Piket
“Giii, belakang udah disapu?” tanya Alwan. Pria yang menjabat sebagai ketua kelas itu terpaksa pulang paling akhir setiap harinya karena harus memastikan apakah kelas ditinggal dengan keadaan bersih atau tidak. Beruntung, hari ini adalah jadwal piket Gia yang memang rajin. Jadi Alwan mempunyai teman untuk berbincang meski harus pulang paling akhir.
“Udah, Wan. Kolong-kolongnya juga udah. Mau dipel sekalian?” tanya Gia.
“Nggak usah, Gi. Kita ngepelnya Jumat aja, soalnya waktu bersih-bersihnya lebih panjang. Udah nih gue tinggal buang sampah doang, lo tolong matiin kipas sama lampu ya, Gi!” tutur Alwan.
Gia hanya mengangguk menjawab Alwan. Kemudian dengan segera mematikan lampu dan berniat mematikan kipas angin. Entah penghinaan atau bagaimana, yang jelas Gia terlalu pendek untuk menggapai tali kipas angin dinding yang biasa digunakan untuk mematikan kipas itu.
Gadis itu berniat menaiki meja, namun semua meja di kelasnya itu sudah menjadi tempat kursi-kursi dinaikkan. Gia menghela napas lelah. Pundak kanannya sudah sakit lantaran memaksa menggapai tinggi kipas angin. Tak lama kemudian, terdengar suara tertawaan dari arah kirinya.
“Giaa, kalo nggak nyampe biarin aja sih, Gi. Nanti aku yang matiin,” ucap Alwan yang baru saja kembali. Ia meletakkan kembali tempat sampah pada tempat yang seharusnya sebelum membantu Gia.
“Asli, Wan, aku pikir aku nyampe. Ternyata enggak..”
Pemuda itu tergelak, “Minum susu yang banyak, Gi.”
Gia berdecak sebal pada pria bongsor di hadapannya. “Udah ayo buruan! Udah selesai, kan?”
“Iyaaa udah,” jawab Alwan.
“Bangku aku belom dinaikin, ya Allah. Lupa,” ucap Gia.
“Udah biarin, nanti gue yang naikin ke meja. Lo ambil tas aja, tolong tas gue juga,” balas Alwan.
“Ih baiknyaaa, terima kasih Alwaan!”
Tak lama kemudian Alwan mengunci pintu kelas yang sudah rapi. Hasil kerja kerasnya bersama Gia, satu-satunya orang yang bertanggung jawab selain dirinya. Teman-temannya yang lain? Kabur. Biar saja, Alwan akan melaporkannya pada wali kelas esok hari.
Alwan dan Gia kini berjalan beriringan turun ke bawah. Keduanya berjalan perlahan sembari bertukar obrolan ringan guna mengisi kekosongan.
“Lo jadinya ekskul apa, Gi? Hari ini lagi pada kumpul ekskul semua kayaknya deh, rame banget gue liat di bawah,” tutur Alwan.
“Aku basket, kamu apa?”
“Taekwondo. Tadinya gue mau ambil basket juga tapi nggak jadi,” balas Alwan. “Kalo tau lo mau basket, gue basket juga deh, Gi.”
“Loh, kenapa nggak jadi?” tanya Gia.
“Gue tuh nggak bisa basket, Gi. Tapi sebenernya pengen coba gituuu, tapi di kelas kita nggak ada temennya. Soalnya gue tanyain satu-satu, anak cowok rata-rata maunya futsal. Ya udah gue nggak jadi basket. Eh, nggak taunya ada elo.”
“Yaah, Alwaan. Harusnya kita satu ekskul tuhh, enak bisa barengan,” balas Gia. “Daftar aja kalo nggak, Wann!”
Pemuda itu menggeleng, “Nggak ah, gue rencana mau daftar OSIS juga soalnya. Kalo kebanyakan ekskul nanti keteteran.”
“UWIDIH, keren banget!!”
“Lo nggak mau OSIS, Gi?”
“Enggak, ah. Bukan keahlian aku deh kayaknya organisasi begitu,” balas Gia.
Keduanya terus berbincang dengan langkah yang kian lama justru semakin melambat. Tanpa keduanya sadari, sepasang mata memusatkan atensi pada keduanya. Dan meski pemilik sepasang netra itu enggan mengakui, dalam hatinya tergores setitik rasa kecewa yang membuatnya langsung memalingkan wajah.