Protection

Gadis bertubuh mungil itu masih berjalan dengan hentakkan kaki yang menimbulkan suara keras di tangga sekolah yang menggema. Wajahnya memerah menahan marah, hatinya dongkol, suasana hatinya sama sekali tidak baik. Beberapa orang yang melewatinya bahkan tak berani menegur, hanya berani melirik dan setelahnya menebak-nebak apa yang terjadi hingga membuatnya marah.

Satu-satunya orang yang berani menegur Gia adalah seseorang yang kini berhasil menyamai langkahnya meskipun Gia sudah berjalan jauh lebih dulu. “Kok langsung pergi?”

Gadis itu sontak menoleh. Di sebelahnya kini Haris berjanji menyamai langkahnya yang terburu-buru. Setelah terhenti sesaat, Gia melanjutkan langkahnya lagi tanpa membalas perkataan Haris.

“Gi, saya nanya loh?”

Masih tak digubris. Gia meneruskan langkahnya tanpa mempedulikan Haris. Gadis itu sudah kepalang kesal mendengar perkataan Haris. Pun melihat sikapnya yang 180 derajat berbeda dengan sikapnya kemarin.

Gemas, Haris berniat menahan tangan Gia pelan agar keduanya dapet berbicara dengan tenang. Namun entah ilham dari mana, Gia berbalik sebelum Haris sempat menjangkau pergelangan tangannya.

“Ngapain sih, Kak?”

“Ngapain apa?”

“Ngapain ngikutin saya?”

“Mau ngobrol,” jawab Haris santai. Seolah tidak memedulikan wajah Gia yang memerah karena emosinya yang mendidih.

Seraya mendelik, Gia menjawab meskipun bingung. “Saya nggak mau!”

Haris mengangkat sebelah alisnya, kedua tangannya ia selipkan di saku celana. Berdiri dengan santai menatap Gia seraya menahan tawanya. Satu-satunya alasan mengapa Haris bisa tetap tenang meskipun berhadapan dengan Gia yang sudah meledak-ledak itu adalah karena ia sudah biasa menangani dua adiknya dengan segala emosinya. Perannya sebagai kakak berguna kali ini. “Kenapa nggak mau?” tanya Haris.

“Ya, ngapain Kakak ngobrol sama orang yang dari awal aja udah buat masalah?! Ngapain Kakak ngajak ngobrol aku setelah Kakak nyuruh temen Kakak untuk nggak peduliin aku?!”

Sepersekian detik Haris terpaku mendengar Gia melepas kata ganti “saya” dan menggantinya dengan “aku”. Entah mengapa hatinya merasakan sebuah percikan baru yang membuatnya menghangat. Haris menyukainya. Kata sapaan yang diganti itu seakan mengatakan pada siapapun di dunia bahwa keduanya sudah lebih dekat.

“Aku?” ucap Haris. Membuat Gia mengerjapkan matanya sendiri, menyadari kesalahannya. “Saya!”

Haris menunduk kecewa sesaat kemudian, rupanya itu hanya kesalahan. Gadis itu bahkan tidak menyadari dirinya mengubah kata ganti dirinya sendiri ketika berbicara dengan Haris. Detik berikutnya ia kembali mengangkat wajahnya. “Sengaja, Gi.”

Mendengar jawaban Haris, Gia semakin mengerutkan alisnya. “Sengaja gimana?”

“Saya liat dari awal kejadiannya. Gimana Gina sama Salsa yang tiba-tiba ngomongin kamu, nyindir kamu di depan kamu, dan malah jadi ngajakin kamu ribut. Sampe kamu emosi dan akhirnya bales mereka,” ucap Haris. Setelah mengetahui Gia yang nampak berminat mendengar perkataannya, ia melanjutkan bicaranya. “Saya nggak nyalahin kamu, saya ngerti kamu marah. Saya pun akan bereaksi sama. Tapi, Gi, ribut sama mereka itu percuma. Satu, nggak bakal ada ujungnya. Dua, nggak bakal menang.”

Gia masih saja diam, emosinya yang sedari tadi memuncak kini perlahan mereda mendengar suara bariton yang bertutur halus menasehatinya. “Kalo kamu bales nanti jadi rame, ketahuan sama guru. Mereka yang bergerombol itu bisa langsung nyudutin kamu dan bikin kamu keliatan kayak yang mulai semuanya. Sementara kamu? Siapa yang mau dukung kamu? Siapa yang berani dukung kamu?” lanjut Haris lagi.

“Marah boleh, tapi jangan sampe ngerugiin diri sendiri, Anggia. Tetep harus mikir panjang. Kamu nggak tau kan mereka semanipulatif apa? Orang-orang kayak mereka tuh selalu naro ego di atas kepalanya. Maunya menang terus, maunya bener terus seakan-akan nggak ada kata kalah dan salah di kamus mereka. Apapun bakal mereka lakuin supaya bisa jatohin orang yang nggak mereka suka. Kalo kamu udah masuk list orang yang nggak mereka sukain, kamu diem aja salah, Gi. Karena mereka akan selalu cari kesalahan kamu.”

“Saya emang sengaja nyempil di tengah-tengah kalian, saya sengaja memvalidasi perkataan Gina sama temen-temennya. Supaya mereka diem dan nggak ganggu kamu lagi. Saya denger kalian ngomongin saya, saya denger Gina bawa-bawa nama saya. Makanya saya pura-pura pro ke Gina biar dia diem. Maaf bikin kamu jadi makin emosi. Jangan salah paham ya, Gi? Saya nggak dukung Gina, kok.”

Diantara ribuan detik yang bergulir di antara keduanya, saat itu juga, amarah Gia berhasil padam. Haris kembali melihat ke arah Gia setelah mengalihkan pandangannya untuk beberapa saat, gadis itu menghela napasnya. “Kirain Kak Haris belain Kak Gina. Soalnya kan Kak Gina temennya Kak Haris.”

Sudut bibir Haris berkedut menahan senyuman, “Enggak. Tenang aja.”

Hening sementara, sampai ketika Gia memulai pembicaraan. “Tapi serius deh, Kak. Kalo emang interaksi kita bikin banyak orang nggak suka atau bikin Kak Haris nggak nyaman, saya nggak apa-apa kok kalo emang harus jauhin Kak Haris.”

Haris terkekeh, “Emangnya saya keliatan nggak nyaman interaksi sama kamu?”

“Hah? Y-ya nggak tau! Siapa tau gitu?”

“Enggak, kok.”

“Ooh, oke..” balas Gia.

Kemudian kembali hening. Sebuah atmosfer canggung menyelimuti keduanya. Haris menggaruk tengkuknya yang tidak gatal seraya menunduk, sementara Gia mengalihkan pandangannya ke sembarang arah seraya tersenyum tipis.

Hingga lelaki yang setahun lebih tua itu kembali memulai percakapan. “Gia,” panggilnya. Gadis itu hanya mengangkat alisnya sebagai jawaban, dengan tatapan yang kembali diarahkan pada Haris.

“Kalo Gina kayak gitu lagi, bilang ya?” ucap Haris. Gia mengerutkan keningnya, “Kenapa emangnya, Kak?”

Haris tak langsung menjawab, pemuda itu terdiam beberapa saat. Kemudian seiring bola matanya menatap kurus pada milik Gia, ia menjawab.

“Sebagaimana Hanum bisa merasa aman sekolah di sekolahnya karena ada kamu, kamu juga bisa merasa aman sekolah di sini...”

”...karena ada saya.”