raranotruru

Setelah berkutat dengan akun curhatnya, Aghniya kembali meletakkan kepalanya di atas meja dengan jaket Dhimas yang ia pinjam untuk menutupi wajahnya. Antisipasi agar wajah aibnya itu tidak masuk akun Instagram bodong milik kelasnya sendiri, tempat mengumbar video atau foto-foto dari kelakuan anak-anak di kelasnya selama tidak ada guru, atau ketika para guru sedang kecolongan.

Gadis itu memejamkan matanya, berusaha membuat dirinya tertidur dan berharap sakit perut bulanannya itu akan hilang atau paling tidak bisa mereda.

Sesekali Aghniya mengusap-usap kepalanya sendiri, seperti yang biasa ia lakukan ketika sedang butuh puk-puk. Menyemangati serta menguatkan diri sendiri adalah kegemarannya.

Gadis itu mengubah sedikit posisinya guna mendapatkan posisi yang lebih nyaman. Sesaat kemudian, seseorang menarik jaket milik Dhimas yang ia gunakan untuk menutupi wajahnya. Aghniya membuka matanya, siap dengan ekspresi garang yang ia punya. Terlebih jika sedang menjamu tamu bulanan, ekspresi garangnya itu semakin menjiwai.

“Dhimas ih—”

“Apa?” balas pemuda di depannya. Aghniya terperangah mendapati Damar di hadapannya. Pemuda itu berdiri dengan segelas teh hangat di tangan kanannya, sementara tangan kirinya dimasukkan ke dalam saku celana. Keren.

Gadis itu bahkan memikirkan bagaimana caranya Damar masih terlihat rapi mengenakan seragam meski hari sudah siang. Karena setahunya, teman-teman di kelasnya tak ada yang seperti itu. Jam segini, kelasnya didominasi wajah-wajah lelaki penuh keringat. Dasi sudah longgar, kerah terbuka menampakkan kaus dalaman yang didabel dengan baju seragam, sepatu ditanggalkan di mana-mana, menyisakan kaus kaki yang mengeluarkan bau tak sedap. Sumpek.

Namun Damar, pria itu masih bersinar. Bahkan wanginya tak sedikitpun meninggalkan tubuhnya. Biarpun berkeringat, Damar masih- luar biasa.

“Kenapa bengong?” tanya Damar, membawa gadis di hadapannya kembali pada realita. Kemudian ia duduk di bangku Dhimas yang masih kosong.

“Hah? Eng-enggak.”

“Katanya tadi nggak pa-pa? Kok pucet gitu mukanya?” tanya Damar lagi.

“Iyaa, udah biasaa. Emang begini, tapi nggak pa-pa, nanti juga sembuh sendiri kalo pulang sekolah.”

Damar menghela napasnya. Memilih mengakhiri perdebatan yang ia tahu tak akan ada ujungnya. “Ya udah, nih teh anget. Diminum yaa, siapa tau bisa bikin enakan,” ucapnya seraya menyodorkan teh hangat yang ia bawa ke hadapan Aghniya.

“Hah?”

Damar terkekeh melihat wajah bingung gadis di hadapannya, “Ini, diminum Aghniya.”

“Padahal udah bilang nggak usah, loh,” ucap Aghniya.

“Usaaah!”

Kini giliran gadis itu untuk tertawa, setelahnya ia mengambil teh hangat di mejanya kemudian meniup-niup teh itu sebelum meyeruput isinya. “Duh, enak banget ya Allah..” ucapnya seraya memejamkan mata. Merasakan kehangatan dari teh manis hangat yang kini menjalar ke tubuhnya.

Aghniya menoleh pada Damar di sebelahnya, “Terima kasih, yaa!”

Damar tersenyum kemudian mengangguk. Setelahnya ia berdiri. Dan sebelum benar-benar pergi, Damar menepuk-nepuk kepala Aghniya. “Abisin, ya! Gue ke kelas lagi, daah!”

Sementara gadis itu hanya membeku, kemudian berusaha tersenyum meski jantungnya berdegup kencang.

Sepeninggal Damar, Aghniya berniat kembali menyesap teh hangat di hadapannya. Namun, Salsa merebutnya dari tangannya.

Gadis itu menoleh cepat, setelahnya menghela napasnya. Jujur, hari ini Aghniya lemas. Tak ingin bertengkar dengan siapapun meski emosinya mudah meningkat. Perutnya masih sakit, dan ia tak ingin menanggapi Salsa saat ini.

“Aduh, ngapain sih, Sa?” tanya Aghniya.

Salsa tersenyum miring, “Enak ya? Enak kalo berhasil caper sama Damar pake tampang lo yang pura-pura polos itu? Sok baik! Lo merasa udah bisa dapetin Damar, gitu?”

“Iya deh, terserah lo mau ngomong apa. Gue capek, gue nggak pengen ribut hari ini. Lo kalo mau abisin itu teh juga nggak pa-pa asli, abisin aja,” balas Aghniya. Gadis itu masih setia bersandar di kursinya seraya memegangi perutnya.

“Oke, lo nggak pengen ribut?” tanya Salsa. Aghniya hanya diam, memilih tak menanggapi Salsa dan berharap ia akan segera pergi meninggalkannya sendiri.

“Tapi gue pengen sih, ups!”

Salsa dengan sengaja menumpahkan teh hangat itu hingga membasahi rok Aghniya. Membuat gadis itu terbelalak dan bangkit dari duduknya dengan segera. Gadis itu mengibaskan roknya, berusaha mengeringkan basahan teh yang mengenai paha kanannya.

“Saaaaa! Panas kali gila lo ya!?”

“Ya emang, makanya gue sengaja numpahin,” balas Salsa. “Nih, abisin ya. Itu yang di lantai juga abisin tuh, jangan bersisa!”

“Ah, satu lagi. Karena lo nggak menjauh dari Damar, hari ini bakal gue bikin Damar menjauh dari lo!” ucap Salsa lagi. Kemudian ia berlalu, kembali ke tempatnya seraya tertawa puas.

Namun, seseorang menarik tangan Salsa dengan keras, membuat gadis itu terhuyung ke belakang. “Demen amat sih nyari gara-gara?”

Dhimas masih menahan lengan Salsa dengan kuat membuat Salsa tak dapat melepaskannya meski sudah ia hempaskan sekuat tenaga. Dhimas menatap Salsa marah, sudah cukup gadis itu mengganggu Aghniya selama dirinya tak ada. Kali ini, Dhimas tak akan membiarkannya.

“Ngapain lo?” tanya Dhimas lagi.

“Apaan sih? Lepasin nggak!?”

“Gue tanya lo ngapain? Maksudnya apa numpahin teh ke temen gue gitu? Mau gue siram muka lo?” balas Dhimas.

“Orang nggak sengaja!”

“Pala lo nggak sengaja! Ngapain sih, Sa? Kenapa sih lo nggak udah-udah gangguin Aghni? Emang dia pernah ngapain lo sih?” ujar Dhimas kesal.

“Dhim, Dhim, udah udah. Biarin aja, terserah dia aja udah mau ngapain,” sela Aghniya.

“Ya nggak bisa gitu lah, enak aja! Lo kenapa diem aja sih? Tampar anjir! Lama-lama makin kurang ajar tau nggak ni orang? Nggak ada kapoknya! Dia udah ngatain orang tua lo, sekarang numpahin lo teh panas begini terus lo bilang biarin aja? Agh, yang bener aja!”

“Dhimas, gue tau. Tapi ya udah, capek. Terserah Salsa mau ngapain. Gue udah capek,” balas Aghniya. Ia bukannya tak ingin membalas. Aghniya sangat, sangat ingin membalas. Gadis itu bisa saja langsung menjambak surai Salsa kemudian membalasnya dengan menumpahkan teh yang sama ke seluruh badannya. Namun, hari ini ia sudah terlalu lelah. Orang semacam Salsa, justru akan semakin senang jika Aghniya menunjukkan emosinya.

“Udah, lepasin itu Salsanya. Nanti merah tangannya lo yang kena lagi. Temenin gue aja yuk, ke BK nyari rok,” ucapnya lagi.

What the f—

“Dhimaas,” panggil Aghniya lembut, memotong ucapan Dhimas. “We'll prepare on a better revenge next time,” sambungnya.

Pada akhirnya, Dhimas melepaskan cengkeramannya pada tangan Salsa dengan penuh kekesalan. “Pel tuh tempat duduk gue! Kalo sampe gue balik tempat duduk gue masih begini, muka lo gue obrak-abrik!” gertak Dhimas pada Salsa. Kemudian Aghniya dan Dhimas berlalu keluar kelas, meninggalkan Salsa yang mengumpat kesal di tempatnya.

Buruan dong lama banget lo jalan kayak nenek-nenek!

Sabar dong elah! Niat nggak sih lo nemenin gue? Protes mulu kayak kakek-kakek!

Elu lama!

Mules anjay! Ngomong lagi gue gampar lo!

Damar memarkirkan motornya di sebuah toko ikan yang sekaligus menjual pakannya. Pria itu hapal di luar kepala alamat toko yang menjadi langganan sang ayah. Jadi, sepulang sekolah, Damar langsung tancap gas menjemput sang ayah.

Pria itu menyampirkan helm-nya di spion motornya, tak lupa menyugar rambutnya yang sudah panjang. Kemudian berjalan memasuki toko seraya mengedarkan pandangannya ke sekeliling toko guna mencari bapak.

“Pak,” panggil Damar. Pria itu menyalami tangan bapak kemudian mengambil alih tas laptop bapak dan membawakannya.

“Bapak dari tadi?” tanya Damar. “Baru, kok.”

“Udah belinya?” tanya Damar.

“Udah, ini Bapak lagi liat-liat ikan.”

“Ohh, ya udah. Liat-liat aja dulu,” balas Damar. “Enggak ah, pulang yuk!”

Damar tekekeh, “Gimana sih, labil banget Bapak kayak ABG.”

“Emang masih ABG, Mas.”

“Ngarang.”


Damar sudah menanggalkan seragam sekolahnya, menggantikannya dengan kaus santai serta celana pendek. Pemuda itu menghampiri sang ayah yang tengah memberi makan ikan-ikannya di akuarium. Ikan kecil, beserta arwana yang menjadi kesayangannya. Biasanya, Damar juga diberi tugas memberi makan mereka ketika bapak belum pulang.

“Pak,” panggilnya. Bapak menoleh, “Kenapa?”

“Nggak, manggil doang.”

“Walaah, ganggu aja,” canda Bapak.

“Ya Allah, gitu banget sama anak sendiri,” gerutu Damar. Sementara bapak hanya terkekeh.

“Bapak kenapa demen banget sih sama arwana? Sampe segitu sayangnya, deh?” tanya Damar lagi.

Bapak memamerkan senyum tipis sembari memandangi ikan-ikannya. Damar masih setia menunggu jawaban dari bapak, pemuda itu ikut duduk bersama sang ayah.

“Arwana tuh teman Bapak untuk belajar, Mas,” jawab Bapak.

Damar mengerutkan alisnya, “Belajar? Belajar apa, Pak?”

“Belajar jadi bapak yang baik.”

“Kok gitu? Emang dia ngapain? Perasaan berenang doang kerjaannya,” sahut Damar.

Bapak berdecak, “Ah, Mas Damar mah ngerusak suasana, deh!”

Damar tertawa, “Loh, Damar beneran nanya, Paak..”

Bapak tak lagi bersungut, pria itu kini ikut tertawa. Bapak tahu Damar hanya bercanda, seperti yang biasanya ia lakukan pada kedua orang tuanya.

“Mas Damar tau nggak, kalo arwana betina bertelur, siapa yang jagain telurnya? Yang betina atau yang jantan?” tanya Bapak.

“Betina?”

Bapak menggeleng, “Jantan, Mas. Tau cara jagainnya gimana?”

Damar menggeleng sebagai jawaban dari pertanyaan bapak.

“Setelah telur-telur itu dikeluarkan, telurnya akan disimpan di mulut arwana jantan. Paling sedikit lima puluh hari,” jawab bapak.

“Loh, terus makannya gimana, Pak?”

“Puasa, Mas. Arwana jantan itu siap berpuasa selama lima puluh hari, karena nggak bisa membuka mulutnya. Soalnya ada calon anak-anaknya yang harus dia jaga. Nggak peduli dirinya kelaparan, yang penting anak-anaknya bisa tumbuh besar dan selamat,” jelas bapak.

“Arwana itu teman belajar Bapak. Setiap hari Bapak selalu berpikir, Bapak ini udah cukup baik belum ya, buat Mas Damar? buat Ibu? Tapi, yang jelas setiap hari Bapak berusaha biar jadi sosok ayah yang bisa Mas Damar contoh. Bapak berdoa supaya setidaknya ada satu atau dua hal yang bisa Mas Damar contoh dari Bapak,” sambungnya. Kini pandangannya tertuju pada anak laki-laki yang ia beri nama Yudhistira Damar. Tak lupa ia sematkan nama belakang miliknya pada anaknya seorang. Sebagai perwakilan rasa bangga, serta harapan akan kelak anak laki-lakinya dapat harumkan nama keluarga yang juga menjadi namanya sendiri.

“Waktu itu cepet banget ya, Mas? Nggak berasa banget loh, Bapak. Tiba-tiba Mas Damar udah gede aja. Perasaan kemarin baru minta beliin sepeda roda dua, sekarang udah punya incaran aja? Berarti Bapak makin tua juga ya, Mas?” ucap bapak lagi. Turut menyadarkan Damar dari lamunannya.

“Pasti nanti nggak berasa juga deh, tau-tau Mas Damar mau nikah,” tutur Bapak. Damar terkekeh dengan kedua matanya yang kian sayu, memberikan tatapan lembut pada sang ayah. “Bapak apa sih, masih lama banget itu!”

“Kalo dipikir, iya, masih lama. Tapi kalo dijalani pasti nggak terasa, Mas,” sahut bapak. “Bapak nggak tau, Bapak masih bisa nemenin Mas Damar atau enggak untuk hari besar itu nanti. Kan kita nggak tau ya, Mas, sampe kapan kita diberi kesempatan bertahan di dunia ini. Bapak sih, kepengennya yang penting Mas Damar sehat, bahagia. Udah, itu aja.”

“Iya, Pak. Udah sehat dan bahagia kok ini. Kan dikasih makan enak terus sama Bapak Ibu,” jawab Damar. Memilih tidak mendengar ucapan bapak mengenai waktu di dunia.

“Loh, jangan cuma sekarang dong, Mas. Sampe seterusnya. Sampe Mas Damar semakin besar, semakin tinggi, semakin dewasa. Harus tetep sehat dan bahagia,” balas bapak. “Ikutin kata hati Mas Damar sendiri, jangan apa kata orang lain. Jangan ragu-ragu kalau punya mimpi. Mas Damar harus selalu inget kalo Bapak sama Ibu, akan selalu ndukung apapun mimpi Mas Damar. Selama itu baik, dan bisa mbawa manfaat untuk orang banyak.”

“Mas Damar gedenya mau jadi apa sih? Bapak kok nggak tau, deh? Musisi?” tanya bapak.

Damar terkekeh seraya menunduk, menyembunyikan air matanya yang hampir menetes. “Belum tau, Pak. Mungkin musisi, mungkin juga yang lain.”

Bapak tersenyum hangat, “Ya, apapun itu, lah. Semoga tercapai. Yang jelas, Mas Damar nggak perlu jadi ilmuwan untuk buat Bapak sama Ibu bangga, karena kami sudah dan akan selalu bangga sama Mas Damar. Udah cukup, Mas Damar nggak perlu jadi orang lain.”

“Nanti, kalau berkeluarga, yang betul. Semoga Mas Damar berjodoh dengan orang yang baik, yang memang Mas Damar cintai dan sayangi dengan tulus. Jadi ayah, suami, kepala keluarga yang baik. Yang penting tanggung jawab, Mas. Laki-laki itu perlu tanggung jawab,” ucap Bapak dengan penegasan kata pada kata terakhir kalimatnya.

“Bapak nggak minta apa-apa dari Mas Damar. Kalaupun seandainya Mas Damar nggak punya prestasi, Bapak nggak pa-pa. Bapak sama Ibu guru, bukan berarti Mas Damar dituntut untuk jadi jenius biar Bapak Ibu nggak malu. Enggak, Mas. Bapak sama Ibu nggak akan malu. Bagaimanapun Mas Damar, ya Mas Damar tetep anaknya Bapak Ibu. Toh, bakatnya Mas Damar pun banyak,” ucap bapak.

“Bapak cuma minta dua, Mas. Di manapun kakinya Mas Damar berpijak, jangan lupa libatkan Tuhan dan jangan lupa berbakti sama orang tua, siapapun yang tersisa nanti,” sambungnya.

Damar menatap lurus pada tatapan bapak yang juga mengarah padanya. “Iya, Pak. Pasti.”

“Mas Damar laki-laki. Jagain Ibu. Karena Ibu cuma punya kita berdua. Artinya selain Bapak, Ibu cuma punya kamu, Mas.”

“Iya, Pak.”

“Tapi, orang tua juga masih perlu belajar, Mas. Kalau Bapak ada salah, Mas Damar boleh koreksi Bapak. Kayak pembelajaran dalam kelas, Mas. Kalau penjelasan gurunya kurang tepat, silakan murid angkat tangan dan tegur, kemudian bantu perbaiki. Begitu juga sebaliknya,” ujar bapak lagi.

“Daah, sudah. Bapak mau bikin kopi,” ucapnya. Kemudian bangkit berdiri dan menepuk-nepuk pundak Damar pelan sebelum berlalu meninggalkannya di ruang keluarga.

Damar masih merenung. Netranya kini berkaca-kaca. Masih perlu belajar, katanya? Tidakkah beliau tahu, menurut Damar, bapak adalah bapak juara satu sedunia. Sebagaimana bapak merasa cukup dengan kehadiran Damar dan segala yang ada pada dirinya, Damar pun merasa cukup akan kehadiran bapak dan segala yang ada pada dirinya.

Kopi, arwana, memancing, serta kebiasaannya meledek ibu, Damar menerimanya, Damar menyukai segala sesuatu yang ada pada diri bapak atau yang berhubungan dengan beliau. Damar mensyukuri kehadiran asap kopi mengepul dari gelas keramik berwarna kuning yang turut membaur dengan udara pagi ketika dirinya sarapan bersama keluarga, suara gemericik air dari akuarium setiap kali arwana itu diberi makan, suara gerutu ibu yang disusul tawa, serta suara berat namun lembut yang selalu memanggilnya untuk salat Isya berjamaah di masjid. Damar mensyukurinya, karena selama hal-hal itu masih berada di sekitarnya, tandanya bapak pun masih berada di sekitarnya.

Bapak cuma minta dua, katanya. Damar juga.

Damar cuma minta dua. Supaya bapak dan ibu sehat dan bahagia, serta panjang umur. Karena anak satu-satunya dalam keluarga Wijayanto itu masih ingin menyayangi keduanya hingga waktu yang lama.

Arwana dan bapak selalu terlihat seperti sahabat karib, yang enggan dipisahkan. Namun, rasanya hari ini Damar tak ingin lagi menyuarakan protes jika bapak terlihat pilih kasih pada ikan-ikannya, terutama si arwana. Sebab, secara tidak langsung, arwana membantunya mendapatkan kehangatan dari keluarga.

Terlebih, seorang ayah. Dari bapak, yang tidak sempurna, namun selalu mengusahakan yang terbaik untuk keluarganya.

Bapak juara satu sedunia.

Sehabis Isya seperti biasa, Damar memilih mempertahankan sarungnya hingga waktunya tidur nanti. Pemuda itu mengangkat sarung kebanggaannya hingga sebatas betis, kemudian ikut lesehan dengan sang ayah yang terlihat sibuk dengan laptopnya.

“Ngapain, Pak?”

“Bikin soal,” jawabnya.

“Ulangan?”

“Kuis,” balas bapak.

“Kenapa sih guru Fisika suka banget ngasih kuisss?” protes Damar.

“Biar seru, dong,” balas bapak lagi.

Damar terkekeh, “Ngebul pala orang, Pak!”

“Biarinnnn, Bapak aja botak. Masa muridnya nggak botak?” ucap Bapak yang membuat tawa Damar semakin mengeras.

“Gimana, Mas, jalan-jalannya?” tanya bapak tiba-tiba.

Wisss, seru dong,” jawab Damar.

Fokus bapak teralihkan sejenak, menatap anak lelakinya yang duduk sembari mengangkat sebelah kakinya itu. “Masa? Kata Ibu aja Mas Damar nggak seru kalo diajak pergi,” tutur bapak.

“Ya, iya. Yang seru kan dianya, Pak,” sahut Damar seraya tertawa.

“Yaa, ya, yaa, dasar anak muda. Dunia rasanya milik berdua gitu, ya?”

“Yaa, Bapak tau lah, hehe,” balas Damar.

“Iya sih, Mas. Dulu Bapak juga gitu pas masih pacaran sama Ibu. Tapi kalo dulu jalan-jalannya ke pasar malem. Padahal nggak main apa-apa, jalan-jalan aja berdua,” sahut bapak ikut tersenyum. Teringat masa mudanya dulu bersama sang pujaan hati yang kini berhasil menjadi pasangan sehidup-semati.

“Namanya siapa, Mas?” tanya bapak tiba-tiba. Membuat senyum Damar hilang seketika lantaran terkejut.

Pemuda itu mengerjapkan matanya. Kemudian seraya tersenyum tipis, ia menjawab pertanyaan sang ayah. “Aghniya, Pak. Aghniya Zhafira.”

Bapak ikut tersenyum melihat pancaran cinta dari mata anak tunggalnya. “Kenapa bisa suka sama dia, Mas? Cantik?”

Damar mengangguk, “Cantik.”

“Itu cukup membuat Mas Damar suka, kah?” tanya bapak lagi.

Damar menatap kosong ke sembarang arah, memikirkan sesuatu. Sekon berikutnya pemuda itu terkekeh. “Enggak, Pak.”

“Terus apa, Mas?”

“Bapak pernah liat nggak sih, orang yang semangat terus setiap hari?” tanya Damar. Bapak menghentikan kegiatannya mengutak-atik soal yang tertera di layar laptopnya. Setelahnya menatap Damar dan berpikir sejenak.

“Jarang, Mas,” jawab bapak.

Damar menjentikkan jarinya semangat, “NAH!”

“Itu, Pak! Itu dia,” ucap Damar lagi. Bapak terkikik mendengar jawabannya.

“Bapak tau kan, Damar emang dari SMP niat banget masuk SMA jurusan IPA. Damar ngebayangin serunya bisa eksplor lebih banyak hal lagi di SMA. Lebih banyak ke lab, praktikum. Lebih punya banyak temen. Tapi, ternyata masih sama aja dari dulu, Pak,” tutur Damar. “Dari SD akademik Damar selalu bagus. Guru-guru seneng sama Damar. Nama Damar nggak pernah ketinggalan disebut di setiap kelas. Damar tau itu anugerah banget. Itu sesuatu yang harus disyukuri banget. Tapi, nggak tau kenapa, Pak. Rasanya Damar nggak pernah lengkap.”

“Banyak orang yang kagum sama Damar, tapi sebenernya kalo diperhatiin, mereka nggak mau temenan sama Damar. Karena selalu ngerasa nggak pantes. Image Damar yang keliatannya sempurna banget itu bikin orang lain jadi segan. Padahal, Damar juga nggak pernah batesin siapapun yang mau temenan sama Damar— ya, seenggaknya sampe makin marak yang mau manfaatin Damar sih.”

“Makanya semenjak masuk SMA, Damar sama sekali nggak nemuin semangat yang Damar punya dulu. Jadi nggak seru lagi, biasa aja. Tapi pas ngeliat Aghniya, Damar heran sih.. kok bisa ya dia kayak gitu? Kayak hatinya penuh, semangatnya penuh, malahan meledak-ledak,” ucap Damar.

Hening sejenak. Meski bapak masih setia berkutat dengan soal-soal buatannya sendiri, Damar tahu beliau menyimak setiap tutur kata yang meluncur dari bibirnya. “Bapak tau lah rasanya, dijadiin contoh terus-terusan tuh nggak enak. Rasanya kayak ada beban yang harus ditanggung. Damar juga pengen sekali-kali nyontoh orang yang sebaya sama Damar.”

Bapak tersenyum tipis, “Terus nyontoh Mbak Aghni?”

“Iya.”

“Emangnya kenapa dia bisa dicontoh?”

“Aghniya punya list, isinya alasan-alasan dia untuk tetap hidup. Pasti kalo denger kalimat begitu kepikiran isinya tentang mimpi-mimpi besar gitu kan, Pak? Salah, Pak. Isi list-nya tuh ada buah naga, sate padang, angin sore-sore pas abis Asar,” ucap Damar.

“Tadi Damar nanya dia, kenapa masuk IPA. Alesan dia tuh cuma karena dia nggak bisa IPS aja. Dia nggak ngerti Geografi dan temen-temennya. Makanya dia ambil IPA,” Damar masih bercerita.

“Terus Damar tanya lagi, rasanya gimana setelah masuk IPA. Kata dia seru. Aghni bilang masuk IPA justru bikin dia banyak bersyukur, bikin dia banyak amazed sama dunia. Katanya, setelah belajar IPA, Aghni ngerti kalo kalimat 'terlahir dengan sempurna' itu luar biasa banget. Bisa jadi kayak kita sekarang, itu sesuatu yang nggak kita sadari, padahal sebenernya udah menakjubkan banget.”

“Terlahir dengan anggota tubuh yang lengkap dan semuanya berfungsi dengan baik, semua sistem dalam tubuh kita juga berjalan baik. Sistem pernapasan, pencernaan, peredaran darah, semuanya berjalan baik. Kalopun ada virus masuk, kita punya pertahanannya sendiri di dalem tubuh. Makanya dia tenang-tenang aja, Pak. Karena Aghni selalu yakin semua hal yang bikin stress pasti nanti ilang sendiri. Semua tantangan pasti nanti lewat sendiri, soalnya kita dan tubuh kita udah disiapkan sedemikian rupa untuk siap ngejalanin semua yang ada di dunia ini. Gitu katanya,” jelas Damar.

“Kata Aghni, setiap manusia tuh hebat. Tapi emang nggak ada yang sempurna. Jadi, pasti punya kelemahan masing-masing. Tapi katanya nggak pa-pa, that's what makes us human.”

“Aghni keren banget, Pak. Tapi nggak semua orang tau itu. Kayak harta karun, cuma yang punya peta yang bisa nemuin harta karun itu. Jujur, Damar belajar banyak dari dia. Semangatnya, cerianya, baiknya, sama cara-cara dia membuat hidup keliatan gampang dijalanin, Damar menyerap energi baik kalo deket Aghni. Makanya Damar suka.”

Bapak mengulas senyum manis menanggapi curhatan Damar perihal perempuan yang memikat hatinya. Setelahnya bapak mengangguk-angguk paham. “Nggak pa-pa, Mas. Boleh, kok, Mas Damar suka sama dia. Dari cerita Mas Damar, Bapak tau anaknya baik. Semoga lancar deh jalannya.”

Damar tertawa, mencerminkan hatinya yang gembira mendapat restu dari ayahnya sendiri. “Bapak ngerestuin nih, ceritanya?”

“Lha iya. Nggak mau?”

“Mau, lah. Ibu ngerestuin nggak, Pak? Secara Ibu kan ngajak Damar ketemu sama Salsa mulu. Curiga banget Ibu mau jodohin Damar sama Salsa, deh.”

Bapak berdecak, “Halah, Ibu mah pasti ngerestuin. Ibu sama Bapak tuh yang penting Mas Damar bahagia aja, wes! Nggak mau nuntut ini ono. Ibu tuh ngajak Mas Damar ketemu sama Mbak Salsa ya karena Ibu suka bosen aja kalo nggak ada temennya. Nggak ada lah itu apa? Jodoh-jodohan, nggak ada! Bapak juga nggak ngizinin Mas Damar dijodohin. Harus Mas Damar yang pilih sendiri, tapi ya jangan lupa, bilang-bilang dulu sama Bapak Ibu.”

“Oh iya, gini, Mas. Dulu Bapak juga pernah ngalami kayak Mas Damar. Kok kayak bosen, kayak nggak ada tantangan, kayak nggak seru. Akhirnya yang didapet cuma capeknya aja. Bapak juga pernah, merasa nggak lengkap. Merasa kurang, merasa masih ada yang harus dicari tapi nggak tau apa,” tutur Bapak.

“sampe akhirnya Bapak ketemu Ibu, Bapak tau apa yang kurang,” sambungnya.

Damar mengangkat sebelah alisnya bingung, setelahnya buru-buru mencondongkan tubuhnya ke arah bapak guna mendengar jawaban atas rasa penasarannya. “Apa, Pak?”

“Cinta.”

Hari Jumat, seperti biasa di Pelita Nusantara, menjadi hari kebersihan dalam minggu pertama sekolah. Jam pembelajaran dikurangi dan diganti dengan kegiatan kerja bakti membersihkan kelas.

Alwan sebagai ketua kelas memandu seluruh anggotanya untuk meminggirkan meja-meja terlebih dulu agar lebih leluasa menyapu dan mengepel lantai.

“Geser dulu yooook! Geser yoooook! Eh jangan digeser deng! Nanti ubinnya lecet, angkat yoook! Angkat yoook!” ucap Alwan.

“Yang bawa kanebo siapaa ajaa?” tanya Alwan.

“Giaaaa!” jawab Gia seraya mengangkat kanebonya tinggi-tinggi.

“Siapa lageee?” tanya Alwan.

“Jara bawa, Wann!” balas Zahra. Diikuti dengan teman-temannya yang lain yang juga membawa kanebo.

“Ya udah yang bawa kanebo bersihin jendela yak!” titah Alwan.

Akhirnya Gia dan Zahra memulai pekerjaan mereka untuk membersihkan jendela kelas. Keduanya bertugas membersihkan jendela yang menghadap koridor sekolah mereka. Gia dan Zahra melakukannya dengan penuh canda guna menambah riang suasana hati mereka sehingga pekerjaan yang dilakukan akan lebih baik hasilnya.

“Iiiiii, liat, Jar! Kotor banget, hi,” ucap Gia seraya iseng menyodorkan kanebo kotor bekas mengusap jendela ke hadapan Zahra.

“Ih, Gia ih! Jorok banget! Ini dosa berapa taun ya, Gi?”

Gia tergelak, “Kok dosa berapa taun? Hahaha.”

“Abis kotor banget begini, nggak pernah dibersihin apa gimana coba?” balas Zahra.

“Ya, namanya abis ditinggal libur, pasti kotor lah, Jar,” sahut Gia.

“Eh, Gi, minta isi semprotannya lagi sama Alwan, Gi. Yang ini udah mau abis,” ujar Zahra.

“Oke bentar,” jawab Gia. Setelahnya gadis itu menuruni meja dan menghampiri Alwan yang tengah membersihkan papan tulis.

“Alwan, ada semprotan buat kaca lagi nggak? Yang itu udah mau abis.”

“Di lemari, Gi, coba,” sahut Alwan tanpa melirik Gia di sebelahnya. Pemuda itu masih fokus memoles papan tulis kelasnya agar terlihat kembali putih tanpa noda hitam bekas hapusan spidol.

Gia kemudian mengecek isi lemari kelasnya. Di bagian paling bawah, gadis itu rupanya hanya menemukan cairan pel tanpa ada penyemprot kaca yang dirinya butuhkan. Dengan segera ia kembali melapor pada sang ketua kelas.

“Alwan, nggak ada. Adanya cuma yang buat ngepel,” ucap Gia.

“Di paling bawah, Gi.”

“Iyaaa, nggak ada, Wan. Barusan aja aku liat, adanya cuma yang buat ngepel.”

“Yah, ya udah sana minta ke TU. Izin dulu, biar kelas kita dicatet minta perlengkapan,” balas Alwan.

“Ah, nggak beranii. Ayo sama kamu,” ucap Gia.

“Dih orang tinggal bilang doang aja nggak berani!”

“Takut ah! Ayo temenin, tapi tetep kamu yang ngomong sih, Wan.”

“HIIIHH ribet nih, Gia! Ya udah bentar nih tanggung,” jawab Alwan.

Selang beberapa lama, Alwan selesai membersihkan papan tulis. “Weh, ini papan tulis jangan ada yang nyentuh ya! Udah susah payah gue bersihin kalo ada ceplakan tangan lagi awas aja!”

“Ayo, Gi,” ajak Alwan. Kemudian keduanya berjalan menuju ruang TU.

Sesampainya di sana, rupanya ada dua orang kakak kelas yang sangat Gia kenali. Yang satu dengan tampang ramah nan manis, satunya lagi dengan tinggi menjulang yang membuatnya terlihat dari mana pun.

“Kak Dhimaaas!” sapa Gia riang seraya melambaikan tangannya. “Halo, Kak Haris!” sapa Gia tak melupakan Haris.

“Wehh, Giaa! Ngapain?” tanya Dhimas. Berbeda dengan Dhimas, Haris hanya mengangguk singkat kemudian memalingkan wajah. Menonjolkan sisi wajahnya yang sempurna bagi Gia. Rahang tirusnya itu sesekali menajam lantaran ulah pemiliknya.

“Ini, Kak, mau minta semprotan kaca. Yang di kelas abis soalnya,” jawab Gia.

“Ohh, ini ketua kelas kamu?” tanya Dhimas

“Iya, Kak. Saya Alwan, Gia nggak berani minta sendiri katanya,” sahut Alwan.

“Alwan ih,” sebal Gia. Sementara Alwan dan Dhimas hanya tertawa. Haris? Entah mengapa pemuda itu terlihat tak berminat bergabung dalam obrolan.

“Kak Dhimas mau ngapain?” tanya Gia.

“Mau minta isi spidol. Kalo nggak diisi nanti gurunya baper, sangkain kitanya nggak mau belajar,” jawab Dhimas.

“Oh? Emang gitu, Kak? Spidol kelas kita udah diisi, Wan?”

“Masi penuh lah, Gi. Orang baru semua,” sahut Alwan. “Ini di dalem ngantri apa gimana, Kak?”

“Iya ngantri, Wan. Makanya saya nunggu di luar. Nanti bareng aja masuknya,” ucap Dhimas.

Tepat saat pemuda itu selesai bicara, murid lain yang berada dalam ruang TU pun keluar. Maka Dhimas segera mengajak Alwan untuk masuk. Sesuai kesepakatan, Gia menunggu di luar. Gadis itu mengira akan menunggu sendirian, namun ternyata, Haris ikut menunggu di luar bersamanya.

“Lah kirain Kak Haris juga mau masuk,” ucap Gia. Namun, lagi-lagi pemuda itu tak menjawab. Ia hanya menggeleng tanpa mengeluarkan suaranya.

Gia mengangkat alisnya bingung, setelahnya berucap dalam hati. Ah, mungkin Kak Haris lagi badmood.

Mengetahui lawan bicaranya sepertinya tak berminat bicara padanya, Gia memilih diam. Gadis itu menatap pada sepatu hitamnya yang ia gunakan untuk memainkan sehelai daun kuning yang jatuh ke lantai.

“Gia,” panggilnya tiba-tiba. Membuat Gia berjengit kaget.

“Iya, Kak?”

“Idungnya kotor.”

“Hah?”

“Idung kamu kotor.”

“Hah? Serius, Kak?? Ihhh Alwan kenapa nggak ngasih tau sihhhh sebel deh ah!” Gia bermonolog seraya mengusap-usap hidungnya sendiri. Berusaha menghilangkan kotoran di sana meski ia tidak tahu letak persis noda hitam yang mengotori hidungnya.

“Makasih banyak, ya, Kakk. Malu deh, tadi saya abis bersihin jendelaa. Kayaknya kena debu dari sana,” ucap Gia yang tanpa sadar memberi terlalu banyak informasi untuk Haris ketahui.

“Nggak peduli,” sahut Haris. Setelahnya pria itu berlalu bersama dengan Dhimas yang telah selesai dengan urusannya. Meninggalkan Gia yang menatapnya nanar sekaligus penuh tanya.

“Gi, ayo balik,” ajak Alwan. Gia mengangguk. Perjalanan kembali ke kelas menjadi berbeda dengan sebelumnya yang penuh celoteh rewel Gia. Gadis itu kini lebih banyak diam dan terlihat tidak bersemangat bahkan untuk melanjutkan pekerjaannya.

Hari Jumat, seperti biasa di sekolah seorang Anggia Kalila, menjadi hari kebersihan dalam minggu pertama sekolah. Jam pembelajaran dikurangi dan diganti dengan kegiatan kerja bakti membersihkan kelas.

Alwan sebagai ketua kelas memandu seluruh anggotanya untuk meminggirkan meja-meja terlebih dulu agar lebih leluasa menyapu dan mengepel lantai.

“Geser dulu yooook! Geser yoooook! Eh jangan digeser deng! Nanti ubinnya lecet, angkat yoook! Angkat yoook!” ucap Alwan.

“Yang bawa kanebo siapaa ajaa?” tanya Alwan.

“Giaaaa!” jawab Gia seraya mengangkat kanebonya tinggi-tinggi.

“Siapa lageee?” tanya Alwan.

“Jara bawa, Wann!” balas Zahra. Diikuti dengan teman-temannya yang lain yang juga membawa kanebo.

“Ya udah yang bawa kanebo bersihin jendela yak!” titah Alwan.

“Udah segini doang, kan Ris?” tanya Gina.

“Iya, udah,” jawab Haris.

“Kata lo ada satu lagi yang daftarnya ke lo?” tanya Gina lagi.

“Nggak, nggak ada,” balas Haris jutek.

“Dih? Bukannya kata lo Gia daftar ke lo?” ucap Dhimas.

“Tuhh kann ada. Siapa namanya Dhim lo tau nggak?” tanya Gina.

“Anggia. Gue nggak tau nama panjangnya tapi, Gin,” jawab Dhimas. “Parah lo, Ris. Gia dilupain.”

“Anggia kelas berapa, Dhim?”

“IPA 2,” balas Dhimas. “Kalo nggak salah namanya Anggia Kalila, deh, Gin.”

“Okee, makasih Dhim. Haris nih, kebiasaan. Pasti lo lupa kan?! Kasian kalo dia nggak kecatet gimana coba? Nanti dia dateng ke sini bingung,” ucap Gina.

“Auk, ah! Salah dia sendiri nggak bilang lo,” balas Haris. Setelahnya pemuda itu pergi meninggalkan Dhimas dan Gina yang saling pandang.

“Cabut, Gi. Thank you udah bantuin gue rekap data futsal juga!” ucap Dhimas yang hanya mendapat anggukan dari Gina.


“Okee, halo semuanya! Selamat datang dan selamat bergabung di ekskul basket yaa! Ini kita pake gue-lo aja ya biar lebih santai,” ucap Gina. “Kenalin, gue Gina XI MIPA 2, sebelah gue nih ada— siapa nih kenalin diri dong!”

Haris yang merasakan senggolan pelan Gina kemudian tersadar dari lamunannya. Dengan segera pemuda itu memperkenalkan diri. “Haris, IPA 1.”

“Nah, kita berdua hari ini gantiin ketuanya sementara. Sebenernya ketuanya namanya Kak Vio, cuma lagi sibuk banget OSIS jadi hari ini nggak bisa ikut kumpul. Nggak pa-pa yaa? Tapi kalo latihan dia pasti ada, kok!” jelas Gina.

“Sekarang gantian kalian yang perkenalan yaa. Sebutin nama, kelas, dan alasan milih ekskul basket,” ucap Gina lagi. “mulai dari sana, ya!”

Sesuai yang dikatakan Gina, semuanya melakukan perkenalan secara bergilir. Anggia, diam di tempatnya santai karena ia duduk di paling ujung sehingga menjadi giliran paling akhir. Gadis itu sibuk memperhatikan Haris yang entah mengapa, memiliki tatapan dan sikap yang berbeda dengan yang ia temui pada jam istirahat tadi.

Kak Haris tuh emang suka berubah gitu ya kalo lagi acara-acara begini? Emang image-nya galak kali ya? Dari tadi sinis banget takut..

“Anggia,” lagi-lagi suara berat yang sama menyadarkan Gua dari lamunannya.

“Ah, iya, Kak?”

“Kenalan,” balas Haris singkat.

Kemudian dengan detak jantung yang masih berdegup cepat karena keterkejutannya, Gia berdiri. Gadis itu menyelipkan rambutnya ke belakang telinga sebelum memulai perkenalannya.

“Ha-halo, semuanya. Saya Anggia Kalila Maheswari dari kelas X MIPA 2. Alasan saya memilih ekskul basket adalah karena dari kecil suka main basket, Kak. SMP juga sempet basket, jadi.. mau nerusin lagi,” tutur Gia.

“Ohh, keren yaa! Okee, terima kasih Gia perkenalannya,” balas Gina.

Gia menunduk singkat dengan senyuman kecil di wajahnya, kemudian kembali duduk. Setelahnya gadis itu memilih menunduk dan sebisa mungkin menghindari tatapan tajam Haris yang sesekali mengarah padanya.

“Giii, belakang udah disapu?” tanya Alwan. Pria yang menjabat sebagai ketua kelas itu terpaksa pulang paling akhir setiap harinya karena harus memastikan apakah kelas ditinggal dengan keadaan bersih atau tidak. Beruntung, hari ini adalah jadwal piket Gia yang memang rajin. Jadi Alwan mempunyai teman untuk berbincang meski harus pulang paling akhir.

“Udah, Wan. Kolong-kolongnya juga udah. Mau dipel sekalian?” tanya Gia.

“Nggak usah, Gi. Kita ngepelnya Jumat aja, soalnya waktu bersih-bersihnya lebih panjang. Udah nih gue tinggal buang sampah doang, lo tolong matiin kipas sama lampu ya, Gi!” tutur Alwan.

Gia hanya mengangguk menjawab Alwan. Kemudian dengan segera mematikan lampu dan berniat mematikan kipas angin. Entah penghinaan atau bagaimana, yang jelas Gia terlalu pendek untuk menggapai tali kipas angin dinding yang biasa digunakan untuk mematikan kipas itu.

Gadis itu berniat menaiki meja, namun semua meja di kelasnya itu sudah menjadi tempat kursi-kursi dinaikkan. Gia menghela napas lelah. Pundak kanannya sudah sakit lantaran memaksa menggapai tinggi kipas angin. Tak lama kemudian, terdengar suara tertawaan dari arah kirinya.

“Giaa, kalo nggak nyampe biarin aja sih, Gi. Nanti aku yang matiin,” ucap Alwan yang baru saja kembali. Ia meletakkan kembali tempat sampah pada tempat yang seharusnya sebelum membantu Gia.

“Asli, Wan, aku pikir aku nyampe. Ternyata enggak..”

Pemuda itu tergelak, “Minum susu yang banyak, Gi.”

Gia berdecak sebal pada pria bongsor di hadapannya. “Udah ayo buruan! Udah selesai, kan?”

“Iyaaa udah,” jawab Alwan.

“Bangku aku belom dinaikin, ya Allah. Lupa,” ucap Gia.

“Udah biarin, nanti gue yang naikin ke meja. Lo ambil tas aja, tolong tas gue juga,” balas Alwan.

“Ih baiknyaaa, terima kasih Alwaan!”

Tak lama kemudian Alwan mengunci pintu kelas yang sudah rapi. Hasil kerja kerasnya bersama Gia, satu-satunya orang yang bertanggung jawab selain dirinya. Teman-temannya yang lain? Kabur. Biar saja, Alwan akan melaporkannya pada wali kelas esok hari.

Alwan dan Gia kini berjalan beriringan turun ke bawah. Keduanya berjalan perlahan sembari bertukar obrolan ringan guna mengisi kekosongan.

“Lo jadinya ekskul apa, Gi? Hari ini lagi pada kumpul ekskul semua kayaknya deh, rame banget gue liat di bawah,” tutur Alwan.

“Aku basket, kamu apa?”

“Taekwondo. Tadinya gue mau ambil basket juga tapi nggak jadi,” balas Alwan. “Kalo tau lo mau basket, gue basket juga deh, Gi.”

“Loh, kenapa nggak jadi?” tanya Gia.

“Gue tuh nggak bisa basket, Gi. Tapi sebenernya pengen coba gituuu, tapi di kelas kita nggak ada temennya. Soalnya gue tanyain satu-satu, anak cowok rata-rata maunya futsal. Ya udah gue nggak jadi basket. Eh, nggak taunya ada elo.”

“Yaah, Alwaan. Harusnya kita satu ekskul tuhh, enak bisa barengan,” balas Gia. “Daftar aja kalo nggak, Wann!”

Pemuda itu menggeleng, “Nggak ah, gue rencana mau daftar OSIS juga soalnya. Kalo kebanyakan ekskul nanti keteteran.”

“UWIDIH, keren banget!!”

“Lo nggak mau OSIS, Gi?”

“Enggak, ah. Bukan keahlian aku deh kayaknya organisasi begitu,” balas Gia.

Keduanya terus berbincang dengan langkah yang kian lama justru semakin melambat. Tanpa keduanya sadari, sepasang mata memusatkan atensi pada keduanya. Dan meski pemilik sepasang netra itu enggan mengakui, dalam hatinya tergores setitik rasa kecewa yang membuatnya langsung memalingkan wajah.

Gia melangkahkan kakinya ke ruang wakil kepala sekolah sebagaimana yang diberitahukan oleh Alwan dan Haris kemarin. Karena dirinya yang absen pada hari ketiga masa orientasi, terpaksa ia harus mengumpulkan surat sakit hasil merayu mama semalaman.

“Assalamu'alaikum, Ibu, permisi, saya Anggia,” ucapnya sopan.

“Wa'alaikumussalam, Nak, ada apa?”

“Ini, Bu, saya kemarin nggak masuk. Jadi saya mau mengumpulkan data dan surat sakit,” jawab Gia.

“Oh, iya. Sini. Udah lengkap semua nih datanya? Kamu kelas berapa, Nak?”

“Sudah, Bu. Saya kelas X MIPA 2,” jawab Gia lagi.

“Ya sudah, terima kasih yaa. Boleh kembali ke kelas.”

Setelahnya Gia mengucapkan terima kasih pada guru yang berada di sana seraya berpamitan dengan sopan. Namun, ketika ia ingin kembali melangkah, dirinya kembali dipanggil.

“Nak, boleh minta tolong?”

“Iya, Bu?”

“Ini kartu pelajarnya Haris XI MIPA 1, boleh tolong kembalikan ke kelasnya? Tadi Ibu pinjam buat jaminan pinjam proyektor tapi Ibu lupa kembalikan. Proyektornya udah balik kartu pelajar ya belum, tolong ya, Nak? Takutnya dia lupa nanti malah hilang.”

Gia masih diam di tempatnya. Haris XI MIPA 1? Kak Haris?

“Nak? Tau kan ya?”

Gelagapan, Gia buru-buru mengambil kartu pelajar itu. “Iya, Bu. Tau kok, saya permisi, assalamu'alaikum,” ucapnya.

“Iya, terima kasih ya, Nak. Wa'alaikumussalam!”


“JARA! JARA JARA JARA TOLONGIN DONG!!!”

Setelah berhasil keluar dari ruang wakil kepala sekolah, Gia kira dirinya bisa bernapas lega lantaran tidak dicurigai mengenai alasan ketidakhadirannya. Memang betul, Gia melihat tumpukan map berisi berkas yang sama dengan yang dirinya bawa berserakan di mana-mana. Sebab itulah Gia lolos dari interogasi maut.

Namun, sebagai gantinya, ia justru harus mengembalikan kartu pelajar seorang Muhammad Haris. Seseorang yang justru sedang ingin ia hindari akibat keteledorannya salah mengirim pesan kemarin.

“Kenapa sih, Gi?” tanya Zahra.

“Liat!” ucap Gia. Gadis itu menyodorkan sebuah kartu pelajar tepat di wajah teman sebangkunya yang sedang asyik mengeksekusi nugget beserta telor dadar yang dibawakan ibunya.

Zahra melotot, sendok dan garpunya seketika dihempas begitu saja. “KOK BISA ADA DI KAMU? Bukannya dari ruang Wakasek?”

“Iyaa! Ini dititipin sama guru di sana gitu, Jarr. Katanya tadi gurunya minjem buat jaminan pinjem proyektoooorrr, terus belom diambil lagi sama Kak Haris makanya ini disuruh balikinn,” balas Gia.

“Waaaah, gila. Sumpah, Gi, kamu jodoh apa gimana ya sama Kak Haris?” iseng Zahra.

“JARA IH! yang bener ah, gimana dong ini?”

“Ya, tinggal kasih aja emang kenapa?” tanya Zahra.

Gia menghela napas seraya menutup wajahnya. Kemudian sembari menatap lipatan di roknya, Gia berbicara dengan suara pelan. “Jar, kamu nggak tau ya? Kemaren aku salah kirim.. harusnya aku kirim ke kamu tapi malah kirim ke Kak Haris..”

Lagi, Zahra melotot. Pada akhirnya gadis itu memilih menutup kotak bekalnya dan menyimak ucapan Gia. Menagih gadis itu bercerita lebih dalam. “Kamu ngirim apaa?”

“Aku bilang.. gimana rasanya pacaran sama Kak Haris.. ADUHHH GITU DEH, MALU AH!”

“DEMI APA GIIII? HAHAHAHAHAHAHA— eh, enggak. Maaf, maaf. ADUH TAPI NGAKAK TAPI NGGAK BOLEH NGETAWAIN!” Zahra tertawa puas, namun turut kasihan. Sedikit.

“Terus gimana dong, Jaaar?” rengek Gia.

“Ya udah ayo, aku temenin!” ucap Zahra.

“Serius? Kok kamu berani?”

“Berani, lah! Enggak deng, boong. Minta temenin Kani aja, dia IPA 2, sebelahnya Kak Haris kelasnya. Ayo buruann, keburu masuk! Tapi nanti tetep kamu loh yang ngasih, jangan aku!” celoteh Zahra.

“Bawel, ih!”


“KANI!” panggil Zahra pada seorang gadis bertubuh semampai dengan rambut dikuncir kuda yang tengah mengobrol bertiga dengan teman-temannya. Sementara Gia membuntutinya dari belakang dengan pandangan yang sedikit menunduk, segan lantaran melewati koridor kakak kelas.

Gadis yang dipanggil Zahra itu menoleh mendengar teriakannya, setelahnya perempuan itu mengangkat sebelah alisnya bingung.

“Ngapain nih Jara-Joro ke sini-sini? Tumben?”

“Mau minta tolong, Kaaak,” balas Zahra.

“Minta tolong apaan buset, biasanya juga di-chat kenapa rajin banget sampe sini-sini? Ini rambut berantakan banget mulut belepotan abis ngapain sihhh? ya Allahh! Sini sini benerin dulu kuncirannya!”

“Hehe, abis makan. Ini temenku, Kak. Namanya Gia, kenalan dong Gi! Kani, ini Gia, Gia ini Kak Aghni tapi panggil aja Kani,” ucap Zahra yang kini menyerahkan diri pada Aghniya, membiarkan gadis yang lebih tua itu merapikan kuncirannya agar terlihat lebih pantas sebagai anak sekolah.

“Haloo, Giaa! Aku Aghni, kalo mau panggil Kani kayak Zahra juga boleh, salam kenal yaa!”

“Iya, Kak, salam kenal,” ucap Gia.

“Gia inget aku nggak?”

“IDIH, AKU AKU! GELI BANGET LO JAN!”

“Inget, Kak. Kak Ojan, kan?” balas Gia sambil tersenyum kecil.

“Benuuuuul! YHA MAMPUS LO SHA, temen gue nih temen guaaa!” ucap Ojan bangga.

“Ini Ayesha, Gia, tapi biasanya dipanggil Jamet,” ucap Aghniya memperkenalkan Ayesha.

“Gue tabok lo, Met! Boong Gia, panggil Ayesha boleh, tapi jangan Ais ya. Geli,” ucap Ayesha.

“Iya, Kak, salam kenal,” ucap Gia lagi.

“Mau minta tolong apaa, Jara?” tanya Aghniya lagi.

“Oh iya, lupa. Ituu, Kak. Gia disuruh balikin kartu pelajarnya Kak Haris,” jawab Zahra. Gadis itu kini sudah berdiri di samping Gia dengan rambut yang lebih rapi.

“Ohh? Ini temennya, titipin aja,” balas Aghniya.

“Iya si—”

“Kasih aja, Gi. Harisnya di dalem tuh,” Ojan memotong ucapan Ayesha. Pemuda itu kemudian memandang Ayesha dengan senyum tertahan, membuat gadis itu menyadari maksud Ojan.

“Nggak pa-pa, Kak?”

“Nggak pa-paa, emang kenapa? Haris nggak gigit, kok, tenang aja. Lagi ada Dhimas di dalem, atau mau saya panggilin aja Harisnya?” tanya Ojan.

“Hah? E—”

“Panggilin aja, deh. Bentar yaa!” ucap Ojan. Kemudian pria itu bergegas menuju kelasnya, sesampainya di depan pintu ia langsung berteriak.

“HAREEES ADA YANG NYAREEN!”

“SAPAAA? TADULU GUE LG NGEBUT FISIKA ANJING SATU NOMER LAGI!” balas Haris tak kalah kencang. Membuat Gia bisa mendengar suara bariton itu dari luar ruangan.

“Lah? Beloman lu, Cuy?” tanya Ojan.

“Belom anjay, kok lo udah sih?”

“Wahahahaha, makanya lo kalo Fisika tuh mepet Damar!”

“Ah kentutt! Siapa tadi yang geser bangku guaaa? Teritori teritori, umur lu gue kasi teritori!”

Entah suara kedua lelaki itu yang terlalu besar, atau memang Gia berdiri terlalu dekat dari kelas Haris sehingga ia bisa mendengar jelas interaksi kedua kakak kelasnya itu.

“Eh, Gia?” ucap Dhimas tiba-tiba. Membuat Gia yang berdiri di dekat pintu terkejut bukan main.

“Eh, Kak Dhimas,” balas Gia seraya berusaha memberikan senyum terbaiknya meski gemetar sampai kaki.

“Mau ketemu siapa, Gi?”

“I-itu, Kak—”

“OIYA ANJING GIA! LUPAA GIII, MAAF YAAAA! Ris, lo dicariin Gia begooo! Gara-gara lo nih ah gue jadi lupa!” seru Ojan.

“Ngapain?” tanya Haris, masih sambil menulis kilat.

“Itu mau— nggak tau, tuh. Samperin dulu coba,” ucap Ojan yang kemudian meminta minum Damar.

“Bego kenapa nggak bilang dari tadi sih?” tanya Haris. Setelahnya pria itu mendongak, mendapati Gia yang berdiri di ambang pintu bersama Dhimas.

“Gi, sebentar, ya? Dikit lagi beneran,” ucap Haris. Gia hanya mengangguk kaku.

Setelah menunggu beberapa saat, pada akhirnya Haris selesai juga dengan pekerjaannya. Pria itu kemudian bangkit, membuatnya terlihat semakin gagah karena tingginya yang menjulang.

“Kenapa, Gi?” tanyanya.

“Hah? I-ini, Kaak. Tadi saya disuruh kasih ini ke Kak Haris,” ucap Gia.

“Apaan nih?”

“Kartu pelajarnya Kak Haris,” balas Gia.

“Oohh, iyaa. Kok bisa di kamu?”

“Tadi saya dari ruang wakil, Kak. Ngumpulin berkas, terus dititipin ini. Katanya Ibunya takut ilang kalo nggak dibalikin,” balas Gia.

“Oooh, iya. Makasih ya, Gia. Aturan kamu chat saya aja, biar saya yang ke kelas kamu,” ucap Haris.

“Hah? Ngg, nggak pa-pa, Kak. Kan saya yang disuruh balikin, bukan Kak Haris yang disuruh ambil ke saya, hehe.”

Sudut bibir Haris sedikit terangkat mendengar penuturan gadis yang terlihat kecil di hadapannya. “Ya udah, makasih sekali lagi ya, Giaa!”

“Iyaa, Kak. Sama-sama sekali lagi juga. Saya ke kelas ya, Kakk? Maaf ganggu waktunya,” balas Gia.

“Iyaa. Eh, Gi!”

“Iya, Kak?”

“Nanti pulang sekolah ketemu lagi ya?”

“Maksudnya, Kak?”

“Basket, kan? Hari ini pertemuan pertama. Dateng ya!”

“Ohh, iya, Kak. Makasih informasinya, permisi, Kak,” ucap Gia. Setelahnya gadis itu kembali menuju Zahra yang bergerombol dengan Ayesha dan Aghniya sejak tadi. Dengan tergesa Gia berpamitan pada kedua kakak kelasnya itu dan mengamit lengan Zahra kencang seraya menyeratnya kembali ke kelas. Entahlah, Gia merasa seperti es krim yang dibiarkan terlalu lama di bawah sinar matahari setelah berbincang dengan Haris dari dekat.

Tanpa gadis itu ketahui, Haris masih berdiri di ambang pintu kelasnya. Pandangannya tak luput dari seorang Anggia yang tiba-tiba berlari menaiki tangga. Telinganya pun tak lengah menangkap jeritan panik gadis itu pada temannya.

“Perasaan Gia-nya udah ilang. Senengnya masih di hati ya, Ris?” ejek Dhimas.

“Astaghfirullah!” ucap Haris terkejut.

Dhimas hanya terkekeh geli melihat sahabatnya itu, “Makan tuh nggak demen!”

“Dam gue pernah nari di sini tau waktu SD. Waktu kelas satu,” ujar Aghniya tiba-tiba. Gadis itu bercerita dengan tatapan yang bahkan tidak melihat pada Damar seraya asik menghabiskan es krim miliknya yang perlahan mulai mencair.

“Masa? Nari apa?”

“Semut,” jawab Aghniya.

“Hah? Nari semut?”

“Iya. Terus pake kostum semut gitu kocak dah,” balas Aghniya.

“Lah iya? Hahahaha, eh gue juga pernah deng nari di sini,” Damar menimpali.

“MASA? Nari apaaa?”

“Jaranan, tau nggak?”

“Tauu, yang pake kuda lumping kan?” balas Aghniya.

“Iyaa, terus gue bawa-bawa pecut gitu. Lagaknya doang bawa pecut, narinya pada lemes emang dasar bocah,” ucap Damar yang kemudian mengundang tawa Aghniya.

“Masih ada fotonya tuh fotonya sampe sekarang. Dicetak gitu kan ngakak banget. Didandaninnya tuh kayak Gatot Kaca gitu, Agh. Dipakein bedak tebel banget, sampe putih gitu terus digambar kumis,” cerita Damar.

“Iya? HAHAHAHA ih lucu banget donggg!”

“Lo masih ada nggak foto lo pake baju semut?” tanya Damar.

“Adaaaaaaa, disimpen di laptop Papa. Sumpah narinya sampe tidur-tiduran, Dam. Tapi gue masih inget sampe sekarang gerakannya kayak gimana soalnya seru banget waktu itu latihannya.”

“Masa? Ngapain tidur-tiduran?”

“Ya emang gerakannya begituuuuu! Musiknya juga lucu banget sebenernya, ada tining tining gitu sumpah!”

“Hahahaha apaan tining tiningg?”

“Aaada, Daam! Musiknya bunyinya tining tining!”

“Iyaaaa iyaaa, percaya percaya,” balas Damar. Sementara gadis itu hanya tertawa membalas ucapannya.

“Lo kok suka matcha sih, Dam?” tanya Aghniya. “Beli es krim rasanya itu, beli es di sekolah rasanya itu juga.”

“Enak,” jawab Damar.

“Lo nggak suka emang?” tanya Damar.

“Enggakk. Udah pernah coba tapi nggak doyan,” jawab Aghniya.

“Dih, padahal banyak banget yang suka.”

“Iya tapi pasti yang nggak suka kan bukan cuma guee,” balas Aghniya.

“Iya sih. Atau jangan-jangan lo kayak ini ya? Apa tuh namanya, cewek yang kalo mau beda sendiri dari yang lain? Yang nggak mau ngikutin tren.”

Pick me girl?

“Oh namanya pick me girl? Kirain pick up hahaha,” balas Damar.

“Yeee, mobill kali ah pick up.”

“Enggak lah, amit-amit. Nggak boleh gitu nggak sih, Daaam?” ucap Aghniya.

“Kenapa nggak boleh gitu?”

“Iyaa gue pernah nonton video gitu, kita tuh nggak boleh kayak mau beda dari perempuan kebanyakan. Soalnya bisa lead to misogynist gitu. Sebenernya sih awalnya pasti banyak perempuan yang tanpa sadar pernah kayak gitu, gue juga pernahh. Tapi makin gede kayak mikir gitu, 'ngapain sih?' gitu.” Aghniya itu mulai berceloteh.

“Lagian kalo dipikir-pikir iya juga, emang kenapa kalo samaan sama perempuan yang lain? Aib? Kan enggak juga,” lanjutnya.

“Bener sih. Kadang annoying juga kalo ngeliat orang kayak gitu sebenernya,” balas Damar.

“Betul, betul. Bukan kadang lagi tapi emang annoying nggak sih, Dam?”

“Iya deng, hahaha. Ada tuh temen kakak sepupu gue satu kayak gitu. Dia tiap cerita sama gue berkobar banget emosinya, sebel katanya,” balas Damar.

“Lagian harusnya sesama perempuan tuh saling dukung nggak sih? Bukannya saling berkompetisi buat jadi one of a kind?” ujar Aghniya.

Damar lagi-lagi terdiam di tempatnya. Memilih bicara dalam hatinya sendiri. Memikirkan apa yang ada di dalam pikiran gadis di hadapannya. Apa yang orang tuanya tanamkan dalam dirinya hingga seorang Aghniya tumbuh menjadi seseorang yang begitu menawan. Parasnya, hatinya.

You're one of a kind,” ucap Damar tanpa sadar.

“Hah? Kenapa, Dam?”

“Enggak, azan. Salat dulu ya baru pulang? Lo salat?” tanya Damar.

“Ohh, boleh. Enggak gue lagi nggak salat, baru aja semalem dapet,” jawab Aghniya.

“Ya udah, cari musala ya?”

“Iya. Bentar, Dam,” ujar Aghniya.

Damar memandangi Aghniya yang tengah sibuk mencari sesuatu. “Nyari apa?”

“Karet gue, ilang deh kayaknya. Tadi pas berangkat rambut gue dikuncir, pas sampe sini gue lepas terus karetnya gue jadiin gelang. Tapi kayaknya ilang, nggak tau ilang di mana tapi,” balas Aghniya. “Biarin deh, yuk cari musala.”

“Nih,” ujar Damar seraya menyerahkan karet rambut pada Aghniya.

“Hm? Lah, karet siapa, Dam?”

“Gue bawa.”

“Kok?”

“Gue tau hari ini jalannya jauh, jadi tadi gue minta karet sama Ibu, siapa tau lo butuh,” balas Damar. “Nih, pake aja. Ibu punya banyak banget di rumah, tenang aja.”

Sembari menahan senyum, gadis itu menerima karet rambut yang Damar berikan. Sekon berikutnya, rambut panjangnya sudah kembali terikat rapi dengan model ikat satu. Menyisakan anak rambutnya yang lebat di pelipisnya.

“Udah, yuk!” Ajak Aghniya. Damar mengangguk kemudian berdiri dan bergegas untuk mencari musala.

Setelah lelah berkeliling menggunakan sepeda yang mereka sewa bersama, keduanya kini memilih mampir di sebuah minimarket untuk membeli es krim. Tentu saja lagi-lagi Aghniya berperan sebagai pencetus ide.

Damar memerhatikan gadis di sebelahnya yang hanya diam dengan tangannya yang menggantung di udara, tidak bergerak mengambil es krim, tidak juga diturunkan kembali.

“Kenapa, Agh?”

“Stoberi apa cokelat ya, Dam?”

Damar mengernyit sesaat, kemudian menutup bibirnya dengan buku jari, menahan tawanya. “Dari tadi tuh bingung mau rasa apa?”

“Iya. Selalu gitu deh, kenapa sih gue nggak bisa memutuskan sesuatu. Padahal cuma es krim doang tapi ribet banget,” jawabnya.

Go with strawberry, i'll go with chocolate. Nanti kalo ternyata lo mau cokelat, tuker aja,” balas Damar.

Aghniya tertegun di tempatnya. Untuk kesekian kali, gadis itu terharu. Berkaca pada pengalamannya di masa lalu bersama Revan, sangat jauh berbeda dengan hari-harinya bersama Damar.

Sudut bibir gadis itu melengkung membentuk sebuah senyuman, “I'll go with strawberry, tapi Damar nggak boleh cokelat kalo nggak mau. I made up my mind, maunya stroberi.”

“Beneran?”

“Benerrrr, stawberry goes well with sunny day.

“Oke kalo gitu,” jawab Damar.

Setelah memilih es krim untuk diri masing-masing, keduanya mengantre untuk membayar. Damar memperhatikan orang di depannya sekaligus bersiap membayar karena setelah ini adalah gilirannya. Ketika orang di hadapannya hampir selesai, Damar berbisik pada Aghniya.

“Aghni,” panggilnya.

“Ya?”

“Boleh minta tolong nggak? Tolong ambilin air putih dingin dong, tadi lupa mau beli,” ujar Damar.

“Oh, oke. Merek-nya apa aja?”

“Iya apa aja, sini es krim lo. Bentar lagi kita,” ucap Damar. Aghniya memberikan es krim miliknya pada Damar kemudian bergegas menuju deretan kulkas minimarket untuk mengambilkan air mineral untuk Damar.

Namun, ketika gadis itu kembali, rupanya Damar telah selesai membayar. Gadis itu menatap Damar yang sedang terkekeh di ambang pintu minimarket dengan tatapan tak percaya.

It's on me,” ucap Damar. Lalu pria itu menunjuk air mineral yang Aghniya pegang, kemudian menunjuk ke arah kasir. Sebagai isyarat bahwa gadis itu tetap perlu membayarnya. Kemudian Damar melangkah keluar, mendudukkan dirinya di sebuah kursi kosong yang disediakan minimarket itu.

Setelah membayar air mineral yang diminta Damar, gadis itu keluar dengan tampang cemberut sekaligus menahan senyum. Menghampiri Damar yang cengengesan.

“Nih!” ucap Aghniya sebal seraya menyodorkan sebuah botol air mineral ke hadapan Damar.

“Kok ngambek?” tanya Damar. “Orang dibeliin es krim masa ngambek?”

“Curang,” ucap Aghniya lagi, masih dengan bibir yang mengerucut. Mengundang tawa Damar lebih keras lagi.

“Kok curang? Ini kan kita barter tauuuu. Lo beliin gue air kan ini, nah gue beliin lo es krim,” balas Damar.

“Ih—”

“Sst. Ni mam, nih. Nanti keburu cair,” potong Damar. Gadis itu hanya diam, mengerucutkan bibirnya sebal namun sesekali sebuah senyuman lolos dari pertahanannya.

“Mau nggak? Nggak mau? Ya udah kalo nggak mau buat gue semua nih,” ucap Damar.

“Okeee nggak mauu, buat gue semuaa, asikk!” Damar kembali bicara karena tak kunjung mendapat jawaban dari Aghniya.

“Ih, mau. Siniin dong punya gue,” Aghniya pada akhirnya buka suara.

“Nggak. Tadi katanya nggak mau?” balas Damar.

“Nggak bilang nggak mau?”

“Ditawarin diem aja berarti kan nggak mau,” jawab Damar lagi.

“Ih, mauuu. Siniii!”

No, no, no.” Damar menggelengkan kepalanya seakan-akan bicara pada seorang bocah umur lima tahun.

“Dih? Nyebelin banget,” ucap Aghniya.

“Damar!”

“Ganteng,” jawab Damar iseng.

“Enggak, dih.”

“Nggak salah lagi?” ejek Damar.

“Aaaaaa malesinnnnnnnnn!”

Damar tertawa penuh kemenangan. “Minta dulu yang bener,” ucap Damar.

Gadis itu diam sejenak. Lalu meletakkan telapak tangan kanannya di atas tangan kirinya sendiri.

Nyuwunnn,” ucap Aghniya. “Nyuwun, Mas,” ucap gadis itu lagi. Kali ini dengan suara yang lembut.

Sopan memasuki telinga, tidak sopan bagi hati Damar. Mendadak Damar terdiam kaku. Pemuda itu lupa keduanya sama-sama berlatar belakang keluarga Jawa. Sejak kecil, anak-anak yang berasal dari keluarga Jawa pasti diajarkan untuk melakukan nyuwun ketika ingin meminta sesuatu. Damar salah satunya, seringkali ia mendengar suara sang ibu berkata 'Mana nyuwun-nya?' ketika kecil. Damar yakin Aghniya pun diajarkan hal yang sama. Namun, hal yang begitu manis seperti ini sudah lama tak ia lakukan. Damar bahkan sudah mulai lupa akan kosakata itu, namun gadis di hadapannya ini mengingatnya dengan jelas.

Pula, hal yang begitu manis seperti ini, sama sekali tak bisa ditoleransi. Damar sama sekali tak punya persiapan untuk ini.

Menyerah, akhirnya Damar memberikan es krim stroberi yang berada di tangannya pada pemiliknya.

“YESSSS, thank youu!

Setelahnya Damar tak bersuara. Pemuda itu menghela napas berkali-kali. Berusaha mengumpulkan kekuatan baru untuk menghadapi seseorang yang tengah asik menyantap es krim stroberi di hadapannya.