Ketemu Lagi (2)
Setelah kembali dari kantin, Gia dan Zahra masuk ke kelas bertepatan dengan bel masuk. Tak lama kemudian Pak Asep, guru matematika mereka masuk. Seperti biasa, beliau memang selalu tepat waktu hingga tak jarang terdengar keluhan para siswa yang mengharapkan lebih banyak waktu bersantai.
Kali ini, harapan mereka terkabul. Proyektor kelas mereka yang akan digunakan itu tidak berfungsi. Membuat Pak Asep pada akhirnya pamit keluar sebentar untuk memanggil seseorang yang mengerti. Waktu luang itu memberikan waktu untuk Zahra memejamkan matanya sejenak. Dan waktu untuk Gia memikirkan 'surga dunia' yang tadi ia lihat di kantin.
Gia melamun, senyumnya merekah otomatis mengingat betapa indahnya pemandangan yang ia saksikan saat istirahat tadi. Kak Haris yang menyugar rambut setengah basahnya sambil berjalan keluar masjid disertai tawa manis yang jarang terlihat. Entah tipuan cahaya matahari, atau memang nyata, yang jelas wajah Haris nampak bercahaya di mata Gia. Kalau kata Zahra, “Adem ya, Gi? Kayak ubin masjid.”
Salah menurut Gia. Sebab yang ia rasakan bukan ketenangan hati. Hatinya justru ingin meledak setelah melihat Haris tadi. Entah ini perasaan apa, Gia tidak terlalu paham. Gadis itu teringat perkataan Om Agung, pamannya, “Nanti SMA jangan kaget kalo banyak yang berubah dari kamu. Soalnya pasti kamu akan nemuin hal baru. Sengaja atau enggak.”
Kali ini, Gia setuju.
Suara bariton seseorang mengucap salam membuat Gia terlonjak. Gadis itu tersadar dari lamunannya. Matanya kembali terbelalak mendapati seseorang yang berada di depan kelasnya saat ini. Itu Kak Haris. Kak Haris yang sama yang ia lihat di depan masjid tadi.
Sumpah demi apa?!!!! batin Gia berteriak. Di sebelahnya siku Zahra sudah menyenggol-nyenggol lengannya. Ketika Gia menoleh ke arahnya, Zahra senyum-senyum seraya mengangkat sebelah alisnya. Menggoda Gia.
“Assalamu'alaikum,” ucap Haris. “Waduh pada tidur, kaget kan lu semua. Pak, parah, Pak ditinggal bentar aja pada tidur!”
“Emang, biarin aja nanti kita merahin nilainya diem-diem,” ucap Pak Asep sedikit berbisik pada Haris. Haris kembali tertawa, “Woke, Pakk siap!”
“Udah itu pasangin dulu,” balas Pak Asep mengingatkan Haris akan tugas yang seharusnya ia lakukan. Yaitu men-setting proyektor.
Haris menatap ke depan, rupanya proyektor itu berada tepat di atas tempat duduk seseorang yang ia kenali. Seseorang yang tadi pagi ia tolong. Anggia Kalila.
Haris mendadak ragu, tiba-tiba kakinya terasa kaku untuk melanjutkan langkahnya. Terlebih ketika tatapannya bertubrukan dengan milik Gia yang juga terarah padanya. Haris berdeham, kemudian mendekat ke arah Gia.
“Gi, misi ya,” ucap Haris. Kemudian Gia mengangguk kaku seraya menyingkirkan buku matematikanya yang berada di atas meja. Tanpa sengaja, tangannya bersentuhan dengan milik Haris yang juga berusaha memindahkan buku Gia.
“Sorry, sorry,” ucap Haris lagi.
“Iya, Kak, nggak pa-pa,” balas Gia kaku.
“Anggia coba kamu pindah dulu, biar Kak Harisnya naik bangkumu,” ucap Pak Asep mengagetkan keduanya.
“O-oh, iya, Pak.”
Pada akhirnya Gia bangkit dan merelakan bangkunya menjadi pijakan Haris untuk menggapai proyektor. “Maaf ya, Gi,” ucap Haris sebelum menginjak bangku Gia.
“Iya, Kak,” jawab Gia. Kemudian menumpang duduk pada temannya di barisan sebelah. Gadis itu memperhatikan Haris yang tengah fokus mengeksekusi proyektor kelasnya. Wajah Haris dalam mode serius memang tak ada tandingannya.
“Awas kesetrum,” Pak Asep memberi peringatan. “Ssh aduh, Pak, nyetrum,” balas Haris.
“Tuh, baru dibilangin,” balas Pak Asep.
“Boong, deng,” balas Haris seraya tertawa. Membuat para siswa di kelas itu ikut tertawa.
Pak Asep hanya senyum, “Tuh, begini kerjaan kakak kelas kalian. Ngeledek Bapak aja kerjaannya. Liat aja besok nilainya merah.”
“Ih, nggak saya nyalain nih, Pak?” balas Haris bercanda. “Oh kamu ngancem saya?” tanya Pak Asep dengan sambil menahan tawa.
“Enggak, Pak. Ampun,” balas Haris. Kemudian pemuda itu kembali fokus pada pekerjaannya. Setelah beberapa lama, ia berhasil menemukan permasalahannya. Benar dugaan sebelumnya, kabel proyektor itu kendur.
“Naaah kan,” gumam Haris setelah proyektor berhasil menyala. “Bisa, Ris?” tanya Pak Asep.
“Bisa dongggg, bener, Pak ini kurang nyolok. Kabelnya kendor.”
“Coba, Pak, sambungin ke laptop Bapak,” ujar Haris. Pak Asep kemudian menyambungkan proyektor ke laptop pribadinya. Sekon berikut, masalah terpecahkan. Proyektor menyala dan menampilkan materi pembelajaran yang akan dibahas. Haris tak langsung turun, namun memastikan agar gambar yang ditampilkan tidak buram. Setelahnya, barulah ia turun.
“Udah ya, Pak?”
“Iyak, sudah. Terima kasihh.”
Haris menuruni bangku Gia, namun tak langsung meninggalkannya. Pria itu mengembalikan buku Gia yang disingkirkan tadi ke tempatnya kemudian membersihkan kursi Gia dari jejak sepatunya menggunakan tangannya.
Aksinya lantas membuat satu kelas terkejut, namun tak ada yang berani mengejeknya. Zahra dan seluruh anak perempuan di kelasnya hanya bisa menutup mulutnya tak percaya. What a gentleman.
Sementara Gia hanya bisa diam, tubuhnya mendadak kaku. SUMPAH INI HARUS APA SIH
“Makasih ya, Gi. Nih, duduk lagi,” ucap Haris menyadarkan Gia.
“Hah? Oh, iya, Kak. Makasih juga dirapiin lagi.”
“Sama-sama.”
Setelahnya Haris berpamitan pada Pak Asep dan kembali ke kelasnya. Sementara Gia? Gadis itu tak yakin akan bisa fokus belajar kali ini. Matanya bahkan tak menatap ke arah papan tulis yang memancarkan materi dari proyektor, melainkan ke arah jendela. Mengikuti kepala menyembul di jendela milik seseorang yang baru saja keluar dari kelasnya.
Senyum kecilnya kembali merekah seiring dadanya membuncah. Kalau kata Zahra, Yang begini udah nggak ada obatnya.