Nongkrong
Setelah melewati berbagai rintangan yang menghadang, tiga personel Petantang-Petenteng itu akhirnya tiba di rumah Damar pukul delapan malam. Setelah merusuh di depan gerbang dengan menimbulkan suara-suara berisik, Dhimas, Haris, dan Ojan akhirnya masuk ke dalam rumah Damar. Bergabung dengan keluarga lelaki itu di ruang keluarga yang sederhana namun hangat.
“Ibuuu, sehat, Bu?” sapa Haris. Tidak basa-basi, memang rasanya sudah cukup lama tidak bertemu dengan ibu Damar. Wanita itu tersenyum, “Alhamdulillah, Mas. Mama sehat?”
“Sehatt alhamdulillah,” balas Haris yang kemudian lanjut duduk bersila di atas karpet yang membentang menutupi lantai ruang keluarga Damar.
“Udah pada makan belum?” tanya ibu. “Belom Bu, belomm!” Ojan, manusia yang menjadi alasan kepergian ketiganya tertunda itu menjawab paling semangat.
“Boong, Bu! Dia pasti udah makan tiga piring!” balas Dhimas.
Sontak Ojan mendorong tubuh Dhimas pelan seraya menyuarakan protes, “Apaan lu! Belom makan malem nih gue.”
“Iya, Bu. Abis nyangsang dia tadi kasian dah. Ini makanya kita lama tadi ke sininya, Bu. Gara-gara nurunin Ojan dulu,” jawab Haris.
Ibu menunjukkan ekspresi bingung, berbeda dengan Damar yang sudah meluncurkan tawanya dengan bebas. “Nyangsang? Di mana? Kok bisa sih?”
“Nyangsang di genteng rumah sendiri, Bu. Emang kurang kerjaan, malem-malem naek-naek genteng!” sahut Damar.
“Maksudnya gimana, Mas?”
“Ojan tuh lagi ngadem, Buu di genteng. Gerah banget di kamar, AC-nya mati belom di-service. Kipas juga masih dipake Mama. Nah, ya udah dongg Ojan ke genteng, soalnya biasanya adem banget di situ, Bu. Naik pake tangga, terus tangganya Ojan senderin aja gitu, kaaann! Terus pada rame nih, Bu di grup, bla bla bla mau ke rumah Damar. Dalem hati, Oh oke, saatnya turun. Pas mau turun, tangganya ilang. Nggak taunya dibawa masuk bapak Ojaaaaan!”
Tak ada balasan yang keluar dari siapapun, semuanya kompak menertawakan Ojan dan idenya yang selalu luar biasa. Orang macam apa yang kegerahan pada malam hari dan memilih untuk naik ke atas genting rumah? Jauzan Narendra-lah jawabannya.
“Maen catur, Dam,” usul Dhimas.
“Yah, dibawa bapak gua tadi ke depan RW,” balas Damar.
“Yah, maen apa dong?” keluh Ojan. Setelahnya ketiganya diam, tak ada yang menjawab. Sama-sama sibuk mencari ide mengenai apa yang harus dilakukan. Hal ini biasa terjadi, sering kali mereka hanya berencana untuk bertemu tanpa tahu akan melakukan apa. Alhasil, keempatnya hanya akan diam hingga menemukan sesuatu untuk dikerjakan.
“Maen congklak yuk?” ajak Damar. Sontak Dhimas, Haris, dan Ojan pun menoleh ke arahnya secara bersamaan.
“Ada?” tanya Ojan.
“Ada,” balas Damar seraya terkekeh.
“Kuuuy lah! Eh tapi kan congklak berdua-berdua egeee! Kagak bisa berempat!” balas Dhimas.
“Ya udah gambreng, item sama item, putih sama putih. Tiap ronde ganti pemain,” Damar menengahi sebelum akhirnya bangkit untuk mengambil papan permainan congklak beserta bijinya yang ia simpan di salah satu sudut rumahnya.
“Eh emang lu pada ngerti main congklak?” tanya Damar.
“Ngerti, anjirrr! Gue biasa main lawan emak gue!” sahut Dhimas.
“Ngerti guaa, biasa lawan tetangga gue dari kecil,” Haris ikut menambahkan.
“Lu ngerti, Jan?” tanya Damar.
Ojan, pemuda itu menyeringai, “Lu ngeremehin gua?”
“IDIIIIIIIISSSSS SAIK BENER GAYA LU!” ujar Dhimas menanggapi reaksi Ojan. “Ngerti?” tanya Dhimas lagi.
“Kenalin, Jauzan Narendra anak Pak Jarwo, jawara kampung cabang congklak dan menaklukan hati wanita,” ucapnya percaya diri. Membuat teman-temannya bertepuk tangan heboh seraya tertawa terbahak-bahak. Ini, ini lah yang selalu menjadi alasan Haris untuk selalu ingin bertemu dengan teman-temannya ketika hatinya sedang berduka. Meskipun tidak diceritakan, rasanya masalahnya tetap sirna ketika menjumpai ketiga temannya yang tak pernah absen membawakan keceriaan dalam hidupnya yang sudah suram sejak lama.
“Ayo dah, gambreng!” ajak Dhimas. Setelahnya pemuda itu memimpin nyanyian khas memulai permainan yang biasa dinyanyikan oleh anak-anak.
“Hom pim pa alaihum gambreng!” Hitam semua.
“Hom pim pa alaihum gambreng!” Putih semua.
“Hom eidmsksjjdidsjdj gambreng!” Putih semua.
“Dongo! Jangan sama melulu dong! Kapan kita maennya kalo begini?!” Dhimas kesal, pasalnya ia juga mulai lelah menyanyikan lagu yang sama terus-menerus.
“Ya udah gambreng lagi sini gue yang nyanyi,” balas Damar. Setelahnya ia mulai bernyanyi. Hasil akhirnya adalah Damar dengan Haris, Dhimas dengan Ojan.
“Jan, yang bener ye!” ucap Dhimas. Sementara Haris dan Damar di seberangnya sudah berpelukan. Keduanya sama-sama bahagia mengetahui mereka berada dalam tim yang sama.
“Yang kalah foto pake atribut terus difoto ye!” usul Haris.
“DEAL! Kagak bakal kalah nih gue!” balas Ojan.
Keempat lelaki itu kini sudah memainkan tiga ronde, dan kini memasuki ronde ke-empat. Sekarang adalah giliran Haris melawan Ojan. Duo yang nampak tak terpisahkan, namun sekalinya menjadi rival, persaingan akan sangat dijunjung tinggi.
“ANYING CURANG LU YA?! DITILEP NIHHH BIJINYA!” ucap Haris.
“LU BUKA TELAPAK GUE LU GELEDAH SESUKA LU RISSSS YA ILLAHI!” balas Ojan tidak mau kalah.
“Damar curang anjrit ngitung mulu kalo mau jalan gue sebel!”
“YA DIITUNG LAH?! BIAR NGGAK SALAH JALAN, nggak asal pilih kayak eluuuu!”
“MAMPUS MATI!!!!!”
Dan kehebohan lainnya. Entahlah, keempatnya memang selalu ramai. Entah karena memang berbagi brain cells yang sama atau bagaimana, Haris, Damar, Ojan, dan Dhimas memang ditakdirkan untuk bertemu dan melengkapi satu sama lain.
Meski timnya unggul, Haris tetap bermain dengan menggebu-gebu. Otaknya sibuk memikirkan strategi apa yang harus ia gunakan agar tidak salah jalan. Syukur-syukur, bisa menembak dan mengambil alih biji congklak milik Ojan.
“EH—yah, mati itu Ris. Kurang satu,” ucap Damar. “Iya anjir salah itung. Gue kita bisa munggahan,” balas Haris.
“Udah anjrit napsu banget dari tadi di-munggahin semua bijinya,” balas Dhimas.
“Ya udah jalan, Jan!” ucap Haris.
“ANJ— ADUHH JANGAN LIAT JANGAN LIAT!” seru Damar tiba-tiba, ketika ada peluang bagi Ojan untuk 'menembak' biji congklak milik Haris yang menggunung pada satu lubang.
“ADUH ANJRIIIIIIIT REJEKI NOMPLOK!” balas Haris frustrasi. Kini ia dan Damar saling memegang bahu satu sama lain. Keduanya saling menggigit bibir gemas sekaligus takut melihat Ojan yang masih mencari apa yang dimaksud Damar dan Haris.
Beruntung Dhimas sebagai rekannya sigap memberi tahu. “JAN ITU ANJRIT LOBANG KE-LIMA! TEMBAK TEMBAK LUMAYAN BIAR KITA NGGAK NGACANG!”
“WAHAHAHAHAHAH! MAMPUS LUUUUU!! Rejeki nomplok rejeki nomplok,” balas Ojan. Sebelum melanjutkan langkahnya, ia memilih untuk merayakannya dengan berjoget di depan Haris dan Damar. Meledek keduanya yang sebentar lagi akan kehilangan banyak biji congklak.
“Tembak, Jan, tembak!” ucap Dhimas.
“HAHAHAHAAAAYYY!!” seru Ojan, pria itu kini mengusap-usap tangannya. Bersiap untuk menggeser satu biji congklak yang akan membawakannya 'rejeki nomplok'. Namun, bukan Ojan jika tidak bertindak di luar dugaan.
Ketika tangannya sedikit lagi menyentuh biji congklak, ia menghentikannya. Menggantinya dengan sebuah simbol hati di udara dan melayangkan finger heart itu ke arah Haris. Setelahnya, sesuai instruksi Dhimas, ia benar-benar menembak.
“Mau nggak jadi pacar aku?” ucapnya dengan satu kedipan mata. Detik itu juga, ketiga temannya buyar. Dhimas memilih masuk ke kamar mandi, Haris menutup wajahnya dengan bantal di sofa, dan Damar memilih untuk keluar rumah. Selang beberapa detik, ketiganya kembali menghampiri Ojan dan berteriak.
“NAJJJJEEEEEESSSSSS!!!!!”