Taman Mini Date (3)
“Dam gue pernah nari di sini tau waktu SD. Waktu kelas satu,” ujar Aghniya tiba-tiba. Gadis itu bercerita dengan tatapan yang bahkan tidak melihat pada Damar seraya asik menghabiskan es krim miliknya yang perlahan mulai mencair.
“Masa? Nari apa?”
“Semut,” jawab Aghniya.
“Hah? Nari semut?”
“Iya. Terus pake kostum semut gitu kocak dah,” balas Aghniya.
“Lah iya? Hahahaha, eh gue juga pernah deng nari di sini,” Damar menimpali.
“MASA? Nari apaaa?”
“Jaranan, tau nggak?”
“Tauu, yang pake kuda lumping kan?” balas Aghniya.
“Iyaa, terus gue bawa-bawa pecut gitu. Lagaknya doang bawa pecut, narinya pada lemes emang dasar bocah,” ucap Damar yang kemudian mengundang tawa Aghniya.
“Masih ada fotonya tuh fotonya sampe sekarang. Dicetak gitu kan ngakak banget. Didandaninnya tuh kayak Gatot Kaca gitu, Agh. Dipakein bedak tebel banget, sampe putih gitu terus digambar kumis,” cerita Damar.
“Iya? HAHAHAHA ih lucu banget donggg!”
“Lo masih ada nggak foto lo pake baju semut?” tanya Damar.
“Adaaaaaaa, disimpen di laptop Papa. Sumpah narinya sampe tidur-tiduran, Dam. Tapi gue masih inget sampe sekarang gerakannya kayak gimana soalnya seru banget waktu itu latihannya.”
“Masa? Ngapain tidur-tiduran?”
“Ya emang gerakannya begituuuuu! Musiknya juga lucu banget sebenernya, ada tining tining gitu sumpah!”
“Hahahaha apaan tining tiningg?”
“Aaada, Daam! Musiknya bunyinya tining tining!”
“Iyaaaa iyaaa, percaya percaya,” balas Damar. Sementara gadis itu hanya tertawa membalas ucapannya.
“Lo kok suka matcha sih, Dam?” tanya Aghniya. “Beli es krim rasanya itu, beli es di sekolah rasanya itu juga.”
“Enak,” jawab Damar.
“Lo nggak suka emang?” tanya Damar.
“Enggakk. Udah pernah coba tapi nggak doyan,” jawab Aghniya.
“Dih, padahal banyak banget yang suka.”
“Iya tapi pasti yang nggak suka kan bukan cuma guee,” balas Aghniya.
“Iya sih. Atau jangan-jangan lo kayak ini ya? Apa tuh namanya, cewek yang kalo mau beda sendiri dari yang lain? Yang nggak mau ngikutin tren.”
“Pick me girl?“
“Oh namanya pick me girl? Kirain pick up hahaha,” balas Damar.
“Yeee, mobill kali ah pick up.”
“Enggak lah, amit-amit. Nggak boleh gitu nggak sih, Daaam?” ucap Aghniya.
“Kenapa nggak boleh gitu?”
“Iyaa gue pernah nonton video gitu, kita tuh nggak boleh kayak mau beda dari perempuan kebanyakan. Soalnya bisa lead to misogynist gitu. Sebenernya sih awalnya pasti banyak perempuan yang tanpa sadar pernah kayak gitu, gue juga pernahh. Tapi makin gede kayak mikir gitu, 'ngapain sih?' gitu.” Aghniya itu mulai berceloteh.
“Lagian kalo dipikir-pikir iya juga, emang kenapa kalo samaan sama perempuan yang lain? Aib? Kan enggak juga,” lanjutnya.
“Bener sih. Kadang annoying juga kalo ngeliat orang kayak gitu sebenernya,” balas Damar.
“Betul, betul. Bukan kadang lagi tapi emang annoying nggak sih, Dam?”
“Iya deng, hahaha. Ada tuh temen kakak sepupu gue satu kayak gitu. Dia tiap cerita sama gue berkobar banget emosinya, sebel katanya,” balas Damar.
“Lagian harusnya sesama perempuan tuh saling dukung nggak sih? Bukannya saling berkompetisi buat jadi one of a kind?” ujar Aghniya.
Damar lagi-lagi terdiam di tempatnya. Memilih bicara dalam hatinya sendiri. Memikirkan apa yang ada di dalam pikiran gadis di hadapannya. Apa yang orang tuanya tanamkan dalam dirinya hingga seorang Aghniya tumbuh menjadi seseorang yang begitu menawan. Parasnya, hatinya.
“You're one of a kind,” ucap Damar tanpa sadar.
“Hah? Kenapa, Dam?”
“Enggak, azan. Salat dulu ya baru pulang? Lo salat?” tanya Damar.
“Ohh, boleh. Enggak gue lagi nggak salat, baru aja semalem dapet,” jawab Aghniya.
“Ya udah, cari musala ya?”
“Iya. Bentar, Dam,” ujar Aghniya.
Damar memandangi Aghniya yang tengah sibuk mencari sesuatu. “Nyari apa?”
“Karet gue, ilang deh kayaknya. Tadi pas berangkat rambut gue dikuncir, pas sampe sini gue lepas terus karetnya gue jadiin gelang. Tapi kayaknya ilang, nggak tau ilang di mana tapi,” balas Aghniya. “Biarin deh, yuk cari musala.”
“Nih,” ujar Damar seraya menyerahkan karet rambut pada Aghniya.
“Hm? Lah, karet siapa, Dam?”
“Gue bawa.”
“Kok?”
“Gue tau hari ini jalannya jauh, jadi tadi gue minta karet sama Ibu, siapa tau lo butuh,” balas Damar. “Nih, pake aja. Ibu punya banyak banget di rumah, tenang aja.”
Sembari menahan senyum, gadis itu menerima karet rambut yang Damar berikan. Sekon berikutnya, rambut panjangnya sudah kembali terikat rapi dengan model ikat satu. Menyisakan anak rambutnya yang lebat di pelipisnya.
“Udah, yuk!” Ajak Aghniya. Damar mengangguk kemudian berdiri dan bergegas untuk mencari musala.