Pergi
tw // death
Damar mengipasi dirinya sendiri yang basah dengan keringat sehabis bermain selama lima belas menit di lapangan sekolah. Pria itu kemudian meneguk habis air mineral di botol plastik, kemudian mengetuk-ngetukkan botolnya ke lapangan. Iseng. Sesekali pria itu tertawa melihat teman-temannya yang mendapat giliran bermain, ada yang tersandung, gagal menangkap bola dengan kakinya, bertabrakan satu sama lain, dan kekacauan lainnya di lapangan yang menimbulkan gelak tawa mereka yang menonton. Sesekali pula Damar bersorak ketika Dhimas berhasil membobol gawang kawannya yang berperan sebagai lawan hari itu.
Setelah beberapa lama, permainan usai. Mereka kembali berkumpul di pinggir lapangan. Ada yang meluruskan kaki, mengelap keringat dengan jersey-nya sendiri, ada yang menenggak minum temannya hingga habis kemudian mendapat toyoran penuh kasih sayang di kepala setelahnya, dan lain-lain.
Damar mengatur napasnya, menunggu teman-temannya yang masih menetralkan detak jantung. Wajah-wajah mereka masih merah. Kini sepatu futsal dilepas dan berserakan di mana-mana. Sebab melempar sepatu teman hingga terpental jauh merupakan bentuk keisengan favorit remaja.
“Eh, anying lah minum gue jangan diabisin bangkeee!”
“Yah tolol, ambil nggak sepatu gue?! Gue betot pala lo!”
Makian-makian mulai terdengar, Damar dan Dhimas hanya tertawa mendengarnya. Karena jika begitu, artinya waktu evaluasi akan segera tiba. Jika sudah begitu, tandanya mereka sudah berkumpul semua.
“Yok eval yok buruan yok!”
Pada akhirnya mereka semua duduk melingkar. Namun, baru saja seseorang akan memulai evaluasi, seseorang menginterupsi.
“DAMAR!” teriak seseorang.
“YUDHISTIRA DAMAR!”
Damar menoleh, “Mbak Wulan?”
“Kamu tuh diteleponin dari tadi nggak diangkat gimana sih?! Pulang!” ucap Wulan. Perempuan itu datang dengan langkah tergesa, wajah yang memerah dengan tatapannya yang sama sekali tidak memancarkan ketenangan. Wulan bahkan menjewer telinga Damar ketika ia menemukan Damar.
“Kenapa sih, Mbak? Dateng-dateng marah-marah. Kapan ke sininya lagi?” tanya Damar bingung.
“Banyak tanya! Udah buruan pulang!” balas Wulan.
“Lah, ini Damar belom selesai,” Damar balik membalas.
“Mbak bilang, pulang! Pulang kalo kamu nggak mau nyesel.”
Meski masih bingung dan jawaban Wulan membuat alisnya mengkerut, Damar memilih pasrah. Sepupunya itu sedang dilanda mode sangat sangat garang jika wajahnya terlihat seperti ini.
Dengan terpaksa, Damar berpamitan kepada teman-temannya. “Sorry, ya guys. Gue duluan, nggak tau nih ada apa. Kayaknya sih urgent soalnya sampe disusul gitu.”
“Santai, Dam. Kalo ada apa-apa jangan lupa kabarin,” balas Dhimas yang kemudian dijawab anggukan oleh Damar.
Damar melajukan motornya dengan kecepatan sedang. Sebab baru saja ia mengendarai motornya dengan pelan, Damar malah mendapat cubitan pedih dari Wulan yang menyuruhnya melaju lebih cepat. Meskipun tak mengucapkan pertanyaannya, kepalanya yang berisi itu terus memikirkan apa yang sebenarnya terjadi hingga Wulan berminat repot-repot menyusulnya ke sekolah.
Sesampainya di depan gang rumahnya, Wulan meminta Damar berhenti. Lagi-lagi, meski benaknya penuh dengan tanya, Damar hanya mengiyakan. Setelah memarkirkan motornya dengan benar di depan pos dekat rumahnya, Damar menoleh ke arah Wulan. Perempuan itu juga sedang menatapnya. Setelahnya menarik Damar ke dalam pelukannya yang lebih rendah.
Wulan mengelus pipi Damar lembut, “Kuat ya?”
Damar tertegun di tempatnya, perasaannya mulai tidak enak. Namun, ia tetap membuntuti Wulan hingga sampai di rumahnya, sebuah tenda sederhana sudah berdiri di depan rumahnya. Menaungi jalanan yang biasanya terpapar terik. Damar terpaku, kakinya melemas. Dunia rasanya runtuh menimpa tubuhnya kala mendapati sebuah bendera kuning terpasang di tiang-tiang penyangga teras rumahnya.
Damar menatap Wulan tak percaya. Darah berdesir ke sekujur tubuhnya, membuatnya hawa panas terasa menyelimuti tubuhnya.
“Siapa, Mbak?!” tanya Damar.
Sepersekian detik setelah Wulan mendengar pertanyaan Damar, hancur sudah. Hancur sudah pertahanannya. Wulan menangis, kemudian dengan napas tersenggal, Wulan menjawab,
“Pakde, Dam.”
Damar merasakan tubuhnya melemas, pemuda itu jatuh terduduk. Kini tubuhnya hanya mendapat kekuatan dari sokongan Wulan pada punggungnya. Netranya penuh dengan air mata yang siap meluruh lebih deras, pikirannya mendadak kosong. Dengan pandangannya yang kabur terhalang air mata, sekali lagi Damar menatap Wulan.
“Ba-Bapak?”