Laughter
Setelah melalukan praktikum, kelas Gia dibebaskan oleh guru biologi karena setelah ini adalah jam istirahat. Teman-temannya yang lain sudah berbondong-bondong ke kantin sementara Gia memilih bersantai di depan lab, mendudukkan dirinya di kursi panjang yang tersedia di sana seraya memperhatikan segerombolan anak laki-laki yang melalukan pengambilan nilai senam lantai. Tak ada yang menarik, sebenarnya. Namun sepertinya banyak orang yang tertawa ketika memperhatikan para siswa yang sedang berolahraga itu.
“Gia mau ke kantin nggak?” tanya Zahra. Gia menoleh, “Kamu mau ke kantin?”
“Enggak, nanti aja dulu ya? Ini lagi seru nonton yang pada olahraga nggak sih? Itu yang lain juga nonton,” balas Zahra.
“Iya kann, ya udah nonton dulu ya!” balas Gia. Setelahnya Zahra hanya mengangguk dan pandangan keduanya kembali terfokus pada pengambilan tawa yang penuh canda itu.
“Ini kelas berapa sih?” tanya Gia.
“Nggak tau, kayaknya kakak kelas,” balas Zahra.
“Eh itu Kak Ojan?” tanya Gia. “Mana?” tanya Zahra.
“Itu yang paling pinggir sini, yang lagi benerin matras,” balas Gia.
“Oh iya, berarti kelasnya Kak Haris dong?”
Benar juga. Seketika Gia tertegun dan matanya mendadak bergerak mencari sosok tinggi itu di tengah kerumunan.
Sepertinya Tuhan mengetahui isi hatinya, ketika matanya mulai lelah mencari, Pak Edo memanggil sebuah nama untuk menjadi pasangan Ojan.
“Muhammad Haris,” panggilnya. “Sono sama Ojan!”
Haris lantas bangkit dan berdecak setelah mengetahui Ojan adalah pasangannya. Ia tahu ini akan menjadi kekacauan.
“YAH PAK SAYA JANGAN SAMA OJAN DONGGG, PASTI NGGAK BENER NIH DIA PAK!” protes Haris. Namun pada akhirnya ia tetap menghampiri Ojan yang sudah senyum-senyum seraya memainkan alisnya.
“Halo ayanggg!” canda Ojan.
“Ayang ayang, badan lu kuyang!” balas Haris jengkel, kemudian ia mendudukkan diri di sebelah Ojan yang bersila.
“Lo duluan ae, Jan. Apaan aja sih ambil nilainya?” tanya Haris.
“Sit up, back up, sikap lilin, kayang,” balas Ojan.
“Kayang?” Haris mengulangi ucapan Ojan. “Hooh kayang, soalnya sayangnya kamu di pinggir lapangan tuh ngeliatin,” balas Ojan kemudian tengkurap di atas matras, bersiap mengambil nilai.
Haris menautkan alisnya sebelum akhirnya menoleh ke arah yang dimaksud Ojan. Rupanya ada Gia di sana. Dengan segera Haris memalingkan wajah, kemudian memukul Ojan pelan. “Sembarangan lu!”
Sementara Ojan hanya tertawa. Aba-aba dimulai, Ojan kemudian memulai gerakan back up-nya. Sementara Haris menduduki betis Ojan agar tak bergerak seraya menghitung.
“Eh demi Allah lo kayak lumba-lumba Jan nggak kuat gue ya Allah mau ngakak,” ujar Haris disela-sela usaha Ojan melakukan back up.
“Jangan ketawa anjing itung!”
“Astaghfirullah Ojan lu kenape Jannn?” ejek Pak Edo yang menghampiri Ojan dan Haris di posisinya.
“YAKAN PAKKKK UDAH KAYAK ANAK DURHAKA DIKUTUK JADI PARI, ENGAP-ENGAPAN,” balas Haris diiringi tawa menggelegar.
“RIS ITUNG ELAHHHH BECANDA MULU LU!”
Tepat setelah Ojan berbicara, pluit dibunyikan. Alhasil, Haris melanjutkan tawanya yang sempat tertunda. Pria itu memukul-mukul matras hingga menimbulkan bunyi pukulan yang membuat berbagai pasang mata mengarah kepadanya. Pengambilan nilai Ojan berikutnya pun berlangsung sama, masih diiringi pertengkaran kecilnya dengan Haris. Keduanya seakan tak peduli berapa nilai yang akan didapatkan. Baik Haris, Ojan, Dhimas, maupun Damar, keempatnya memiliki prinsip yang sama. Pelajaran olahraga adalah kesempatan untuk bermain, jadi mereka hanya ingin memanfaatkan waktu sebaik-baiknya.
Kali ini tiba giliran Haris. Pria itu mengambil posisi di matras, menggantikan Ojan. Sementara Ojan menatapnya penuh kejahilan, “NAAAAH GANTIAN LU MAMPUS DI TANGAN GUA!”
“Gua bilangin bapak lu lu ya!”
“Ngaduan lu!” balas Ojan.
“DAMARRRRR OJANNYA DAM!”
“KAGAK ANJER GUE NGGAK NGAPA-NGAPAIN!”
Sementara Damar dari kejauhan hanya menggeleng-gelengkan kepalanya meski senyumnya pun tak lagi dapat ditahan.
“Berisik banget temen lu Yudhistira,” ucap Pak Edo yang kini berada di sebelah Damar.
“Emang, Pak. Capek kuping saya juga dengernya,” jawab Damar.
Tak lama kemudian pluit dibunyikan, Haris pun memulai gerakan back up-nya dengan mulus. Sesekali ia menghentikan gerakannya ketika kelelahan, dan memulainya kembali ketika Ojan menampar pahanya.
“SMANGAT DONG LEMAH BANGET KAMU!” ujar Ojan.
“Eh paling rame lu bedua dah, yang laen kalem kalem aja perasaan,” ujar Pak Edo.
“Biasa, Pak, pasutri,” balas Damar dari kejauhan.
“Pasukan tiga ribu, Pak,” timpal Ojan.
“Apaan tiga ribu?” tanya Pak Edo bingung. Maklum, umurnya yang sudah sepuh terkadang tidak mengerti lawakan-lawakan anak muda.
“I love you, Pak. Sekarang i love you harganya tiga ribu,” Haris ikut nimbrung.
“Ah becanda mulu lu ah pada! Buruan gerak lagi, Ojan itungin itu temen lu ntar pingsan aja nggak ketauan lagi.”
Setelah selesai dengan back up, kini Haris mengambil posisi untuk melakukan sit up.
“Aduh anjir muke lu depan muka gue banget, MUNDURAN AH!” ujar Haris pada Ojan. Sementara di hadapannya, Ojan kembali memasang tampang jahil seraya memainkan alisnya.
“MULAI MULAI BURUAN HAYUK SATU, DUA, TIGA, EMPAT...”
Ojan kembali memulai hitungannya. Waktu terus berjalan, peluh menetes dari kening Haris seiring napasnya tersengal-sengal. “Ayo Bu, palanya udah keliatan, Bu!”
“BANGKE JANGAN BIKIN KETAWA CAPEK JAN PERUT GUE SAKIT AH!”
Tibalah upaya terakhir Haris, ketika Haris berada dalam posisi bangun, tanpa diduga Ojan mengecup kening Haris.
“OJAN ANJ— LO NGAPAINNNNNNN YA ALLAH TUHAAAAAAAANN!!!!”
“ANJIR AH, DAMAAAARRRRR TOLONGIN GUE YA ALLAH DAMAR”
Sementara Ojan cengegesan di tempatnya. Damar yang tadinya tidak memperhatikan akhirnya menoleh setelah Haris mengusak-usak keningnya pada bahu Damar. “Kenapa sih?”
“GUE DICIUM OJAN ANJRIT!!!! BUNYI LAGI DIKECUP GITU GUE bangsat emang nih WEH SINI LO!”
“BUNYI ANJIR DAM CUP GITU ya Allah— GUATELLLLLLL JIDAT GUA GATEEEELLL!!!!”
Haris masih jumpalitan sendiri, ia memeluk Damar tanpa henti seraya tertawa sekaligus geli. Damar pun ikut tertawa terbahak-bahak bersama Haris. Bahkan keduanya kini sama-sama tergeletak di lapangan yang panas itu. Teman-temannya yang menyaksikan dan mendengar bunyi kecupan Ojan pun tertawa, sementara Pak Edo sudah menyabet Ojan dengan tali pluitnya.
“RIS DEMI ALLAH LU TAU GAK RASANYA GIMANA?” tanya Ojan.
“TAU ANJIR UDAH GAK USAH DIPERJELAS!” balas Haris yang terbaring lemas di sebelah Damar.
“ASIN BEGE KERINGET SEMUA JIDAT LU, BASAH BIBIR GUA!” balas Ojan, kemudian ia menyeka bibirnya guna menghilangkan rasa asin yang tertinggal di bibirnya.
Kejadian itu mengundang tawa bagi semua orang yang menyaksikan. Termasuk Gia yang sedari tadi menyaksikan dari pinggir lapangan. Rupanya memang benar, setiap orang terlihat lebih menawan ketika tertawa tanpa beban.
“I hope your laughter stays there always, Kak Haris.”