Istirahat

Sunyi. Tak ada suara yang mendominasi dalam ruangan yang di dalamnya terbaring seorang perempuan dengan wajah pucat dan mata terpejam rapat. Entah kapan bola matanya yang indah dan miliki binar cantik itu kembali bisa dipamerkan pada dunia. Azriel menunggu di sana dengan wajah frustrasi yang sudah lupa kapan terakhir kali ia bilas. Matanya bengkak lantaran sering menangis, membuatnya selalu merasakan kantuk.

Tangan kuatnya menggenggam lembut tangan sang adik yang dialiri cairan infus yang menetes perlahan-lahan. Pikirannya berkecamuk memikirkan segala kemungkinan buruk yang bukan mustahil untuk terjadi. Azriel menghela napasnya, meletakkan kepalanya yang terasa berat itu di sebelah tangan Yasmine. Menyembunyikan wajahnya di sana.

Meskipun keluarganya nampak baik-baik saja, namun nyatanya tak satu pun dari mereka yang benar-benar tak apa. Bunda dengan segala kekhawatirannya, ayah dengan segala penyesalannya, dan Azriel dengan keluhnya.

Ia baru saja pulang. Selama di perjalanan, tak ada hal lain yang memenuhi kepalanya selain perasaan tidak sabar. Buru-buru ingin bertemu dengan sang adik yang selama ini ia rindukan. Semakin panjang kah rambut hitamnya? Semakin cerah kah wajahnya? Satu-satunya hal yang Azriel harapkan untuk temukan pertama kali adalah binar mata Yasmine dan seruan semangat darinya ketika keduanya kembali bertemu setelah berpisah cukup lama.

Sayangnya, harapannya sirna seketika saat ia mendengar suara teriakan yang menyuarakan sebuah amarah. Sepersekian detik, pemuda itu langsung paham pada siapa amarah itu tertuju. Dengan segera ia melangkah masuk, dan dugaannya benar.

Remuk, hatinya remuk kala mendapati Yasmine meringkuk ketakutan di dalam dekapan sang bunda. Lebih-lebih ketika ia menemukan pipi Yasmine yang kini dilengkapi sebuah warna kebiruan. Pikirannya seketika berkecamuk, Azriel tak lagi dapat berpikir lurus kala itu. Kepalanya dipenuhi dengan bayangan hari-hari Yasmine tanpanya yang entah menjadi seberat apa. Rasa bersalah pun turut hadir memenuhi relungnya. Seandainya, ia tidak pergi.

Sejujurnya, Azriel pun lelah. Ia lelah berada di tengah-tengah keluarga yang—menurutnya—penuh kepura-puraan. Mereka selalu bersikap seolah-olah sama-sama bangga ketika semuanya bercerita tentang prestasi, jabatan, tahta. Padahal, Azriel tahu betul bahwa sejak dirinya kecil, wajah-wajah penuh senyum itu akan mengeluarkan cibiran ketika sudah sama-sama berpaling.

Azriel lelah, melihat Yasmine yang selalu mendapat diskriminasi dan ditiadakan dari daftar nama keluarga. Tidak pernah dianggap, tak pernah ikut terhitung ketika eyang putri sedang absen keluarga. Azriel lelah, hatinya ikut merasakan beban dan sesak setiap kali melihat air muka Yasmine yang selalu pancarkan kesedihan dan sorot mata yang mengiginkan peluk yang sama yang diberikan eyang pada seluruh anggota keluarganya yang lain.

“Yas,” panggilnya pada sang adik meskipun ia tahu betul gadis itu tak akan memberi jawaban.

“Tadi kata Ayah, Yasmine pasti capek banget ya selama ini?”

”...”

“Yasmine juga suka cerita sama Mas Jiel, Yayas capek banget. Yayas nggak kuat.”

”...”

“Yayas capek banget ya? Makanya Yayas mau istirahat?”

Azriel menghela napasnya pasrah, sebelum kembali buka suara. Pelan, namun suaranya tetap saja menjadi yang paling keras mendominasi ruangan. “Iya, deh. Nggak apa-apa, Mas Jiel ngerti. Yayas cuma mau istirahat aja kan, bukan mau ninggalin Mas Jiel?”

“Jangan lama-lama ya, Yas. Mas Jiel kangen.”

Setelahnya, tanpa melepas tautan jemarinya dengan milik Yasmine, Azriel kembali merebahkan kepalanya di pinggir kasur rumah sakit. Membiarkan air matanya menetes melintasi hidung mancungnya. Tak lama kemudian, Azriel memejamkan matanya. Sebelum pulas tertidur, ia meracau.

“Yayas.. Mas Jiel juga istirahat dulu ya.. Mamas nggak ninggalin Yayas, kok. Yayas juga jangan tinggalin Mamas ya? Soalnya kita cuma istirahat sebentar.”