raranotruru

Hari ini pulang sekolah secara tiba-tiba gue harus terjebak di sekolah karena Kak Wildan ngasih pengumuman kalo sekolah kita akan punya event lagi. Beda dari biasanya, kali ini bukan event milik OSIS. Ini adalah event dari kecamatan yang mungkin, pengen nyari bibit-bibit unggul. Kecamatan katanya pengen ngadain lomba debat dua bahasa, Inggris dan Indonesia untuk tingkat SMP dan SMA. Makanya, kecamatan kerja sama dengan salah satu SMP dan SMA pilihannya untuk menggelar acara ini. Sekolah gue, SMP 1, jadi pilihannya.

Masuk akal menurut gue, karena sekolah gue cukup besar. Ada kelas-kelas yang bisa digabungkan dan jadi aula yang cukup untuk nampung peserta debat. Nah, kami, anak-anak OSIS yang memang sudah biasa dilabeli sebagai 'babu sekolah' udah paham lah harus apa. Mau nggak mau, suka nggak suka, pasti ikut turun tangan.

Dan di sinilah gue, di ruang OSIS sama kakak-kakak dan teman-teman tercinta yang sebenernya niat nggak niat, nunggu Kak Wildan yang lagi manggil pembina OSIS kita buat ngomongin acara ini. Sekitar lima menit ditunggu, akhirnya Kak Wildan dateng. Banyak dari anggota OSIS yang mendadak ngubah posisi duduknya karena Bu Aesah, pembina OSIS kita juga masuk ke ruangan.

“Assalamu'alaikum,” ucap Kak Wildan, selalu berwibawa bahkan tanpa direncanakan. Serempak, semua orang yang ada di ruangan itu menjawab salam. Takut dibilang kafir kalo nggak jawab.

Kak Wildan seperti biasa ngambil kursi di tengah-tengah. Biar bisa denger semua pendapat dari kanan-kirinya. Dia membuka rapat seperti biasa, santai, namun tetep serius dan apapun yang dibahas selalu tuntas.

“Tadi saya udah sempet sounding yaa ke temen-temen kalo sekolah kita nih dimintai tolong, diajak kerja sama sama pihak kecamatan untuk ngadain lomba debat. Untuk acaranya itu sekitar satu bulan lagi. Kita nggak perlu nyiapin banyak, palingan cuma sound system ya, Bu?” ujar Kak Wildan, seraya meminta kepastian dari Bu Aesah.

Bu Aesah ngangguk dan ngambil alih untuk ngejelasin. “Iya, sound system, proyektor untuk nampilin mosi debatnya, meja dan kursi, apa lagi ya? Udah, sih. Ibu nih hubungin kalian, rencananya mau dijadikan semacam panitia lah. Tapi Ibu minta tolong ya, Wildan, minta beberapa orang aja untuk jadi sie perlengkapan dan keamanan. Kalau bisa banyakin laki-lakinya karena nanti pasti perlu banyak ngangkat-ngangkat. Perempuan butuh beberapa orang aja kali ya, untuk nyiapin konsumsi juri dan pesertanya. Sisanya udah, kok.”

Kak Wildan mengangguk paham, terus minta tolong Kak Syifa buat mulai nge-list anak-anak yang kira-kira akan dijadiin panitia. Gue juga nggak tau siapa aja anak-anaknya, tapi gue tau pasti Kak Wildan butuh Kak Alta untuk jadi kepala keamanan. Sejujurnya mereka berdua kayak perfect fit banget untuk jadi ketua dan wakil OSIS. Kak Wildan yang selalu jago diplomasi di-back up sama Kak Alta yang selalu nguasain tongkrongan, menurut gue keren aja sih. Dua-duanya balance. Rasanya jadi kalo mau ada acara apa-apa pasti lancar aja.

Pas diumumin, ternyata gue dipilih untuk jadi sie perlengkapan. Capek sih pasti, tapi ya nggak apa-apa lah. Sekali-kali gue juga mau ngerasain nggak belajar terus ngetawain temen gue yang di kelas dari luar. Enak aja gue disuruh belajar mulu. Ngebul otak gue.

“Kak Wildan, ini acaranya buat seluruh SMP di Jakarta apa gimana?” tanya Sabrina. Ah, dia emang selalu kritis. Sabrina selalu jadi orang yang melontarkan pertanyaan-pertanyaan yang nggak pernah terpikirkan sama kita semua kalo lagi rapat.

“Nana otaknya isinya ada aja ya,” celetuk Kak Alta. Biasa dia mah, emang asal ceplos orangnya. Yang lain jadi ketawa denger Kak Alta ngomong.

“Gimana tuh, Bu?” tanya Kak Wildan ke Bu Aesah.

“Enggak, buat sekolah-sekolah di wilayah JP1 aja,” balas Bu Aesah.

“Mana aja tuh, Bu?” gue ikutan nanya. Jadi ikut penasaran karena Sabrina nanya duluan.

“Ya kita, SMP 10, SMP 77, SMP 5—”

“HAH ADA SMP 5, BU?!” tanya Sabrina kaget. Nggak sih, nggak tau kaget atau ini orang semangat karena berharap ada doinya yang udah jadi pacar orang itu. Tapi kayaknya sih kaget, terus bete. Soalnya takut ketemu lagi sama pacar doinya itu.

“Ada, lah. Kan mereka satu wilayah sama kita. Makanya nih, Alta, kamu jagain ya biar nggak ada ribut-ribut!” ucap Bu Aesah.

“Tenang aja, Bu. Kalo mereka ngajak ribut kita bom aja sekolahnya!” canda Kak Alta. Yang jelas langsung diomelin Bu Aesah karena terlalu sembarangan ngomong.

Setelahnya gue nggak dengerin lagi orang-orang ngomong apa. Toh, mereka juga udah nggak bahas apa yang seharusnya dibahas. Kebanyakan pada bercanda dan ngerumpi sendiri. Pada sibuk sama circle masing-masing yang tentu saja gue nggak punya. Temen gue cuma Fito di sekolah ini dan dia nggak OSIS. Biasanya gue sama Sabrina tapi dia sibuk bantuin Kak Syifa ngedata anak-anak yang mau dijadiin panitia.

Gue melamun. Tanpa ada yang peduli.

SMP 5? ketemu lagi nggak ya?

Sepatu bersol karet empuk itu berdecit kala empunya menelusuri lorong rumah sakit mencari Azriel, seseorang yang memintanya hadir untuk menemui ayahnya. Satria celingak-celinguk, hingga netranya menangkap gerakan seseorang memanggilnya dari arah kanan. Dengan segera ia menghampirinya.

“Bang, Om,” sapanya sopan. Satria menyalami tangan ayah Azriel dan Yasmine setelahnya menempati kursi besi tepat di sebelah pria yang paling tua itu.

“Bunda lo nggak ikut, Bang?” tanya Satria.

“Ada, tapi lagi pulang dulu. Ada yang ketinggalan soalnya tadi buru-buru ke sini,” balas Azriel.

Satria mengangguk sebelum mengajukan lebih banyak pertanyaan. Pemuda itu sebisa mungkin menutupi rasa cemasnya akan Yasmine agar tidak terlalu nampak dan turut membebani keluarga gadis itu. “Yasmine gimana, Bang?”

Azriel tertawa, matanya yang sudah bengkak akibat tangis itu menyipit. “Kagak ketahan juga akhirnya itu pertanyaan?” ejek Azriel. Membuat Satria tak mampu lagi menahan senyum meski kekhawatiran menyelimutinya.

“Yasmine nggak apa-apa, Satria.” Jawaban itu bukan berasal dari Azriel, melainkan ayah gadis itu sendiri yang menjawabnya. Membuat Satria sedikit terkejut. “Semoga..” lanjutnya.

Ah, saat ini rupanya harapan mereka bertiga sama. Semoga gadis yang terbaring lemah di dalam kamar itu mampu membuka matanya. Kalau tidak hari ini, setidaknya esok, dua hari lagi, atau kapanpun itu. Yang penting mereka tidak kehilangannya.

Satria pun kini menatap ke arah Yasmine dari balik jendela transparan, perasaannya mendadak campur aduk. Kalau sendirian, mungkin ia sudah menangis. “Yas.. gue udah pulang nih, katanya mau ketemu?”

Lamunannya tak berlangsung lama. Sebab ayah dari gadis yang ia pandangi itu kembali membuka suara.

“Satria temen sekolahnya Yayas?” tanya ayah.

“Gebetan,” Azriel menyerobot, bahkan sebelum Satria sempat membuka mulutnya.

Ayah nampak terkejut, kedua bahunya terangkat sedikit. Pada saat yang sama, bola matanya melebar, “Lho iya?! Adek yang suka? Atau Satria yang suka?”

“Dua-duanya demen, Yah. Tapi cupu aja,” ucap Azriel blak-blakan.

Sementara yang sedang menjadi topik obrolan itu mati kutu. Satria menelan ludahnya, Ini gimana sih? Kok gue jadi bahan omongan gini? Dipanggil ke sini mau dilabrak apa gimana...

Sejauh yang Satria tahu—dari cerita Yasmine dan Azriel—ayah mereka merupakan seseorang dengan watak keras. Itu lah yang membuat Satria merasakan hawa dingin yang bukan berasal dari AC rumah sakit melainkan dari rasa takutnya sendiri. Pria itu sedari tadi duduk dengan posisi kaku, sama sekali tidak nyaman. Bahunya tegang, berharap agak tak disuruh menjauhi Yasmine yang sepertinya, sebentar lagi akan menjadi seorang putri yang begitu dijaga oleh sang ayah dan juga kakaknya.

Nampaknya sudah cukup lama ia melamun (lagi), sebab tak satupun obrolan Azriel dan ayahnya yang masuk ke telinganya. Sekon berikutnya ia dikagetkan oleh tepukan bahu yang keras berasal dari tangan kekar Azriel. Membuat Satria meringis dan mengusapnya cepat. Semoga bahunya tidak patah, pikirnya.

“Satria yang nolongin Yasmine waktu digangguin cowok-cowok tongkrongan, Satria yang nemenin Yasmine waktu malem-malem pulang dari rumah Eyang, Satria yang ngajak Yasmine jalan-jalan biar nggak ngerasa sendirian di rumah, Satria yang nganterin Yasmine sekolah waktu Jiel sakit,” Azriel kini memberi tatapan meyakinkan pada sang ayah. Melalui sorot matanya, Azriel mengisyaratkan bahwa ia berkata sejujur-jujurnya. Tanpa ada maksud membela atau memperbagus image Satria di mata sang ayah. “Satria yang bantuin jaga Yasmine disaat Jiel nggak bisa, disaat kita nggak bisa,” tutupnya. Tak lupa memberi penekanan pada kata 'kita'.

Satria menatap Azriel tertegun, pemuda itu tak pernah mengira bahwa selama ini rupanya Azriel berada di pihaknya. Satria mengerjapkan matanya ketika matanya bersirobok dengan milik ayah. Ia kembali menegakkan postur tubuhnya yang sedari tadi agak bungkuk.

“Siapa namanya tadi?” tanya ayah. Lagi-lagi, Azriel tak memberi kesempatan untuk Satria menjawab pertanyaan yang ditujukan untuknya. Kakak Yasmine itu kembali menyerobot. “Satria, tapi Yasmine manggilnya Daffa.”

Jawaban Azriel tak membuat ayah puas, justru pria paruh baya itu berdecak. “Ayah nggak nanya Mas Jiel lhoooo!”

Sementara yang ditegur hanya tertawa tanpa merasa bersalah. Setelahnya kembali menunjuk Satria dengan kedua tangannya, mempersilakan sang ayah untuk kembali melanjutkan wawancaranya kepada sang 'calon mantu'.

Ayah kembali melihat Satria, seakan menelaah segala sesuatu yang ada padanya. Mulai dari helaian rambutnya, kedua matanya, tulang wajahnya, hingga ujung kakinya yang terbalut sepatu kets putih yang kumal.

Satria berdecak dalam hati, merutuki kebodohannya sendiri. Jelas-jelas Azriel sudah bilang bahwa ia harus bertemu ayah Yasmine, sepatu putih yang kini kekuningan kah yang harus menjadi pilihannya? Kalau bisa, pemuda itu pasti sudah memukul kepalanya berkali-kali seraya mengutuk dirinya sendiri. Kalau bisa, Satria bahkan ingin kabur dan mengganti sepatunya dengan yang lebih bagus. Namun pada akhirnya, yang membuatnya berdamai dengan pilihan sepatunya adalah alasan bahwa ia cukup panik untuk segera menuju ke rumah sakit setelah mendapat kabar dari Azriel.

Tatapan ayah kembali pada netra Satria yang dilindungi bulu mata yang lentik. Setelahnya kembali membuka suara. “Satria,” ucapnya seakan menimbang-nimbang sebuah keputusan.

“Iya, Om. Saya,” balas Satria, yang pada akhirnya punya kesempatan untuk bicara.

Ayah mengangguk. Kemudian seraya mengulas sebuah lekukan tipis di wajahnya, ayah membalas pemuda di hadapannya. “Terima kasih ya sudah jagain Yasmine. Saya minta maaf kamu harus liat dia nangis berkali-kali. Saya minta maaf karena jadi sering merepotkan kamu.”

Satria meloloskan sebuah kekehan canggung, bersamaan dengan sebuah gelengan, Satria membalas ayah. “Enggak, Om. Enggak sama sekali. Saya nggak pernah merasa direpotin Yasmine, kok.”

Tak ada balasan yang Satria terima, hanya sebuah senyuman dan tepukan ringan di bahunya. Tak apa, Satria paham. Itu pun sudah cukup untuknya, Satria menganggap itu sebagai ucapan terima kasih secara tidak langsung dari ayah.

Setelahnya ayah kembali menghadapkan tubuhnya ke arah anak sulungnya yang hanya menyimak ketika ia bicara pada Satria. “Ayah pulang dulu ya, Mas. Nyusul Bunda. Nanti balik lagi. Kalo ada apa-apa kabarin Ayah,” ucap ayah. Azriel hanya menjawabnya dengan sebuah anggukan patuh.

Ayah berdiri, membuat kedua pemuda di sebelahnya ikut berdiri sebagai bentuk hormat pada yang lebih tua. Setelahnya Azriel menyalami tangan ayahnya, disusul Satria yang turut memberi salam serta ucapan hati-hati di jalan.

Satria ingin melepas tangan ayah dengan segera, namun tanpa ia sangka, ayah justru menahan tangannya. Membuat Satria terkejut, begitu pun Azriel. Mau tak mau, Satria kembali menatap matanya.

“Terima kasih sudah menjadi ksatria untuk putri saya, Satria.”

Aroma obat-obatan menyeruak ke dalam indera penciuman seorang pemuda yang kini menggoyang-goyangkan kakinya gelisah di depan sebuah kamar yang tertutup rapat. Azriel, lelaki itu kini menunggu dokter selesai menangani Yasmine yang langsung dilarikan ke rumah sakit akibat tertabrak mobil.

Sudah tiga puluh menit, namun tak kunjung selesai. Azriel berkali-kali mengusap air matanya yang terus memberontak keluar, seandainya ia bisa memutar balik waktu dan secepat kilat menyelamatkan adiknya.

Lihatlah, pada akhirnya dirinya bukan kakak yang patut dibanggakan. Pada akhirnya ia pun tidak sehebat yang dibicarakan orang-orang. Pada akhirnya ia pun bukan seseorang yang 'becus' dan sempurna dalam segala hal.

Pemuda itu menoleh kala mendapati suara tapak kaki di lorong rumah sakit yang sunyi. Dilihatnya sang ibu dan ayahnya yang tergopoh-gopoh menghampirinya. Seketika tatapannya berubah menjadi tajam, ada seseorang yang kehadirannya tidak ia sukai di sini.

Azriel bangkit dan lantas menghantam wajah ayahnya penuh emosi. Membuat pria yang jauh lebih tua darinya itu terhuyung dan kehilangan keseimbangan.

“Puas Ayah sekarang? Ini yang Ayah mau?”

Ayah menggertakkan rahangnya, menahan sakit akibat pukulan Azriel yang meninggalkan bekas kebiruan di wajahnya. “Mas..”

“Jangan panggil Azriel pake sebutan itu kalo Ayah masih nggak mau ubah sikap Ayah ke Yasmine. Ini udah keterlaluan, Ayah! Yasmine itu adeknya Jiel! Anak Ayah juga! Perlakukan dia sebagaimana seorang Ayah memperlakukan anaknya, apa lagi dia perempuan!” ucap Azriel. Ayah masih diam, menunggu anak sulungnya selesai bicara.

Baru saja Azriel ingin melanjutkan marahnya, Ayah mengeluarkan suaranya. Tidak seperti biasanya yang bulat dan lantang, kali ini suara ayah yang memasuki telinganya adalah suara ayah yang paling lembut.

“Ayah minta maaf..”

Baik Azriel dan bunda, keduanya tertegun. Pemuda itu menatap mata sang ayah, mencari-cari kebohongan yang rupanya tak ia temukan. Kali ini, hari ini, ayah benar-benar tulus mengucap kata maaf pada keluarganya. Tak ada kesombongan di sana.

“Ayah—Ayah minta maaf.. betul kata Bunda, Ayah memang nggak becus jadi seorang Ayah,” ujarnya. Setitik air mata mulai lolos dari pertahanan, sedikit demi sedikit, ayah kembali menangis.

“Bertahun-tahun Ayah dibutakan oleh ambisi keluarga kita yang selalu berakhir memandang rendah perempuan. Padahal seharusnya Ayah perlakukan kalian sama rata.”

“Mas Jiel, Ayah minta maaf. Atas semua perseteruan yang pernah terjadi di antara kita. Harusnya Ayah ngikut jejak Mas Jiel untuk selalu lindungi Yasmine. Maaf, Mas. Ayah terlambat menyadarinya..”

Ucapan Ayah membuat Azriel bungkam. Pemuda itu hampir saja meloloskan tangisannya kalau tidak menjaga harga dirinya di depan sang ayah. “Mas Jiel pernah bilang, keluarga kita itu perlu perubahan. Mas Jiel mau kan, bantu Ayah untuk wujudin perubahan itu?” pinta sang ayah.

Azriel terkekeh, bersamaan dengan air mata yang menghinggapi pipinya. Setelahnya ia menghambur ke dalam pelukan sang ayah. “Jiel juga minta maaf, Ayah. Jiel selalu kurang ajar sama Ayah..”

Ayah membalas pelukan Azriel, melingkarkan tangannya pada punggung besar nan kokoh milik anak sulungnya yang selalu hebat. “Nggak apa-apa, Mas. Berani melawan yang salah itu bagus. Ayah bangga sama Mas Jiel, selalu.”

“Ayah nyesel, Mas.. sekarang Yasmine udah tumbuh besar. Cantik, anggun, pinter. Tapi semua itu Ayah abaikan. Ayah juga nggak memberikan masa kecil yang baik buat Yayas. Ayah nggak pernah ada buat Yayas sejak dia kecil, apa Yayas mau maafin Ayah?”

Azriel melepas pelukannya dengan ayah dan menatapnya sembari tersenyum. “Pasti, Yah. Dengan catatan, gantikan semua waktu yang Ayah lewati sejak Yasmine kecil. Semampu Ayah. Kita jaga Yasmine sama-sama. She's our princess and we must protect her at all cost.

Ayah mengangguk setuju. Sekon berikutnya keduanya kembali berpelukan. Saling menyalurkan kehangatan dan kasih sayang setelah sekian kali berseteru. Pun, bunda yang hadir di tengah keduanya bersyukur setengah mati. Doa-doanya yang selama ini ia langitkan diam-diam akhirnya terjawab sudah.

Sesaat kemudian terdengar panggilan ibadah sore hari. Azan berkumandang untuk waktu Asar. Baik Azriel, bunda, dan ayah, ketiganya bergegas menuju musala rumah sakit yang sederhana guna memanjatkan doa untuk kesembuhan si adik bungsu.

Diam-diam dalam hatinya, ayah tak lupa memohon ampunan dan kesempatan kedua.

Ya Allah, selamatkanlah putriku. Jangan biarkan ia pergi lebih dulu sebelum aku sempat menggantikan hari-hari beratnya dengan kebahagiaan yang seharusnya ia dapatkan. Jangan biarkan ia pergi lebih dulu sebelum aku sempat mengisi kekosongan figur seorang ayah dalam hidupnya.

tw // accident

Closer to God

Setelah lama menangis, rupanya beban sesak di dadanya tak kunjung pergi. Kenyataan bahwa ia memiliki saudara kembar yang lebih dulu pergi meninggalkannya dari dunia membuat kepalanya serasa ingin pecah. Rasanya ia ingin berteriak sekeras mungkin. Mengapa dunia begitu kejam terhadapnya? Mengapa tak bisa sedikit saja ia menyicip kebahagiaan yang selama ini ia dambakan?

Secepat kilat ia memilih untuk berlari ke luar rumah. Mengabaikan teriakkan Azriel dan bunda yang memanggilnya berkali-kali. Dengan marah, Azriel kembali mengancam ayah.

“Kalo sampe terjadi apa-apa sama adik saya, liat aja akibatnya.”

Ucapan Azriel diselesaikan dengan penuh penekanan. Diucapkan dengan intonasi datar, namun menohok. Membuat sang ayah diam-diam merasa ketakutan. Pun bunda, kini turut melepaskan perlawanan yang selama ini tertahan pada suaminya.

“Bukan Yasmine yang nggak becus jadi anak kamu, bukan Yasmine. Tapi kamu! Kamu yang nggak becus jadi ayah, Mas!” maki bunda, sebelum meninggalkan ayah yang pada akhirnya bersimpuh di lantai. Meluruhkan tangisnya seiring dadanya semakin sesak akan sesal yang kian menyeruak.


Yasmine berlari ke sembarang arah, ia tak memikirkan arah tujuannya. Gadis itu hanya ingin membuat hati dan pikirannya menemukan jalan keluar dari segala yang membuatnya kalut. Ia berhenti di tepi jalan, bertumpu pada lututnya. Sesaat ia menengadah, memandang langit yang membentang luas menaunginya. Mendung, sebentar lagi mewakili tangisannya.

“Harusnya aku nggak sendirian.. harusnya ada orang yang bisa nemenin dan bantu aku ngelewatin ini, bahkan mungkin kalo dia ada, aku nggak perlu lewatin ini semua..”

“Kenapa harus dia yang pergi duluan?! KENAPA BUKAN AKUU?!”

“Yayas!” panggil Azriel ketika ia menemukan sang adik. Tanpa menunda, Azriel menghampiri Yasmine dan segera merengkuhnya. Namun alih-alih balas memeluk, Yasmine menepis tangan Azriel.

Sang kakak nampak kebingungan, tidak pernah sebelumnya Yasmine menatapnya seperti ini. Kali ini ia layangkan tatapan penuh amarah pada Azriel yang selama ini melindunginya. “Lepas! Yayas nggak mau ketemu Mamas!”

“Yas, denger dulu..” pinta Azriel. “Tenang dulu, pulang dulu ya? Kita ngobrol sama-sama bareng Ayah sama Bunda.”

“ENGGAK! Ayah udah bilang Yayas bukan anaknya Ayah! Yayas nggak mau pulang. Emang udah seharusnya aku pergi dari rumah itu, Mas! Dari dulu juga aku nggak pernah dianggep. Buat apa aku di sana?! Buat apa aku tetep di sana? Di lingkungan yang nggak pernah ngeliat aku sekalipun walaupun aku udah susah payah menuhin ekspektasi mereka!”

Yasmine membalas perkataan lembut Azriel dengan lantang. Marah. Ia marah. Bertahun-tahun berusaha menjadi seorang anak perempuan yang bisa terlihat sempurna di mata keluarga, bertahun-tahun berusaha menyamaratakan kedudukannya dengan para laki-laki di keluarganya, tetap sia-sia. Hanya karena sebuah kesalahan yang tidak bisa ia cegah, atau kendalikan.

Fakta bahwa seluruh keluarganya, termasuk ayahnya sendiri membencinya hanya karena ia lahir lebih dulu dan membuat saudara kembarnya tidak memiliki kesempatan untuk hidup membuatnya kalut. Bimbang, antara haruskah ia bersedih karena kehilangan separuh jiwanya, atau haruskah ia membenci saudara kembarnya yang memilih pergi dan membuatnya harus melalui semua ini.

“Mamas tuh nggak ngerti rasanya! Mas Jiel nggak ngerti karena apapun yang Mas Jiel lakuin itu selalu bener! Kalo Mas Jiel kalah, itu tetep bikin Ayah bangga, tapi aku?! Aku menang aja Ayah nggak pernah bangga sama aku, Mas! Aku capek!”

Azriel terdiam. Benar. Ia tak pernah mengerti rasanya menjadi seorang Yasmine yang tak kasat mata di tengah-tengah keluarga. Yang Azriel tahu, hanyalah perasaan senang, tenang, dan menang. Sebab seluruh keluarganya menyayanginya, eyang putri yang selalu bicara agak ketus pada orang lain dan terkenal galak itu bahkan tak pernah memarahinya. Azriel hanya tahu rasanya menang, sebab setiap kalah pun, akan selalu ia terima usapan lembut di kepala dengan penuh sayang. Azriel, ia beruntung karena dikelilingi orang-orang yang mengatakan padanya bahwa tak apa menjadi tidak sempurna. Sementara Yasmine, gadis itu hanya dikelilingi orang-orang yang selalu mengatakan padanya bahwa ia tak sempurna, dan tidak akan pernah menjadi sempurna.

“Semua orang maklum kalo Mas Jiel buat salah, katanya kita manusia. Tapi mereka nggak pernah maklum sama kesalahanku, Mas. Bahkan ketika aku nggak salah, semuanya dilimpahin ke aku. Aku capek, Mas..”

Azriel masih diam. Bingung harus bagaimana ia membalas keluh kesah adiknya yang selama ini tertahan. Pada akhirnya ia hanya mendengarkan. Mencermati setiap tutur kata yang keluar dari adik satu-satunya. Pilu, hanya itu yang Azriel rasakan saat itu.

“Lepas, Mas. Aku nggak mau pulang,” ucap Yasmine pada akhirnya.

“Terus Yayas mau ke mana? Hari ini Mas Jiel pulang, katanya mau ketemu? Kok Mamas pulang Yayas-nya pergi?” tanya Azriel.

“Dari dulu harusnya Yayas pergi, Mas. Ayah yang bilang sendiri, nggak seharusnya Yayas di sini. Bukan Yasmine yang seharusnya jadi anak Ayah dan adiknya Mas Jiel. Tapi Yazid. Biar dia bisa banggain keluarga juga sama kayak Mas Jiel.”

“Enggak, Yas. Kamu tetep adek Mamas. Kamu ngomong apa sih? Mamas tetep bangga sama kamu!”

“Nggak! Mas Jiel pasti boong biar Yasmine ngerasa tenang aja, kan?! Lepas! Yayas nggak mau balik lagi ke rumah!”

Dengan sekali hentakan menggunakan tenaga entah dari mana, genggaman tangan Azriel terlepas. Secepat kilat Yasmine berlari menjauh. Namun, pandangannya yang kabur sehabis menangis itu membuatnya tidak dapat melihat dengan jelas. Yasmine mengabaikan keharusan untuk berhati-hati, gadis itu tidak sadar bahwa ia berlari menuju jalan besar.

Hari ini sepertinya memang tak berpihak padanya.

YAYAS AWAS!

Kejadian itu terjadi secepat kilat, Yasmine hanya mengingat kepalanya pusing dan pandangannya yang tiba-tiba semakin kabur dan gelap. Seiring telinganya menangkap suara Azriel yang mengguncang tubuhnya seraya memanggilnya histeris.

tw // mention of death

Kepulangan dan Rahasia (2)

“Jiel?” ucapnya. Ayah membalikkan badan, membiarkan tubuhnya membelakangi Yasmine dan menghadap Azriel sepenuhnya. Didapatinya sang anak sulung dengan seragam pramukanya lengkap dengan atribut dan ransel penuh perlengkapan. Nampak seperti baru pulang dari medang perang. Seharusnya, hari ini menjadi hari yang mengharukan sebab sang putra kembali ke pelukan keluarga setelah pergi sekian lama. Namun, rencana hanyalah rencana.

“Ayah masih dendam sama Yasmine? Iya?” tanya Azriel. Perlahan ia melangkahkan kakinya yang masih dibalut sepatu hitam itu mendekat ke arah sang ayah. Tatapannya sama sekali tak goyah, tetap melemparkan tatapan membunuhnya. Azriel tak lagi peduli dengan gelar ayah atau anak. Hari ini, setelah sekian lama menahan segalanya, Azriel memutuskan untuk memandang ayah sebagai sesama lelaki. Yang jika sudah berani-berani melukai adik perempuannya, akan Azriel lawan.

“Jawab Jiel!” gertaknya. Sang ayah bungkam. Pria paruh baya itu kini menunduk, menghindari tatapan Azriel yang tajamnya serasa menusuk relungnya yang sudah lama diselimuti dendam dan kebencian.

Tatapan Azriel beralih pada Yasmine yang berada di pelukan bunda. Seketika matanya membelalak lebar ketika melihat lebam di pipi sang adik. “Ayah nampar Yasmine?!” tanya Azriel. Tak ada jawaban.

“AYAH CARI RIBUT SAMA JIEL?” Pemuda dengan tubuh kekar dan tenaga berkali-kali lipat dari ayahnya itu kini mencengkeram kerah baju ayah. Membuat Yasmine semakin menyembunyikan wajahnya di ceruk leher bunda, tak ingin menyaksikan pertikaian antara ayah dan kakaknya. “Berapa kali Jiel bilang jangan pernah berani-berani kasar sama Yasmine atau Ayah berhadapan sama Jiel?!”

“Dari dulu, Yah. Dari dulu Ayah selalu mandang Yasmine pake tatapan kebencian. Ayah nggak pernah suka Yasmine di sini. Ayah nggak pernah mau nganggep Yasmine sebagai keluarga. Ayah nggak pernah sayang sama Yasmine sebagai anak Ayah sendiri! Kenapa?” Azriel berucap penuh emosi dan penekanan. Dosanya membentak orang tua, biarlah menjadi urusannya.

“Karena masalah yang selama ini berusaha nggak kita bahas? Iya?!” tanya Azriel lagi.

Seketika Yasmine terperanjat bingung, Masalah apa?

“Ayah nggak pernah terima Yasmine ada di rumah ini, di dunia ini, karena Ayah berharap bukan dia yang lahir, IYA KAN?!” Azriel masih tak gencar untuk mengeluarkan gertakan-gertakannya.

“M-maksudnya, Mas?” Yasmine pada akhirnya berani menyuarakan kebingungannya.

Azriel menghela napasnya. Mengatur emosinya sebelum menatap wajah Yasmine yang kini penuh jejak air mata. Ia tak ingin melayangkan tatapan marahnya sedikit pun pada Yasmine. Sudah cukup dari seluruh dunia, Yasmine tak perlu lagi menerima tatapan itu darinya.

Azriel meraih kedua pundak Yasmine yang kini terbebas dari pelukan bunda. Setelahnya menelan ludah guna mengeluarkan suara lebih lembut. “Yas, maaf Mamas sama Bunda ngerahasiain ini dari kamu. Maaf kita nyimpen rahasia ini bertahun-tahun. Hari ini, Mamas rasa kamu perlu tau yang sebenernya. Kenapa Ayah bisa benci sama kamu, kenapa Ayah bisa bersikap kayak gini sama kamu.”

Sementara bunda luruh dalam air mata, ayah memilih menjauh. Entah mengapa, pria itu merasa tidak siap jika Yasmine mengetahui semuanya. Rahasia yang selama ini ia kubur dalam-dalam di keluarganya. Rahasia yang selama ini menjadi luka paling berat yang tak kunjung sembuh bagi ayah. Rahasia mengenai seseorang yang selama ini belum bisa ayah lepas dan relakan.

“Dulu, Yas. Dulu, Mas Jiel sendirian di rumah ini. Mas Jiel anak satu-satunya. Sampe ketika Bunda ngabarin kalo Mas Jiel akan punya adik. Nggak cuma satu, tapi dua sekaligus..”

Yasmine mendongak. Gadis itu terperangah, namun masih tak mengerti arah pembicaraan Azriel.

“Kamu kembar, Yas. Kembaranmu laki-laki. Kalian sepasang. Dulu, kami semua seneng banget dan semangat banget buat nyambut kalian. Tapi, ketika waktunya Bunda ngelahirin kalian, ternyata Bunda agak kesulitan untuk melahirkan secara normal. Kamu, sama kembaran kamu tertahan cukup lama di perut Bunda sampe akhirnya ganti tindakan. Operasi.”

“Yang keluar duluan itu kamu. Alhamdulillah, kamu masih hidup, Yas. Tapi kembaran kamu, badannya udah biru dan pas keluar pun nggak ada suara tangisannya. Dia langsung dapet tindakan dari dokter, tapi Tuhan lebih sayang dia, Yas. Yazid, kembaran kamu, meninggal setelah berhasil dilahirkan. Semenjak itu Ayah benci sama kamu. Ayah merasa seharusnya Yazid yang diselamatkan lebih dulu, karena dia laki-laki.”

Azriel menyudahi ceritanya. Wajahnya kini turut dipenuhi air mata yang tak terbendung lagi. Di hadapannya, Yasmine sudah menangis tersedu-sedu. Itukah mengapa dirinya selalu merasa kesepian bahkan di tengah keramaian? Itukah mengapa dirinya selalu merasa ada bagian dari dirinya yang hilang? Seharusnya ia memiliki seorang teman, saudara, separuh jiwanya yang bisa menemaninya menghadapi dunia yang begitu keras membentuknya.

Yasmine menutup mulutnya menggunakan tangannya sendiri, seakan begitu banyak informasi untuknya hari ini. Kembar? Meninggal setelah dilahirkan? Itu kah mengapa ayah selalu berkata bahwa seharusnya bukan dirinya yang berada di tengah-tengah keluarga ini?

Gadis itu melihat ke arah bunda, meminta kepastian dan kebenaran akan ucapan Azriel. Berharap bahwa ini semua hanyalah kebohongan. Meskipun Yasmine selalu ingin tahu alasan mengapa sang ayah membencinya, bukan ini yang ia maksud. Sang bunda mengangguk dalam tangisnya, secara isyarat membenarkan bahwa apa yang diceritakan Azriel adalah kenyataan yang selama ini dirahasiakan.

Seketika tubuh Yasmine limbung, kakinya melemas dan membuatnya terjatuh. Beruntung Azriel dengan sigap memeluknya. Seperti hari-hari sebelumnya, Yasmine hanya bisa menangis. Namun kali ini, adalah tangisannya yang paling deras.

Yasmine baru saja membuka matanya setelah tidak sengaja tertidur di kasurnya semalam. Gadis itu meregangkan otot tubuhnya, sesekali memijat lehernya yang sakit lantaran posisi tidur yang tidak nyaman. Setelahnya ia meraih ponselnya yang tergeletak tak jauh darinya.

Sebuah ekspresi terkejut tercetak di wajahnya kala melihat baterai ponselnya tersisa 10 persen. Dengan segera ia mengisi daya ponselnya dan meletakkannya di nakas. Yasmine kemudian membaca notifikasi yang tertera di layar, ada pesan masuk dari bunda. Dan yang mengejutkan, Daffa.

“HAH? DAFFA PULANG HARI INI? MAS JIEL JUGA DONGGG???” ucapnya bermonolog. “Astaga Bunda pulang hari ini, harus beres-beres dulu!”

Secepat kilat, Yasmine merapikan rumah. Dimulai dari kamar tercintanya, gadis itu merapikan sprei bermotif bunga-bunga yang sisi-sisinya keluar dari tempat tidur. Pula pojok-pojok sprei yang lepas dari kasur.

Selesai dengan kamarnya, Yasmine mulai membersihkan lantai bawah. Menyapu dan mengepel, memastikan ketika kedua orang tuanya pulang, rumah tetap dalam keadaan bersih dan nyaman untuk keduanya beristirahat setelah kembali dari perjalanan panjang.

Gadis itu beralih pada meja-meja di ruang tamu. Yasmine mengambil kemoceng kemudian mulai menyingkirkan debu-debu halus yang memenuhi meja-meja itu. Membuatnya kembali mengkilap.

Namun gadis itu tetap manusia, kecerobohan tetap ada pada dirinya. Yasmine tak sengaja menyenggol sebuah figura yang diletakkan di meja. Membuatnya terjatuh ke lantai menimbulkan suara yang cukup nyaring. Gadis itu berjengit, setelahnya ia terperangah.

“Astaga! Ya Allah, Yasmine..”

Gadis itu memandangi pecahan kaca figura dengan tatapan nanar. Ia tahu setelah ini akan ada masalah yang menghampirinya. Ayahnya itu pasti akan menggunakan kejadian ini sebagai alasan untuk memakinya. Pasti setelah ini ayah akan marah besar, terlebih lagi, yang ia pecahkan adalah figura foto atah dan bunda. Yang mana cukup berharga baginya.

Secepat kilat ia membereskan serpihan kaca yang berserakan di lantai, gadis itu berusaha untuk berhati-hati agar tak ada satupun serpihan kaca yang melukai tangannya. Namun mungkin hari ini bukanlah hari keberuntungannya.

“Ah! Astaga.. Yayas kenapa sih hari ini? Ceroboh banget!” Yasmine merutuki dirinya sendiri ketika tangannya tergores oleh serpihan kaca yang ia pungut. Sekon berikutnya gadis itu memutuskan untuk mengobati lukanya terlebih dulu. Yasmine terpaksa meninggalkan pecahan-pecahan kaca itu di lantai, menunda waktu untuk membersihkannya. Biarlah, kali ini ia harus mementingkan dirinya sendiri.

Akan tetapi rasanya semesta benar-benar ingin Yasmine untuk hancur sehancur-hancurnya. Belum selesai Yasmine mengobati tangannya di kamar mandi, ia mendengar suara jeritan dari ruang tamu. Yasmine membulatkan matanya seraya menatap dirinya di kaca. Ia mengenali dengan sangat suara itu. Suara ayah..

Secepat kilat Yasmine menghampiri sumber suara. Betapa terkejutnya ia ketika mendapati sang ayah yang sudah pulang dan menginjak pecahan kaca yang berserakan akibat ulahnya. Yasmine menggigit bibir bawahnya, tubuhnya mendadak gemetar tidak karuan. Gadis itu bersumpah, rasanya seperti ingin mengubur dirinya dalam-dalam.

“A-ayah..”

Sang ayah mendongak, dan dengan tatapan nyalangnya melihat ke arah Yasmine selayaknya elang menerkam mangsanya. Terpincang, ayah berjalan cepat ke arah Yasmine dan menamparnya dengan emosi.

PLAK! Yasmine berteriak kesakitan, ia benar-benar tak menyangka ayahnya melakukan sesuatu yang selama ini ia antisipasi. Sedari dulu Yasmine tahu, ayah tak akan segan untuk menampar atau memukulnya. Namun hari-hari sebelumnya ia aman karena selalu dilindungi punggung kekar Azriel. Hari-hari sebelumnya, Yasmine aman karena ada Azriel. Maka hari ini, menjadi kesempatan bagi ayah untuk meluapkan segala amarahnya.

“Ini pasti ulah kamu, kan?!” makinya. Yasmine menatap ayah takut, sebelah tangannya memegangi pipi kirinya yang terasa kaku. Ia yakin pasti pipinya membiru sekarang. Bahkan Yasmine bisa merasakan sedikit rasa darah di mulutnya.

“M-maaf, Ayah. Tadi Yasmine mau bersihin debu tapi nggak sengaja fotonya kesenggol—”

“Dasar anak nggak tau diri! Nggak pernah becus ngapa-ngapain! Segitu bencinya kamu sama saya sampe ngancurin foto saya sama istri saya?! NGOMONG DEPAN WAJAH SAYA! BILANG KAMU BENCI SAMA SAYA!”

Tubuh Yasmine gemetar meningkatnya intonasi makian sang ayah. Matanya berkilat mengeluarkan tangis. Yasmine menggeleng, “E-enggak, Yah.”

“Nggak usah ngelak kamu! Saya tau dari dulu kamu benci sama saya! Kamu merenggut apa yang seharusnya jadi kebahagiaan saya! Sejak kamu lahir, kamu selalu ngancurin hidup saya!”

Yasmine hanya bisa menunduk. Tangisnya semakin keras. Dadanya sesak, seakan beban tak kasat mata menghimpitnya. Atau, kalimat-kalimat dari ayah kian menghimpit jalan napasnya. Terus, Yah.. terus.. apa lagi yang mau Ayah bilang ke Yasmine?

Bunda yang baru memasuki rumah menyusul ayah pun terkejut melihat kondisi rumah yang kacau. Darah yang berasal dari telapak kaki ayah berceceran di lantai dan Yasmine yang menangis sesenggukan.

“Assalamualaikum—astaghfirullah! Kenapa ini??” ucapnya panik. Dengan segera bunda menghampiri Yasmine dan menariknya ke dalam pelukannya.

“Kenapa, Mas?”

“Ini! Gara-gara anak-anak yang nggak tau diri ini! Heh, denger ya, masih bagus saya nggak buang kamu waktu kamu lahir tau?!”

“Mas! Ngomong apa kamu tuh? Yasmine tetep anak kita!”

“Bukan. Saya nggak pernah menganggap dia anak saya!” tegas ayah.

Yasmine mendongak terperangah. Gadis itu memberanikan diri menatap lurus ke arah ayahnya yang wajahnya sudah memerah menahan marah.

Anak perempuan satu-satunya dalam keluarga itu tak tahu lagi harus berkata apa. Hari yang selama ini ia bayangkan pada akhirnya tiba juga. “A-ayah?”

“Jangan pernah panggil saya dengan sebutan itu lagi! Saya nggak pernah jadi ayah kamu dan kamu nggak pernah jadi anak saya!”

“Kalo gitu Jiel juga nggak pernah jadi anak ayah,” ucap Azriel, yang rupanya sedari tadi berada di ambang pintu. Menyimak seluruh percakapan kumpulan orang yang entah pantas atau tidak, ia sebut keluarga.

Dalam kesendiriannya, Yasmine mendudukkan dirinya di ruang tengah. Di atas sofa empuk yang selalu menjadi kebanggaan ayah ketika ada tamu, Yasmine membiarkan pandangannya menyapu hingga ke sudut-sudut ruangan. Raganya berada di sana, namun pikiran dan jiwanya melanglang buana. Gadis itu menerka, apakah ada tempat yang nyaman untuknya bernaung, tanpa ada seorang pun yang memandangnya rendah?

Apakah ada tempat untuknya di mana ia dapat menjadi dirinya sendiri tanpa perlu berusaha memenuhi ekspektasi seorang pun? Tanpa perlu berusaha menyakiti diri dalam balutan alibi 'menjadi lebih baik' hanya untuk memenuhi kriteria yang sebenarnya hingga kapanpun tak akan bisa ia capai. Sebab mereka menilai sesukanya. Dan dengan sengaja membuatnya kalah dalam segala aspek.

Yasmine menghela napasnya. Masih melamun di tempatnya menyandarkan punggungnya yang selama ini memikul beban tak kasat mata yang ditimpakan oleh ayah dan seluruh keluarga besarnya kecuali kakaknya sendiri dan bunda.

Hari itu, sendirian di dalam sebuah bangunan yang bertahun-tahun ia sebut rumah meski nyatanya tak pernah terasa seperti tempat untuk pulang. Yasmine merasakan sedikit perasaan lega menyeruak ke dalam relungnya. Pada akhirnya, ia memiliki ruang sendiri.

Gadis itu kini bangkit dan berjalan menuju dinding ruang tamu yang dipajangi foto-foto keluarga. Sebuah tawa kecil lolos dari bibir ranumnya, setiap foto yang menyertakan ayah dan bunda, pasti hanya menyertakan seorang Azriel di tengah-tengah keduanya. Azriel memegang piala, piagam, dikalungkan selendang penghargaan dengan kedua orang tuanya tersenyum bangga bersama kakaknya itu. Sementara foto dirinya di rumah ini hanya diizinkan dipajang di kamarnya sendiri. Figura yang membingkai wajah tersenyum Yasmine setiap kali memegang sebuah simbol prestasi hasil jerih payahnya selalu terlungkup pada akhirnya. Bahkan seringkali menjadi sasaran marah ayah, yang membuatnya dipecahkan begitu saja.

“Kenapa ya, walaupun ada Mas Jiel aku tetep ngerasa sendirian? Selalu ngerasa kayak aku seharusnya punya teman, punya seseorang yang deket banget sama aku di dunia ini. Lagian, pasti ada sesuatu yang bikin Ayah benci sama aku sampe sebegininya, kan?”

Kini tangannya beralih pada sebuah figura kecil yang membingkai foto kedua orang tuanya di atas meja. Dipandanginya tubuh gagah ayah bersanding dengan bunda yang mengulas senyum yang selalu meneduhkan. “Ayah nggak bisa bilang aja ya apa yang bikin Ayah nggak suka sama Yayas? Karena Eyang Putri yang ngasih tekanan sebegitu besar ke Ayah?” Yasmine bermonolog.

“Ayah mengharapkan seseorang yang lain kah yang hadir di rumah ini untuk jadi keluarganya Ayah? Makanya dari dulu baju-bajunya Yasmine waktu bayi, kaus kaki Yasmine, aksesoris, tempat tidur, sepatu, semuanya motif dan warnanya kayak laki-laki?” Yasmine berbicara seraya memandangi foto sang ayah. Sebuah harapan yang dirinya pun tidak yakin akan terwujud. Berbicara empat mata dengan sang ayah tanpa adanya tatapan membunuh dari sang ayah, serta dengan tutur yang lembut pula mendapat nasihat menghangatkan dari ayah, adalah sesuatu yang ingin ia rasakan sejak lama. Namun tak pernah berani ia utarakan. Biarlah keinginannya itu tersimpan dalam hati kecilnya.

“Yasmine sama aja kok, Yah, kayak yang lain. Yasmine bisa kok, jadi kebanggaannya Ayah. Yasmine juga bisa wujudin itu, Ayah. Satu-satunya alesan yang membuat Yayas nggak bisa wujudin itu adalah karena Ayah nggak pernah liat ke arah Yayas... Bisa nggak, sekali aja, Ayah nggak cuma fokus ke Mas Jiel?”

Yasmine mengembuskan napas panjang. Kembali meletakkan figura yang ia pegang dan memilih menyudahi bicaranya sebelum angan-angannya semakin tinggi dan air matanya tak lagi terbendung. Selama beberapa hari ke depan, ia akan menjadi satu-satunya orang yang mengisi rumah. Namun alih-alih merasa kesepian, Yasmine bersyukur dalam hatinya. Setidaknya ia bisa menikmati waktu untuk menjadi dirinya sendiri. Setidaknya ada waktu baginya untuk menikmati ruang sendiri.

Dalam kesendiriannya, Yasmine mendudukkan dirinya di ruang tengah. Di atas sofa empuk yang selalu menjadi kebanggaan ayah ketika ada tamu, Yasmine membiarkan pandangannya menyapu hingga ke sudut-sudut ruangan. Raganya berada di sana, namun pikiran dan jiwanya melanglang buana. Gadis itu menerka, apakah ada tempat yang nyaman untuknya bernaung, tanpa ada seorang pun yang memandangnya rendah?

Apakah ada tempat untuknya di mana ia dapat menjadi dirinya sendiri tanpa perlu berusaha memenuhi ekspektasi seorang pun? Tanpa perlu berusaha menyakiti diri dalam balutan alibi 'menjadi lebih baik' hanya untuk memenuhi kriteria yang sebenarnya hingga kapanpun tak akan bisa ia capai. Sebab mereka menilai sesukanya. Dan dengan sengaja membuatnya kalah dalam segala aspek.

Yasmine menghela napasnya. Masih melamun di tempatnya menyandarkan punggungnya yang selama ini memikul beban tak kasat mata yang ditimpakan oleh ayah dan seluruh keluarga besarnya kecuali kakaknya sendiri dan bunda.

Hari itu, sendirian di dalam sebuah bangunan yang bertahun-tahun ia sebut rumah meski nyatanya tak pernah terasa seperti tempat untuk pulang. Yasmine merasakan sedikit perasaan lega menyeruak ke dalam relungnya. Pada akhirnya, ia memiliki ruang sendiri.

Gadis itu kini bangkit dan berjalan menuju dinding ruang tamu yang dipajangi foto-foto keluarga. Sebuah tawa kecil lolos dari bibir ranumnya, setiap foto yang menyertakan ayah dan bunda, pasti hanya menyertakan seorang Azriel di tengah-tengah keduanya. Azriel memegang piala, piagam, dikalungkan selendang penghargaan dengan kedua orang tuanya tersenyum bangga bersama kakaknya itu. Sementara foto dirinya di rumah ini hanya diizinkan dipajang di kamarnya sendiri. Figura yang membingkai wajah tersenyum Yasmine setiap kali memegang sebuah simbol prestasi hasil jerih payahnya selalu terlungkup pada akhirnya. Bahkan seringkali menjadi sasaran marah ayah, yang membuatnya dipecahkan begitu saja.

“Kenapa ya, walaupun ada Mas Jiel aku tetep ngerasa sendirian? Selalu ngerasa kayak aku seharusnya punya teman, punya seseorang yang deket banget sama aku di dunia ini. Lagian, pasti ada sesuatu yang bikin Ayah benci sama aku sampe sebegininya, kan?”

Kini tangannya beralih pada sebuah figura kecil yang membingkai foto kedua orang tuanya di atas meja. Dipandanginya tubuh gagah ayah bersanding dengan bunda yang mengulas senyum yang selalu meneduhkan. “Ayah nggak bisa bilang aja ya apa yang bikin Ayah nggak suka sama Yayas? Karena Eyang Putri yang ngasih tekanan sebegitu besar ke Ayah?” Yasmine bermonolog.

“Ayah mengharapkan seseorang yang lain kah yang hadir di rumah ini untuk jadi keluarganya Ayah?” Yasmine berbicara seraya memandangi foto sang ayah. Sebuah harapan yang dirinya pun tidak yakin akan terwujud. Berbicara empat mata dengan sang ayah tanpa adanya tatapan membunuh dari sang ayah, serta dengan tutur yang lembut pula mendapat nasihat menghangatkan dari ayah, adalah sesuatu yang ingin ia rasakan sejak lama.

Yasmine mengembuskan napas panjang. Selama beberapa hari ke depan, ia akan menjadi satu-satunya orang yang mengisi rumah. Namun alih-alih merasa kesepian, Yasmine bersyukur dalam hatinya. Setidaknya ia bisa menikmati waktu untuk menjadi dirinya sendiri. Setidaknya ada waktu baginya untuk menikmati ruang sendiri.

Setibanya di rumah Eyang, hanya Yasmine yang tidak lekas melepas seatbelt yang selama perjalanan mengamankan tubuhnya. Gadis itu berkali-kali mengatur napas dan memegang dadanya. Ia merasakan tubuhnya sedikit gemetar dan berkeringat. Yasmine mendadak kaku, gadis itu semakin panik ketika sang ayah sudah membuka pintu dan melanglah keluar dari mobil. Ia tahu sebentar lagi ayahnya akan menyuruhnya untuk segera masuk ke rumah eyang dengan cara yang tidak ramah.

Gadis itu tersentak kala tangan lembut ibunya mengusap kedia tangannya yang terkepal menahan gugup. Yasmine mendongak, mendapati bunda tersenyum ke arahnya seraya mengangguk. Seolah mengatakan bahwa semua akan baik-baik saja. Senyum menenangkan milik bunda dari kursi depan kala itu, pada akhirnya menjadi satu-satunya sumber kekuatan yang membuatnya berani melangkahkan kakinya keluar dari mobil. Bersama bundanya, Yasmine masuk ke rumah eyang.

Bunda mengucap salam, sementara Yasmine memilih bersembunyi di balik tubuh bunda. Netranya menangkap sebuah keluarga besar yang para anggotanya saling bercengkrama. Entah tulus dari hati atau sekadar basa-basi, Yasmine tidak terlalu mengerti. Toh, ia selalu dianggap bukan bagian dari mereka. Jadi, dirinya dan Azriel pun selalu mengasingkan diri jika ada acara-acara seperti ini.

Mereka semua menyambut kehadiran bunda dengan baik, sangat baik. Mereka semua menatap bunda dengan tatapan mata yang berbinar. Gosipnya, bunda memang menantu paling disayang. Tak heran jika Azriel otomatis menjadi cucu kesayangan. Seharusnya Yasmine juga, namun rasanya dunia tidak berpihak padanya.

Yasmine dapat melihatnya dengan jelas. Bagaimana antusias keluarga besarnya menurun drastis ketika melihat dirinya menampakkan diri dari balik tubuh langsing bunda. Tatapan yang tadinya berbinar itu sirna. Senyuman yang ramah itu pudar. Apa lagi Eyang, tatapan penuh kasih sayang serta raut wajah penuh kebahagiaan itu lenyap seketika. Berganti dengan tatapan mengernyit jijik dan nyalang.

“Kenapa sih dia harus ikut? Mana Azriel?” tanya eyang. Bunda merangkul Yasmine sebelum menjawab pertanyaan ibu mertuanya. Seraya tersenyum dan secara rahasia mengusap punggung Yasmine, memberi kekuatan untuk anak gadisnya melalui tindakannya, bunda mulai bicara. “Azriel lagi ada acara pelatihan dari sekolahnya, Bu. Acaranya tiga bulan, nginep di sana. Jadi nggak bisa ikut. Hari ini saya ajak Yasmine nggak apa-apa ya?”

Eyang berdecak tidak suka. Kejengkelannya begitu terpancar dari matanya yang tak lepas menatap Yasmine dari atas sampai ujung kaki. “Kenapa nggak dia aja sih yang pergi? Biar aja dilatih di sana, nggak usah pulang sekalian!” ucap eyang, kemudian berlalu pergi. Memilih bergabung dengan cucu-cucunya yang masih kecil. Mungkin ingin membangkitkan suasana hatinya yang sempat sirna ketika melihat kehadiran Yasmine.

Yasmine menghela napasnya. Nggak pa-pa, Yasmine. Udah biasaaaaaaa!

“Yayas main gih, Bunda ngobrol yaa di sini. Kalo mau apa-apa bilang Bunda,” ucap bunda. Yasmine mengangguk, kemudian melangkahkan kakinya menuju kolam ikan mikik eyang. Dulu, Yasmine selalu berada di sana bersama eyang kakung jika ada pertemuan seperti ini. Gadis itu membantu eyang memberi pakan ikan-ikan yang selalu berebut penuh semangat ketika makanan mulai disebar. Sesekali cipratan airnya mengenai pakaian yang Yasmine kenakan hari itu, namun ia tak marah. Dirinya, Azriel, dan eyang kakung akan selalu tertawa bersama.

Kepergian seorang eyang kakung rasanya seperti merenggut banyak kebahagiaan dari dunia Yasmine. Dan sekarang, ketidakhadiran Azriel pun seolah menambah penderitaannya. Katakanlah Yasmine hiperbola, namun benar begitu rasanya. Dunia tak pernah berada di sisinya, sejujurnya Yasmine tidak pernah kuat menghadapi semuanya. Alasannya bertahan sejauh ini hanyalah Azriel.

Sesaat Yasmine melamun, gadis itu kembali tersadarkan akan panggilan bunda yang memintanya masuk dan bergabung. Gadis itu sempat tertegun dan menunjuk dirinya sendiri, benarkah keluarga besarnya ingin dirinya bergabung? Meskipun bingung, Yasmine tetap menghampiri bunda tanpa membantah. Beberapa saat kemudian, gadis itu sudah bergabung di dalan lingkaran kecil berisi kumpulan keluarga besarnya.

“Gimana, Yas sekolahnya?” tanya salah satu omnya. Yasmine tersenyum canggung, ini pertama kalinya ia menghadapi mereka tanpa bantuan Azriel.

“Lancar, Om alhamdulilah,” balas Yasmine sopan. Omnya itu hanya mengangguk, setelahnya menyesap kopi hitam yang tersuguh di hadapannya. Buatan sang istri yang diperintahkan langsung oleh eyang. “Kemaren Arya baru aja menang lomba futsal wakilin sekolahnya, kaptennya dia!”

“Oh ya? Betul itu, Arya?” tanya eyang. Nadanya ramah sekali, khas seorang nenek yang bicara pada cucunya. Tuturnya lembut namun penuh penegasan. Secuil iri muncul dalam hati kecil Yasmine, tak pernah sekalipun eyang bicara selembut itu padanya.

Sepupunya, Arya, yang satu tahun lebih tua darinya itu pun mengangguk. Setelahnya eyang menarik Arya ke dalam pelukan hangatnya, mengecup pucuk kepalanya perlahan. Ada tatapan yang tak pernah eyang arahkan pada Yasmine, tatapan kebanggaan.

“Oh iya, Bu. Sampe lupa ngabarin, kemarin Nicho ada acara di sekolahnya. Dia jadi perwakilan cerdas cermat loh, Bu. Lombanya antar kelas tapi kelasnya Nicho juara satu!” ucap kerabatnya yang lain seolah tak mau kalah dalam perbincangan keluarga yang berisi persaingan.

“Aduh, hebatnya cucu eyang!” balas eyang, kali ini membanggakan sepupu Yasmine yang lebih muda darinya. “Pasti itu karena Nicho paling pinter jawabnya ya? Keren!”

Yasmine menatap nanar perkumpulan yang ia sebut keluarga. Dalam hatinya bergejolak, ia bisa saja turut memamerkan prestasinya yang selama ini tenggelam—lebih tepatnya sengaja ditenggelamkan hanya karena ia seorang perempuan dan dianggap tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan seluruh sepupunya yang merupakan seorang lelaki yang dianggap membanggakan.

“Eh, Azriel kemana, Mbak? Nggak ikut?”

Bunda tersenyum sebelum menjawab pertanyaan adik ayah, “Nggak bisa ikut, lagi ikut pelatihan bela negara tiga bulan. Jadi anak militer dulu dia. Kayaknya padat jadwalnya sampe nggak pernah nelepon.”

“Azriel tuh ya, emang paling kece dia! Keren anakmu, Mbak!” balasnya.

Bunda mengangguk mengucap syukur dan rasa terima kasih. Setelahnya bunda memegang tangan Yasmine yang ia letakkan di pahanya. “Yasmine juga keren loh, waktu itu Yayas menang lomba pidato Bahasa Inggris kan ya? Juara 2 kan, Yas?” tanya bunda. Yasmine menelan ludahnya, sesaat kemudian ia mengangguk.

Eyang mendelik tidak suka, “Cuma juara 2. Apa yang mau dibanggakan? Itu kalau Azriel yang ikut pasti bisa juara 1. Harusnya kamu bisa dapatkan hasil yang lebih maksimal. Itu lah, terlalu sering dimanja. Jadi kurang kerja kerasnya, kurang usahanya. Baru juara 2 sudah bangga.”

Yasmine menelan ludahnya kasar. Air matanya hampir menerobos pertahanan. Pada akhirnya, setinggi apapun prestasinya, ia tetap akan menjadi juara terakhir di mata keluarganya sendiri. Yasmine tetap tak kasat mata.

Ini kah yang disebut keluarga? Kalau iya, mengapa semuanya seakan bersaing untuk menjadi yang utama? Ini kah yang disebut keluarga? Kalau iya, mengapa semuanya seolah berebut kejayaan hingga rela menginjak satu sama lain? Ini kah yang disebut keluarga?

Kalau iya, mengapa Yasmine seakan ditempatkan di anak tangga paling bawah agar mereka bisa menginjaknya untuk naik lebih tinggi?

“Sat, bagi dong!” ucap Haikal meminta camilan yang sedang dikuasai Satria. Malam itu, mereka semua sedang beristirahat dan diberikan waktu luang untuk melakukan apapun sesuka hati. Ada yang memilih untuk tidur lebih awal lantaran tubuh yang sudah terlalu lelah menghadapi serangkaian aktivitas yang melibatkan banyak tenaga hari itu, ada yang memilih untuk menonton film melalui ponsel, ada yang menghubungi keluarga, ada pula yang memilih untuk bersantai bersama-sama.

Termasuk Satria dan kedua temannya yang memilih untuk berkumpul dan menghabiskan snack yang mereka beli ramai-ramai di koperasi. Setelah makanannya diambil alih oleh Haikal, Satria kini memilih untuk merebahkan dirinya di lantai, menggunakan paha Elzan sebagai sandaran kepalanya.

“Eh kita kapan pulangnya yak? Gue kangen guling gue anjay,” ucap Elzan. Satria terkekeh, begitu pun dengan Haikal yang tidak habis pikir. “Dari sekian banyak anggota keluarga lo, lo memilih untuk kangen sama guling lo, Jan?” tanya Haikal.

“Iya sumpah, gue tuh kangen banget tidur dengan tenang dan nyaman sambil meluk guling tanpa harus panik nanti dibangunin lagi jam empat pagi,” balas Elzan.

“Wah anjir lu, bikin makin kagak betah aja,” balas Haikal seraya terkekeh.

“Gue kangen minum es teh siang-siang, sih,” Satria menimpali.

“Siapa, Sat?” tanya Elzan.

“Gua.”

“Yang nanya.”

“Bangsat!” umpat Satria disusul gelak tawa dari ketiganya. Tak lama kemudian, dua orang yang lebih tua masuk ke kamar mereka. Dua orang itu adalah Adam dan Azriel. Nampaknya kedua kakak kelasnya itu baru saja mandi, terlihat dari rambut keduanya yang masih basah serta tangan kanan yang menenteng keranjang kecil berisi peralatan mandi.

“Buset, Bang Jiel! Lu mandi jam segini, Bang?” tanya Satria.

“Iya, lengket banget badan gua. Pegel-pegel gitu rasanya kalo nggak mandi. Tu si Adam juga mandi,” balas Azriel santai. Pria itu kemudian turut mendudukkan dirinya di lantai dan bergabung bersama dengan para lelaki yang lebih muda darinya itu. Azriel mengambil tempat di sebelah Haikal, membuat Haikal basa-basi menawarkan camilannya pada Azriel. Beruntung Azriel menolak dengan alasan ia tidak makan pada jam malam guna menjaga bentuk dan berat badannya. Setelahnya Adam menyusulnya bergabung dan merebahkan diri di sebelah Satria.

“Lagi pada ngomongin apaan lu pada?” tanya Adam.

“Ini, Bang. Elzan katanya kangen gulingnya,” balas Haikal. Adam terkekeh, “Kagak pernah bener ini orang dari semenjak masuk sini.”

“Dehhh, jujur deh, Bang. Emang lo kagak kangen rumah lu, Bang? Lo beneran seniat itu ikutan ginian?” tanya Elzan pada Adam. Akan tetapi, yang ditanya tidak menjawab. Ia hanya terkekeh kemudian menggeleng menjawab pertanyaan Elzan.

Setelahnya Satria menimpali, “Yang lagi kangen-kangenan mah Haikal tau.”

“Apaan lu?!” ucap Haikal, tidak terima dirinya tiba-tiba menjadi seseorang yang tertuduh.

“Yeuu, lu chat-an kan sama Wilona selama ini? Ngaku deh!” ujar Elzan. Pria itu kini memasang perangai jahil. “Tau gua, Kaal! Orang selama ini tiap dikasih waktu buka HP gercep banget kayaknya ngambil HP-nya. Terus waktu itu lo chat-an sebelah gue jadi gue nggak sengaja baca hehe,” Elzan kembali berujar.

Haikal berdecak, setelahnya tertawa malu. “Lu ribet lu! Ember bat mulut lu!”

“Haikal mah pulang dari sini jadian kayaknya ya, Kal?” Satria menambahkan. “Eh lu gua depak lu!” balas Haikal. Setelahnya Satria hanya tertawa bersama dengan yang lain.

“Wilona tuh yang temennya Yayas bukan sih?” tanya Azriel tiba-tiba. Haikal yang berada di sebelahnya menoleh cepat, “Bang ya Allah kenapa lu ikutan?”

Azriel terkekeh, “Kagak gue nanya doang, hahaha. Tapi bener kan temennya Yayas?”

“Iya bener, Bang. Nah, kalo Satria ama temennya Wilona!” balas Haikal.

“Anj—apaan lo tiba-tiba gue?” Satria menatap Haikal kaget, kemudian tangannya terjulur untuk mencubit kaki Haikal yang bersila. Setelahnya memberi kode bahwa tidak seharusnya ia membicarakan itu di hadapan Azriel. Sebab meskipun sudah yakin dengan perasaannya, Satria masih perlu persiapan untuk meminta izin Azriel untuk menyatakan perasaannya pada Yasmine yang notabene-nya adalah adik pemuda itu.

Azriel terkekeh, “Selaw, Sat. Udah paham gua konsep lo ke adek gue.”

“Uwaduh kayaknya dapet restu tuh, Sat!” ucap Adam. Satria hanya tertawa malu, “Adehh, jangan suka gitu, Bang! Ini nanti kalo lo semua pergi gue digeprek Bang Jiel gimana?” canda Satria.

“Tapi kalo diitung-itung, kita udah berapa lama sih di sini? Kapan pulangnya ya?” Haikal mulai bertanya-tanya. Menimbulkan pertanyaan yang sama di benak ketiga pemuda yang lain yang juga bersamanya.

Azriel menimpali, “Udah mau dua bulan sih. Nggak berasa ya? Gue juga dari yang selalu excited mau pulang sampe yang udah nggak nungguin pulang. Kayak, jalanin aja udah.” Lelaki yang paling tua di kerumunan itu terkekeh ketika mengakhiri ucapannya.

“Iya sih. Lagian kalo ditunggu-tunggu malah berasa makin lama,” balas Adam.

Satria refleks menoleh pada Adam, begitukah? Itu kah yang membuatnya merasa hari-harinya di sini terasa lebih panjang dibanding ketika ia bersekolah dan dibebani tugas-tugas akademik yang terkadang merepotkan? Karena ia tak menikmati waktu sebagaimana ia menikmatinya ketika di sekolah?

“Woi, malah bengong!” tepukan keras Azriel pada bahu Satria membuat Satria tersentak. “Mikirin apaan?”

Elzan tertawa, “Mikirin adek lu lah, Bang. Kangen itu dia.”

Satria hanya menghela napas pasrah. Nampaknya ia tak lagi dapat menyembunyikan perasaannya dari siapapun. Perlahan, rahasianya pun akan tersebar. Perlahan dan entah kapan, pasti ia pun harus memberanikan diri untuk meminta izin Azriel untuk menyatakan perasaannya pada Yasmine, bukan? Jadi, biarlah. Biarlah mulut-mulut Haikal dan Elzan yang selalu dengan ringan membocorkan rahasianya itu berkoar. Satria hanya bisa tersenyum pasrah mendapati dirinya menjadi bulan-bulanan ejekan kedua temannya. Dalam hatinya, ia hanya berharap agar dirinya tidak menjadi sasaran gertakan Azriel. Itu saja.

Ucapan Elzan berhasil memecah tawa Azriel di sana. “Gue juga kangen, Sat. Tenang aja, jalanin aja. Nggak usah ditungguin. Bentar lagi kita ketemu, kok. Tadi Kakaknya manggil gue, ngasih tau kalo pelatihan kita dipercepat jadi cuma dua setengah bulan. Nggak sampe tiga bulan kayak rencana karena ternyata bentrok sama program selanjutnya yang mau mereka jalanin.”

“Serius lu, Bang?” tanya Satria. Pria itu bahkan bangun dari posisinya sangking senang dan bersemangatnya. Seruan tak menyangka milik Elzan dan Haikal pun menyusul. Sementara Adam hanya mengulas senyum tipis melihat kelakuan tiga adik kelasnya, dirinya santai karena sudah mengetahui informasi yang baru saja Azriel beberkan.

Azriel, dengan senyum manisnya yang menimbulkan eye smile di wajahnya kemudian menjawab pertanyaan Satria. “Beneran. Bentar lagi kita pulang.”

Satria dan kedua temannya berseru senang, ketiganya kini menghela napas lega. Terlebih Satria. Semenjak membaca pesan yang dikirimkan Yasmine, pikirannya tidak menentu. Satria ingin hadir dan menemani Yasmine, mendengarkan keluh kesah perempuan itu secara langsung. Sejujurnya, melihat wajah Azriel di hadapannya saat ini pun menimbulkan kebimbangan yang cukup besar serta perasaan tak nyaman yang nenggerayangi hatinya. Ingin sekali Satria memberitahukan pada Azriel bahwa Yasmine, menurut keyakinannya, tidak sedang baik-baik saja. Namun, perempuan itu meminta untuk merahasiakannya dari Azriel. Membeberkannya sama saja ia tidak menghormati keputusan Yasmine.

Jadi, yang Satria lakukan hanyalah mengucap permohonan dalam hati. Semoga gadis pujaannya masih kuat bertahan, dan dalam kondisi baik-baik saja. Setidaknya tidak memiliki luka apapun di tubuhnya.

Tunggu ya, Yas. Jangan pergi. Sebentar lagi gue sama Bang Jiel pulang. Jangan tinggalin gue! Jangan tinggalin kita! Jangan pergi dulu..