Arwana dan Bapak

Damar memarkirkan motornya di sebuah toko ikan yang sekaligus menjual pakannya. Pria itu hapal di luar kepala alamat toko yang menjadi langganan sang ayah. Jadi, sepulang sekolah, Damar langsung tancap gas menjemput sang ayah.

Pria itu menyampirkan helm-nya di spion motornya, tak lupa menyugar rambutnya yang sudah panjang. Kemudian berjalan memasuki toko seraya mengedarkan pandangannya ke sekeliling toko guna mencari bapak.

“Pak,” panggil Damar. Pria itu menyalami tangan bapak kemudian mengambil alih tas laptop bapak dan membawakannya.

“Bapak dari tadi?” tanya Damar. “Baru, kok.”

“Udah belinya?” tanya Damar.

“Udah, ini Bapak lagi liat-liat ikan.”

“Ohh, ya udah. Liat-liat aja dulu,” balas Damar. “Enggak ah, pulang yuk!”

Damar tekekeh, “Gimana sih, labil banget Bapak kayak ABG.”

“Emang masih ABG, Mas.”

“Ngarang.”


Damar sudah menanggalkan seragam sekolahnya, menggantikannya dengan kaus santai serta celana pendek. Pemuda itu menghampiri sang ayah yang tengah memberi makan ikan-ikannya di akuarium. Ikan kecil, beserta arwana yang menjadi kesayangannya. Biasanya, Damar juga diberi tugas memberi makan mereka ketika bapak belum pulang.

“Pak,” panggilnya. Bapak menoleh, “Kenapa?”

“Nggak, manggil doang.”

“Walaah, ganggu aja,” canda Bapak.

“Ya Allah, gitu banget sama anak sendiri,” gerutu Damar. Sementara bapak hanya terkekeh.

“Bapak kenapa demen banget sih sama arwana? Sampe segitu sayangnya, deh?” tanya Damar lagi.

Bapak memamerkan senyum tipis sembari memandangi ikan-ikannya. Damar masih setia menunggu jawaban dari bapak, pemuda itu ikut duduk bersama sang ayah.

“Arwana tuh teman Bapak untuk belajar, Mas,” jawab Bapak.

Damar mengerutkan alisnya, “Belajar? Belajar apa, Pak?”

“Belajar jadi bapak yang baik.”

“Kok gitu? Emang dia ngapain? Perasaan berenang doang kerjaannya,” sahut Damar.

Bapak berdecak, “Ah, Mas Damar mah ngerusak suasana, deh!”

Damar tertawa, “Loh, Damar beneran nanya, Paak..”

Bapak tak lagi bersungut, pria itu kini ikut tertawa. Bapak tahu Damar hanya bercanda, seperti yang biasanya ia lakukan pada kedua orang tuanya.

“Mas Damar tau nggak, kalo arwana betina bertelur, siapa yang jagain telurnya? Yang betina atau yang jantan?” tanya Bapak.

“Betina?”

Bapak menggeleng, “Jantan, Mas. Tau cara jagainnya gimana?”

Damar menggeleng sebagai jawaban dari pertanyaan bapak.

“Setelah telur-telur itu dikeluarkan, telurnya akan disimpan di mulut arwana jantan. Paling sedikit lima puluh hari,” jawab bapak.

“Loh, terus makannya gimana, Pak?”

“Puasa, Mas. Arwana jantan itu siap berpuasa selama lima puluh hari, karena nggak bisa membuka mulutnya. Soalnya ada calon anak-anaknya yang harus dia jaga. Nggak peduli dirinya kelaparan, yang penting anak-anaknya bisa tumbuh besar dan selamat,” jelas bapak.

“Arwana itu teman belajar Bapak. Setiap hari Bapak selalu berpikir, Bapak ini udah cukup baik belum ya, buat Mas Damar? buat Ibu? Tapi, yang jelas setiap hari Bapak berusaha biar jadi sosok ayah yang bisa Mas Damar contoh. Bapak berdoa supaya setidaknya ada satu atau dua hal yang bisa Mas Damar contoh dari Bapak,” sambungnya. Kini pandangannya tertuju pada anak laki-laki yang ia beri nama Yudhistira Damar. Tak lupa ia sematkan nama belakang miliknya pada anaknya seorang. Sebagai perwakilan rasa bangga, serta harapan akan kelak anak laki-lakinya dapat harumkan nama keluarga yang juga menjadi namanya sendiri.

“Waktu itu cepet banget ya, Mas? Nggak berasa banget loh, Bapak. Tiba-tiba Mas Damar udah gede aja. Perasaan kemarin baru minta beliin sepeda roda dua, sekarang udah punya incaran aja? Berarti Bapak makin tua juga ya, Mas?” ucap bapak lagi. Turut menyadarkan Damar dari lamunannya.

“Pasti nanti nggak berasa juga deh, tau-tau Mas Damar mau nikah,” tutur Bapak. Damar terkekeh dengan kedua matanya yang kian sayu, memberikan tatapan lembut pada sang ayah. “Bapak apa sih, masih lama banget itu!”

“Kalo dipikir, iya, masih lama. Tapi kalo dijalani pasti nggak terasa, Mas,” sahut bapak. “Bapak nggak tau, Bapak masih bisa nemenin Mas Damar atau enggak untuk hari besar itu nanti. Kan kita nggak tau ya, Mas, sampe kapan kita diberi kesempatan bertahan di dunia ini. Bapak sih, kepengennya yang penting Mas Damar sehat, bahagia. Udah, itu aja.”

“Iya, Pak. Udah sehat dan bahagia kok ini. Kan dikasih makan enak terus sama Bapak Ibu,” jawab Damar. Memilih tidak mendengar ucapan bapak mengenai waktu di dunia.

“Loh, jangan cuma sekarang dong, Mas. Sampe seterusnya. Sampe Mas Damar semakin besar, semakin tinggi, semakin dewasa. Harus tetep sehat dan bahagia,” balas bapak. “Ikutin kata hati Mas Damar sendiri, jangan apa kata orang lain. Jangan ragu-ragu kalau punya mimpi. Mas Damar harus selalu inget kalo Bapak sama Ibu, akan selalu ndukung apapun mimpi Mas Damar. Selama itu baik, dan bisa mbawa manfaat untuk orang banyak.”

“Mas Damar gedenya mau jadi apa sih? Bapak kok nggak tau, deh? Musisi?” tanya bapak.

Damar terkekeh seraya menunduk, menyembunyikan air matanya yang hampir menetes. “Belum tau, Pak. Mungkin musisi, mungkin juga yang lain.”

Bapak tersenyum hangat, “Ya, apapun itu, lah. Semoga tercapai. Yang jelas, Mas Damar nggak perlu jadi ilmuwan untuk buat Bapak sama Ibu bangga, karena kami sudah dan akan selalu bangga sama Mas Damar. Udah cukup, Mas Damar nggak perlu jadi orang lain.”

“Nanti, kalau berkeluarga, yang betul. Semoga Mas Damar berjodoh dengan orang yang baik, yang memang Mas Damar cintai dan sayangi dengan tulus. Jadi ayah, suami, kepala keluarga yang baik. Yang penting tanggung jawab, Mas. Laki-laki itu perlu tanggung jawab,” ucap Bapak dengan penegasan kata pada kata terakhir kalimatnya.

“Bapak nggak minta apa-apa dari Mas Damar. Kalaupun seandainya Mas Damar nggak punya prestasi, Bapak nggak pa-pa. Bapak sama Ibu guru, bukan berarti Mas Damar dituntut untuk jadi jenius biar Bapak Ibu nggak malu. Enggak, Mas. Bapak sama Ibu nggak akan malu. Bagaimanapun Mas Damar, ya Mas Damar tetep anaknya Bapak Ibu. Toh, bakatnya Mas Damar pun banyak,” ucap bapak.

“Bapak cuma minta dua, Mas. Di manapun kakinya Mas Damar berpijak, jangan lupa libatkan Tuhan dan jangan lupa berbakti sama orang tua, siapapun yang tersisa nanti,” sambungnya.

Damar menatap lurus pada tatapan bapak yang juga mengarah padanya. “Iya, Pak. Pasti.”

“Mas Damar laki-laki. Jagain Ibu. Karena Ibu cuma punya kita berdua. Artinya selain Bapak, Ibu cuma punya kamu, Mas.”

“Iya, Pak.”

“Tapi, orang tua juga masih perlu belajar, Mas. Kalau Bapak ada salah, Mas Damar boleh koreksi Bapak. Kayak pembelajaran dalam kelas, Mas. Kalau penjelasan gurunya kurang tepat, silakan murid angkat tangan dan tegur, kemudian bantu perbaiki. Begitu juga sebaliknya,” ujar bapak lagi.

“Daah, sudah. Bapak mau bikin kopi,” ucapnya. Kemudian bangkit berdiri dan menepuk-nepuk pundak Damar pelan sebelum berlalu meninggalkannya di ruang keluarga.

Damar masih merenung. Netranya kini berkaca-kaca. Masih perlu belajar, katanya? Tidakkah beliau tahu, menurut Damar, bapak adalah bapak juara satu sedunia. Sebagaimana bapak merasa cukup dengan kehadiran Damar dan segala yang ada pada dirinya, Damar pun merasa cukup akan kehadiran bapak dan segala yang ada pada dirinya.

Kopi, arwana, memancing, serta kebiasaannya meledek ibu, Damar menerimanya, Damar menyukai segala sesuatu yang ada pada diri bapak atau yang berhubungan dengan beliau. Damar mensyukuri kehadiran asap kopi mengepul dari gelas keramik berwarna kuning yang turut membaur dengan udara pagi ketika dirinya sarapan bersama keluarga, suara gemericik air dari akuarium setiap kali arwana itu diberi makan, suara gerutu ibu yang disusul tawa, serta suara berat namun lembut yang selalu memanggilnya untuk salat Isya berjamaah di masjid. Damar mensyukurinya, karena selama hal-hal itu masih berada di sekitarnya, tandanya bapak pun masih berada di sekitarnya.

Bapak cuma minta dua, katanya. Damar juga.

Damar cuma minta dua. Supaya bapak dan ibu sehat dan bahagia, serta panjang umur. Karena anak satu-satunya dalam keluarga Wijayanto itu masih ingin menyayangi keduanya hingga waktu yang lama.

Arwana dan bapak selalu terlihat seperti sahabat karib, yang enggan dipisahkan. Namun, rasanya hari ini Damar tak ingin lagi menyuarakan protes jika bapak terlihat pilih kasih pada ikan-ikannya, terutama si arwana. Sebab, secara tidak langsung, arwana membantunya mendapatkan kehangatan dari keluarga.

Terlebih, seorang ayah. Dari bapak, yang tidak sempurna, namun selalu mengusahakan yang terbaik untuk keluarganya.

Bapak juara satu sedunia.