Kartu Pelajar
Gia melangkahkan kakinya ke ruang wakil kepala sekolah sebagaimana yang diberitahukan oleh Alwan dan Haris kemarin. Karena dirinya yang absen pada hari ketiga masa orientasi, terpaksa ia harus mengumpulkan surat sakit hasil merayu mama semalaman.
“Assalamu'alaikum, Ibu, permisi, saya Anggia,” ucapnya sopan.
“Wa'alaikumussalam, Nak, ada apa?”
“Ini, Bu, saya kemarin nggak masuk. Jadi saya mau mengumpulkan data dan surat sakit,” jawab Gia.
“Oh, iya. Sini. Udah lengkap semua nih datanya? Kamu kelas berapa, Nak?”
“Sudah, Bu. Saya kelas X MIPA 2,” jawab Gia lagi.
“Ya sudah, terima kasih yaa. Boleh kembali ke kelas.”
Setelahnya Gia mengucapkan terima kasih pada guru yang berada di sana seraya berpamitan dengan sopan. Namun, ketika ia ingin kembali melangkah, dirinya kembali dipanggil.
“Nak, boleh minta tolong?”
“Iya, Bu?”
“Ini kartu pelajarnya Haris XI MIPA 1, boleh tolong kembalikan ke kelasnya? Tadi Ibu pinjam buat jaminan pinjam proyektor tapi Ibu lupa kembalikan. Proyektornya udah balik kartu pelajar ya belum, tolong ya, Nak? Takutnya dia lupa nanti malah hilang.”
Gia masih diam di tempatnya. Haris XI MIPA 1? Kak Haris?
“Nak? Tau kan ya?”
Gelagapan, Gia buru-buru mengambil kartu pelajar itu. “Iya, Bu. Tau kok, saya permisi, assalamu'alaikum,” ucapnya.
“Iya, terima kasih ya, Nak. Wa'alaikumussalam!”
“JARA! JARA JARA JARA TOLONGIN DONG!!!”
Setelah berhasil keluar dari ruang wakil kepala sekolah, Gia kira dirinya bisa bernapas lega lantaran tidak dicurigai mengenai alasan ketidakhadirannya. Memang betul, Gia melihat tumpukan map berisi berkas yang sama dengan yang dirinya bawa berserakan di mana-mana. Sebab itulah Gia lolos dari interogasi maut.
Namun, sebagai gantinya, ia justru harus mengembalikan kartu pelajar seorang Muhammad Haris. Seseorang yang justru sedang ingin ia hindari akibat keteledorannya salah mengirim pesan kemarin.
“Kenapa sih, Gi?” tanya Zahra.
“Liat!” ucap Gia. Gadis itu menyodorkan sebuah kartu pelajar tepat di wajah teman sebangkunya yang sedang asyik mengeksekusi nugget beserta telor dadar yang dibawakan ibunya.
Zahra melotot, sendok dan garpunya seketika dihempas begitu saja. “KOK BISA ADA DI KAMU? Bukannya dari ruang Wakasek?”
“Iyaa! Ini dititipin sama guru di sana gitu, Jarr. Katanya tadi gurunya minjem buat jaminan pinjem proyektoooorrr, terus belom diambil lagi sama Kak Haris makanya ini disuruh balikinn,” balas Gia.
“Waaaah, gila. Sumpah, Gi, kamu jodoh apa gimana ya sama Kak Haris?” iseng Zahra.
“JARA IH! yang bener ah, gimana dong ini?”
“Ya, tinggal kasih aja emang kenapa?” tanya Zahra.
Gia menghela napas seraya menutup wajahnya. Kemudian sembari menatap lipatan di roknya, Gia berbicara dengan suara pelan. “Jar, kamu nggak tau ya? Kemaren aku salah kirim.. harusnya aku kirim ke kamu tapi malah kirim ke Kak Haris..”
Lagi, Zahra melotot. Pada akhirnya gadis itu memilih menutup kotak bekalnya dan menyimak ucapan Gia. Menagih gadis itu bercerita lebih dalam. “Kamu ngirim apaa?”
“Aku bilang.. gimana rasanya pacaran sama Kak Haris.. ADUHHH GITU DEH, MALU AH!”
“DEMI APA GIIII? HAHAHAHAHAHAHA— eh, enggak. Maaf, maaf. ADUH TAPI NGAKAK TAPI NGGAK BOLEH NGETAWAIN!” Zahra tertawa puas, namun turut kasihan. Sedikit.
“Terus gimana dong, Jaaar?” rengek Gia.
“Ya udah ayo, aku temenin!” ucap Zahra.
“Serius? Kok kamu berani?”
“Berani, lah! Enggak deng, boong. Minta temenin Kani aja, dia IPA 2, sebelahnya Kak Haris kelasnya. Ayo buruann, keburu masuk! Tapi nanti tetep kamu loh yang ngasih, jangan aku!” celoteh Zahra.
“Bawel, ih!”
“KANI!” panggil Zahra pada seorang gadis bertubuh semampai dengan rambut dikuncir kuda yang tengah mengobrol bertiga dengan teman-temannya. Sementara Gia membuntutinya dari belakang dengan pandangan yang sedikit menunduk, segan lantaran melewati koridor kakak kelas.
Gadis yang dipanggil Zahra itu menoleh mendengar teriakannya, setelahnya perempuan itu mengangkat sebelah alisnya bingung.
“Ngapain nih Jara-Joro ke sini-sini? Tumben?”
“Mau minta tolong, Kaaak,” balas Zahra.
“Minta tolong apaan buset, biasanya juga di-chat kenapa rajin banget sampe sini-sini? Ini rambut berantakan banget mulut belepotan abis ngapain sihhh? ya Allahh! Sini sini benerin dulu kuncirannya!”
“Hehe, abis makan. Ini temenku, Kak. Namanya Gia, kenalan dong Gi! Kani, ini Gia, Gia ini Kak Aghni tapi panggil aja Kani,” ucap Zahra yang kini menyerahkan diri pada Aghniya, membiarkan gadis yang lebih tua itu merapikan kuncirannya agar terlihat lebih pantas sebagai anak sekolah.
“Haloo, Giaa! Aku Aghni, kalo mau panggil Kani kayak Zahra juga boleh, salam kenal yaa!”
“Iya, Kak, salam kenal,” ucap Gia.
“Gia inget aku nggak?”
“IDIH, AKU AKU! GELI BANGET LO JAN!”
“Inget, Kak. Kak Ojan, kan?” balas Gia sambil tersenyum kecil.
“Benuuuuul! YHA MAMPUS LO SHA, temen gue nih temen guaaa!” ucap Ojan bangga.
“Ini Ayesha, Gia, tapi biasanya dipanggil Jamet,” ucap Aghniya memperkenalkan Ayesha.
“Gue tabok lo, Met! Boong Gia, panggil Ayesha boleh, tapi jangan Ais ya. Geli,” ucap Ayesha.
“Iya, Kak, salam kenal,” ucap Gia lagi.
“Mau minta tolong apaa, Jara?” tanya Aghniya lagi.
“Oh iya, lupa. Ituu, Kak. Gia disuruh balikin kartu pelajarnya Kak Haris,” jawab Zahra. Gadis itu kini sudah berdiri di samping Gia dengan rambut yang lebih rapi.
“Ohh? Ini temennya, titipin aja,” balas Aghniya.
“Iya si—”
“Kasih aja, Gi. Harisnya di dalem tuh,” Ojan memotong ucapan Ayesha. Pemuda itu kemudian memandang Ayesha dengan senyum tertahan, membuat gadis itu menyadari maksud Ojan.
“Nggak pa-pa, Kak?”
“Nggak pa-paa, emang kenapa? Haris nggak gigit, kok, tenang aja. Lagi ada Dhimas di dalem, atau mau saya panggilin aja Harisnya?” tanya Ojan.
“Hah? E—”
“Panggilin aja, deh. Bentar yaa!” ucap Ojan. Kemudian pria itu bergegas menuju kelasnya, sesampainya di depan pintu ia langsung berteriak.
“HAREEES ADA YANG NYAREEN!”
“SAPAAA? TADULU GUE LG NGEBUT FISIKA ANJING SATU NOMER LAGI!” balas Haris tak kalah kencang. Membuat Gia bisa mendengar suara bariton itu dari luar ruangan.
“Lah? Beloman lu, Cuy?” tanya Ojan.
“Belom anjay, kok lo udah sih?”
“Wahahahaha, makanya lo kalo Fisika tuh mepet Damar!”
“Ah kentutt! Siapa tadi yang geser bangku guaaa? Teritori teritori, umur lu gue kasi teritori!”
Entah suara kedua lelaki itu yang terlalu besar, atau memang Gia berdiri terlalu dekat dari kelas Haris sehingga ia bisa mendengar jelas interaksi kedua kakak kelasnya itu.
“Eh, Gia?” ucap Dhimas tiba-tiba. Membuat Gia yang berdiri di dekat pintu terkejut bukan main.
“Eh, Kak Dhimas,” balas Gia seraya berusaha memberikan senyum terbaiknya meski gemetar sampai kaki.
“Mau ketemu siapa, Gi?”
“I-itu, Kak—”
“OIYA ANJING GIA! LUPAA GIII, MAAF YAAAA! Ris, lo dicariin Gia begooo! Gara-gara lo nih ah gue jadi lupa!” seru Ojan.
“Ngapain?” tanya Haris, masih sambil menulis kilat.
“Itu mau— nggak tau, tuh. Samperin dulu coba,” ucap Ojan yang kemudian meminta minum Damar.
“Bego kenapa nggak bilang dari tadi sih?” tanya Haris. Setelahnya pria itu mendongak, mendapati Gia yang berdiri di ambang pintu bersama Dhimas.
“Gi, sebentar, ya? Dikit lagi beneran,” ucap Haris. Gia hanya mengangguk kaku.
Setelah menunggu beberapa saat, pada akhirnya Haris selesai juga dengan pekerjaannya. Pria itu kemudian bangkit, membuatnya terlihat semakin gagah karena tingginya yang menjulang.
“Kenapa, Gi?” tanyanya.
“Hah? I-ini, Kaak. Tadi saya disuruh kasih ini ke Kak Haris,” ucap Gia.
“Apaan nih?”
“Kartu pelajarnya Kak Haris,” balas Gia.
“Oohh, iyaa. Kok bisa di kamu?”
“Tadi saya dari ruang wakil, Kak. Ngumpulin berkas, terus dititipin ini. Katanya Ibunya takut ilang kalo nggak dibalikin,” balas Gia.
“Oooh, iya. Makasih ya, Gia. Aturan kamu chat saya aja, biar saya yang ke kelas kamu,” ucap Haris.
“Hah? Ngg, nggak pa-pa, Kak. Kan saya yang disuruh balikin, bukan Kak Haris yang disuruh ambil ke saya, hehe.”
Sudut bibir Haris sedikit terangkat mendengar penuturan gadis yang terlihat kecil di hadapannya. “Ya udah, makasih sekali lagi ya, Giaa!”
“Iyaa, Kak. Sama-sama sekali lagi juga. Saya ke kelas ya, Kakk? Maaf ganggu waktunya,” balas Gia.
“Iyaa. Eh, Gi!”
“Iya, Kak?”
“Nanti pulang sekolah ketemu lagi ya?”
“Maksudnya, Kak?”
“Basket, kan? Hari ini pertemuan pertama. Dateng ya!”
“Ohh, iya, Kak. Makasih informasinya, permisi, Kak,” ucap Gia. Setelahnya gadis itu kembali menuju Zahra yang bergerombol dengan Ayesha dan Aghniya sejak tadi. Dengan tergesa Gia berpamitan pada kedua kakak kelasnya itu dan mengamit lengan Zahra kencang seraya menyeratnya kembali ke kelas. Entahlah, Gia merasa seperti es krim yang dibiarkan terlalu lama di bawah sinar matahari setelah berbincang dengan Haris dari dekat.
Tanpa gadis itu ketahui, Haris masih berdiri di ambang pintu kelasnya. Pandangannya tak luput dari seorang Anggia yang tiba-tiba berlari menaiki tangga. Telinganya pun tak lengah menangkap jeritan panik gadis itu pada temannya.
“Perasaan Gia-nya udah ilang. Senengnya masih di hati ya, Ris?” ejek Dhimas.
“Astaghfirullah!” ucap Haris terkejut.
Dhimas hanya terkekeh geli melihat sahabatnya itu, “Makan tuh nggak demen!”