Angwy

Gia hanya melipat tangan di dada seraya berusaha sabar menunggu gilirannya tiba untuk memesan minum di salah satu stand jajanan di kantin. Gadis itu kini berada di tengah-tengah antrean, terapit oleh gerombolan kakak kelas yang entah siapa. Gia tidak terlalu memperhatikan. Dirinya sibuk menghitung orang-orang di depannya, berapa giliran lagi untuk sampai pada gilirannya.

Ketika sedang asik dengan urusannya, salah seorang dari gerombolan kakak kelas yang berdiri di depannya itu membuka suara. Gia tak tahu pasti siapa dia, yang jelas suaranya kini dilebih-lebihkan. Seolah sengaja dibuat keras agar yang lain mendengarnya.

“Adek kelas sekarang pada centil-centil ya?” ucapnya. Gia mencoba tidak peduli.

“Banget, sih. Makin pada nggak tau sopan santun. Masa ada loh, yang waktu itu minta iketin tali sepatu sama kakak kelasnya! Bayangin deh, kakak kelasnya disuruh jongkok ngiketin tali sepatunya!” ucapan itu keluar dari mulut Gina. Detik itu juga, Gia paham bahwa dirinya-lah yang menjadi topik pembicaraan segerombol kakak kelas yang bibirnya merah dengan kompak.

Gia masih berusaha untuk tidak menggubris, namun mereka seakan-akan membuat semuanya semakin mengerucut pada dirinya. “Iya sumpah! Masa kan gue basket kan bareng si adek kelas ini. Emang gue liatin sih matanya nggak lepas dari Haris. Gue tuh sebenernya nggak enak, i mean, mikirin Haris nggak sih? Pasti kan nggak nyaman ya kalo diliatin terus begitu?” ucap Gina, sesekali melirik menyindir ke arah Gia yang masih berusaha diam.

“Yang mana sih, Gin, orangnya?” tanya seseorang yang gayanya paling mendominasi. Gia prediksi, perempuan itu adalah ketua gengnya.

“Aduh, Salsa! Yang—,” balas Gina dengan tidak menyelesaikan kalimatnya. Perempuan itu menunjuk ke arah Gia menggunakan lirikan matanya. Setelahnya Gina tertawa dengan teman-temannya. Tentu saja, Gia tersinggung.

Setelah tawanya mereda, Salsa sebagai teman yang baik mendukung kegiatan nyinyir yang semakin disulut oleh Gina. “Oh yang ini, Gin? Biasa aja ya? Jauh sih, sama Haris yang keren banget. Agak nggak tau diri ya?”

That's it. Sudah melebihi batas kesabaran seorang Anggia untuk menahan kejengkelannya dan menelannya mentah-mentah. Kemudian dengan segala keberanian yang ia punya, dilapisi dengan amarah yang siap meledak, Gia menegur Gina dan Salsa yang kini menertawakannya. Di hadapannya.

“Maaf, Kak. Kakak ngomongin saya?” tanya Gia. Matanya menatap nyalang ke arah Gina dan Salsa, mengingat keduanya yang paling mendominasi obrolan. Tidak peduli lebih tua, Gia sudah kesal.

Salsa menoleh, “Hm? Enggak tuh? Kenapa emangnya? Berasa ya?”

“Salsaa, nggak boleh gitu dong!” ucap Gina, yang Gia tahu penuh kepura-puraan. Gia mendecih, seiring Gina kembali membuka suara. Kali ini tertuju padanya. “Kita nggak ngomongin kamu kok, Gia. Kamu tersinggung ya? Duh, maaf banget ya!”

“Ya elah, ngapain minta maaf. Emang bener kok nggak tau diri,” Salsa menimpali seraya melipat kedua tangannya di depan dada.

“Maksudnya gimana, Kak?” tanya Gia. Masih berusaha mempertahankan sopan santunnya.

“Yaa, coba aja dipake otaknya. Menurut kamu, kamu pantes emang deket-deket sama Haris? Tau diri kali, jangan belagu. Mentang-mentang kamu kenal adeknya Haris?” tanya Salsa. Sementara Gina, gadis itu bertingkah seolah-olah meredakan emosi Salsa.

Muak, Gia muak memperhatikan drama di depannya. “Lah, Kakak kok ikut campur? Emangnya kenapa kalo saya kenal adeknya Kak Haris? Sirik? Iri?”

“Loh, kok jadi berani sama kakak kelas? Emang bener ya adek kelas sekarang nggak tau sopan santun! Maksudnya apa bentak-bentak temen gue?” Gina kembali buka suara. Sepertinya perempuan itu sekaligus melampiaskan amarahnya yang selama ini terpendam pada Gia.

Baru saja Gia ingin membalas lebih lanjut, sang bintang utama bergabung dengan mereka. Haris, pemuda itu menyelak antrean di depan Gia. Setelahnya berbicara pada Gina seolah tidak melihat perdebatan apapun sebelumnya. “Gin, nitip es teh dong!”

Sontak ketiga gadis yang sedang berdebat itu terdiam. Salsa dan Gina sama-sama menutup mulutnya rapat-rapat. Namun tidak dengan Gia. Emosinya yang sudah tersulut itu membuatnya semakin emosi ketika Haris menyerobot antrean.

“Kak, ngantre kali! Kakak nggak liat saya duluan yang di sini? Ngelama-lamain aja pake nitip-nitip!” ujar Gia emosi.

Haris sontak menoleh, melihat Gia yang jauh lebih pendek darinya. “Oh ada Gia? Yah, maaf deh. Nggak keliatan,” balas Haris.

“Dih—”

“Eh sumpah ini adek kelas nyebelin banget Ris dari tadi. Kelas berapa sih kamu? Belagu deh!” Salsa memotong ucapan Gia.

“Ipa dua, Saaa. Bergaulnya juga sama Aghni sih, nggak heran gue,” timpal Gina.

“Ini ada apa sih?” tanya Haris.

“Ini nih, adek kelas nggak tau malu. Nggak sopan sama kakak kelasnya!” ucap Salsa. Dengan segera Haris melihat ke arah yang ditunjuk Salsa.

“Gia?” tanya Haris memastikan. Kedua gadis di hadapannya mengangguk. “Dia mah dari awal juga udah bikin masalah. Udah diemin aja, Gin,” Haris menambahkan.

Kedua mata Gia membulat, benarkah seorang Haris berlaku begitu kali ini? Pemuda itu bahkan tidak tahu akar permasalahannya, siapa yang memulai, kemudian lantas dengan mudah mempercayai Gina hanya karena mereka satu angkatan? Menyebalkan.

Gia merasakan kepalanya mendidih, ini sudah benar-benar di luar batas kesabarannya. Gadis itu melupakan niatnya untuk membeli minuman dingin. Dengan marah, Gia melangkahkan kakinya menjauh. Kembali ke kelas.

Nyebelin banget, orang jelas-jelas dia ngomongin aku duluan malah jadi ngatain aku nggak sopan! Dalam hatinya, Gia tak henti-hentinya misuh-misuh.

Kak Haris juga, nggak tau apa-apa tiba-tiba kayak gitu! Nggak jelas! Kemaren aja nolongin, sekarang begini. Dasar sok baik doang!

Gia termasuk golongan orang yang selalu diam, hampir tidak pernah mengeluarkan amarahnya di tempat umum. Segala sesuatunya sering kali ia simpan sendiri. Didukung wajahnya yang hampir tanpa ekspresi. Namun hari ini, terima kasih kepada Gina dan teman satu gengnya, Gia berhasil meledak.