raranotruru

tw // death

Damar mengipasi dirinya sendiri yang basah dengan keringat sehabis bermain selama lima belas menit di lapangan sekolah. Pria itu kemudian meneguk habis air mineral di botol plastik, kemudian mengetuk-ngetukkan botolnya ke lapangan. Iseng. Sesekali pria itu tertawa melihat teman-temannya yang mendapat giliran bermain, ada yang tersandung, gagal menangkap bola dengan kakinya, bertabrakan satu sama lain, dan kekacauan lainnya di lapangan yang menimbulkan gelak tawa mereka yang menonton. Sesekali pula Damar bersorak ketika Dhimas berhasil membobol gawang kawannya yang berperan sebagai lawan hari itu.

Setelah beberapa lama, permainan usai. Mereka kembali berkumpul di pinggir lapangan. Ada yang meluruskan kaki, mengelap keringat dengan jersey-nya sendiri, ada yang menenggak minum temannya hingga habis kemudian mendapat toyoran penuh kasih sayang di kepala setelahnya, dan lain-lain.

Damar mengatur napasnya, menunggu teman-temannya yang masih menetralkan detak jantung. Wajah-wajah mereka masih merah. Kini sepatu futsal dilepas dan berserakan di mana-mana. Sebab melempar sepatu teman hingga terpental jauh merupakan bentuk keisengan favorit remaja.

“Eh, anying lah minum gue jangan diabisin bangkeee!”

“Yah tolol, ambil nggak sepatu gue?! Gue betot pala lo!”

Makian-makian mulai terdengar, Damar dan Dhimas hanya tertawa mendengarnya. Karena jika begitu, artinya waktu evaluasi akan segera tiba. Jika sudah begitu, tandanya mereka sudah berkumpul semua.

“Yok eval yok buruan yok!”

Pada akhirnya mereka semua duduk melingkar. Namun, baru saja seseorang akan memulai evaluasi, seseorang menginterupsi.

“DAMAR!” teriak seseorang.

“YUDHISTIRA DAMAR!”

Damar menoleh, “Mbak Wulan?”

“Kamu tuh diteleponin dari tadi nggak diangkat gimana sih?! Pulang!” ucap Wulan. Perempuan itu datang dengan langkah tergesa, wajah yang memerah dengan tatapannya yang sama sekali tidak memancarkan ketenangan. Wulan bahkan menjewer telinga Damar ketika ia menemukan Damar.

“Kenapa sih, Mbak? Dateng-dateng marah-marah. Kapan ke sininya lagi?” tanya Damar bingung.

“Banyak tanya! Udah buruan pulang!” balas Wulan.

“Lah, ini Damar belom selesai,” Damar balik membalas.

“Mbak bilang, pulang! Pulang kalo kamu nggak mau nyesel.”

Meski masih bingung dan jawaban Wulan membuat alisnya mengkerut, Damar memilih pasrah. Sepupunya itu sedang dilanda mode sangat sangat garang jika wajahnya terlihat seperti ini.

Dengan terpaksa, Damar berpamitan kepada teman-temannya. “Sorry, ya guys. Gue duluan, nggak tau nih ada apa. Kayaknya sih urgent soalnya sampe disusul gitu.”

“Santai, Dam. Kalo ada apa-apa jangan lupa kabarin,” balas Dhimas yang kemudian dijawab anggukan oleh Damar.


Damar melajukan motornya dengan kecepatan sedang. Sebab baru saja ia mengendarai motornya dengan pelan, Damar malah mendapat cubitan pedih dari Wulan yang menyuruhnya melaju lebih cepat. Meskipun tak mengucapkan pertanyaannya, kepalanya yang berisi itu terus memikirkan apa yang sebenarnya terjadi hingga Wulan berminat repot-repot menyusulnya ke sekolah.

Sesampainya di depan gang rumahnya, Wulan meminta Damar berhenti. Lagi-lagi, meski benaknya penuh dengan tanya, Damar hanya mengiyakan. Setelah memarkirkan motornya dengan benar di depan pos dekat rumahnya, Damar menoleh ke arah Wulan. Perempuan itu juga sedang menatapnya. Setelahnya menarik Damar ke dalam pelukannya yang lebih rendah.

Wulan mengelus pipi Damar lembut, “Kuat ya?”

Damar tertegun di tempatnya, perasaannya mulai tidak enak. Namun, ia tetap membuntuti Wulan hingga sampai di rumahnya, sebuah tenda sederhana sudah berdiri di depan rumahnya. Menaungi jalanan yang biasanya terpapar terik. Damar terpaku, kakinya melemas. Dunia rasanya runtuh menimpa tubuhnya kala mendapati sebuah bendera kuning terpasang di tiang-tiang penyangga teras rumahnya.

Damar menatap Wulan tak percaya. Darah berdesir ke sekujur tubuhnya, membuatnya hawa panas terasa menyelimuti tubuhnya.

“Siapa, Mbak?!” tanya Damar.

Sepersekian detik setelah Wulan mendengar pertanyaan Damar, hancur sudah. Hancur sudah pertahanannya. Wulan menangis, kemudian dengan napas tersenggal, Wulan menjawab,

“Pakde, Dam.”

Damar merasakan tubuhnya melemas, pemuda itu jatuh terduduk. Kini tubuhnya hanya mendapat kekuatan dari sokongan Wulan pada punggungnya. Netranya penuh dengan air mata yang siap meluruh lebih deras, pikirannya mendadak kosong. Dengan pandangannya yang kabur terhalang air mata, sekali lagi Damar menatap Wulan.

“Ba-Bapak?”

Aghniya tak henti-hentinya menggerakkan kakinya seraya melirik pesan yang dikirimkan Ojan berkali-kali. Gadis itu mendadak berkeringat dingin lantaran sebentar lagi ia akan bertemu dengan Damar. Gadis itu berharap pria itu mau bicara padanya hingga Aghniya mendapat jawaban dari amarah Damar.

Makk, udah gue suruh ke kelas lo yak Damarnya. Gue mau turun sama Dhimas, semangatt yeeee wkwkwkw

Gadis itu menghela napasnya gusar. Setelahnya dengan cepat merogoh isi tasnya, mencari buku catatan yang akan dipinjamkan pada Ojan melalui Damar seraya sesekali menengok ke arah pintu. Takut-takut jika orang yang dinantikannya muncul. Kalau dipikir-pikir, ini seperti de javu. Gadis itu jadi kembali teringat pada Dhimas menitipkan sebuah topi padanya untuk diberikan pada Damar.

Bedanya, dulu mereka belum berteman. Sekarang, ah sudahlah..

Aghniya berjengit ketika suara terdengar dari arah pintu. Suara kayu bertabrakan dengan lantai yang lebih tinggi membuatnya menoleh panik, gadis itu tahu bahwa ada yang datang. Dugaannya benar, Damar melirik ke arahnya dari pintu. Dengan segera gadis itu bangkit dengan membawa buku tulis di tangannya. Kemudian menghampiri Damar.

“Dam,” panggilnya. Pemuda itu menoleh. Tatapannya sama sekali tak terlihat santai. Masih marah rupanya.

“Ini bukunya yang buat Ojan,” sambung Aghniya. Damar mengambil buku itu dari tangan Aghniya.

Baru saja gadis itu ingin mengucapkan kata lagi, Damar segera berbalik dan meninggalkannya. Sehingga dengan terpaksa Aghniya kembali ke kelasnya dengan perasaan kecewa.


Belum usai perjuangannya. Istirahat kedua, Aghniya secara kebetulan diminta membagikan rekapan absensi ekskul pada teman-temannya. Meskipun belum jadi ketua, memang kelas XI yang ditugaskan untuk mengurus absensi, katanya hitung-hitung latihan sebelum benar-benar menjabat nantinya.

Kesempatan ini tentu saja digunakan oleh gadis manis itu untuk menemui Damar. Dan mengajaknya bicara sekali lagi. Siapa tahu kali ini membuahkan hasil.

Beruntung keduanya berpapasan di tangga. Pada tempat yang sama seperti sebelumnya. Gadis itu menghadang Damar agar pemuda itu tak meninggalkannya lagi sebelum dirinya selesai bicara.

“Damar, tunggu! Jangan kabur dulu! Ini rekapan absen futsal dari ruang wakil, katanya disuruh isi, terus dirapiin. Absen pelatihnya juga soalnya dana buat pelatihnya udah mau turun, nih,” ujar Aghniya seraya menyerahkan map file berwarna kuning berisi absensi ekskul futsal ke hadapan Damar.

Damar hanya diam. Tak berniat mengambil map yang gadis itu sodorkan. Sebagai gantinya, Damar malah terkekeh meremehkan.

“Lo nggak berhenti-henti ya, nyari cara buat ketemu gue?” ucap Damar dengan intonasi pelan namun menusuk.

Aghniya mendongak, “H-hah? I-ini beneran dari ruang wakil, kok! Tadi katanya suruh kasih Damar.”

Aghniya masih setia menyodorkan map itu kepada Damar. Berharap agar pemuda itu mengambilnya. Meskipun niatnya yang lain harus diurungkan karena mendengar ucapan pemuda itu yang sudah mengetahui maksudnya bahkan sebelum ia bergerak.

Namun, Damar masih diam. Pria itu kini memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana. Matanya beradu dengan tatapan sendu mata Aghniya yang mulai berkaca-kaca. Sekon berikutnya, gadis itu lebih dulu memutus kontak mata. Terdengar helaan napas kecewa di sana. Tangannya yang sedari tadi tak gentar menyerahkan map ke arah Damar itu pada akhirnya menyerah.

Memastikan tak ada air mata yang meluncur, gadis itu mendongak dan melihat ke sembarang arah. Membuang muka. Kemudian dengan tenaga dan secuil potongan hati yang belum terbalut kecewa, Aghniya menatap Damar kembali. Tepat pada netra yang dulu selalu menatapnya teduh.

Gadis itu tersenyum, lagi. Seperti biasa. “Nanti gue kasih Dhimas aja, deh. Maaf ya, Damar. Gue duluan. Dadah!” ucapnya. Damar tahu nada cerianya itu dibuat-buat karena ia mendengar sendiri suara Aghniya yang bergetar serta pelupuk matanya yang dipenuhi cairan bening.

Aghniya berlalu pergi, dengan langkah gontai serta wajah lesu yang seketika berubah ceria kala bertemu dengan teman seangkatan yang memanggil namanya.

“Haiii, eh, inii absen ekskul. Tolong direkap ya....”

Gadis itu menahan tangisnya seraya berucap dalam hati. Ia menyerah.

Aghniya menyerah setelah mengetahui Damar begitu tak ingin melihat wajahnya.

Sementara Damar? Pemuda itu menghela napas berat sebelum kembali melanjutkan langkahnya. Menyesal untuk kesekian kali.

Hello, Mr. Perfectly Fine How's your heart after breaking mine?

Gadis itu melihat tanggal di kalender digital yang terdapat pada ponsel pintarnya. 16 November 2020.

Tahun-tahun sebelumnya, h-7 menuju hari ini, tidak, bahkan h-30 menuju hari ini gadis itu mulai akan memikirkan hadiah apa yang akan ia berikan pada kekasihnya. Sepatu? Kaus? Jam tangan?

Namun tahun ini kewajibannya sudah tanggal. Karena hubungan keduanya yang sudah berakhir bulan Oktober lalu. Pria itu sudah menemukan pengganti dirinya bahkan dalam kurun waktu dua minggu. Revan baik-baik saja. Sangat.

I've been Miss Misery since your good bye

Aghniya mengulas senyum tipis kala mendengar lirik lagu yang menyindirnya tepat mengenai sasaran. Lirik yang menohok namun memang sengaja ia dengarkan keras-keras melalui speaker pada earphone kecilnya yang ia sambungkan ke laptop.

Benar, Revan terlihat baik-baik saja. Sangat. Namun dirinya hancur. Sangat.

Aghniya memang tidak memulai hubungannya dengan Revan dengan perasaan yang berhasil membuatnya merasakan euforia jatuh cinta. Gadis itu memulainya berdasarkan pertimbangan dari pernyataan Revan yang terdengar seperti pahlawan yang perkasa. Yang terdengar seakan sanggup membawanya menjauh dari tepi jurang dan akan membawakannya pelangi. He was there, acting like a knight in shining armor.

Berakhirnya hubungan Aghniya dan Revan, maka berakhir pula seorang Aghniya yang berseri. Sinarnya bagaikan dicuri. Gadis itu tak ingin lagi percaya diri, merasa tak memiliki apapun untuk dicintai dari dirinya sendiri. Yang ada di benaknya adalah anggapan bahwa dirinya adalah seorang yang jahat, menyebalkan, tidak pantas untuk dikelilingi orang-orang berhati baik di sekitarnya. Kata-kata Revan melalui pesan waktu itu masih suka terputar jelas dalam pikirannya.

Kamu sadar nggak sih kamu tuh toxic buat orang-orang di sekitar kamu?

Aku bisa gila lama-lama kalo deket-deket kamu

Gadis itu menundukkan pandangannya, menepis air mata yang rupanya masih selalu terpancing jika membahas seorang Revan. Yang berhasil membuatnya percaya, berhasil membuatnya merasa ada penawar dari luka di hatinya kala itu, berhasil pula membuatnya kehilangan. Kehilangan Revan, kehilangan dirinya sendiri.

Aghniya sering kali marah. Pada dirinya sendiri. Sering pula berandai-andai. Andai dirinya bisa bersikap lebih lembut, andai dirinya bisa bertutur kata lebih baik, andai dirinya tak banyak menuntut, andai dirinya bisa mengerti Revan lebih baik lagi, andai.. dirinya tak menerima pemuda itu.

Pula, Aghniya sering memikirkan segala kemungkinan dari setiap andainya. Mungkin jika ia tak menerima Revan, Salsa akan tetap menjadi teman baiknya. Dan mungkin masa SMA-nya tak akan hancur pada permulaan seperti ini.

Entah gadis itu masih merasakan sakit karena apa. Karena perasaannya yang memang berubah menjadi sayang yang tulus pada pemuda itu, atau karena segala andai dan kemungkinan yang tak terjadi.

Mr. “Insincere apology so he doesn't look like the bad guy”

Lagi-lagi liriknya tepat untuk mewakili ungkapan terpendam dalam hatinya. Mungkin Revan mengucap maaf padanya. Namun gadis itu tahu, permintaan maaf yang dengan mudah Revan ucapkan tanpa beban waktu itu, pasti hanya formalitas semata.

Bahkan setelah keduanya berakhir, Revan seperti dengan sengaja memberitahukan hal-hal yang sebenarnya tidak perlu Aghniya ketahui. Entah apa tujuannya. Menjalin kembali kekerabatan, atau sebagai bentuk pamer.

Sudah hampir sebulan sejak Aghniya mengutarakan niatnya untuk mengakhiri semuanya. Gadis itu sudah sangat lelah menjalani semuanya. Ia sudah lelah menjadi satu-satunya orang yang bersemangat bertemu satu sama lain setiap hari Minggu, menjadi satu-satunya orang yang peduli di antara keduanya, menjadi satu-satunya orang yang menempatkan pasangannya sebagai orang pertama yang bisa dituju.

Hanya Aghniya yang melakukannya. Sementara Revan berlaku sesukanya. Kemudian tetap membebankan semuanya pada gadis itu. Well, he's Mr. Always Wins afterall

Gadis itu menghela napasnya, memandang kosong meja belajarnya sendiri yang kini menyangga laptop di atasnya. Kalau dipikir, sudah cukup lama ia turut menjauh dari teman-temannya. Dari Ayesha, Dhimas.

Padahal, keduanya selalu berusaha memeluknya. Keduanya selalu berusaha meyakinkan bahwa dirinya baik, dan sangat jauh dari apa yang dikatakan Revan.

Dhimas bahkan menghajar pemuda itu habis-habisan. Yang tentu saja segera ditegur oleh Aghniya. Gadis itu membaca ulang pesan yang dikirimkan Dhimas dan Ayesha. Pesan-pesan yang dinamainya magic sentences. Pesan-pesan yang membantunya berhasil menemukan dirinya lagi sedikit demi sedikit.

And it's really such a shame It's such a shame

'Cause I was Miss “Here to stay”

Now I'm Miss “Gonna be alright someday”

And someday maybe you'll miss me

But by then, you'll be Mr. “Too late”

Goodbye Mr. “Perfectly fine”

How's your heart after breakin' mine?

Mr. “Always at the right place at the right time,” baby

Goodbye Mr. “Casually cruel”

Mr. “Everything revolves around you”

I've been Miss “Misery” for the last time

And you're Mr. “Perfectly fine”

You're perfectly fine

Aghniya membaca pesan yang dikirimkan Ojan dengan gelisah. Gadis itu menelan ludah dan tak henti-hentinya menggerakkan kakinya.

Damar udah gue suruh jalan. Gue sama Dhimas sama Haris turun kok, tenang aja. Semangat mak eee

Gadis itu menelungkupkan ponselnya di atas meja. Kemudian mencari buku yang akan ia pinjamkan pada Ojan melalui Damar. Tubuhnya sedikit berjengit ketika pintu kelas berbunyi, menandakan seseorang membukanya.

Aghniya berteduh di koridor sekolahnya, menatap ke arah lapangan yang kini basah kuyup terkena guyuran hujan deras sepulang sekolah. Gadis itu menelepon papanya guna meminta jemput karena keadaan yang tak memungkinkan jika pulang sendiri.

“Paa?? Halooo? Kedengeran nggakk??”

”...”

“Papa bisa jemput aku nggaak?? Ujan deres bangettt!”

“Paaa?? apaaaa??”

“MACET SAYANGGG! INI JUGA DERES DARI KANTOR PAPA!”

“YAHH TERUS GIMANA DONG?”

“Dhimas nggak adaa? Nggak bisa pulang bareng Dhimas?”

“Dhimas LDKS, Paaaa! Nggak ada di sekolaah.”

Aghniya masih terus berusaha berkomunikasi dengan papanya melalui telepon meski suaranya terdengar kurang jelas, bersaing dengan suara hujan yang turun ke bumi siang itu. Sekolahnya sudah sepi, namun gadis itu masih belum bisa pulang. Sedari tadi ragu apakah ia harus menerobos hujan dan mencari kendaraan umum agar dapat cepat sampai rumah, atau harus menunggu Aji yang belum memberinya kejelasan bisa menjemputnya atau tidak.

Gadis itu celingak-celinguk, barang kali ada seseorang yang dirinya kenal dan bisa menjadi temannya selama menunggu jemputan.

“Ya Allah takut dah.. perkara banget astaghfirullah,” ucap Aghniya bermonolog.

“Halo, Paa? Iyaa?”

“Kamu tunggu sebentar situ ya? Jangan terobos hujan, soalnya deres banget nanti kamu sakit. Tunggu sebentar Papa udah mulai jalan lagi kok.”

“Masih jauh nggak?”

“Lumayan, tapi tunggu deh, jangan ngeyel!”

“Iyaa, ya udah deh.”

Setelahnya telepon terputus. Aghniya kembali memasukannya ke dalam tas. Sebab sejujurnya, Aghniya tak pernah berani memainkan ponsel dikala hujan. Gadis itu takut petir beserta kilat, dan setiap kali bermain ponsel dikala hujan, Aghniya selalu terbayang akan sambaran petir yang dapat mengenai dirinya.

Aghniya merapatkan jaket yang berutungnya, ia kenakan hari ini. Jika tidak, sejak tadi gadis itu akan menggigil kedinginan lantaran udara yang menusuk kulitnya.

Gadis itu masih mengedarkan pandangannya ke seluruh area sekolah. Kosong, tak ada siapapun. “Kok udah sepi sih? Padahal baru jam dua.”

“Oh iya, LDKS ya, yang masuk sedikit. Pantesan aja dari tadi sepi banget. Dhimas keujanan nggak ya?”

Aghniya masih bermonolog. Sesekali gadis itu meniup-niupkan telapak tangannya supaya setidaknya ada sedikit kehangatan yang bisa ia rasakan. “Ih, tau gini gue nggak piket deh. Pulang langsung aja tadi harusnya, beres-beres kelasnya Senin pagi gitu. Sebel.”

Sekon berikutnya gadis itu berjengit lantaran merasakan getaran dari dalam tasnya. Ponselnya kembali berbunyi dan menampilkan panggilan masuk dari Aji. Dengan segera gadis itu mengangkatnya.

“Halo, Pa?”

”....”

“Hah, seriuss?? Banjir di manaaa?”

”...”

“Jadi Papa nggak bisa jemput aku?”

”...”

“Ya udah, Pa nggak pa- WAAAA! OMGGG PAPAAA AKU NGGAK BERANI NELEPON LAMA-LAMA KALO UJAAAANNN!!!”

Gadis itu kini menelepon seraya berjongkok membelakangi lapangan sekolah. Tubuhnya sedikit gemetar dan dirinya tidak berani mengangkat pandangannya lantaran sambaran kilat baru saja muncul, disusul dengan gemuruh petir yang tak mau kalah.

“Pa, aku— aku pulang sendiri aja deh yaaa? Aku terobos ujan sedikit ke depan sekolah doang nih nyari taksi atau apa gitu dehhh!”

“ASTAGHFIRULLAH, EMANG BENERAN NGGAK ADA ORANG DI SANA? TEMEN KAMU NGGAK ADA SAMA SEKALI?”

Aghniya menoleh sekali lagi dengan posisinya yang masih berjongkok, hingga pandangannya terpaku pada seseorang. Damar baru saja melaju menerobos hujan dengan motor dan jaket kesayangannya.

Aghniya terdiam, sedari tadi pria itu ada di sekolah bersamanya?

“Halo? Aghni? Sayang?”

Aghniya menghela napas sebelum menjawab pertanyaan Aji. “Nggak ada, Pa. Aghni pulang ya, Papa tenang aja pokoknya nanti Aghni sampe rumah. Papa hati-hati, balik lagi aja ke kantor. Makasih udah mau usaha jemput Aghni ya, Pa. Daah!”

Setelahnya gadis itu memutus panggilannya, kembali memasukkan ponselnya ke dalam tas. Beruntung, tasnya berbahan anti air, jadi ia tak perlu terlalu khawatir jika menerobos hujan. Aghniya memindahkan tasnya ke depan, berganti menjadi meneluknya di dalam jaketnya sendiri. Setelah bersiap dengan dirinya sendiri, Aghniya berlari menerjang hujan yang justru semakin bertambah deras. Gadis itu menunggu cukup lama di depan sekolah guna mendapatkan kendaraan umum apapun yang bisa ia gunakan untuk pulang tanpa basah kuyup.

Selang beberapa lama, sebuah taksi muncul. Dengan segera gadis itu memberhentikannya dan masuk ke dalam. Pulang.

Sementara tak jauh dari sana, seorang pemuda memperhatikan gadis itu hingga benar-benar menghilang di balik pintu taksi yang tertutup. Damar di sana, bertarung dengan dirinya sendiri bahkan sejak Aghniya asik bertelepon.

Damar sudah kembali pulang ke rumahnya. Setelah memberi paket titipan ibu, Damar melepas hoodie hitamnya kemudian memilih berdiam diri di kamar. Pria itu mengambil posisi di meja belajar. Menyandarkan kepalanya pada kursi empuk yang biasa ia gunakan untuk belajar. Seraya memejamkan mata, Damar menghela napasnya.

Berat, hatinya berat belakangan ini. Meski berusaha menghilangkan dan menghindari kenyataan, Damar harus mengakui bahwa dirinya merasa kehilangan. Seseorang secerah matahari yang selalu menemaninya, Damar merasa kehilangan.

Pria itu membuka matanya, kemudian kembali menyalakan ponselnya yang ia geletakkan di meja belajarnya. Kemudian jemarinya mengotak-atik layar sehingga tampil sebuah rekaman yang dikirimkan Salsa waktu itu. Entah apa yang membuatnya begini, entah perasaan ragu atau dirinya yang kurang jelas mendengar, Damar mendengarkan rekaman itu hampir setiap hari.

Baiklah, Damar mengaku kalah. Dirinya kini terpecah belah. Sebagian besar hatinya memang marah, kecewa, dan hancur, hingga ia tak ingin lagi melihat wajah gadis itu di hadapannya. Namun, ada bagian kecil dalam hatinya yang masih enggan mempercayai semua ini. Sebagian kecil dalam dirinya, yang mengatakan Aghniya tidak mungkin berkata seperti itu.

Damar memutar kembari rekaman yang sama. Mendengarkannya dengan seksama.

RIBET! Ambil deh, Saaa, ambil! Terserah lo mau jadian sama Damar kek, mau ngapain kek, gue nggak peduli!

Damar tak mendengarkannya sampai habis kali ini. Pria itu kembali mematikan ponselnya dan menghela napasnya.

Lo seriusan begini nggak sih, Agh?

Damar tak tahu harus bagaimana. Ia tenggelam dalam pikirannya sendiri. Tak mengerti siapa yang harus ia percaya. Bagaimanapun juga, Salsa adalah temannya. Mungkin kali ini gadis itu pensiun dari tingkah menyebalkannya dan berusaha menolong Damar dari orang yang salah?

Damar bilang, ia menyesal berteman dengan Aghniya. Ia berbohong, berteman dengan gadis itu justru salah satu yang paling ia syukuri. Namun, amarah dalam hatinya membuatnya berkata demikian.

Sekarang rasanya Damar seperti kehilangan satu batu bata yang selama ini turut menyokong pondasinya. Damar limbung. Aghniya mengisi harinya cukup lama, hingga tanpa sadar kehadiran gadis itu mendominasi. Dalam pertemanannya, keluarganya, bahkan dirinya sendiri.

Damar membuka binder yang biasa ia gunakan untuk menulis ringkasan materi ulangan. Mencari list yang ia buat sendiri, tentunya ketika masih berhubungan baik dengan Aghniya.

Damar membacanya dengan teliti. Menertawakan dirinya sendiri sesudahnya. Bisa-bisanya ia membuat daftar seperti ini. Sepertinya gadis itu memang pandai menyihir.

Pemuda itu memusatkan pandangannya pada nomor terakhir. Tanggal lahir gadis itu yang ia samarkan pada nomor terakhir daftarnya, nomor dua puluh dua. Damar mengelusnya perlahan. Masihkah gadis itu menjadi alasannya untuk tetap hidup?

Damar menggeleng, ia mengambil pensil miliknya yang berada di atas meja. Kemudian mencoreng nomor terakhir yang memuat tanggal lahir Aghniya pada daftarnya. Ia tak ingin lagi memusatkan pikirannya pada gadis itu. Kalau bisa.

“Kenapa sih harus kayak gini pas gue udah yakin sama perasaan gue ke lo, Agh?” Damar bermonolog. “Kenapa harus kayak gini saat gue udah percaya sama lo?”

“Kenapa harus lo?”

You played it so well, that i believe in every words.

Damar lagi-lagi menghela napasnya. Ingatannya memutar kembali memori ketika ia berpapasan dengan gadis itu di sekolah. Senyum manisnya tak luput dari wajahnya, binar matanya masih sama ketika melihat kehadiran Damar bahkan dari jauh, nada ceria ketika menyapanya pun tak hilang. Semua itu masih ada bahkan ketika Damar menghilangkan itu semua dari dirinya sendiri.

Damaar! Haii! Haloooo! Haii, ih abis praktek? Mau ke mana, Dam?

Gadis itu masih sama. Ia bersikap seolah tak terjadi apa-apa. Ia bersikap seolah tak mengerti apa-apa. Dan itu menyebalkan bagi Damar. Apakah ia benar-benar tidak tahu, atau pura-pura tidak tahu agar sifat aslinya tidak jadi terbongkar?

Gadis itu masih sama. Damar yang memutuskan mengubah dirinya. Damar tak lagi melihat ke arahnya, tak lagi menyapanya melalui satu alis yang terangkat, tak lagi tersenyum ke arahnya, tak lagi bersikap ramah terhadapnya. Damar memutuskan untuk menganggapnya tak ada.

Hingga ketika ia melihat gadis itu di tangga. Tatapannya yang begitu terkejut namun sendu membuat Damar ikut terdiam kaku. Tanpa sadar, Damar mengunci pandangannya pada Aghniya kala itu. Namun, Damar cepat menyadarkan dirinya sendiri dan memutuskan berjalan mendahului gadis itu. Dari tempatnya berdiri, Damar mendengar jelas suara Aghniya yang memanggilnya berkali-kali. Ia tahu gadis itu pasti ingin bertanya perihal yang terjadi di antara mereka, maka Damar memilih tak menggubrisnya.

Namun, upayanya gagal ketika dirinya kembali dan gadis itu masih di sana. Duduk sendirian pada salah satu anak tangga seraya meluruskan kakinya. Damar mengintip, Aghniya menangis. Sejujurnya Aghniya lebih terlihat seperti melamun, namun membiarkan air matanya lolos begitu saja.

Selang beberapa lama, Damar memilih melanjutkan langkahnya. Kali ini dengan hentakan yang lebih terdengar agar gadis itu menyadari kehadirannya. Benar saja, gadis itu dengan segera menghapus air matanya. Kemudian kembali tertegun melihat kehadiran Damar.

Namun, di luar dugaannya, Aghniya justru tersenyum padanya meski ia baru saja menangis.

“Maaf ya, jadi ngalangin jalan. Silakan.”

“Duluan ya, Damar.”

Aghniya masih menganggapnya ada. Dan sepertinya gadis itu sama sekali tak berniat menghilangkan Damar sebagaimana dirinya menghilangkan gadis itu. Aghniya masih mengiriminya pesan setiap hari, dengan pembukaan ceria seperti biasa. Hingga suatu hari, gadis itu menggunakan kalimat yang membuat renggangnya mereka berdua semakin terlihat.

Damar, maaf ganggu..

Membaca pesan itu kala itu, Damar mendecih dalam hati. Mulai tau diri ternyata.

Namun sekon berikutnya, rasa bersalah yang kian membesar menyeruak dalam hatinya. Seperti yang sudah-sudah. Rasa bersalah itu semakin menjadi ketika membaca salah satu pesan yang gadis itu kirimkan.

You're still my friend even if you don't want to consider me as one

Damar menyugar rambutnya, disusul dengan usapan wajah yang kasar. Selalu seperti ini. Marah, kemudian kembali gundah. Akan perasaannya sendiri.

Damar sudah kembali pulang ke rumahnya. Setelah memberi paket titipan ibu, Damar melepas hoodie hitamnya kemudian memilih berdiam diri di kamar. Pria itu mengambil posisi di meja belajar. Menyandarkan kepalanya pada kursi empuk yang biasa ia gunakan untuk belajar. Seraya memejamkan mata, Damar menghela napasnya.

Berat, hatinya berat belakangan ini. Meski berusaha menghilangkan dan menghindari kenyataan, Damar harus mengakui bahwa dirinya merasa kehilangan. Seseorang secerah matahari yang selalu menemaninya, Damar merasa kehilangan.

Pria itu membuka matanya, kemudian kembali menyalakan ponselnya yang ia geletakkan di meja belajarnya. Kemudian jemarinya mengotak-atik layar sehingga tampil sebuah rekaman yang dikirimkan Salsa waktu itu. Entah apa yang membuatnya begini, entah perasaan ragu atau dirinya yang kurang jelas mendengar, Damar mendengarkan rekaman itu hampir setiap hari.

Baiklah, Damar mengaku kalah. Dirinya kini terpecah belah. Sebagian besar hatinya memang marah, kecewa, dan hancur, hingga ia tak ingin lagi melihat wajah gadis itu di hadapannya. Namun, ada bagian kecil dalam hatinya yang masih enggan mempercayai semua ini. Sebagian kecil dalam dirinya, yang mengatakan Aghniya tidak mungkin berkata seperti itu.

Damar memutar kembari rekaman yang sama. Mendengarkannya dengan seksama.

RIBET! Ambil deh, Saaa, ambil! Terserah lo mau jadian sama Damar kek, mau ngapain kek, gue nggak peduli!

Damar tak mendengarkannya sampai habis kali ini. Pria itu kembali mematikan ponselnya dan menghela napasnya.

Lo seriusan begini nggak sih, Agh?

Damar tak tahu harus bagaimana. Ia tenggelam dalam pikirannya sendiri. Tak mengerti siapa yang harus ia percaya. Bagaimanapun juga, Salsa adalah temannya. Mungkin kali ini gadis itu pensiun dari tingkah menyebalkannya dan berusaha menolong Damar dari orang yang salah?

Damar bilang, ia menyesal berteman dengan Aghniya. Ia berbohong, berteman dengan gadis itu justru salah satu yang paling ia syukuri. Namun, amarah dalam hatinya membuatnya berkata demikian.

Sekarang rasanya Damar seperti kehilangan satu batu bata yang selama ini turut menyokong pondasinya. Damar limbung. Aghniya mengisi harinya cukup lama, hingga tanpa sadar kehadiran gadis itu mendominasi. Dalam pertemanannya, keluarganya, bahkan dirinya sendiri.

Damar membuka binder yang biasa ia gunakan untuk menulis ringkasan materi ulangan. Mencari list yang ia buat sendiri, tentunya ketika masih berhubungan baik dengan Aghniya.

Damar membacanya dengan teliti. Menertawakan dirinya sendiri sesudahnya. Bisa-bisanya ia membuat daftar seperti ini. Sepertinya gadis itu memang pandai menyihir.

Pemuda itu memusatkan pandangannya pada nomor terakhir. Tanggal lahir gadis itu yang ia samarkan pada nomor terakhir daftarnya, nomor dua puluh dua. Damar mengelusnya perlahan. Masihkah gadis itu menjadi alasannya untuk tetap hidup?

Damar menggeleng, ia mengambil pensil miliknya yang berada di atas meja. Kemudian mencoreng nomor terakhir yang memuat tanggal lahir Aghniya pada daftarnya. Ia tak ingin lagi memusatkan pikirannya pada gadis itu. Kalau bisa.

Sekolah rasanya tampak tak sama tanpa obrolan singkat, sapaan khas ketika berpapasan, atau pesan-pesan sepulang sekolah dari Damar. Meski Aghniya masih memiliki alasan lain untuk menjaga semangatnya, hati yang tak baik tak akan pernah bisa berbohong.

Kini sedang pelajaran olahraga, yang merupakan salah satu pelajaran kesukaan Aghniya karena dirinya bisa menghirup udara segar dan tak perlu mengenakan seragam dengan kerah kaku. Ia bisa melangkah bebas, berlarian, bahkan tertawa sekeras-kerasnya tanpa akan mendapat teguran dari guru.

Dulu, sebelum berteman dengan Damar. Gadis itu akan selalu celingak-celinguk, mengedarkan pandangannya ke seluruh area sekolah. Siapa tahu, seorang Damar yang selalu ia tunggu kehadirannya itu muncul. Entah untuk ke toilet, atau ke ruang guru. Meskipun ia hanya bisa memandangi kepala Damar yang menyembul dari koridor lantai atas, Aghniya mensyukurinya.

Sepertinya, sekarang ia akan melalukan cara yang sama. Hanya memandangi Damar dari jauh. Entah karena apa, Aghniya belum menemukan jawaban atas pertanyaan yang memenuhi benaknya belakangan ini. Apakah Damar marah? Apakah ia berbuat salah? Gadis itu belum menemukan jawabannya.

Hari ini, genap seminggu keduanya hadir di sekolah tanpa bertukar pandang. Setiap kali berpapasan, Damar akan berjalan cepat mendahului Aghniya. Kemudian yang tersisa hanyalah gadis itu yang terdiam di tempatnya berdiri, memandangi punggung Damar yang kian menjauh.

Pelajaran olahraga sudah selesai. Seperti kesepakatan bersama, mereka hanya memakai jam pelajaran kedua dan ketiga, untuk jam pelajaran keempat dipakai untuk beristirahat. Semua orang tentu saja memilih ke kantin. Namun tidak dengan Aghniya. Gadis itu sama sekali tak memiliki semangat untuk berbincang dengan orang lain. Maka, ia memutuskan untuk langsung naik ke kelas.

Aghniya menaiki tangga dengan gontai. Langkahnya asal-asalan, tangan kanannya mengayunkan botol minum yang ia bawa, sementara tangan kirinya mengipasi dirinya sendiri, sesekali menyeka peluh di wajahnya yang memerah kelelahan.

Gadis itu mendongak ketika melihat sepasang sepatu terhenti di hadapannya. Sekon berikutnya, tubuhnya membeku. Di hadapannya kini berdiri seorang Yudhistira Damar yang juga membeku. Yang berbeda hanyalah tatapan keduanya. Sang gadis menatap sendu, sementara prianya menatap nyalang. Setelahnya Damar memutus kontak mata keduanya, dan berlalu.

“Damar!” panggil Aghniya.

“Dam! Dam tunggu dulu!” panggilnya lagi. Namun, pemuda itu tetap berlalu tanpa mempedulikan Aghniya yang memanggilnya berkali-kali.

Pada akhirnya, gadis itu menyerah, tak lagi berusaha menyusul Damar yang meski berjalan pelan, tetap tak tersusul olehnya. Aghniya menatap anak tangga yang kini telah kosong dengan hati yang hampa. Setelahnya ia menyembunyikan kepalanya pada lengannya yang ia gunakan sebagai tumpuan tubuhnya pada teralis tangga. Sekon berikutnya, Aghniya mengusap wajahnya kasar. Banyak air mata yang berkumpul di pelupuk matanya. Beruntung, saat itu sedang waktu belajar. Jadi, tak ada siswa lalu lalang.

Aghniya jadi tak berniat melanjutkan langkahnya ke kelas. Ia juga tak ingin air matanya menjadi pusat perhatian teman-teman sekelasnya, terlebih Dhimas. Pemuda itu tak boleh tahu jika sedang ada masalah mengenai Damar. Jadilah gadis itu mendudukkan dirinya pada salah satu anak tangga, membiarkan air matanya menetes satu persatu dengan suara tangis yang berusaha keras ia redam.

Matanya menatap kosong ke sembarang arah, bahkan tanpa diperas, air matanya turun dengan mandiri. Sesekali gadis itu mengusap air matanya seraya menggigit-gigit bibirnya pelan. Berusaha menjaga agar pikirannya tetap terisi dan tidak kosong.

Langkah kaki seseorang membuatnya cepat-cepat menghentikan tangis kecilnya secara paksa. Meski belum semua, barusan sudah cukup untuk menumpahkan sedikit kegundahan hatinya yang ia sembunyikan sejak seminggu yang lalu.

Rupanya masih orang yang sama. Itu Damar, kembali berdiri di hadapannya. Kali ini dengan sebuah proyektor pinjaman di tangan kanannya. Pria itu kembali mematung di tempatnya. Gadis itu sama terkejutnya dengan pertemuan tak sengaja mereka yang sebelumnya. Namun kali ini, Aghniya cepat-cepat menyadarkan dirinya. Kemudian bangkit, tak lupa menepuk-nepuk celana olahraganya guna membersihkan kotoran yang menempel di sana.

Gadis itu tersenyum? Iya, Damar tak salah melihat. Aghniya masih memberinya senyuman manis seperti biasa. Senyuman paling manis kedua setelah ibu yang diam-diam selalu Damar simpan dalam hati. Bahkan sampai hari ini.

“Halo lagi, hehe. Maaf ya, jadi ngalangin jalan. Silakan,” ucap Aghniya, masih ramah seperti biasa.

“Gue duluan, Damar. Dadaah!”

Setelahnya gadis itu pergi mendahului Damar. Dari belakang, Damar masih memperhatikan Aghniya. Sesekali ia menyibak anak rambutnya yang basah bercampur keringat. Sesekali ia memijat pelipisnya.

Aghni sakit?

Setelahnya Damar menghela napasnya. Kalau boleh jujur, Damar merindukan gadis itu. Ketikan kapitalnya, semua topik obrolannya, pesan singkat setiap pulang sekolah, sapaan hangat serta lambaian di sekolah, Damar merindukannya. Namun pria itu tak bisa. Sayangnya, meskipun enggan mempercayai, gadis itu tak lagi terlihat sama di matanya.

Sekolah rasanya tampak tak sama tanpa obrolan singkat, sapaan khas ketika berpapasan, atau pesan-pesan sepulang sekolah dari Damar. Meski Aghniya masih memiliki alasan lain untuk menjaga semangatnya, hati yang tak baik tak akan pernah bisa berbohong.

Kini sedang pelajaran olahraga, yang merupakan salah satu pelajaran kesukaan Aghniya karena dirinya bisa menghirup udara segar dan tak perlu mengenakan seragam dengan kerah kaku. Ia bisa melangkah bebas, berlarian, bahkan tertawa sekeras-kerasnya tanpa akan mendapat teguran dari guru.

Dulu, sebelum berteman dengan Damar. Gadis itu akan selalu celingak-celinguk, mengedarkan pandangannya ke seluruh area sekolah. Siapa tahu, seorang Damar yang selalu ia tunggu kehadirannya itu muncul. Entah untuk ke toilet, atau ke ruang guru. Meskipun ia hanya bisa memandangi kepala Damar yang menyembul dari koridor lantai atas, Aghniya mensyukurinya.

Sepertinya, sekarang ia akan melalukan cara yang sama. Hanya memandangi Damar dari jauh. Entah karena apa, Aghniya belum menemukan jawaban atas pertanyaan yang memenuhi benaknya belakangan ini. Apakah Damar marah? Apakah ia berbuat salah? Gadis itu belum menemukan jawabannya.

Hari ini, genap seminggu keduanya hadir di sekolah tanpa bertukar pandang. Setiap kali berpapasan, Damar akan berjalan cepat mendahului Aghniya. Kemudian yang tersisa hanyalah gadis itu yang terdiam di tempatnya berdiri, memandangi punggung Damar yang kian menjauh.

Pelajaran olahraga sudah selesai. Seperti kesepakatan bersama, mereka hanya memakai jam pelajaran kedua dan ketiga, untuk jam pelajaran keempat dipakai untuk beristirahat. Semua orang tentu saja memilih ke kantin. Namun tidak dengan Aghniya. Gadis itu sama sekali tak memiliki semangat untuk berbincang dengan orang lain. Maka, ia memutuskan untuk langsung naik ke kelas.

Aghniya menaiki tangga dengan gontai. Langkahnya asal-asalan, tangan kanannya mengayunkan botol minum yang ia bawa, sementara tangan kirinya mengipasi dirinya sendiri, sesekali menyeka peluh di wajahnya yang memerah kelelahan.

Gadis itu mendongak ketika melihat sepasang sepatu terhenti di hadapannya. Sekon berikutnya, tubuhnya membeku. Di hadapannya kini berdiri seorang Yudhistira Damar yang juga membeku. Yang berbeda hanyalah tatapan keduanya. Sang gadis menatap sendu, sementara prianya menatap nyalang. Setelahnya Damar memutus kontak mata keduanya, dan berlalu.

“Damar!” panggil Aghniya.

“Dam! Dam tunggu dulu!” panggilnya lagi. Namun, pemuda itu tetap berlalu tanpa mempedulikan Aghniya yang memanggilnya berkali-kali.

Pada akhirnya, gadis itu menyerah, tak lagi berusaha menyusul Damar yang meski berjalan pelan, tetap tak tersusul olehnya. Aghniya menatap anak tangga yang kini telah kosong dengan hati yang hampa. Setelahnya ia menyembunyikan kepalanya pada lengannya yang ia gunakan sebagai tumpuan tubuhnya pada teralis tangga. Sekon berikutnya, Aghniya mengusap wajahnya kasar. Banyak air mata yang berkumpul di pelupuk matanya. Beruntung, saat itu sedang waktu belajar. Jadi, tak ada siswa lalu lalang.

Aghniya jadi tak berniat melanjutkan langkahnya ke kelas. Ia juga tak ingin air matanya menjadi pusat perhatian teman-teman sekelasnya, terlebih Dhimas. Pemuda itu tak boleh tahu jika sedang ada masalah mengenai Damar. Jadilah gadis itu mendudukkan dirinya pada salah satu anak tangga, membiarkan air matanya menetes satu persatu dengan suara tangis yang berusaha keras ia redam.

Matanya menatap kosong ke sembarang arah, bahkan tanpa diperas, air matanya turun dengan mandiri. Sesekali gadis itu mengusap air matanya seraya menggigit-gigit bibirnya pelan. Berusaha menjaga agar pikirannya tetap terisi dan tidak kosong.

Langkah kaki seseorang membuatnya cepat-cepat menghentikan tangis kecilnya secara paksa. Meski belum semua, barusan sudah cukup untuk menumpahkan sedikit kegundahan hatinya yang ia sembunyikan sejak seminggu yang lalu.

Rupanya masih orang yang sama. Itu Damar, kembali berdiri di hadapannya. Kali ini dengan sebuah proyektor pinjaman di tangan kanannya. Pria itu kembali mematung di tempatnya. Gadis itu sama terkejutnya dengan pertemuan tak sengaja mereka yang sebelumnya. Namun kali ini, Aghniya cepat-cepat menyadarkan dirinya. Kemudian bangkit, tak lupa menepuk-nepuk celana olahraganya guna membersihkan kotoran yang menempel di sana.

Gadis itu tersenyum? Iya, Damar tak salah melihat. Aghniya masih memberinya senyuman manis seperti biasa. Senyuman paling manis kedua setelah ibu yang diam-diam selalu Damar simpan dalam hati. Bahkan sampai hari ini.

“Halo lagi, hehe. Maaf ya, jadi ngalangin jalan. Silakan,” ucap Aghniya, masih ramah seperti biasa.

“Gue duluan, Damar. Dadaah!”

Setelahnya gadis itu pergi mendahului Damar. Dari belakang, Damar masih memperhatikan Aghniya. Sesekali ia menyibak anak rambutnya yang basah bercampur keringat. Sesekali ia memijat pelipisnya.

Aghni sakit?

Setelahnya Damar menghela napasnya. Kalau boleh jujur, Damar merindukan gadis itu. Ketikan kapitalnya, semua topik obrolannya, pesan singkat setiap pulang sekolah, sapaan hangat serta lambaian di sekolah, Damar merindukannya. Namun pria itu tak bisa. Sayangnya, meskipun enggan mempercayai, gadis itu tak lagi terlihat sama di matanya.

“Aghni, ini pensil warnanya. Makasih banyak, yaa!” ucap Damar pada Aghniya yang kini berada di hadapannya. Keduanya melipir dari pendopo, memilih berbincang di depan ruang seni budaya.

Gadis itu mengangguk riang, “Sama-samaa! Gambar apa tadi?”

“Kembang sepatu,” jawab Damar. Memunculkan tatapan terkejut gadis itu. “Kerenn, kok bisa sih? Emang nggak susah?”

“Susah, tapi bisaa. Lo gambar apa?”

“Kambojaa,” balas Aghniya.

“Itu juga keren,” balas Damar. Sementara gadis itu hanya tertawa.

“Masih sakit perutnya?” tanya Damar.

“Udah mendingan, kok. Tadi ada jam kosong terus gue tidur, jadi udah nggak pa-pa,” jawab Aghniya.

Damar mengangguk-angguk, “Ooh, ya udah kalo gitu. Gue ke sana lagi ya, Agh?”

“Iya, semangaaat!”

Damar mengangguk, “Makasih ya sekali lagi warnanya.”

“Iyaa sama-sama!!” balas Aghniya. Sementara Damar hanya tersenyum gemas, kemudian benar-benar pergi.

Damar tertawa dalam hati, gadis itu rupanya tak mendengarnya dengan jelas. Karena sebelum ia pergi, Damar tak berterima kasih untuk pensil warna yang ia pinjam.


“Ayok sekali lagi yuk latihann. Full yee, dari awal sampe akhir,” ucap Yuna yang disambut dengan keluhan para anggotanya yang sudah lelah.

“Separo, deh, Kakk, separooo,” pinta Nadia.

“Enak aja lu separo, sampe abis sampe abis. Bangun, Nad!” balas Yuna. Meskipun ramah dan asik diajak bercanda, Yuna tetaplah ketua yang tegas dan bisa diandalkan ketika waktunya berperan.

“Ayooo! Makin cepet bangun makin cepet pulang,” ucap Yuna lagi, masih menggembar-gemborkan anggotanya yang masih bermalas-malasan di lantai pendopo.

“Ayo nih jamet dua, buruan!”

“Ya Allahh dikata jamet,” ucap Aghniya. “Tau Kak Yuna, nggak ada yang bagusan apa?” timpal Ayesha.

“Lah lo kan berdua kalo panggil-panggilan mat met mat met, jamet kan?” tanya Yuna sambil tertawa.

“Salah, bukan jamet ye, Met?” tanya Ayesha pada Aghniya. “Iya bukan. Met tuh maksudnya mate.”

“Hah serius?” tanya Yuna.

“Kagak sih, bener jamet tapi tadi alesan biar keren aja,” sahut Aghniya kemudian tertawa bersama Ayesha dan Yuna.

“Ayok, barisss, ah!” titah Yuna lagi. Kemudian para anggotanya mulai berbaris dan mereka berlatih untuk terakhir kali di hari itu.


“Dhimas nggak bener anjay gue tadi kosong padahal, kagak dioper.”

Futsal telah usai, sekarang tiba waktunya evaluasi pemain. Semua anggota futsal itu duduk melingkar di lapangan dengan wajah penuh keringat dan baju yang basah. Mereka bahkan kompak mengipasi dirinya sendiri tanpa perlu janjian.

Dhimas tertawa, “BAHAHAHAHAH, Gue nggak denger elu, Brooo, sorry sorry!

“Tadi siapa anjir kesandung?” tanya Damar.

“GUAA BRENGSEK, KESANDUNG KAKI KIPER,” Dhimas menjawab penuh gairah.

Sementara yang menjadi kiper tadi hanya tertawa. “Gue mau ngambil bola anjir, kaki lo kenapa ikutan nyangsang di kaki guaa?”

“Wahahaha, udah lah. Berarti besok-besok yang penting liat kanan-kiri sih, jangan maen sendiri,” ucap Damar.

“Iyeee, udeh yuk balik. Udah sore ntar kita keburu diusir,” ucap Dhimas.

“Iya dah, cabut yak!”

“Yoo, tiati, Bre!” balas Dhimas.

“Lo langsung balik, Dhim?” tanya Damar. “Nunggu Aghni dulu, lo?”

“Balik dah, duluan ya!” ucap Damar. “Yooo, tiati.”

Damar berpisah dengan Dhimas yang memilih berjalan mendekati pendopo untuk menghampiri Aghniya. Damar berjalan keluar dengan ranselnya yang disampirkan pada bahu kanannya. Pria itu merogoh isi tasnya guna mencari kunci motor, namun seseorang menghalangi jalannya.

Damar mendongak, rupanya, lagi-lagi Revan. Damar mengangkat sebelah alisnya, “Kenapa?”

Revan tertawa meremehkan. “Lo beneran suka sama Aghni ya? Gue liat-liat mantep juga cara lo. Ngajak dia jalan, but seriously, Taman Mini?”

“Urusannya sama lo? What's wrong with that place tho, we were having such a good time. Yang mungkin nggak pernah lo punya waktu lo masih sama dia?” sahut Damar.

Revan mendengus, “Oh, jadi bener, lo jalan sama dia?”

“Bener, terus kenapa?”

“Enggak, heran aja. Kok bisa tipe lo yang kayak dia?” ucap Revan.

“Gue juga heran, kok bisa lo sia-siain orang kayak dia?” balas Damar tak mau kalah.

“Lo belom liat aja, Dam, aslinya kayak gimana. Siap-siap, deh. Jangan kaget ya, gue udah ngasih lo warning nih,” ujar Revan. Setelahnya meninggalkan Damar sendirian.


“Lo tunggu depan aja situ, dah. Gue ambil motor,” ucap Dhimas. “Jangan lama-lama!” balas Aghniya.

Setelahnya gadis itu berjalan sendirian, dan menunggu di depan gerbang seraya menendang-nendang kerikil di jalanan dengan sepatu hitamnya. Hingga seseorang menabrak tubuhnya dari belakang dengan cukup keras, membuatnya sedikit limbung.

“Haii, duh, mau jatoh ya? Sorry, ya! Sengaja,” ucap Salsa. Gadis itu juga muncul sendirian kali ini, tanpa gerombolannya yang biasa mengikutinya kemana-mana.

“Demi Allahhhhh, mau ngapain lagi sih loooo?!” ucap Aghniya frustasi. Gadis itu menoleh ke arah gerbang, menghadapkan kehadiran Dhimas supaya bisa segera pergi menjauhi Salsa.

“Apa sih? Gue cuma mau ngajak ngobrol aja kok lo gitu banget?” ucap Salsa.

“Apaan lo ngajak ngobrol? Ngajak ribut iya!”

“Gue bakal terus-terusan ributin lo lah kalo lo masih deket-deket Damar!” sahut Salsa.

“IDIH RIBET BANGET! Ambil deh, Saaa. Ambil Damar ambill, gue capek. Terserah, lo mau jadian sama Damar, kek. Mau ngapain kek, gue nggak peduli! Gue capek berurusan sama lo yang terus-terusan nyuruh gue jauhin dia. Lo deketin aja sendiri sana deh, capek gue. Deketin dia sesuka lo, asal lo jangan ganggu gue lagi!”

Setelahnya Aghniya memilih meninggalkan Salsa dan menyusul Dhimas ke dalam. Salsa? Gadis itu tersenyum miring, kemudian mengeluarkan ponselnya yang sedari tadi tersimpan di dalam saku. Mematikan recorder yang sedari tadi menyala.

Kena lo!