Kerja Bakti
Hari Jumat, seperti biasa di Pelita Nusantara, menjadi hari kebersihan dalam minggu pertama sekolah. Jam pembelajaran dikurangi dan diganti dengan kegiatan kerja bakti membersihkan kelas.
Alwan sebagai ketua kelas memandu seluruh anggotanya untuk meminggirkan meja-meja terlebih dulu agar lebih leluasa menyapu dan mengepel lantai.
“Geser dulu yooook! Geser yoooook! Eh jangan digeser deng! Nanti ubinnya lecet, angkat yoook! Angkat yoook!” ucap Alwan.
“Yang bawa kanebo siapaa ajaa?” tanya Alwan.
“Giaaaa!” jawab Gia seraya mengangkat kanebonya tinggi-tinggi.
“Siapa lageee?” tanya Alwan.
“Jara bawa, Wann!” balas Zahra. Diikuti dengan teman-temannya yang lain yang juga membawa kanebo.
“Ya udah yang bawa kanebo bersihin jendela yak!” titah Alwan.
Akhirnya Gia dan Zahra memulai pekerjaan mereka untuk membersihkan jendela kelas. Keduanya bertugas membersihkan jendela yang menghadap koridor sekolah mereka. Gia dan Zahra melakukannya dengan penuh canda guna menambah riang suasana hati mereka sehingga pekerjaan yang dilakukan akan lebih baik hasilnya.
“Iiiiii, liat, Jar! Kotor banget, hi,” ucap Gia seraya iseng menyodorkan kanebo kotor bekas mengusap jendela ke hadapan Zahra.
“Ih, Gia ih! Jorok banget! Ini dosa berapa taun ya, Gi?”
Gia tergelak, “Kok dosa berapa taun? Hahaha.”
“Abis kotor banget begini, nggak pernah dibersihin apa gimana coba?” balas Zahra.
“Ya, namanya abis ditinggal libur, pasti kotor lah, Jar,” sahut Gia.
“Eh, Gi, minta isi semprotannya lagi sama Alwan, Gi. Yang ini udah mau abis,” ujar Zahra.
“Oke bentar,” jawab Gia. Setelahnya gadis itu menuruni meja dan menghampiri Alwan yang tengah membersihkan papan tulis.
“Alwan, ada semprotan buat kaca lagi nggak? Yang itu udah mau abis.”
“Di lemari, Gi, coba,” sahut Alwan tanpa melirik Gia di sebelahnya. Pemuda itu masih fokus memoles papan tulis kelasnya agar terlihat kembali putih tanpa noda hitam bekas hapusan spidol.
Gia kemudian mengecek isi lemari kelasnya. Di bagian paling bawah, gadis itu rupanya hanya menemukan cairan pel tanpa ada penyemprot kaca yang dirinya butuhkan. Dengan segera ia kembali melapor pada sang ketua kelas.
“Alwan, nggak ada. Adanya cuma yang buat ngepel,” ucap Gia.
“Di paling bawah, Gi.”
“Iyaaa, nggak ada, Wan. Barusan aja aku liat, adanya cuma yang buat ngepel.”
“Yah, ya udah sana minta ke TU. Izin dulu, biar kelas kita dicatet minta perlengkapan,” balas Alwan.
“Ah, nggak beranii. Ayo sama kamu,” ucap Gia.
“Dih orang tinggal bilang doang aja nggak berani!”
“Takut ah! Ayo temenin, tapi tetep kamu yang ngomong sih, Wan.”
“HIIIHH ribet nih, Gia! Ya udah bentar nih tanggung,” jawab Alwan.
Selang beberapa lama, Alwan selesai membersihkan papan tulis. “Weh, ini papan tulis jangan ada yang nyentuh ya! Udah susah payah gue bersihin kalo ada ceplakan tangan lagi awas aja!”
“Ayo, Gi,” ajak Alwan. Kemudian keduanya berjalan menuju ruang TU.
Sesampainya di sana, rupanya ada dua orang kakak kelas yang sangat Gia kenali. Yang satu dengan tampang ramah nan manis, satunya lagi dengan tinggi menjulang yang membuatnya terlihat dari mana pun.
“Kak Dhimaaas!” sapa Gia riang seraya melambaikan tangannya. “Halo, Kak Haris!” sapa Gia tak melupakan Haris.
“Wehh, Giaa! Ngapain?” tanya Dhimas. Berbeda dengan Dhimas, Haris hanya mengangguk singkat kemudian memalingkan wajah. Menonjolkan sisi wajahnya yang sempurna bagi Gia. Rahang tirusnya itu sesekali menajam lantaran ulah pemiliknya.
“Ini, Kak, mau minta semprotan kaca. Yang di kelas abis soalnya,” jawab Gia.
“Ohh, ini ketua kelas kamu?” tanya Dhimas
“Iya, Kak. Saya Alwan, Gia nggak berani minta sendiri katanya,” sahut Alwan.
“Alwan ih,” sebal Gia. Sementara Alwan dan Dhimas hanya tertawa. Haris? Entah mengapa pemuda itu terlihat tak berminat bergabung dalam obrolan.
“Kak Dhimas mau ngapain?” tanya Gia.
“Mau minta isi spidol. Kalo nggak diisi nanti gurunya baper, sangkain kitanya nggak mau belajar,” jawab Dhimas.
“Oh? Emang gitu, Kak? Spidol kelas kita udah diisi, Wan?”
“Masi penuh lah, Gi. Orang baru semua,” sahut Alwan. “Ini di dalem ngantri apa gimana, Kak?”
“Iya ngantri, Wan. Makanya saya nunggu di luar. Nanti bareng aja masuknya,” ucap Dhimas.
Tepat saat pemuda itu selesai bicara, murid lain yang berada dalam ruang TU pun keluar. Maka Dhimas segera mengajak Alwan untuk masuk. Sesuai kesepakatan, Gia menunggu di luar. Gadis itu mengira akan menunggu sendirian, namun ternyata, Haris ikut menunggu di luar bersamanya.
“Lah kirain Kak Haris juga mau masuk,” ucap Gia. Namun, lagi-lagi pemuda itu tak menjawab. Ia hanya menggeleng tanpa mengeluarkan suaranya.
Gia mengangkat alisnya bingung, setelahnya berucap dalam hati. Ah, mungkin Kak Haris lagi badmood.
Mengetahui lawan bicaranya sepertinya tak berminat bicara padanya, Gia memilih diam. Gadis itu menatap pada sepatu hitamnya yang ia gunakan untuk memainkan sehelai daun kuning yang jatuh ke lantai.
“Gia,” panggilnya tiba-tiba. Membuat Gia berjengit kaget.
“Iya, Kak?”
“Idungnya kotor.”
“Hah?”
“Idung kamu kotor.”
“Hah? Serius, Kak?? Ihhh Alwan kenapa nggak ngasih tau sihhhh sebel deh ah!” Gia bermonolog seraya mengusap-usap hidungnya sendiri. Berusaha menghilangkan kotoran di sana meski ia tidak tahu letak persis noda hitam yang mengotori hidungnya.
“Makasih banyak, ya, Kakk. Malu deh, tadi saya abis bersihin jendelaa. Kayaknya kena debu dari sana,” ucap Gia yang tanpa sadar memberi terlalu banyak informasi untuk Haris ketahui.
“Nggak peduli,” sahut Haris. Setelahnya pria itu berlalu bersama dengan Dhimas yang telah selesai dengan urusannya. Meninggalkan Gia yang menatapnya nanar sekaligus penuh tanya.
“Gi, ayo balik,” ajak Alwan. Gia mengangguk. Perjalanan kembali ke kelas menjadi berbeda dengan sebelumnya yang penuh celoteh rewel Gia. Gadis itu kini lebih banyak diam dan terlihat tidak bersemangat bahkan untuk melanjutkan pekerjaannya.