu. Meja makan rasanya adalah jantung yang menghidupkan suasana rumah. Sebab di sana selalu terkumpul anggota keluarganya, selalu terkumpul keluh dan kesah yang pada akhirnya disingkirkan dengan pelukan hangat.

Sekarang, Haris dengan senang hati menjadi pendengar. Haris dengan senang hati menjadi seseorang yang menatap adik-adiknya dengan penuh cinta seraya menyimak cerita mereka dengan seksama. Pemuda itu dengan senang hati melakukannya, sebab kebahagiaan yang sama bahkan berlebih dengan yang ia miliki ketika kecil bagi adik-adiknya adalah harapan yang tak pernah berhenti ia langitkan.

“Kakak tau nggak? Tadi pulang sekolah aku kan ke tempat Mama, terus Haura juga di sana, kan,” ucap Hanum lagi. Haris mengangguk sebagai bukti bahwa ia mendengarkan setiap tutur kata yang keluar dari mulut Hanum.

“Mama cerita Haura disuruh gambar lagi sama sekolahnya,” ucap Hanum. “Gambar mulu ege sekolahnya. Kagak ada kerjaan lain apa ya? Suruh ngitung kek adek gue, suruh baca cerita gitu, ini ngegambaaaaaaar mulu!” protes Haris.

Hanum tergelak, “IYA KAN! Gambar mulu ya namanya juga TK, Kakak kalo nggak suka mending Kakak aja yang jadi kepala sekolahnya!”

“Iya besok gue ngelamar deh jadi kepala sekolahnya! Eh, terus gimana?”

Hanum tersenyum kemudian beralih pada Haura yang sedari tadi sibuk sendiri. “Haura, cerita dong tadi disuruh gambar apa di sekolah?”

Gadis kecil itu mendongak menatap kedua kakaknya, “Hauwa disuruh buat gambar sama disuruh ceritain pekerjaan kepala keluarga di rumah, Kak. Waktu Hauwa tanya temen-temen, katanya kepala keluarga itu Papa.”

Jawaban gadis itu membuat Haris kembali tertohok, pria itu secepat kilat melirik ke arah Hanum. Alisnya bertaut ketika mendapati ekspresi Hanum yang sama sekali tidak menampakkan kesedihan. “Hauwa kan nggak punya Papa—”

“Terus Haura gambar apa?” tanya Haris. Pandangannya kembali ia taruh pada Haura yang juga sama sekali tidak menunjukkan raut wajah sedih seperti saat pertama kali ia menanyakan soal papa.

“Gambar Kakak,” jawab Hanum. Haris seketika menoleh kembali, “Kok gambar Kakak?”

Haura tersenyum tanpa beban, gadis itu terkekeh sebelum menjawab. “Temen-temen Hauwa kan pada gambar papanya. Hauwa nggak punya papa dari dulu, Kak. Hauwa punyanya Kak Hawis, dari Hauwa bayi sampe sekarang, Hauwa punyanya Kak Hawis. Jadi aku gambar Kakak,” balasnya.

Haris terperangah mendengar jawaban yang rasanya tak mungkin keluar dari mulut seorang gadis berumur lima tahun. Detik berikutnya pria itu tersenyum meskipun nyaris meneteskan air matanya. “Pinter banget, sih?” ucap Haris seraya mengusap pucuk kepala Haura. Gadis manis itu tersenyum ceria hingga menampillan deretan giginya yang bersih dan rapi lantaran tak pernah absen disikat setiap pagi dan malam.

“Makasih ya, nanti kasih unjuk Kakak gambarnya oke?” ucap Haris pada Haura. “Terus katanya suruh ceritain, Haura cerita apa?”

“Hauwa bilang, Kakak masih sekolah. Sekolahnya jauh. Kak Hawis pinter banget, Kakak baikkk sekali sama Hauwa, Hauwa suka dibeliin jajan, suka dijemput sekolah, suka diajak jalan-jalan. Hauwa sayang banget sama Kak Hawis,” celotehnya.

Haris memeluk dirinya sendiri, setelahnya memilih mengumpat di bahu Hanum yang juga terbahak-bahak. Sudah dibilang, keduanya sama sekali tidak dapat menahan gemasnya si adik bungsu.

“Iyaa, Kak Haris juga sayang banget sama Haura. Tapi sebenernya, kepala keluarga kita itu Mama. Besok kalo ditanya kepala keluarga kita siapa Haura udah tau ya jawabannya?” balasnya. Haura kemudian mengangguk ceria.

I have the picture of her drawing, by the way,” ucap Hanum. Haris melirik gadis itu semangat, “Mana mau liat dong!”

Dengan segera Hanum mengeluarkan ponselnya dari dalam saku hoodie yang dikenakannya. Kemudian menunjukkan hasil gambar Haura pada sang kakak. Haris tersenyum penuh, setelahnya sebuah kekehan lolos dari bibirnya.

“Ini ceritanya Kak Haris pake seragam?” tanya Haris pada Haura. Haura hanya mengangguk dengan tatapan polosnya.

Seraya terkekeh, Haris kembali membalas. “Seragam Kakak sekarang warna abu-abu, sayang.”

Masih dengan tatapan polosnya, Haura kembali menjawab. “Abu-abunya nggak ada, Kak.. ilang..”

Seketika tawa Haris dan Hanum menyembur bersamaan. Rupanya rencananya berhasil, tak ada lagi kekesalan dalam hatinya akibat cemburu melihat Gia dan Alwan sepulang sekolah tadi. Amarahnya berhasil sirna dengan waktu yang ia putuskan untuk dihabiskan bersama adik-adiknya.

Perkataan Haura ada benarnya. Adik-adiknya memang tidak memiliki sosok orang tua yang lengkap seperti yang dimiliki Haris kecil dahulu kala. Namun kurangnya seorang itu tak menjadikan keluarga yang dimiliki Hanum dan Haura tidak lengkap.

Sebab selain mama, it's always been them three.

Sepulang sekolah Gia sudah dengan semangat menunggu di kursi panjang berisikan tas-tas yang ditinggal pemiliknya selagi menunggu ekskul basket dimulai. Gadis itu tak henti-hentinya tersenyum dan mengayunkan kakinya seraya menaruh pandang pada lapangan yang mempersembahkan setiap orang yang berlalu-lalang dengan pesonanya masing-masing.

Seperti teman-teman satu ekskulnya yang lain, gadis itu pun sudah berganti baju menggunakan celana dan kaus pendek dengan surai panjangnya yang sudah terikat rapi menjadi sebuah ponytail. Sesekali matanya memejam merasakan angin sore yang menerpa wajahnya. Gia berada dalam suasana hati paling baik lantaran menanti sang pujaan hati hari itu. Sampai ketika ia mendapati seseorang mengisi tempat di sebelahnya.

Dengan semangat Gia menoleh, namun senyumannya seketika luntur ketika mendapati orang itu bukanlah yang ia nantikan. Di sebelahnya, adalah Giovanno Sadewa yang dengan senyumannya menyodorkan sebuah cokelat yang sama dengan yang kemarin ia terima ke hadapannya.

“Nih! Buat lo, Gi,” ucap Gio.

Gia memundurkan tubuhnya sedikit, namun senyumnya berusaha ia pertahankan. “Hah? Eh—nggak usah Gio, yang kemarin juga masih ada kok!” Gia menolak halus.

Namun pemuda itu pantang menyerah, “Nggak apa-apa, Gi. Buat stock camilan di rumah.”

“Ya ampun, nggak usah, Gio. Beneran deh! Camilan di rumah aku masih banyak, takut nggak kemakan,” balas Gia. Masih berusaha menolak pemberian Gio.

“Gitu ya? Tapi masa lo nggak mau nerima pemberian gue sih, Gi? Gue beli ini susah payah loh. Ujan-ujanan semalem gue beli ini, karena gue beneran berniat ngasih lo ini. Lagian, gue kan temen SD lo, Gi. Lo sendiri yang bilang kan dulu kita deket banget, sering main bareng. Kita pisah lama banget loh, masa sekarang kita ketemu lagi lo nggak mau nerima pemberian gue? Lo ngindarin gue ya, Gi?” cecar Gio. Dalam hati ia menyeringai puas mendapati Gia yang mulai terjebak dalam rasa bersalah dan tidak enak hati.

“B-bukan gitu, Gio. Tapi beneran deh, aku takutnya jadi mubazir aja. Soalnya yang kemarin aja belum aku makan. Kamu kasih orang lain aja ya?” ujar Gia.

Gio berdecak, “Masa dikasih orang lain? Gue tuh usaha beli ini ya buat lo, Gi. Bukan buat orang lain. Terima ya?”

Gia sama sekali tak tahu harus bagaimana lagi ia menolak pemberian Gio. Gadis itu sejujurnya enggan, dan dirinya tak sepenuhnya berbohong sebab memang benar. Cokelat pemberian Gio yang ia terima kemarin pun sama sekali belum disentuhny. Jika ia menerima satu lagi, maka hanya akan memenuhi lemari camilan di kamarnya yang entah kapan akan ia habiskan.

Namun semesta berpihak kepadanya kali ini. Entah hanya kebetulan atau memang keduanya ditakdirkan bersama, Haris tiba untuk memasukkan seragamnya ke dalam tas yang ternyata ia letakkan di sebelah Gia. Tepat di mana Gio mendudukkan dirinya. Secara tidak langsung, berniat ataupun tidak, Haris memiliki alibi yang sah untuk mengusir Gio dari sana.

Sorry, misi dong! Tas gue di belakang lo,” ucap Haris. Tatapan dinginnya ia arahkan tepat pada Gio yang menatapnya tanpa takut.

Gio tersenyum meremehkan, “Iya, ambil aja. Sorry juga nih, bisa nggak bawa tas lo ke sana aja? Gue lagi ngomong sama temen gue, nih.”

Gia membelalakkan matanya detik itu juga. Berani-beraninya Gio mengusir seorang Haris. Seorang Kak Haris yang disegani seluruh manusia di sekolah ini?

Gadis itu menelan ludahnya kasar, diarahkan pandangannya pada Haris yang dengan jelas memasang raut wajah tersinggung lantaran diusir oleh seseorang yang sama sekali tidak tahu sopan santun. Haris mengangkat sebelah alisnya. “Kenapa harus gue yang pergi? Tas gue jelas-jelas di sini dan lo yang duduk di depan tas gue. Gue udah berusaha menghargai lo dengan minta baik-baik, tapi lo malah begini?”

Suasana menegang antara Haris dan Gio. Sementara satu-satunya perempuan di antara mereka itu kini memandang keduanya dengan bibir yang bergetar. Dalam hatinya ingin melerai, namun kalau boleh jujur, Gia tidak seberani itu. Apalagi ketika melihat Haris memasang raut wajah semarah yang ia tampakkan di depan mata gadis itu.

Haris kembali meletakkan tasnya yang sudah sempat ia jinjing, kali ini dengan sebuah hentakan yang cukup untuk membuat Gio dan Gia terkejut. Setelahnya ia membanting sepatu yang akan ia gunakan untuk bermain basket ke lantai, membuat dirinya terlihat jauh lebih menyeramkan. “Minggir!” ucap Haris. Pelan, namun intonasinya cukup untuk membuat jantung Gia seakan berhenti sesaat meski ucapan itu bukan tertuju padanya.

“Lo nggak denger? Gue bilang gue lagi ngobrol sama temen gue, lo aja yang pergi!” balas Gio, rupanya ia masih tak gentar untuk meninggalkan tempat itu.

“Lo juga nggak denger? Gue bilang minggir. Gue nggak peduli lo lagi ngobrol kek, lagi ngaca kek. Urusan lo nggak sepenting itu untuk bikin gue pergi dari sini. Ngerti?” balas Haris tegas.

Setelahnya, Gio terlihat sangat jengkel lantaran tak dapat lagi membalas perkataan Haris. Setelahnya pria itu menoleh pada Gia, berusaha tersenyum meskipun hatinya memanas tersulut emosi. “Gi, ini gue taro sini ya! Gue cabut dulu!”

Gia mengangguk kaku, kemudian seraya tersenyum kecil gadis itu membalas, “I-iya, makasih Gio.” Kemudian dengan cepat Gia menyimpan cokelat itu di tempat menaruh minum sebelah kiri pada tasnya.

Seperginya Gio, Gia hanya menunduk tanpa berani bersuara. Gadis itu berkali-kali menelan ludahnya dan berusaha menetralkan detak jantungnya. Kepalanya tertoleh cepat ketika mendengar kekehan yang berasal dari Haris. “Kalo nggak suka kasih orang aja, Gi!” ucapnya. Gia terperangah sepersekian detik mendapati nada bicara dan raut wajah yang berbanding terbalik dengan ketika Haris berbicara pada Gio.

Haris tersenyum semakin lebar kala Gia tak kunjung menjawab. “Kenapa, takut?”

Barulah saat itu gadis itu mengerjapkan matanya. Menatap Haris yang kini memakai kaus kakinya. Setelahnya ia tersenyum tipis, “Abis Kakak kayak marah banget gitu.”

“Ya iya, tapi kan marahnya sama dia. Bukan sama kamu,” balas Haris.

Detik itu juga, Gia merasakan hatinya menghangat seiring panas menjalar di pipinya. Dengan segera ia memalingkan wajah, menyembunyikan pipinya yang sudah pasti memerah.

“Dia temen kamu?” tanya Haris, pura-pura tidak tahu.

“Temen SD, Kak.”

Haris mengangguk-angguk, “Dia tuh yang waktu itu nyiram kamu kan?”

“Iya bener—eh, Kakak liat?”

“Saya waktu itu di kantin lagi ngobrol sama yang lain,” jawab Haris yang kemudian hanya mendapat anggukan dari Gia.

“Kak, boleh nanya nggak?” tanya Gia.

Haris menoleh sesaat sebelum akhirnya menjawab, “Tanya aja.”

Gadis itu nampak ragu meski Haris sudah mengizinkannya bertanya. Namun pada akhirnya pertanyaan itu berhasil diluncurkan setelah melihat wajah Haris yang meyakinkannya untuk mengutarakan apa yang ingin dirinya tanyakan. “Kakak—kalo lagi ngumpul sama temen-temen Kakak tuh bahasnya apa?”

Haris sedikit terkejut, sebelum menjawab, pria itu memikirkan dulu jawabannya. “Banyak. Macem-macem. Kayaknya kalo sama temen-temen saya, apa aja juga dibahas deh. Soalnya mereka nggak jelas.”

Gadis itu mengangguk-angguk, namun Haris dapat dengan mudah menangkap raut wajah yang masih belum lega. Pria itu tahu, masih ada yang disimpan oleh Gia. “Kenapa emangnya? Kamu digangguin anak tongkrongan?”

Gia menoleh cepat, “Hah? Enggak kok, Kak. Tapi gimana ya..”

“Menurut Kakak, laki-laki tuh boleh atau enggak bahas bentuk tubuhnya perempuan?” tanya Gia tiba-tiba yang sejujurnya membuat Haris terkejut. Namun berhasil segera ia kendalikan.

Pria itu terdiam hingga beberapa saat. Tidak tahu jawaban apa yang harus ia sampaikan sebab dirinya tak pernah menyangka akan mendapat pertanyaan seperti ini dari Gia. Namun ia tak masalah, situasi ini familiar baginya. Sama seperti ketika kedua adiknya menanyakan pertanyaan yang di luar nalarnya, Haris pun memaklumi Gia. Mengingat gadis itu pun pernah bercerita mengenai sang ayah yang berada jauh darinya serta ibunya yang sibuk berkarir, membuat Haris paham akan suatu hal. Gia tidak memiliki seseorang yang bisa langsung ia tuju ketika merasa tidak nyaman.

“Menurut saya, nggak bisa disamaratakan juga sih. Tergantung konteksnya apa. Temen-temen Mama saya lelaki, tapi mereka kerjaannya malah bahas bentuk tubuh perempuan soalnya mereka perancang busana. Mau nggak mau memang harus ngerti. Yang jelas sih, Gi, kalo itu bikin kamu nggak nyaman, kamu boleh tegur atau langsung jauhin aja. Dan itu nggak berlaku buat laki-laki aja sih, buat siapapun. Bahkan kalo dia temen deket kamu sekalipun.”

“Gitu ya, Kak?”

Haris mengangguk, “Kamu punya hak kok untuk ngutarain apa yang kamu rasain. Kalo misalnya ada candaan atau omongan temen kamu yang bikin kamu tersinggung atau terganggu, bilang aja. Saya sering kok sama temen-temen saya begitu. Sama Ojan biasanya, kalo dia bercandanya udah keterlaluan pasti saya bilang.”

“Biasanya Kakak bilang apa?” tanya Gia.

“Saya bilang, 'bercandaan lo dikit lagi bikin tangan gue mampir ke muka lo', nanti abis itu dia nyengir doang.”

Setelahnya Gia hanya tergelak dengan suara tawa renyah yang membuat Haris turut melepaskan sebuah lekukan di bibirnya. “Udah nanyanya?”

“Udahh, makasih banyak ya, Kak! Maaf jadi nanya-nanya,” balas Gia.

“Nggak apa-apa. Lain kali kalo mau ditanya tapi bingung nanya siapa, tanya saya aja nggak apa-apa. Jangan dipendem sendiri, nanti bisulan!” ucap Haris seraya mengikat tali sepatunya.

Gia terperangah, “Emang iya apa?”

“Coba aja kalo nggak percaya,” canda Haris yang kemudian mengambil sesuatu dari dalam tasnya. Kini di tangannya terdapat dua bungkus beng-beng yang pada akhirnya ia sodorkan ke hadapan Gia. Seraya tersenyum, Haris kembali berucap, “Nih, buat hari ini sama kemarin.”

Berbeda dengan saat ia menerima pemberian Gio, sebuah senyuman tercetak jelas di wajah Gia. Gadis itu menerimanya dengan senang hati. “Makasih, Kak Hariss!”

Haris hanya terkekeh tanpa membalas ucapan terima kasih Gia. “Yang ini bakal dikasih orang nggak?” tanya Haris. Merujuk pada biskuit cokelat pemberiannya.

Sekon berikutnya gadis di hadapannya itu menggeleng, “Enggak, lah.”

“Kenapa?”

“Soalnya—” yang ini dari Kak Haris.

“Soalnya yang ini kan dapetinnya usaha dulu. Bangun pagi dulu, berangkat ke sini pagi-pagi biar nyampenya jam 06.15 atau kurang dari itu,” balas Gia disertai usaha kerasnya untuk menahan tawa yang akan meledak akibat dadanya membuncah begitu hebat.

Haris mengangguk-angguk sambil tersenyum meledek, “Ooh, kirain karena dari saya.”

“Pede!”

Setelah memarkirkan motornya dengan rapi di tempat tukang fotokopi, Haris memilih untuk meninggalkan Adel dan berjalan lebih dulu menuju tempat di mana gerobak-gerobak jajanan berbaris rapi di seberang jalan. Seperti biasa, setiap kali suasana hatinya berantakan, Haris menghibur dirinya dengan memakan banyak camilan. Saat-saat seperti ini, Adel-lah yang paling bahagia. Sebab dirinya selalu menjadi orang pertama yang dituju Haris untuk menjadi partner-nya mencari makan hingga akhirnya berujung pada pemuda itu membeberkan isi hatinya.

“Tungguin kenapa sih, maen jalan aja ente!” keluh Adel. Setelahnya ia menyejajarkan langkahnya dengan Haris. “Beli seblak, Ris!”

“Ya udah beli sono. Makan sini aja, Del, bisa nggak? Nanti baru bungkusin buat Hanum,” balas Haris.

“Bisa, tuh situ ada kursi. Lo pake apa?” tanya Adel.

“Apa aja terserah lu dah, yang penting jangan pedes,” jawab Haris lagi. Setelahnya Adel mendelik, “Seblak apaan nggak pedes?”

“Enak ege, lo cobain dah! Anget-anget gitu rasanya, udah buruan sih! Banyak omong amat lu,” ucap Haris lagi.

“Terus lo mau ke mana?” tanya Adel ketika melihat Haris justru akan berjalan ke arah yang berbeda dengannya.

“Sono noh, beli cilor. Lo mau nggak?” tanya Haris.

“Gue mah selama gratis gue sikat, Ris,” ucap Adel.

“Emang anj—”

“Buruan deh lo, ngantri!” potong Adel cepat. Setelahnya Adel hanya tersenyum hingga kedua matanya menyipit kala mendapat tatapan mematikan dari Haris.


“Jadi, kenapa, Ris?” tanya Adel setelah ia berhasil menyeruput kuah seblak miliknya yang masih sedikit panas.

“Gue sebel.”

“Ya, gue rasa satu dunia juga sudah mengetahui itu. Lo pasti marah-marah udah dari pas di sekolah, kan?” balas Adel. Pria yang masih mendiamkan seblaknya yang masih panas itu mengangguk dengan bibir mengerucut.

“Ya makanya, kenapa?” tanya Adel lagi.

Haris terdiam sesaat, mengumpulkan keberanian untuk membeberkan isi hatinya pada sahabatnya sejak kecil itu. “Lo kan waktu itu bilang kalo gue harus let it flow dan mastiin dulu sampe perasaan gue tumbuh lebih besar, sampe seenggaknya gue yakin kalo gue emang suka sama—Gia,” ucapnya gantung.

Adel mengangguk, kemudian dengan setia gadis itu menaruh tatapan pada Haris. Menunggu kelanjutan bicaranya. “Terus?” ucapnya seraya mengaduk-aduk makanannya agar cepat dingin.

“Gue rasa gue udah suka beneran deh, Del,” ucap Haris lugas. Tak sedikitpun ia ragu akan ucapannya.

Sebelah alis Adel terangkat sebagai perwakilan keterkejutannya akan ucapan Haris. Namun setelahnya ia mengangguk-angguk, rasanya ia mulai paham apa yang membuat Haris sebal.

“Hari ini gue sama sekali nggak interaksi sama Gia, bisa dibilang nggak ketemu, tapi gue liat dia. Biasanya pagi-pagi gue liat dia di gerbang, tapi karena hari ini celana gue digunting—”

“CELANA LO DIGUNTING?!”

“KAGET ANJ—Lu kenapa lebih kaget denger celana gue digunting daripada denger gue udah yakin suka sama Gia sih, Del?”

Detik itu juga, tawa Adel menyembur. “Lu bukannya yang biasa nangkep-nangkepin orang yang seragamnya kagak bener? Lo sampe jadi public enemy gara-gara itu now you're the one being punished? Karma kenceng bat ye, Ris? Wakakakakakak!”

“Teroooos, tawain aja teroooos. Gue sumpahin keselek kuah seblak lu!”

“Bercanda, Ris. Keriput lu marah-marah mulu! Lanjut lanjut,” balas Adel.

“Ya pokoknya pagi gue nggak ketemu Gia, terus temen gue yang biasa gue cerita Gia dikasih cokelat sama—ada deh, namanya Gio. Dia temen SD-nya Gia gitu tapi sekarang satu sekolah lagi dan kayaknya, Gio mau deketin Gia. Soalnya kata temen gue Gio ngasih Gia cokelat gitu tadi pagi.”

“Lucu amat namanya Gia Gio,” Adel menanggapi disela cerita Haris. Membuat pria itu berdecak, “Anjing lah semua orang bilang Gia Gio lucu, besok gue ganti nama lah!”

Adel terkekeh melihat Haris yang begitu terang-terangan menunjukkan kejengkelannya. “Lah, tapi betuuul memang lucu. Lo jangan gitu dong, Ris. Harus sportif jadi orang tuh!”

“Nggak ada deh, gue nggak suka! Iya gue sportif tapi ya nggak suka boleh dong..”

Adel semakin tergelak, lucu baginya melihat Haris yang biasanya paling anti membahas soalan cinta remaja kini justru menjadi pemeran utama yang merasakan hal itu.

“Oke, terus? Cerita lo masih ada lanjutannya nggak?”

“Ada. Terus istirahat gue ngeliat Gia, bercanda sama temen sekelasnya gitu. Namanya Alwan. Kayaknya mereka emang deket banget sih, Del,” ujar Haris. Wajahnya berubah lesu, bibirnya kembali mengerucut seiring benaknya memutar kembali ingatannya tentang Gia yang bersenda gurau dengan Alwan di kantin. Keduanya nampak nyaman dan sama-sama bahagia hingga rasanya Haris ingin mengundurkan diri. Haruskah ia merusak kesenangan itu?

“Lo cemburu ceritanya?”

Pertanyaan Adel jelas menohok Haris. Pemuda yang mulai menyeruput kuah seblaknya itu bahkan tersedak sebelum sempat menikmati suapan pertamanya. “Lu mah!” protesnya.

“Kenapa? Gue bener, kan? Lo cemburu?”

“Iya kali, nggak tau deh. Pokoknya gue sebel aja, gue nggak suka gitu liatnya.”

Adel terkekeh, “Dasaaar, dasar!”

“Itu mah wajar, Ris. Gia juga kan punya dunianya sendiri, dunia yang udah mulai sebelum perasaan lo ke dia muncul. Dari dulu mungkin Alwan udah ada di sana, temen-temennya yang lain juga. Sama kayak lo bilang Gio temen SD-nya. Hal-hal kayak gitu, termasuk sesuatu yang nggak bisa lo kontrol, lah, pokoknya,” ujar Adel.

Haris menunduk dan memilih mengaduk-aduk semangkuk seblak di hadapannya, sama sekali tak berminat memakannya. “Berarti kalo kayak gitu, Alwan sama Gio punya kesempatan lebih besar dong dibanding gue?”

“Yaa, nggak juga sih. Mau sekelas, seangkatan, sekomplek sekalipun kalo Gia-nya naksir sama lo mah ya.. sama aja.”

“Masalahnya kan nggak tau Gia naksir gue apa enggak,” balas Haris.

“Ya lu cari tau lah?!”

“Tapi yang dibilang temen gue bener juga sih, Del. Minder nggak sih kalo ada orang yang keliatannya lebih pantes aja buat dia?”

“Maksudnya lebih pantes tuh gimana?” tanya Adel bingung.

Sudut bibir Haris berkedut, pria itu mengulas senyum tipis seraya menggeleng. “Gue jadi nggak pede aja.”

Mendengar jawaban Haris, seketika netra Adel tak lagi menatap santai pada pemuda di hadapannya. Apa-apaan ini? Haris adalah juara satu dalam hal menyombongkan dirinya sendiri. Setiap hari, tak henti-hentinya ia bersikap seolah dirinya adalah manusia tanpa kurang. Meskipun ada, Haris akan dengan sangat baik menyembunyikan kurang dalam dirinya.

Melihat saat ini seorang Haris merasa tidak percaya pada dirinya sendiri, bahkan merasa dirinya tidak pantas untuk seseorang, membuat Adel menggelengkan kepalanya tidak percaya.

“Ris... Lu dipelet ya? Atau makanan lo keracunan apa gitu nggak, Ris? Apa-apaan dah ini!? Kayak—seriously apa yang Gia lakukan ya sampe dia berhasil membuat seorang Haris—who always braaaaaggggg about himself begini?” ucap Adel dramatis. Gadis itu banyak menunjuk Haris dengan telapak tangan terbuka yang ia naik-turunkan bersamaan dengan pandangannya yang mendelik.

Haris mendecih, “Lebay!”

“Lah serius serius, Riss! Lo kenapa sumpah!? Kayak—OOOOOOOOOHHHHHH I SEEEEE!

Haris memundurkan tubuhnya sedikit menjauh dari Adel yang kini meledak-ledak. Pria itu bahkan membentengi dirinya dengan map plastik yang dibawa Adel untuk menyimpan berkasnya, menjadikan map itu sebagai perisainya. Setelahnya gadis itu menggebrak meja dengan sebelah tangannya, beruntung Haris sudah bersiap untuk hal ini sehingga keterkejutannya dapat ia kendalikan.

“Lo malu ya karena Gio ngasih cokelat mahal tapi lo cuma ngasih beng-beng?” terka Adel. Haris mengerjapkan matanya, tebakan Adel begitu tepat sasaran. Membuatnya memalingkan wajahnya yang mulai memerah.

Tak ada lagi ucapan yang meluncur dari bibir Adel selain tawanya yang menggelegar. Membuat Haris celingak-celinguk panik melihat sekelilingnya, takut tawa keras sahabatnya itu mengganggu pengunjung lain. “SSSTT! Berisik, Del ih!”

“Aduh—sorry sorry,” ucap Adel sambil mengipasi wajahnya yang memerah. Setelahnya ia mengusap air mata yang keluar akibat terlalu geli tertawa.

Entah berapa banyak ekspresi yang gadis itu punya, Haris pun tak pernah paham bagaimana Adel mengubah ekspresi hanya dalam sepersekian detik. Seperti saat ini, gadis itu mendadak serius. “Ris, ini gue ngomong sebagai perempuan ya, bukan sebagai temen lo,” ucapnya.

“Biasanya sih, biasanya yaaa, perempuan tuh nggak ngeliat barangnya apa. Semahal apa harganya, sebesar apa, selangka apa, kita tuh nggak peduli itu, Ris. Yang penting tuh siapa yang ngasih. Kalo orang yang ngasihnya berkesan, mau dikasih pohon toge juga dirawat, Ris.”

Haris terdiam, pemuda itu kini melempar pandangannya ke sembarang arah. Juga membiarkan pikirannya larut layaknya gula pasir yang turut larut dalam es teh manis yang bahkan belum ia sentuh. “Emang iya, Del?”

Gadis itu mengangguk semangat, entah sejak kapan ia menyuapkan makanan ke dalam mulutnya, namun pipinya itu sudah kembali menggembung. “Yang paling penting itu gimana cara lo menghidupkan suasana sama dia. Gue tau lo jarang ketemu sama dia. Makanya, sekalinya ketemu, buat itu sesuatu yang berkesan. Buat lo, buat dia.”

“Udah jangan galau lagi, kalo udah putus asa banget telepon gue ya. Nanti gue ajak ke suatu tempat buat minta tips agar cinta lo nggak gagal,” ucap Adel lagi.

Haris mengernyit, “Ke mana?”

“Dukun.”

“Goblok!”

Tidak seperti biasanya, kali ini Gia berjalan bersama Alwan menuju kantin sebab Zahra sedang tidak bisa diganggu. Gadis itu sedang buru-buru menyelesaikan laporan praktikum Biologi miliknga yang harus segera dikumpulkan sebelum bel masuk berbunyi.

“Alwan mau beli minum?” tanya Gia. Pemuda itu mengangguk. “Lo mau beli juga?”

“Mau dong, Wan. Tapi sama punya Zahra juga. Nitip mylo ya dua ehehe. Kamu mau beli donat nggak? Sini aku beliin biar cepet,” balas Gia.

Setelahnya raut wajah Alwan berubah ceria, “Nah, yang begini nih gue demen. Nitip ya, Gi. Goceng.”

“Ya Allah banyak banget,” ucap Gia terperangah. Setelahnya Alwan hanya terkekeh dan menyerahkan selembar uang lima ribu ke tangan Gia sebelum akhirnya mengantre untuk membeli minum.

“Ibu, donatnya lima ribu, ya! Sama ini deh,” ucap Gia seraya mengambil empat buah basreng yang akan ia gunakan sebagai amunisi penghilang kantuk pada jam-jam pelajaran terakhir. Bersama Zahra, gadis itu suka sekali memakan camilan diam-diam.

“Eh, Gi!” panggil seseorang. Saat gadis itu menoleh, nampak di sebelahnya Gio berdiri menghadapnya. Gia menelaah penampilan lelaki itu dari ujung kepala hingga kakinya. Seragam sekolahnya bahkan sudah keluar dari celananya sebelum jam pulang, dasinya sudah tidak bertengger di kerah yang juga tidak dikancing—entah sengaja atau tidak. Batinnya diam-diam membandingkan penampilan Gio dengan Haris yang selalu nampak rapi dan menawan meski bel pulang sudah berbunyi.

“Halo, Gi!” balas Gia. “Sendirian aja?” tanya pemuda itu.

“Enggak, tadi sama temenku cuma dia lagi beli minum,” balas Gia lagi.

Gio mengangguk-angguk, “Cokelatnya udah dimakan, Gi?”

“Belum, masih aku simpen. Buat di rumah aja,” ucap Gia beralasan. Sejujurnya gadis itu bahkan tidak berminat untuk menerima cokelat pemberian Gio. Meskipun mahal, tapi rasanya Gia tidak membutuhkannya.

“Oh, pasti karena nggak rela dimintain orang ya kalo dibuka di sini?” tanya Gio dengan seringainya. Nampak begitu yakin dengan tebakannya.

Gia tak banyak bicara, gadis itu hanya tersenyum tipis menanggapi perkataan Gio. Setelahnya—terima kasih kepada ibu kantin—gadis itu memalingkan wajah seiring pesanan donat milik Alwan sudah siap. Setelah membayar, Gia berniat pamit dan menghindari Gio. Namun pria itu kembali berujar, sebelah alisnya terangkat melihat satu plastik berisi lima buah donat bertabur gula bubuk itu di tangan Gia. “Lo makan sebanyak itu, Gi? Gokil juga lo! Gue kira makan lo sedikit makanya bisa jadi kurus begini? Nggak taunya masih sama aja kayak SD?”

Gia mengerutkan alisnya, “Maksudnya?”

Gio tersenyum meremehkan, setelahnya menggeleng seraya tertawa. “Enggak, cuma mau ngasih tau aja. Jangan gendut-gendut, badan lo segini tuh udah bagus banget, Gi! Jangan banyak makan ya, nanti jadi.. sorry nih, nggak menarik,” ucap Gio.

Gia semakin mengerutkan keningnya. Dirinya sedikit tersinggung dengan perkataan Gio yang baru saja masuk ke telinganya. Setelahnya gadis itu mengangguk dengan senyum dipaksakan, “Iya, makasih Gio sarannya. Tapi pertama, donat ini punya temenku. Kedua, aku nggak butuh terlihat menarik di mata kamu juga, sih.”

Sekon berikutnya Gia meninggalkan Gio. Gadis itu tak lagi peduli apakah perkataannya melukai Gio atau tidak, sebab hari itu pemuda itu pun melanggar batas. Ia tak peduli lagi terhadap pemikiran Gio akan dirinya. Gia benar-benar tidak peduli. Gadis itu memilih menghampiri Alwan yang masih belum selesai dengan urusannya.

“Wan, nih punya kamu!”

Pemuda jangkung itu menoleh, “Udah, Gi? Cepet amat. Gue masih lama nih, maaf ya. Lo mau duluan aja atau gimana? Nanti gue bawain minumnya ke atas nggak apa-apa, kok!”

“Nggak apa-apa?” Gia memastikan. Setelahnya Alwan mengangguk. Namun gadis itu malah ragu, rasanya ia pun tak ingin kembali ke kelas sendirian.

“Nggak usah deh, Wan. Aku di sini aja. Nanti kamu malah susah lagi bawa minumnya,” ucap Gia lagi. Gadis itu kemudian berdiri di sebelah Alwan, menemaninya menunggu pesanan.

“Lo tadi ketemu siapa, Gi?” tanya Alwan seraya melipat tangannya di depan dada.

Gia menoleh, “Hm? Gio.”

“Gio? Gio anak IPS?”

“Iya, kamu kenal, Wan?”

“Enggak sih, tapi kan dia emang terkenal,” balasnya disertain tawa ringan.

“Iya juga sih, hehehe.”

“Lo kenal Gio, Gi?” tanya Alwan.

“Iya, temen SD sih. Dulu emang deket gitu, tapi sekarang kayaknya males deh, Wan.”

“Kenapa?”

“Nggak tau, Gio-nya udah beda aja. Sekarang dia jadi.. aneh.”

Alwan tidak langsung membalas, pemuda itu tampak diam dan memikirkan sesuatu di kepalanya. Rasanya ia ingin tahu lebih lanjut, namun di sisi lain Alwan pun menghargai privasi Gia.

“Emang lo nggak aneh, Gi?” tanya Alwan.

“Maksudnya?”

“Lo kan juga aneh, kemaren aja roll depan malah ke samping bukan ke depan,” ejek Alwan. Pemuda itu menutup mulutnya guna menyembunyikan tawanya.

Balasan Alwan membuat Gia membelalakkan matanya, sekon berikutnya tawanya lepas mengingat kejadian memalukan dirinya sendiri ketika pengambilan nilai olahraga. Saat itu semua peserta didik harus melakukan dua gerakan, roll depan dan sikap lilin. Namun ketika Gia akan melakukan roll depan, bukannya menggelinding ke arah depan, Gia malah menggelinding keluar matras. Masih terpatri jelas dalam ingatan Alwan betapa memerahnya wajah gadis itu akibat menahan malu lantaran menjadi bahan tertawaan semua orang yang menyaksikan.

“Ih kamu mah! ITU AIB AKU JANGAN DIOMONGIN LAGI!”

Alwan tidak menggubrisnya, pemuda itu sibuk tertawa terbahak-bahak. “Gimana gimana, Gi? Contohin dong!”

“Alwaaaaaan! Jangan dibahas lagi tolong banget!!!!! Maluuuu!!!!!” ucap Gia mengguncang tubuh Alwan yang bahkan tidak bergerak seinci pun oleh tenaganya.

“Aib apanya sih, Gi?”

“Ya aib lah kan aku malu! Jangan dibahas lagiiiii! Udah nggak?!”

Alwan masih asik tertawa, membuat Gia berusaha menutup mulut Alwan. Pemuda itu menghindar, menahan tangan Gia yang mengudara dengan sebelah tangannya. “Iya iya, udah udah! Nggak gue bahas lagi nggak,” ucap Alwan seraya terkekeh.

“Bener ya?!”

“Bener, tapi gimana, Gi kok disuruh jungkir balik ke depan tapi malah minggir gitu?”

“ALWAN IH MALESIN BANGET!”

Mendengar protesan Gia, Alwan kembali terkikik geli. Kemudian secara otomatis menghentikan tawanya ketika Gia mengerucutkan bibir seraya melipat tangannya di depan dada. Satu kata yang terlintas dalam benaknya, menggemaskan.

“Jangan cemberut, Gi. Bulet jadinya mukanya. Nanti dikira lima tahun, loh! Soalnya pipinya makin bulleeedd!” canda Alwan.

“Jangan ngomong sama aku, kita nggak kenal!”

Alwan tersenyum menahan tawanya. “Beneran tapi, kan orang tua kalo ngeledekin anak kecil begitu. 'Adek umur berapa, Dek? Bulat sekali pipinya utututututu' gitu!”

Sebuah senyuman mulai mengembang di wajah Gia, matanya kembali melirik Alwan yang berada di sebelahnya. “Wan, please, deh!”

Alwan terkekeh, “Jangan ngambek makanya!”

“Ya kamu jangan ngomongin itu lagi makanya! Rahasia aja rahasia!”

“Rahasia gimana orang satu kelas kita udah tau?!”

“Ya tapi kan kalo kamu ngomongin terus nanti jadi satu sekolah tau!”

“Hahahaha, iyaaa iya enggak—YA UDAH UDAH JANGAN NYUBIT. Ampun, ampun. Damai,” ucap Alwan sambil menunjukkan peace sign.

“Dah jangan marah-marah nih, makan donat!” ujar Alwan lagi. Pria itu menyodorkan satu buah donat ke depan wajah Gia. Sengaja membuat gula bubuk itu mengenai dagunya.

“Ih, iseng banget sih?” protes Gia seraya tertawa. “Ini lengket dagu aku nanti jadinya!”

Alwan terkekeh seraya menggigit donat yang ia beli, setelahnya pemuda itu mengusap dagu gadis di hadapannya, menghilangkan jejak gula bubuk yang menempel di sana akibat ulahnya. “Ngomel mulu dah. Tinggal dilap aja gini loh!”

“Nyebelin banget sih kamu, Waaan?”

“Tapi kan kalo lo sabar jadi banyak pahalanya, Anggiaaaaa!”

Gia mendelik, “Malesin banget! Kayak nggak ada ibadah yang lain aja!”

Sekon berikutnya keduanya kembali tertawa. Gia bersyukur hari itu Alwan-lah yang menemaninya ke kantin, sebab emosinya akibat perkataan Gio tadi kini berhasil hilang. Meskipun menyebalkan dan begitu jahil, keberadaan Alwan di dekatnya tak pernah membuatnya merasa terganggu atau tidak nyaman. Sebaliknya, dengan Alwan, gadis itu merasa banyak sekali waktu yang berlalu terasa mengesankan.

Menjadi seseorang dengan hidup monoton yang hanya tahu sekolah, les, lalu kembali pulang membuat Gia tak sempat bersosialisasi dengan banyak orang sewaktu SMP. Satu-satunya media untuknya bersosialisasi adalah ketika mengikuti ekskul, tempat di mana ia bertemu dengan Hanum. Maka tak jarang gadis itu merasa kesepian di hari-harinya yang masih terlalu panjang untuk dihabiskan sendirian di rumahnya yang selalu kosong.

Memasuki masa SMA, awalnya Gia tak berharap banyak. Gadis itu tak mengharapkan masa SMA sebagaimana yang sering diiklankan orang-orang. Namun pikirannya berubah semenjak bertemu dengan Alwan dan Zahra. Melihat keduanya selalu berdebat bahkan hanya untuk sekadar giliran menggunakan penggaris pinjaman, membuat Gia tahu, bersama kedua temannya itu, masa SMA-nya terasa jauh lebih indah. Mungkin ditambah satu orang lagi yang pada akhirnya berhasil menumbuhkan benih-benih asmara dalam hati kecilnya, membuatnya merasakan hal-hal baru yang menurutnya, fantastis.

“Udah nih, mau naik nggak? Bengong aja sih dari tadi?”

Ucapan Alwan berhasil mengembalikan Gia pada realita. Sekon berikutnya dengan sigap ia mengambil alih minumannya dan minuman Zahra agar tidak merepotkan Alwan. “Ngagetin aja! Ayo naik!”

“Ngomel mulu nanti cepet tua Gia ih! Mana minumnya dua-dua lagi, emang lo nggak beser, Gi?”

“Ini kan punya Zahra satu lagi.”

“Kirain lo minum dua-duaan gitu.”

“Ya enggak lah?!”

Keduanya berjalan seraya bercengkerama, dengan Alwan yang masih setia menjahili Gia. Membuat gadis itu melesat mengejar Alwan hingga keduanya menghilang di balik tembok. Sayangnya, tanpa keduanya ketahui, interaksi mereka sama sekali tak luput dari penglihatan seseorang yang diam-diam memperhatikan dari salah satu meja.

Haris berdecak dalam hati, rahangnya mengeras seiring tatapannya berubah menusuk. Hatinya memanas, benaknya mengatakan bahwa ini adalah sebuah pertarungan. Biasanya Haris adalah orang yang selalu menerima apapun hasil pertarungannya. Pemuda itu tidak terlalu peduli menang atau kalah. Namun kali ini berbeda.

Untuk pertarungan yang satu ini, Haris tak akan menoleransi sebuah kekalahan.

Seperti biasa Haris datang pagi. Tak ada yang berbeda dari sebelumnya, pria itu akan segera menaruh tas di ruang OSIS dan meletakkan beng-beng di saku almetnya untuk diberikan pada seseorang yang selalu ia tunggu di gerbang sekitar pukul 06.15 pagi.

Yang berbeda hanyalah celana yang ia kenakan. Entah mengapa rasanya ia tidak melangkah seleluasa biasanya. Kerap kali ia menarik-narik celananya sebab bagian pahanya terasa ketat. Pula ia berkali-kali merasakan tidak nyaman pada mata kakinya yang terasa lebih terekspos dari biasanya.

“Kenapa sih, Ris? Lu rusuh sendiri gue liat-liat dari tadi,” ucap Dhimas, yang seperti biasa setia di sebelahnya.

“Tau, dah. Dari tadi nggak bisa diem. Kebelet pipis lo? Sana ke toilet dulu nggak masalah,” balas Yuna yang juga mendapat giliran jaga.

Haris menoleh seraya mengernyit, “Kagakk. Ini nih, celana gue nggak enak hari ini nggak tau kenapa.”

Dhimas dan Yuna otomatis menunduk, mengarahkan pandangannya pada celana Haris yang memang lebih ketat dan pendek.

“Lo nggak salah pake celana, Ris? Itu pendek sih emang, terus ketat banget,” balas Yuna.

“Iya ya? Masa sih, Kak? Gue ngambil di mana ya tadi. Masih ngantuk banget tadi pagi gue ngambil baju, apa salah kali ya?” tanyanya seraya masih terus memperhatikan celananya, depan dan belakang. Setelahnya ia terkekeh, “Emak gue kok diem aja sih anaknya pake celana begini? Apa dia nggak sadar juga ya? Tapi biasanya dia paling teliti kalo soal baju anak-anaknya. Sedih gua jadinya.”

Sementara Dhimas dan Yuna tertawa, muncul Pak Asep yang datang sembari melipat tangannya di depan dada. Otomatis ketiga pengurus OSIS itu menyalami Pak Asep. Tiba giliran Haris, mata tajam Pak Asep menangkap celana Haris yang berbeda dari biasanya.

“Muhammad Haris biasanya sepertinya OSIS yang ta'at,” ujar Pak Asep dengan pengucapan kata 'taat'-nya yang khas.

Dhimas dan Yuna sudah memalingkan wajah, menahan agar tawa mereka tak meledak. Sementara Haris tercengang di tempatnya. Ia tahu hari ini akan menjadi hari yang memalukan baginya. Hari ini ia akan menjadi bulan-bulanan satu sekolah. Bagaimana tidak? Seorang pengurus OSIS yang biasanya begitu tegas dan galak menyita perlengkapan siswa-siswi dan membuat mereka terkena poin, malah melanggar aturan.

“Bosan ya? Hari ini makanya mau bandel, begitu?” tanya Pak Asep.

“Enggak, Pak. Ini tadi salah ambil celananya, saya salah pake celana. Yang ini udah kecil, saya juga baru sadar barusan,” jawab Haris. Tangannya itu masih setia menjabat tangan Pak Asep sebab beliau masih enggan melepaskannya.

“Ah, masa iya? Kamu nih. Memangnya nggak malu kamu? Saya pikir kamu ini OSIS yang ta'at tapi ternyata sama saja?” ucap Pak Asep lagi.

“PAK INI BENERAN NGGAK SENGAJA YA ALLAHHHH, ta'at beneran deh aslinya mah. Ini pinjem ke BK dulu deh celana, yang ini jangan digunting yak?” balas Haris.

“Kenapa atuh nggak boleh digunting? Supaya bisa dipakai kembali begitu?” tanya Pak Asep.

“Ya Allah.. ya sayang atuh, Pak digunting-gunting. Bisa saya lungsurin ke tetangga saya yang badannya kecil.”

“Nggak bisa begitu, kamu kan biasa tegas. Masa sama dirimu sendiri mendadak nggak tegas begitu? Sini guntingnya, Dhimas!” ucap Pak Asep. Kemudian Dhimas menyerahkannya seraya tertawa.

“Maap ye, Ris. Bukan kagak cinte, nih!” ucap Dhimas.

Setelah gunting itu berada di tangan Pak Asep, Haris berjalan mundur. “Pak, ini semua bisa kita bicarakan baik-baik, Pak,” ucapnya seraya menahan senyum. Di sisi lain, Yuna dan Dhimas sudah tertawa hingga berjongkok-jongkok.

“Kamu mau diem atau sekalian saya gunting rambut kamu?” tanya Pak Asep. Ancaman itu langsung membuat Haris diam tak berkutik dan memilih untuk merelakan celana abu-abunya digunting begitu saja.

“BAPAK BULU KAKI SAYA JANGAN IKUT DIGUNTING YA ALLAH!”

“Apa sih? Orang saya gunting celanamu ini, lho!”

“Tapi sakit, Pak, ya ampunn! Guntingnya nusuk-nusuk betis begini.”

“Ya kamunya nggak bisa diem!”

“YA GIMANA MAU DIEM PAK SAYA KETAR-KETIR!”

“Ya kenapa ketar-ketir? Orang Bapak gunting celana kamu bukan kaki kamu,” balas Pak Asep.

“Dih tapi dari tadi bulu kaki saya ikut kegunting, ini mah nyampe rumah botak nih,” balas Haris tak mau kalah. Memang hanya Haris-lah yang berani mendebat Pak Asep, guru Matematika yang terkenal dengan label cerewet dan merepotkan itu.

“Udah dong, Pak. Ini udah kegunting begini masih aja mau gunting lagi. Bapak nggak kasian sama saya? Nanti saya masuk angin gimana?” ujar Haris. Tangannya terangkat di udara sebagai pertahanan dari gunting Pak Asep yang selalu siap menghunus celananya yang sudah tergunting menjadi pola asal-asalan. Membuatnya compang-camping di setiap sisi.

Setelahnya Pak Asep mengalah dan menyerahkan kembali gunting itu pada Dhimas. Sang guru pun tertawa melihat Haris menatap nanar pada celananya yang kini rusak dan menjadi tak layak pakai. “Sana ke BK, minta celana lagi,” ucap Pak Asep seraya tertawa.

“Bapak mah. Emang ada ukuran saya, Pak? Pasti pada ngatung semua tau, Pak! Emang Bapak tega banget, dah!”

“LAH IYA PAK HARIS KAN KAKINYA PALING PANJANG SENDIRI HAHAHAHAH! Pasti nggak ada ukuran dia, Pak. Jatohnya nanti sama aja kayak dia pake celana ini, sempit terus ngatung,” Dhimas menimpali.

“Oh iya, ya?” tanya Pak Asep. Pria paruh baya itu kemudian menatap Haris, sesaat kemudian tertawa terbahak-bahak.

“Kan... Bapak, kan....”

Pak Asep kini mengikuti jejak Yuna dan Dhimas untuk menertawakan Haris yang memasang wajah jengkel setengah mati. Bagaimana tidak? Setiap pagi harusnya ia berbahagia sebab bertemu Gia di gerbang sekolah, namun hari ini ia harus menuju BK untuk mencatat poinnya sendiri dan meminjam celana yang entah tersedia dalam ukurannya atau tidak.

“Ya sudah sana ke BK. Semakin lama kamu berdiri di sini nanti betulan masuk angin,” ucap Pak Asep seraya kembali melipat kedua tangannya di depan dada.

“Ngakak banget demi Allah lu kayak mau fashion show, Ris!” ujar Yuna. “Jalan ke sana gih, runway-nya ke BK langsung WAHAHAHAHAH!”

“Jahat banget padaan,” gerutu Haris. Kemudian ia melepas almetnya dan berjalan menuju BK. Namun, sebelum itu ia memilih untuk mendekatkan diri dengan Dhimas dan menyelundupkan beng-beng yang selama ini ia sembunyikan di saku almetnya.

“Nitip.”

“Nitip ini doang nih?” tanya Dhimas.

“Nitip salam sekalian, deh.”

Dhimas terkekeh, “Duh, Kak. Makanya jadi OSIS yang ta'at dong. Gerbang macetin lagi nggak, nih?”

“Anjeng,” umpat Haris. Membuat tawa Dhimas semakin lepas.

“Weh, mau ke mana lu?” tanya Dhimas ketika melihat Haris langsung berlari secepat kilat menuju ruang BK.

“BK LAH! TAKUT KEBURU DATENG ANAKNYA NANTI MUKA GUE TARO MANA KALO DIA LIAT CELANA GUE BEGINI?!”

Sebagai teman yang baik, Dhimas tertawa semakin geli. Setelahnya ia hanya menggelengkan kepalanya bersama Yuna dan Pak Asep yang masih tak habis pikir dengan Haris.

“Muka doang sangar, sama aja anehnya kayak kamu, Dhim,” ucap Pak Asep. “Nggak heran saya kamu temenannya sama Jauzan. Yudhistira juga sama itu. Kelihatannya aja kalem, aslinya mah haduh. Bisa ancur satu sekolah kayaknya kalo dihuni kalian berempat doang.”

“WAHAHAH YA ALLAH BAPAK, bener sih. Emang mereka sama aja, Pak. Makanya temenannya berempat doang nggak punya temen lagi,” ujar Yuna.

“Deeeee, yang penting saya OSIS yang ta'at, Pak!” balas Dhimas.

Hari ini Haris, Damar, Dhimas, Ojan kembali menjadi pusat perhatian di kantin. Alasannya, tidak lain dan tidak bukan adalah suara mereka yang lantang dan topik yang memang aneh-aneh. Terlebih hari ini mereka berempat bergabung bersama Aghniya dan Ayesha yang juga sama nyelenehnya.

“Ris bagi dulu dua rebu dong,” ucap Ojan tiba-tiba. Pemuda itu terlihat berdiri seraya memeriksa uang recehan yang baru saja ia keluarkan dari saku celana. “Mau beli es teh kurang dua rebu. Duit gue cuma serebu nih.”

Haris berdecak, “Yeuh, kebiasaan! Udah tau mau istirahat kagak bawa turun duit.”

“Loh, apa fungsi kalian sebagai temanku kalau begitu caranya?” balas Ojan seraya terkekeh. Setelahnya Haris menyerahkan selembar uang sepuluh ribu ke tangan Ojan sebelum pria itu berlalu, “Nitip asupan gelembung.”

Ayesha mengernyit, “Apaan asupan gelembung?”

“Balon tiup,” sahut Dhimas membuat gadis itu semakin mengerutkan keningnya. “Hah emang di sini ada yang jual balon tiup?”

“Bukan ege, Mettt. Asupan gelembungnya Haris tuh sodaaa. Kan ada gelembung-gelembungnya,” Aghniya menimpali.

“Ohh, yeuu aneh lo, Ris!” balas Ayesha.

Haris terkekeh, kemudian membalas. “Anehan elu, lah! Lo beli es teh kagak bayar kan, Sha?”

“ANJ—jangan umbar aib gue!” balas Ayesha. Membuat Haris tertawa semakin keras.

“Emang kenapa, Ris?” kali ini Damar membuka suara. Sedari tadi ia hanya diam, entah memperhatikan apa.

“Oh—OH GUE TAU CERITA ITU!” sahut Aghniya yang setelahnya tertawa bersama Haris. “Anjir diem, Metttt! Jangan sekali-kali lu sekongkol sama Haris!” ancam Ayesha.

Aghniya masih sibuk tertawa lantaran mengingat kejadian lucu yang kala itu menimpa Ayesha. Sedangkan Haris sudah begitu siap membeberkan ceritanya. Dengan wajahnya yang memerah akibat tertawa terlalu banyak, Haris kembali berujar. “Lagian dongo yak, maen pergi-pergi aja. Aduh, ya Allah.. kelakuan lu, Shaa, Sha.”

“GUE LUPA EGEEEEE BUKAN NGGAK MAU BAYAR!”

“Ada apa sih emang?” tanya Dhimas yang masih bingung.

“Jadi gini, Breee. Ayesha kan beli es teh, nah sebelahnya gue tuh. Itu emang lagi rame banget sih, tiba-tiba es tehnya jadi dia maen pergi pergi aja. Terus itu istrinya Mang Jamet yang manggil 'Eh, Kak, belom dibayar es tehnya!' demi Allah gue ngakak banget! TAPI KESIAN, mana rame banget. Kagak nape ye, Sha. Pengalaman,” ujar Haris.

“Lu mah.. abis perasaan gue tuh waktu itu udah gue kasih duitnya. Tapi kok belommm gitu, mana ibunya manggil kenceng banget lagi orang mah bisik-bisik aja emang nggak bisa apa yak? Kan gue malu jadinya,” balas Ayesha.

“APAAN ANJIR?! Manggil orang lupa bayar bisik-bisik mah melayang udah uangnya, Sha. Lu mah aneh, udah gue bilang lu anehhh!” ucap Haris seraya tertawa.

Tak lama kemudian Ojan kembali dengan segelas es teh manis dan pesanan asupan gelembung milik Haris. Bagaikan anak kecil mengembalikan kembalian pada sang ayah, Ojan meletakkan kembaliannya di atas telapak tangan Haris dan mengucap terima kasih. “Ntar gue ganti di atas apa gue satuin aja jadi uang bensin?” ucap Ojan.

“Bensin aja, dah!” balas Haris. Setelahnya pemuda itu meneguk soda di dalam kaleng merah itu dengan khidmat. Mumpung nggak ada Mama.

“Sha tapi kan kalo nggak bayar utang dosa, Sha.” Haris kembali berujar setelah meminum sodanya.

“Ya emang iyaaaa!!! Tapi kan gue bayar!!!!!” balas Ayesha tidak terima.

“Kalo kata gue sih lo siap-siap aja api neraka, Sha,” balas Haris lagi. Dhimas tertawa di tempatnya seraya menunjuk Haris, “Brengsek banget ni orang mulutnya nih!”

“Tau emang jahat banget! Damar, temen lo nih rante aja kalo istirahat besok-besok!” balas Ayesha.

“Dikerangkeng aja kerangkeng,” Aghniya menimpali.

“Loh, kok jahat? Kan emang betul kalo lo nggak bayar utang mah siap-siap api neraka. Tanya aja tuh Damar kalo nggak percaya,” ucap Haris lagi. Pria itu menunjuk Damar yang menjawabnya dengan anggukan dan senyuman tertahan.

“Tuhhh, Sha. Kata gue si lu packing dah, siap-siap kena api neraka, lu udah tinggal masuk doang, Sha,” canda Haris.

“Lu juga packing, anjir! Mulut jahannam lu juga akan membawa lu masuk sana, Ris,” sahut Aghniya. Gadis itu membela temannya kali ini.

“Iya ege, Haris kan yang jaga gerbangnya,” ucap Ojan.

“WAHAHAHAH Bener! Makanya dia kan di sini jaga gerbang mulu tiap pagi tuh sebenernya Haris lagi training jaga pintu neraka ege,” Dhimas ikut menimpali.

“WAHAHAHAHAHAH, IYA JUGA YA ANJRITT GUE JAGAIN GERBANG MULU. Ya nanti ketemu pintu surga aja ya Allah nggak mau pintu neraka,” Haris menanggapi.

“Kagak, gue yakin nanti pintu surga kalo liat lu dari jauh langsung nutup sendiri. Langsung 'idih males ah ada Haris' gitu,” ucap Ayesha ekspresif. Gadis itu bahkan menggendikkan bahu saat berbicara. Membuat Aghniya di sebelahnya semakin terbahak-bahak.

“Ni orang brengsek juga ya mulutnya,” ujar Haris seraya menunjuk Ayesha di hadapannya. “HEH LU NGACA YA!” balas Ayesha.

Baru saja Haris ingin memperpanjang perdebatan dirinya dengan Ayesha, sebuah suara mengalihkan atensinya.

Haris menoleh, mendapati Gia yang kini memegangi pundaknya yang entah bagaimana caranya bisa basah. Beruntung gadis itu mengenakan seragam olahraganya, bukan seragam untuk belajar formal di kelas. Matanya menajam, memperhatikan siapa yang berani-beraninya membasahi baju seorang Anggia. Senyum mengembang di wajahnya pun sirna.

Dilihatnya orang itu hanya berjalan melalui Gia dan Zahra tanpa ada niat untuk meminta maaf. Rahangnya mengeras, namun baru saja Haris ingin bangkit, Zahra sudah lebih dulu memaki pemuda yang seenaknya berlalu itu.

“Woi! Kalo tau diri minta maaf kali, lo nyiram temen gue tapi nggak ada rasa bersalahnya sama sekali?! Baju temen gue basah!” ujar Zahra. Memang seringkali orang-orang salah menilainya. Zahra yang biasanya terlihat di mata orang lain adalah Zahra yang selalu imut, bersikap seolah-olah seorang adik kecil yang tidak akan mencari ribut. Namun, Zahra yang sebenarnya keluar hari ini.

Haris mengurungkan diri untuk bangkit, pemuda itu memilih bertukar pandang dengan Aghniya yang juga mengisyaratkannya untuk menahan diri dan tetap memperhatikan situasi sebab sudah ada Zahra yang dapat mewakili keduanya. Pun ia melihat Gia yang kini berusaha menenangkan Zahra.

Pemuda itu menoleh dan kembali menghampiri Gia dan Zahra dengan wajah sombongnya. “Apaan sih? Kesiram gitu doang aja lebay banget. Orang nggak sengaja juga. Nggak sampe basah kuyup juga, kan?” balasnya.

Amarah Zahra meningkat. Pemuda di hadapannya itu benar-benar tidak tahu sopan santun. “Ohh gitu?” ujarnya.

Setelahnya secepat kilat Zahra merebut botol plastik berisi air putih dingin milik Gia dan menyiramkannya pada pemuda itu. Tepat di wajahnya.

“Anjing, apa-apaan sih?!”

Zahra mengangkat sebelah alisnya, “Apaan sih? Kesiram gitu doang aja LEBAY BANGET! Nggak sampe basah kuyup juga kan? Makan tu aer! Gue sumpahin masuk angin tujuh turunan lu!”

“Ayo, Gi!” ucap Zahra menarik lengan Gia yang masih tercengang di tempatnya. Gadis itu sama sekali tidak menyangka Zahra akan seberani ini. Namun ketika keduanya akan melangkah, pemuda itu kembali bicara.

“Eh, lo nggak tau siapa gue?!”

Zahra berbalik dengan tampang berani. Gadis itu tak gencar sama sekali. “Tau gue. Lo Giovanno Sadewa yang katanya selebgram itu kan?! Nggak peduli. Mau selebgram atau anak presiden sekalipun, kita semua sama di sini. Nggak usah songong deh lo, nggak usah belagu dan merasa lo paling hebat di sini. Followers lo banyak nggak serta-merta ngejadiin lo punya alesan untuk semena-mena di sini ya, Gio. Gue tunggu maaf lo ke temen gue, kalo lo tau diri.”

Setelahnya ia benar-benar menarik Gia pergi menjauh dari sana. Meninggalkan Gio yang masih terdiam di sana, mengendus tidak suka seraya menyeka wajahnya yang tersiram air dingin.

Dari kejauhan, Haris tersenyum miring seraya terkekeh. “Canggih juga tetangga lu, Ni.”

“Didikan gue mah canggih,” balas Aghniya.

“Tapi tadi gue denger namanya Gio. Cocok dah kayaknya ama Gia. Biar jadi Gia-Gio, kalo Gia-Haris kayaknya kurang cocok ya?” canda Dhimas yang tawanya langsung meyembur tepat ketika ia melihat tatapan tidak terima datang dari Haris.

“Besok gua ganti nama, Dhim. Gue urus akte gue sekalian. Emang penghuni neraka lu!” balas Haris jengkel. Setelahnya ia bangkit dan meninggalkan teman-temannya yang masih puas menertawainya.

Haris baru pulang pukul sepuluh malam dan berniat langsung naik ke kamar untuk berganti baju dan tidur. Namun niatnya segera ia urungkan ketika justru mendapati keluarganya tengah berkumpul di ruang tengah. Matanya menangkap tiga wanita yang selama ini menghiasi hidupnya tengah asik duduk berhimpitan di sofa. Dengan mama di tengah, diapit kedua adiknya.

Tak ingin mengganggu, Haris memilih untuk bersembunyi di balik dinding. Mendengarkan percakapan ketiganya.

“Mama sama Papa dulu juga sama kayak orang tuanya temen-temen Haura, tinggal bareng di sini. Tapi Mama sama Papa punya masalah, yang udah nggak bisa diselesain lagi. Haura tau gembok? Yang buat kunci pintu gerbang kita loh. Nah, Mama sama Papa, punya gembok, tapi kuncinya udah ilang dan akhirnya gemboknya nggak bisa dibuka. Jadi udah nggak cocok, makanya Mama sama Papa udah nggak tinggal bareng-bareng lagi, itu namanya cerai, Nak. Mama sama Papa berpisah.” jelas mama.

Sebuah raut wajah cerah yang sempat tercipta di wajah pemuda satu-satunya di rumah itu kembali sirna setelah mengetahui apa yang mama dan adik-adiknya bicarakan. Kepalanya tertunduk, Haris membiarkan air matanya jatuh dalam diam.

“Tapi, Mama pisah sama Papa bukan berarti udah nggak sayang sama Haura, Kak Hanum, dan Kak Haris. Mungkin rasanya nggak lengkap, tapi perasaan sayang Mama ke kalian tetep utuh, kok, Nak. Nggak ada yang berubah, nggak ada yang berkurang. Haura nggak boleh malu lagi ya? Kan ada Mama, ada Kak Hanum, ada Kak Haris.”

“Tapi temen Hauwa bilang papa tuh asik, Ma! Temen Hauwa diajak jalan-jalan, ditemenin belajar sepeda, ditemenin gambar, diantewin ke sekolah,” Haris dapat mendengar Haura membalas dengan nada yang menyiratkan kekesalannya.

Mama tertawa pelan, “Selama ini kalo Haura mau gambar siapa yang temenin?”

“Kak Hanum.”

“Oke, terus selama ini Haura kalo mau jalan-jalan, siapa yang ngajak jalan-jalan?”

“Mama, Kak Hawis juga suka.”

Mama mengangguk sebelum kembali bicara. “Terus dari dulu Haura belajar sepeda sama siapa?”

“Kak Hawis.”

“Sama aja, kan? Nggak ada bedanya? Haura nggak sendirian? Malah jadinya nggak bosen, soalnya bisa gantian. Iya nggak?” tanya Mama. Setelahnya Haura diam dan terlihat berpikir. Sekon berikutnya, gadis kecil itu tersenyum hingga matanya menyipit dan pipi tembamnya mengembang. Menambah kesan imut yang membuat siapapun yang melihatnya ikut tersenyum. Kemudian Haura mengangguk menyetujui perkataan mama.

Setelahnya, ditangkupnya wajah Haura oleh sang ibu. “Haura, nggak perlu malu lagi karena anggota keluarga kita kurang satu, ya? Yang paling penting, semua orang yang ada di rumah ini,” Mama berucap seraya memutar jari telunjuknya mewakili seisi rumah. “Ada buat Haura.”

“Oke?” tanya Mama.

“Oke!!” jawabnya dengan nada ceria.

Saat itu, barulah Haris memberanikan diri untuk menampakkan diri. “Assalamu'alaikum,” ucapnya sebelum menampakkan diri di hadapan mama dan adik-adiknya. Membiarkan sinar lampu yang memancar itu menerpa kulitnya.

“Eh, udah mainnya, Kak?” tanya mama. Haris mengangguk pelan seraya berjalan menghampiri sang ibu untuk menyalami tangannya.

“Lagi pada ngomongin apa?” tanya Haris, pura-pura tidak tahu.

“Ngomongin Kakak!” balas Hanum.

“Biarin aja dosanya bertumpuk-tumpuk!” canda Haris. Membuat sang ibu hanya tertawa menyikapi perdebatan keduanya.

“Udah, yuk, tidur! Besok masih pada sekolah kan?” tanya mama. Setelahnya ketiga anaknya itu mengangguk.

Hanum mendahului saudara-saudaranya untuk memeluk mama dan pergi ke kamar. Gadis itu menggiring Haura bersamanya. Hingga tersisa Haris yang masih berdiri di sana. Pemuda itu terus memandangi sang ibu yang pada akhirnya memutuskan untuk menceritakan semuanya pada adiknya.

Mama menoleh, setelahnya merentangkan tangannya. Menawarkan pelukan hangat yang selalu Haris nantikan di penghujung hari. Pria itu mendudukkan diri di sebelah mama dan menelusup ke dalam pelukan hangat ibunya—meski lebih terlihat seperti Haris yang memeluk mama lantaran tubuhnya yang jauh lebih tinggi.

“Haura masih nanyain emangnya, Ma? Kok Mama ceritain gitu?” tanya Haris, setelah pelukan mereka terlepas. Kini ia hanya menyandarkan kepalanya di bahu mama.

“Oh, kamu denger, Kak?” tanya mama. Haris mengangguk.

Mama menghela napas. “Mau sampe kapanpun kita alihkan, rasa penasaran Haura itu akan tetep ada, Kak. Daripada nanti Haura harus nerima semuanya pada satu waktu bersamaan saat dia besar, mending kita biasain dari sekarang,” ucap mama.

“Lagian, ketidaktahuan itu bisa menyiksa. Jadi satu-satunya di rumah yang nggak tau seluk-beluk keluarganya sendiri juga pasti berat. Haura juga perlu tau soal papanya, Kak. Gimanapun juga itu tetep papa kalian, jangan pernah dilupain. Setelah perpisahan itu cuma ada mantan suami dan mangan istri, Kak. Nggak ada mantan anak dan mantan orang tua,” lanjut mama. Haris hanya diam dan menghela napasnya.

Benar. Sampai kapanpun orang tuanya tetap sama meski terhalang sebuah kata perceraian. Saat itu Haris pun menyadari, ia harus berdamai dengan keadaan.

“Mama tau, Kakak pasti marah sama Mama dan Papa karena ngambil keputusan ini waktu itu. Tapi, di dunia ini ada hal yang nggak bisa dipaksa untuk tetap bersama, Kak. Waktu itu Mama takut, bukan takut sama Papa. Mama takut kalo kalian tumbuh besar dengan sering denger Mama sama Papa ribut. Mama takut kalo kalian jadi jauh sama yang namanya kasih sayang karena sering liat Mama sama Papa ribut. Mama nggak mau kalian, terutama kamu, Kak, menjadikan marah-marah dan bertengkar itu jadi hal pertama yang kamu lakuin saat ada hal yang nggak sesuai sama apa yang kamu mau.”

“Mama minta maaf ya, Kak. Kamu jadi harus dewasa karena keadaan kita yang menuntut untuk tetap kuat. Mama minta maaf atas semua kesepakatan yang kita buat dulu sama Papa karena pada akhirnya ingkar. Mama minta maaf, karena kamu harus melewati banyak sekali dan nanggung beban berat sekali di pundak kamu.”

Haris menatap wajah sang ibu dengan seksama. Netra hitam nan tajam yang ia warisi dari sang ayah itu berkilat memancarkan air mata yang siap turun. Haris mengangguk, seiring tetesan air mata mengalir membasuh pipinya melalui satu kedipan mata.

“Haris boleh tau, apa yang bikin Mama akhirnya yakin untuk ambil keputusan itu?”

Mama memalingkan wajah sebelum menjawab. “Setiap anak pasti butuh tempat untuk pulang, Kak. Saat itu pikiran Mama hanya terpusat pada kamu, Hanum, dan Haura yang waktu itu baru lahir. Mama nggak mau rumah ini nggak bisa jadi tempat kalian untuk pulang dengan perasaan aman dan nyaman. Mama nggak mau kalian jadi harus cari pelarian entah ke mana. Mama mau anak-anak Mama selalu pulang, kalaupun ada hari yang berat dan masalah yang belum selesai, kita cari jalan keluarnya sama-sama.”

Haris mengangguk pelan, disertai senyuman tipis di wajahnya. “Haris ngerti, Ma. Haris nggak pernah keberatan ada di kondisi kayak sekarang. Haris tau Mama mengusahakan yang terbaik buat Haris, Hanum, sama Haura. Jangan minta maaf lagi ya, Ma? Nggak ada yang bikin Haris, Hanum, sama Haura lebih bahagia daripada jadi anak-anaknya Mama.”

Hati ibu mana yang tidak terenyuh mendengar penuturan halus seorang anak yang menyatakan bahwa dirinya turut berbahagia dilahirkan dari rahimnya? Mama tersenyum lembut meski sudah tak tahan lagi ingin menangis. Setelahnya wanita itu mengangguk. Dikecupnya kening sang anak sulung, berharap di dalam sana tak banyak hal yang membuatnya gamang.

“Tidur, Kak. Istirahat, besok sekolah.”

Haris mengangguk, kemudian bangkit dan memeluk mama untuk terakhir kalinya sebagai penutup hari itu. Dalam pelukan singkat itu, mama berbisik di telinga si sulung yang paling hebat. “Makasih karena nggak pernah ninggalin Mama ya, Kak.”

Haris mengangguk pelan, “Makasih udah bertahan buat Haris, Hanum, dan Haura, Ma.”

Perbincangan hari itu berakhir dengan lampu ruang keluarga yang akhirnya dimatikan. Membuat sunyi semakin menyelimuti namun tetap tak mengusir suasana hangat di dalam rumah. Setelahnya, baik mama dan Haris sama-sama kembali ke kamar. Mengakhiri hari dengan terlelap dalam sebuah naungan yang sangat, sangat layak disebut rumah.

Haris baru pulang pukul sepuluh malam dan berniat langsung naik ke kamar untuk berganti baju dan tidur. Namun niatnya segera ia urungkan ketika justru mendapati keluarganya tengah berkumpul di ruang tengah. Matanya menangkap tiga wanita yang selama ini menghiasi hidupnya tengah asik duduk berhimpitan di sofa. Dengan mama di tengah, diapit kedua adiknya.

Tak ingin mengganggu, Haris memilih untuk bersembunyi di balik dinding. Mendengarkan percakapan ketiganya.

“Mama sama Papa dulu juga sama kayak orang tuanya temen-temen Haura, tinggal bareng di sini. Tapi Mama sama Papa punya masalah, yang udah nggak bisa diselesain lagi. Haura tau gembok? Yang buat kunci pintu gerbang kita loh. Nah, Mama sama Papa, punya gembok, tapi kuncinya udah ilang dan akhirnya gemboknya nggak bisa dibuka. Jadi udah nggak cocok, makanya Mama sama Papa udah nggak tinggal bareng-bareng lagi, itu namanya cerai, Nak. Mama sama Papa berpisah.” jelas mama.

Sebuah raut wajah cerah yang sempat tercipta di wajah pemuda satu-satunya di rumah itu kembali sirna setelah mengetahui apa yang mama dan adik-adiknya bicarakan. Kepalanya tertunduk, Haris membiarkan air matanya jatuh dalam diam.

“Tapi, Mama pisah sama Papa bukan berarti udah nggak sayang sama Haura, Kak Hanum, dan Kak Haris. Mungkin rasanya nggak lengkap, tapi perasaan sayang Mama ke kalian tetep utuh, kok, Nak. Nggak ada yang berubah, nggak ada yang berkurang. Haura nggak boleh malu lagi ya? Kan ada Mama, ada Kak Hanum, ada Kak Haris.”

“Tapi temen Hauwa bilang papa tuh asik, Ma! Temen Hauwa diajak jalan-jalan, ditemenin belajar sepeda, ditemenin gambar, diantewin ke sekolah,” Haris dapat mendengar Haura membalas dengan nada yang menyiratkan kekesalannya.

Mama tertawa pelan, “Selama ini kalo Haura mau gambar siapa yang temenin?”

“Kak Hanum.”

“Oke, terus selama ini Haura kalo mau jalan-jalan, siapa yang ngajak jalan-jalan?”

“Mama, Kak Hawis juga suka.”

Mama mengangguk sebelum kembali bicara. “Terus dari dulu Haura belajar sepeda sama siapa?”

“Kak Hawis.”

“Sama aja, kan? Nggak ada bedanya? Haura nggak sendirian? Malah jadinya nggak bosen, soalnya bisa gantian. Iya nggak?” tanya Mama. Setelahnya Haura diam dan terlihat berpikir. Sekon berikutnya, gadis kecil itu tersenyum hingga matanya menyipit dan pipi tembamnya mengembang. Menambah kesan imut yang membuat siapapun yang melihatnya ikut tersenyum. Kemudian Haura mengangguk menyetujui perkataan mama.

Setelahnya, ditangkupnya wajah Haura oleh sang ibu. “Haura, nggak perlu malu lagi karena anggota keluarga kita kurang satu, ya? Yang paling penting, semua orang yang ada di rumah ini,” Mama berucap seraya memutar jari telunjuknya mewakili seisi rumah. “Ada buat Haura.”

“Oke?” tanya Mama.

“Oke!!” jawabnya dengan nada ceria.

Saat itu, barulah Haris memberanikan diri untuk menampakkan diri. “Assalamu'alaikum,” ucapnya sebelum menampakkan diri di hadapan mama dan adik-adiknya. Membiarkan sinar lampu yang memancar itu menerpa kulitnya.

“Eh, udah mainnya, Kak?” tanya mama. Haris mengangguk pelan seraya berjalan menghampiri sang ibu untuk menyalami tangannya.

“Lagi pada ngomongin apa?” tanya Haris, pura-pura tidak tahu.

“Ngomongin Kakak!” balas Hanum.

“Biarin aja dosanya bertumpuk-tumpuk!” canda Haris. Membuat sang ibu hanya tertawa menyikapi perdebatan keduanya.

“Udah, yuk, tidur! Besok masih pada sekolah kan?” tanya mama. Setelahnya ketiga anaknya itu mengangguk.

Hanum mendahului saudara-saudaranya untuk memeluk mama dan pergi ke kamar. Gadis itu menggiring Haura bersamanya. Hingga tersisa Haris yang masih berdiri di sana. Pemuda itu terus memandangi sang ibu yang pada akhirnya memutuskan untuk menceritakan semuanya pada adiknya.

Mama menoleh, setelahnya merentangkan tangannya. Menawarkan pelukan hangat yang selalu Haris nantikan di penghujung hari. Pria itu mendudukkan diri di sebelah mama dan menelusup ke dalam pelukan hangat ibunya.—meski lebih terlihat seperti Haris yang memeluk mama lantaran tubuhnya yang jauh lebih tinggi.

“Haura masih nanyain emangnya, Ma? Kok Mama ceritain gitu?” tanya Haris, setelah pelukan mereka terlepas. Kini ia hanya menyandarkan kepalanya di bahu mama.

“Oh, kamu denger, Kak?” tanya mama. Haris mengangguk.

Mama menghela napas. “Mau sampe kapanpun kita alihkan, rasa penasaran Haura itu akan tetep ada, Kak. Daripada nanti Haura harus nerima semuanya pada satu waktu bersamaan saat dia besar, mending kita biasain dari sekarang,” ucap mama.

“Lagian, ketidaktahuan itu bisa menyiksa. Jadi satu-satunya di rumah yang nggak tau seluk-beluk keluarganya sendiri juga pasti berat. Haura juga perlu tau soal papanya, Kak. Gimanapun juga itu tetep papa kalian, jangan pernah dilupain. Setelah perpisahan itu cuma ada mantan suami dan mangan istri, Kak. Nggak ada mantan anak dan mantan orang tua,” lanjut mama. Haris hanya diam dan menghela napasnya.

Benar. Sampai kapanpun orang tuanya tetap sama meski terhalang sebuah kata perceraian. Saat itu Haris pun menyadari, ia harus berdamai dengan keadaan.

“Mama tau, Kakak pasti marah sama Mama dan Papa karena ngambil keputusan ini waktu itu. Tapi, di dunia ini ada hal yang nggak bisa dipaksa untuk tetap bersama, Kak. Waktu itu Mama takut, bukan takut sama Papa. Mama takut kalo kalian tumbuh besar dengan sering denger Mama sama Papa ribut. Mama takut kalo kalian jadi jauh sama yang namanya kasih sayang karena sering liat Mama sama Papa ribut. Mama nggak mau kalian, terutama kamu, Kak, menjadikan marah-marah dan bertengkar itu jadi hal pertama yang kamu lakuin saat ada hal yang nggak sesuai sama apa yang kamu mau.”

“Mama minta maaf ya, Kak. Kamu jadi harus dewasa karena keadaan kita yang menuntut untuk tetap kuat. Mama minta maaf atas semua kesepakatan yang kita buat dulu sama Papa karena pada akhirnya ingkar. Mama minta maaf, karena kamu harus melewati banyak sekali dan nanggung beban berat sekali di pundak kamu.”

Haris menatap wajah sang ibu dengan seksama. Netra hitam nan tajam yang ia warisi dari sang ayah itu berkilat memancarkan air mata yang siap turun. Haris mengangguk, seiring tetesan air mata mengalir membasuh pipinya melalui satu kedipan mata.

“Haris boleh tau, apa yang bikin Mama akhirnya yakin untuk ambil keputusan itu?”

Mama memalingkan wajah sebelum menjawab. “Setiap anak pasti butuh tempat untuk pulang, Kak. Saat itu pikiran Mama hanya terpusat pada kamu, Hanum, dan Haura yang waktu itu baru lahir. Mama nggak mau rumah ini nggak bisa jadi tempat kalian untuk pulang dengan perasaan aman dan nyaman. Mama nggak mau kalian jadi harus cari pelarian entah ke mana. Mama mau anak-anak Mama selalu pulang, kalaupun ada hari yang berat dan masalah yang belum selesai, kita cari jalan keluarnya sama-sama.”

Haris mengangguk pelan, disertai senyuman tipis di wajahnya. “Haris ngerti, Ma. Haris nggak pernah keberatan ada di kondisi kayak sekarang. Haris tau Mama mengusahakan yang terbaik buat Haris, Hanum, sama Haura. Jangan minta maaf lagi ya, Ma? Nggak ada yang bikin Haris, Hanum, sama Haura lebih bahagia daripada jadi anak-anaknya Mama.”

Hati ibu mana yang tidak terenyuh mendengar penuturan halus seorang anak yang menyatakan bahwa dirinya turut berbahagia dilahirkan dari rahimnya? Mama tersenyum lembut meski sudah tak tahan lagi ingin menangis. Setelahnya wanita itu mengangguk. Dikecupnya kening sang anak sulung, berharap di dalam sana tak banyak hal yang membuatnya gamang.

“Tidur, Kak. Istirahat, besok sekolah.”

Haris mengangguk, kemudian bangkit dan memeluk mama untuk terakhir kalinya sebagai penutup hari itu. Dalam pelukan singkat itu, mama berbisik di telinga si sulung yang paling hebat. “Makasih karena nggak pernah ninggalin Mama ya, Kak.”

Haris mengangguk pelan, “Makasih udah bertahan buat Haris, Hanum, dan Haura, Ma.”

Perbincangan hari itu berakhir dengan lampu ruang keluarga yang akhirnya dimatikan. Membuat sunyi semakin menyelimuti namun tetap tak mengusir suasana hangat di dalam rumah. Setelahnya, baik mama dan Haris sama-sama kembali ke kamar. Mengakhiri hari dengan terlelap dalam sebuah naungan yang sangat, sangat layak disebut rumah.