Teh Hangat
Setelah berkutat dengan akun curhatnya, Aghniya kembali meletakkan kepalanya di atas meja dengan jaket Dhimas yang ia pinjam untuk menutupi wajahnya. Antisipasi agar wajah aibnya itu tidak masuk akun Instagram bodong milik kelasnya sendiri, tempat mengumbar video atau foto-foto dari kelakuan anak-anak di kelasnya selama tidak ada guru, atau ketika para guru sedang kecolongan.
Gadis itu memejamkan matanya, berusaha membuat dirinya tertidur dan berharap sakit perut bulanannya itu akan hilang atau paling tidak bisa mereda.
Sesekali Aghniya mengusap-usap kepalanya sendiri, seperti yang biasa ia lakukan ketika sedang butuh puk-puk. Menyemangati serta menguatkan diri sendiri adalah kegemarannya.
Gadis itu mengubah sedikit posisinya guna mendapatkan posisi yang lebih nyaman. Sesaat kemudian, seseorang menarik jaket milik Dhimas yang ia gunakan untuk menutupi wajahnya. Aghniya membuka matanya, siap dengan ekspresi garang yang ia punya. Terlebih jika sedang menjamu tamu bulanan, ekspresi garangnya itu semakin menjiwai.
“Dhimas ih—”
“Apa?” balas pemuda di depannya. Aghniya terperangah mendapati Damar di hadapannya. Pemuda itu berdiri dengan segelas teh hangat di tangan kanannya, sementara tangan kirinya dimasukkan ke dalam saku celana. Keren.
Gadis itu bahkan memikirkan bagaimana caranya Damar masih terlihat rapi mengenakan seragam meski hari sudah siang. Karena setahunya, teman-teman di kelasnya tak ada yang seperti itu. Jam segini, kelasnya didominasi wajah-wajah lelaki penuh keringat. Dasi sudah longgar, kerah terbuka menampakkan kaus dalaman yang didabel dengan baju seragam, sepatu ditanggalkan di mana-mana, menyisakan kaus kaki yang mengeluarkan bau tak sedap. Sumpek.
Namun Damar, pria itu masih bersinar. Bahkan wanginya tak sedikitpun meninggalkan tubuhnya. Biarpun berkeringat, Damar masih- luar biasa.
“Kenapa bengong?” tanya Damar, membawa gadis di hadapannya kembali pada realita. Kemudian ia duduk di bangku Dhimas yang masih kosong.
“Hah? Eng-enggak.”
“Katanya tadi nggak pa-pa? Kok pucet gitu mukanya?” tanya Damar lagi.
“Iyaa, udah biasaa. Emang begini, tapi nggak pa-pa, nanti juga sembuh sendiri kalo pulang sekolah.”
Damar menghela napasnya. Memilih mengakhiri perdebatan yang ia tahu tak akan ada ujungnya. “Ya udah, nih teh anget. Diminum yaa, siapa tau bisa bikin enakan,” ucapnya seraya menyodorkan teh hangat yang ia bawa ke hadapan Aghniya.
“Hah?”
Damar terkekeh melihat wajah bingung gadis di hadapannya, “Ini, diminum Aghniya.”
“Padahal udah bilang nggak usah, loh,” ucap Aghniya.
“Usaaah!”
Kini giliran gadis itu untuk tertawa, setelahnya ia mengambil teh hangat di mejanya kemudian meniup-niup teh itu sebelum meyeruput isinya. “Duh, enak banget ya Allah..” ucapnya seraya memejamkan mata. Merasakan kehangatan dari teh manis hangat yang kini menjalar ke tubuhnya.
Aghniya menoleh pada Damar di sebelahnya, “Terima kasih, yaa!”
Damar tersenyum kemudian mengangguk. Setelahnya ia berdiri. Dan sebelum benar-benar pergi, Damar menepuk-nepuk kepala Aghniya. “Abisin, ya! Gue ke kelas lagi, daah!”
Sementara gadis itu hanya membeku, kemudian berusaha tersenyum meski jantungnya berdegup kencang.
Sepeninggal Damar, Aghniya berniat kembali menyesap teh hangat di hadapannya. Namun, Salsa merebutnya dari tangannya.
Gadis itu menoleh cepat, setelahnya menghela napasnya. Jujur, hari ini Aghniya lemas. Tak ingin bertengkar dengan siapapun meski emosinya mudah meningkat. Perutnya masih sakit, dan ia tak ingin menanggapi Salsa saat ini.
“Aduh, ngapain sih, Sa?” tanya Aghniya.
Salsa tersenyum miring, “Enak ya? Enak kalo berhasil caper sama Damar pake tampang lo yang pura-pura polos itu? Sok baik! Lo merasa udah bisa dapetin Damar, gitu?”
“Iya deh, terserah lo mau ngomong apa. Gue capek, gue nggak pengen ribut hari ini. Lo kalo mau abisin itu teh juga nggak pa-pa asli, abisin aja,” balas Aghniya. Gadis itu masih setia bersandar di kursinya seraya memegangi perutnya.
“Oke, lo nggak pengen ribut?” tanya Salsa. Aghniya hanya diam, memilih tak menanggapi Salsa dan berharap ia akan segera pergi meninggalkannya sendiri.
“Tapi gue pengen sih, ups!”
Salsa dengan sengaja menumpahkan teh hangat itu hingga membasahi rok Aghniya. Membuat gadis itu terbelalak dan bangkit dari duduknya dengan segera. Gadis itu mengibaskan roknya, berusaha mengeringkan basahan teh yang mengenai paha kanannya.
“Saaaaa! Panas kali gila lo ya!?”
“Ya emang, makanya gue sengaja numpahin,” balas Salsa. “Nih, abisin ya. Itu yang di lantai juga abisin tuh, jangan bersisa!”
“Ah, satu lagi. Karena lo nggak menjauh dari Damar, hari ini bakal gue bikin Damar menjauh dari lo!” ucap Salsa lagi. Kemudian ia berlalu, kembali ke tempatnya seraya tertawa puas.
Namun, seseorang menarik tangan Salsa dengan keras, membuat gadis itu terhuyung ke belakang. “Demen amat sih nyari gara-gara?”
Dhimas masih menahan lengan Salsa dengan kuat membuat Salsa tak dapat melepaskannya meski sudah ia hempaskan sekuat tenaga. Dhimas menatap Salsa marah, sudah cukup gadis itu mengganggu Aghniya selama dirinya tak ada. Kali ini, Dhimas tak akan membiarkannya.
“Ngapain lo?” tanya Dhimas lagi.
“Apaan sih? Lepasin nggak!?”
“Gue tanya lo ngapain? Maksudnya apa numpahin teh ke temen gue gitu? Mau gue siram muka lo?” balas Dhimas.
“Orang nggak sengaja!”
“Pala lo nggak sengaja! Ngapain sih, Sa? Kenapa sih lo nggak udah-udah gangguin Aghni? Emang dia pernah ngapain lo sih?” ujar Dhimas kesal.
“Dhim, Dhim, udah udah. Biarin aja, terserah dia aja udah mau ngapain,” sela Aghniya.
“Ya nggak bisa gitu lah, enak aja! Lo kenapa diem aja sih? Tampar anjir! Lama-lama makin kurang ajar tau nggak ni orang? Nggak ada kapoknya! Dia udah ngatain orang tua lo, sekarang numpahin lo teh panas begini terus lo bilang biarin aja? Agh, yang bener aja!”
“Dhimas, gue tau. Tapi ya udah, capek. Terserah Salsa mau ngapain. Gue udah capek,” balas Aghniya. Ia bukannya tak ingin membalas. Aghniya sangat, sangat ingin membalas. Gadis itu bisa saja langsung menjambak surai Salsa kemudian membalasnya dengan menumpahkan teh yang sama ke seluruh badannya. Namun, hari ini ia sudah terlalu lelah. Orang semacam Salsa, justru akan semakin senang jika Aghniya menunjukkan emosinya.
“Udah, lepasin itu Salsanya. Nanti merah tangannya lo yang kena lagi. Temenin gue aja yuk, ke BK nyari rok,” ucapnya lagi.
“What the f—“
“Dhimaas,” panggil Aghniya lembut, memotong ucapan Dhimas. “We'll prepare on a better revenge next time,” sambungnya.
Pada akhirnya, Dhimas melepaskan cengkeramannya pada tangan Salsa dengan penuh kekesalan. “Pel tuh tempat duduk gue! Kalo sampe gue balik tempat duduk gue masih begini, muka lo gue obrak-abrik!” gertak Dhimas pada Salsa. Kemudian Aghniya dan Dhimas berlalu keluar kelas, meninggalkan Salsa yang mengumpat kesal di tempatnya.
Buruan dong lama banget lo jalan kayak nenek-nenek!
Sabar dong elah! Niat nggak sih lo nemenin gue? Protes mulu kayak kakek-kakek!
Elu lama!
Mules anjay! Ngomong lagi gue gampar lo!