Taman Mini Date
“Mau ke mana dulu?” tanya Damar. Muda-mudi itu melangkahkan kaki perlahan sembari menikmati udara sejuk di bawah naungan langit yang bersahabat hari itu.
“Titihan Samirono,” balas Aghniya. Damar mengernyit, “Apaan tuh?”
“Masa nggak tau Titihan Samirono?”
Damar menggeleng, masih dengan wajah bingungnya yang menggemaskan. “Kedengerannya kayak apa, Dam?”
“Nggak tau, kayak bahasa Jawa. Emang itu apa?”
“Kereta,” jawab Aghniya.
“Kereta?”
“Kereta yang di atas ituuu, liat! Jalannya di atass nanti keliatan Taman Mini dan seisinya, nggak sih. Itu lebay, tapi gitu deh,” jawab Aghniya lagi. Memancing tawa kecil Damar dari persembunyiannya.
“Ya udah, yuk. Tau jalannya?” tanya Damar.
“Sana, sana,” ucap gadis itu seraya menunjuk arah jalan. Kemudian Damar mengangguk dan mengikuti langkah ringan Aghniya.
Entah karena lebih tinggi atau memang langkah gadis itu yang kecil-kecil, perbedaan cara jalan keduanya jelas terlihat. Damar berjalan dengan tenang namun masih selalu bisa menyamakan langkah Aghniya yang cepat meski sesekali gadis itu menoleh ke belakang karena Damar sedikit tertinggal.
“Dam,” panggilnya.
“Hm?”
“Nggak bisa nyebrang,” ucap Aghniya.
Damar tak menjawab, pemuda itu hanya memandagi Aghniya sesaat kemudian sebuah tawa kecil lolos dari bibirnya. Membuat lesung pipinya nampak di pipi tirus pemuda itu.
Setelahnya Damar maju beberapa langkah, menyejajarkan dirinya dengan Aghniya yang berada sedikit di depannya.
“Ayo,” ajak Damar. Pria itu mengulurkan tangan kirinya, menanti gadis itu menyambut uluran tangannya agar keduanya bisa menyebrang. Menepis keterkejutannya, Aghniya kemudian meraih tangan Damar. Kemudian keduanya kembali melangkah.
Aghniya dan Damar memilih kursi paling depan agar dapat melihat pemandangan dengan jelas. Keduanya beruntung karena belum terlalu siang, jadi kereta tak terlalu penuh.
Sepanjang perjalanan, keduanya tertawa akan banyak hal. Pakaian seseorang dengan warna begitu terang di jalanan bawah sehingga tetap terlihat mencolok bahkan oleh mereka yang berada di dalam kereta, atau keterkejutan keduanya ketika kereta menabrak cabang pohon yang menjuntai.
“Ih, tuh gue ngeri deh. Ini tuh jalannya belok tapi keretanya kayak lurus dulu baru belok, Agh!” ujar Damar.
Gadis itu tergelak, “Enggak lahhh! Pasti belok Damarr, nggak mungkin kita molos ke sana. Orang rodanya nyangkut di rel. Badannya doangg lurus dulu, tapi nanti pasti belok!”
“Ngeri dah, gue nggak tau kalo duduk di depan ternyata serem.”
“Idih? Hahahaha. Di belakang nggak seru lah, mau liat apa-apa nggak keliatan,” jawab Aghniya.
“Iyaa sihh,” balas Damar diiringi kekehan kecil.
“Mau ke mana lagi?”
“Naik kereta gantung berani nggak, Dam?” tanya Aghniya.
“Berani, lah! Kok gituuuu nanyanyaaa?”
“Ya tadi aja kereta belok doang takut.”
“Tapi kan nggak se-penakut ituu. Berani, ayo!” jawab Damar. Kali ini malah pemuda itu yang lebih bersemangat, tanpa ia sadari bahkan tangannya sudah kembali menggenggam tangan Aghniya dan menariknya semangat.
“Eh, ke sana, Damar! Salahhh!”
“Lo nggak ngomong sih,” balas pemuda itu.
“Looo main narik-narik aja,” balas Aghniya tak mau kalah. Sementara Damar hanya tertawa.
Kini keduanya sudah berada dalam sebuah kereta gantung. Awalnya Damar berpikir ini akan menjadi situasi yang canggung, namun tebakannya meleset. Selama berada di sana, Aghniya tak henti-hentinya berbicara.
“Dam, liat ini masa ternyata pulau Indonesia tapi mini.”
“Mana?”
“Itu, di bawah,” ucap Aghniya.
“Oh iya kok lo liat aja sih?”
“Lah, emang dari tadi lo ngeliatin apaan?” tanya gadis itu.
“Hah?” Damar gelagapan.
“Istana, dari tadi gue ngeliatin istana,” jawab Damar lagi. Ngeles, dirinya tak ingin jujur sekarang bahwa gadis itu-lah yang menjadi pusat perhatiannya sejak tadi. Bahkan ketika keduanya sampai tadi, Damar mati-matian menahan diri agar tak mengusak kepala gadis itu.
“Ohh, mau ke sana?” tanya Aghniya.
“Bolehh,” jawab Damar.
“HOKEH! Abis ini kita ke sanaa!”