Bincang
Haris baru pulang pukul sepuluh malam dan berniat langsung naik ke kamar untuk berganti baju dan tidur. Namun niatnya segera ia urungkan ketika justru mendapati keluarganya tengah berkumpul di ruang tengah. Matanya menangkap tiga wanita yang selama ini menghiasi hidupnya tengah asik duduk berhimpitan di sofa. Dengan mama di tengah, diapit kedua adiknya.
Tak ingin mengganggu, Haris memilih untuk bersembunyi di balik dinding. Mendengarkan percakapan ketiganya.
“Mama sama Papa dulu juga sama kayak orang tuanya temen-temen Haura, tinggal bareng di sini. Tapi Mama sama Papa punya masalah, yang udah nggak bisa diselesain lagi. Haura tau gembok? Yang buat kunci pintu gerbang kita loh. Nah, Mama sama Papa, punya gembok, tapi kuncinya udah ilang dan akhirnya gemboknya nggak bisa dibuka. Jadi udah nggak cocok, makanya Mama sama Papa udah nggak tinggal bareng-bareng lagi, itu namanya cerai, Nak. Mama sama Papa berpisah.” jelas mama.
Sebuah raut wajah cerah yang sempat tercipta di wajah pemuda satu-satunya di rumah itu kembali sirna setelah mengetahui apa yang mama dan adik-adiknya bicarakan. Kepalanya tertunduk, Haris membiarkan air matanya jatuh dalam diam.
“Tapi, Mama pisah sama Papa bukan berarti udah nggak sayang sama Haura, Kak Hanum, dan Kak Haris. Mungkin rasanya nggak lengkap, tapi perasaan sayang Mama ke kalian tetep utuh, kok, Nak. Nggak ada yang berubah, nggak ada yang berkurang. Haura nggak boleh malu lagi ya? Kan ada Mama, ada Kak Hanum, ada Kak Haris.”
“Tapi temen Hauwa bilang papa tuh asik, Ma! Temen Hauwa diajak jalan-jalan, ditemenin belajar sepeda, ditemenin gambar, diantewin ke sekolah,” Haris dapat mendengar Haura membalas dengan nada yang menyiratkan kekesalannya.
Mama tertawa pelan, “Selama ini kalo Haura mau gambar siapa yang temenin?”
“Kak Hanum.”
“Oke, terus selama ini Haura kalo mau jalan-jalan, siapa yang ngajak jalan-jalan?”
“Mama, Kak Hawis juga suka.”
Mama mengangguk sebelum kembali bicara. “Terus dari dulu Haura belajar sepeda sama siapa?”
“Kak Hawis.”
“Sama aja, kan? Nggak ada bedanya? Haura nggak sendirian? Malah jadinya nggak bosen, soalnya bisa gantian. Iya nggak?” tanya Mama. Setelahnya Haura diam dan terlihat berpikir. Sekon berikutnya, gadis kecil itu tersenyum hingga matanya menyipit dan pipi tembamnya mengembang. Menambah kesan imut yang membuat siapapun yang melihatnya ikut tersenyum. Kemudian Haura mengangguk menyetujui perkataan mama.
Setelahnya, ditangkupnya wajah Haura oleh sang ibu. “Haura, nggak perlu malu lagi karena anggota keluarga kita kurang satu, ya? Yang paling penting, semua orang yang ada di rumah ini,” Mama berucap seraya memutar jari telunjuknya mewakili seisi rumah. “Ada buat Haura.”
“Oke?” tanya Mama.
“Oke!!” jawabnya dengan nada ceria.
Saat itu, barulah Haris memberanikan diri untuk menampakkan diri. “Assalamu'alaikum,” ucapnya sebelum menampakkan diri di hadapan mama dan adik-adiknya. Membiarkan sinar lampu yang memancar itu menerpa kulitnya.
“Eh, udah mainnya, Kak?” tanya mama. Haris mengangguk pelan seraya berjalan menghampiri sang ibu untuk menyalami tangannya.
“Lagi pada ngomongin apa?” tanya Haris, pura-pura tidak tahu.
“Ngomongin Kakak!” balas Hanum.
“Biarin aja dosanya bertumpuk-tumpuk!” canda Haris. Membuat sang ibu hanya tertawa menyikapi perdebatan keduanya.
“Udah, yuk, tidur! Besok masih pada sekolah kan?” tanya mama. Setelahnya ketiga anaknya itu mengangguk.
Hanum mendahului saudara-saudaranya untuk memeluk mama dan pergi ke kamar. Gadis itu menggiring Haura bersamanya. Hingga tersisa Haris yang masih berdiri di sana. Pemuda itu terus memandangi sang ibu yang pada akhirnya memutuskan untuk menceritakan semuanya pada adiknya.
Mama menoleh, setelahnya merentangkan tangannya. Menawarkan pelukan hangat yang selalu Haris nantikan di penghujung hari. Pria itu mendudukkan diri di sebelah mama dan menelusup ke dalam pelukan hangat ibunya.—meski lebih terlihat seperti Haris yang memeluk mama lantaran tubuhnya yang jauh lebih tinggi.
“Haura masih nanyain emangnya, Ma? Kok Mama ceritain gitu?” tanya Haris, setelah pelukan mereka terlepas. Kini ia hanya menyandarkan kepalanya di bahu mama.
“Oh, kamu denger, Kak?” tanya mama. Haris mengangguk.
Mama menghela napas. “Mau sampe kapanpun kita alihkan, rasa penasaran Haura itu akan tetep ada, Kak. Daripada nanti Haura harus nerima semuanya pada satu waktu bersamaan saat dia besar, mending kita biasain dari sekarang,” ucap mama.
“Lagian, ketidaktahuan itu bisa menyiksa. Jadi satu-satunya di rumah yang nggak tau seluk-beluk keluarganya sendiri juga pasti berat. Haura juga perlu tau soal papanya, Kak. Gimanapun juga itu tetep papa kalian, jangan pernah dilupain. Setelah perpisahan itu cuma ada mantan suami dan mangan istri, Kak. Nggak ada mantan anak dan mantan orang tua,” lanjut mama. Haris hanya diam dan menghela napasnya.
Benar. Sampai kapanpun orang tuanya tetap sama meski terhalang sebuah kata perceraian. Saat itu Haris pun menyadari, ia harus berdamai dengan keadaan.
“Mama tau, Kakak pasti marah sama Mama dan Papa karena ngambil keputusan ini waktu itu. Tapi, di dunia ini ada hal yang nggak bisa dipaksa untuk tetap bersama, Kak. Waktu itu Mama takut, bukan takut sama Papa. Mama takut kalo kalian tumbuh besar dengan sering denger Mama sama Papa ribut. Mama takut kalo kalian jadi jauh sama yang namanya kasih sayang karena sering liat Mama sama Papa ribut. Mama nggak mau kalian, terutama kamu, Kak, menjadikan marah-marah dan bertengkar itu jadi hal pertama yang kamu lakuin saat ada hal yang nggak sesuai sama apa yang kamu mau.”
“Mama minta maaf ya, Kak. Kamu jadi harus dewasa karena keadaan kita yang menuntut untuk tetap kuat. Mama minta maaf atas semua kesepakatan yang kita buat dulu sama Papa karena pada akhirnya ingkar. Mama minta maaf, karena kamu harus melewati banyak sekali dan nanggung beban berat sekali di pundak kamu.”
Haris menatap wajah sang ibu dengan seksama. Netra hitam nan tajam yang ia warisi dari sang ayah itu berkilat memancarkan air mata yang siap turun. Haris mengangguk, seiring tetesan air mata mengalir membasuh pipinya melalui satu kedipan mata.
“Haris boleh tau, apa yang bikin Mama akhirnya yakin untuk ambil keputusan itu?”
Mama memalingkan wajah sebelum menjawab. “Setiap anak pasti butuh tempat untuk pulang, Kak. Saat itu pikiran Mama hanya terpusat pada kamu, Hanum, dan Haura yang waktu itu baru lahir. Mama nggak mau rumah ini nggak bisa jadi tempat kalian untuk pulang dengan perasaan aman dan nyaman. Mama nggak mau kalian jadi harus cari pelarian entah ke mana. Mama mau anak-anak Mama selalu pulang, kalaupun ada hari yang berat dan masalah yang belum selesai, kita cari jalan keluarnya sama-sama.”
Haris mengangguk pelan, disertai senyuman tipis di wajahnya. “Haris ngerti, Ma. Haris nggak pernah keberatan ada di kondisi kayak sekarang. Haris tau Mama mengusahakan yang terbaik buat Haris, Hanum, sama Haura. Jangan minta maaf lagi ya, Ma? Nggak ada yang bikin Haris, Hanum, sama Haura lebih bahagia daripada jadi anak-anaknya Mama.”
Hati ibu mana yang tidak terenyuh mendengar penuturan halus seorang anak yang menyatakan bahwa dirinya turut berbahagia dilahirkan dari rahimnya? Mama tersenyum lembut meski sudah tak tahan lagi ingin menangis. Setelahnya wanita itu mengangguk. Dikecupnya kening sang anak sulung, berharap di dalam sana tak banyak hal yang membuatnya gamang.
“Tidur, Kak. Istirahat, besok sekolah.”
Haris mengangguk, kemudian bangkit dan memeluk mama untuk terakhir kalinya sebagai penutup hari itu. Dalam pelukan singkat itu, mama berbisik di telinga si sulung yang paling hebat. “Makasih karena nggak pernah ninggalin Mama ya, Kak.”
Haris mengangguk pelan, “Makasih udah bertahan buat Haris, Hanum, dan Haura, Ma.”
Perbincangan hari itu berakhir dengan lampu ruang keluarga yang akhirnya dimatikan. Membuat sunyi semakin menyelimuti namun tetap tak mengusir suasana hangat di dalam rumah. Setelahnya, baik mama dan Haris sama-sama kembali ke kamar. Mengakhiri hari dengan terlelap dalam sebuah naungan yang sangat, sangat layak disebut rumah.