What Was That?

Pertemuan mendadaknya dengan Gia di sekolah Hanum membuat Haris mendadak tidak karuan. Motornya bahkan melaju lebih cepat dari kecepatan yang diizinkan Mama ketika membonceng adik-adiknya. Membuat Hanum memeluk erat pinggang sang kakak seraya melontarkan sumpah serapah sepanjang perjalanan.

Sesampainya di rumah, Haris menyugar rambutnya. Meletakkan helmnya di rak yang seharusnya kemudian merebahkan tubuhnya di sofa. Di sebelahnya, Hanum sudah siap mengoceh.

“KAKAKKKKK NGAPAIN SIH NGEBUT-NGEBUT KAYAK TADI? AKU BILANGIN MAMA YA! Liat rambut aku berantakan, aku jantungan tau nggak?!”

Haris menilik adiknya sekilas, setelahnya kembali memasang tampang cuek. “Ini nggak kenapa-kenapa kan buktinya?”

Hanum memasang wajah tidak percaya. “Kak demi apa sih?”

Haris terkekeh, kemudian menarik tangan Hanum dengan cepat. Membuat adiknya itu terjatuh ke dalam pelukannya. “Bercanda, Naaaaamm,” ucap Haris. Selalu begitu, Haris akan selalu memanggil Hanum sebagai Hunam jika keduanya bertengkar. Meski aneh, Hanum menyukainya. Rasanya selalu terdengar lebih tulus setiap kali Haris memanggilnya begitu. Dan hanya kakaknya yang boleh memanggilnya dengan sebutan itu.

“KAKAK MAH ISENG!!” ucap Hanum di dalam pelukan kakaknya. Gadis itu mencubit perut Haris dan membuat pemuda itu mengaduh kesakitan.

“Udah loh! Udah nyubit berarti nggak boleh ngadu Mama ya?” ujar Haris. Hanum hanya membalas ucapan kakaknya dengan gelak tawa ringan. Setelahnya turut menyandarkan tubuhnya di sofa dengan kepala yang ia tumpukan pada sebelah pundak Haris.

“Aku bakal tetep bilang Mama sih,” ucap Hanum. Secepat kilat, Haris menoleh panik. “Kok gitu?!”

“Soalnya Kakak aneh,” balas Hanum.

“Aneh kenapa?”

Hanum berdecih, “Pura-pura bego apa emang beneran, Kak—aduh kok jidat aku disentil?!”

“Kurang ajar sama yang tua!”

“Abisnyaaa begituuu!”

“Begitu gimana sih, Num?” tanya Haris. Sebal, dalam hatinya menggerutu. Kalau memang ada sesuatu harusnya bisa langsung Hanum ungkapkan, bukan kode-kode begini.

“Ribet kode-kodean, udah tau abang lu males mikir,” balas Haris.

“Kakak—sejak kapan jadi pedulian sama orang?” tanya Hanum tiba-tiba.

Haris mengernyit merespon pertanyaan Hanum, “Maksudnya?”

Lagi-lagi Hanum menghela napasnya, “Kakak ngapain tadi tiba-tiba ngasih selampe ke Kak Anggi? Terus nungguin dia sampe ojolnya dateng?”

Haris terdiam. Benar juga. Sudah bertahun-tahun dalam hidupnya Haris menjadi orang yang cukup individualis. Haris jarang tersenyum dan menyapa orang lain selain ketiga temannya, lebih-lebih membantu mereka. Apalagi untuk hal sekecil rok putih yang bisa terkena noda tinta biru, rasanya itu terlalu sepele untuk menjadi urusan seorang Haris.

“Kenapa hayooo?” tanya Hanum lagi pada Haris yang malah melamun.

“Yaa emang salah?” Haris memilih berlindung dibalik pertanyaan.

“Enggak sih, tapi nggak biasanya aja. Kakak yang biasanya nggak pernah mau nanggepin orang lain tiba-tiba seramah itu sama Kak Anggi, Kakak yang nggak pedulian sama orang tiba-tiba notice tangannya Kak Anggi yang keringetan dan bisa ngotorin roknya, Kakak yang biasanya jutek banget sama adek kelas karena as you said, 'CAPER', tiba-tiba ngeledekin Kak Anggi, bilang dia kecil?”

Hanum kini tak lagi menyandarkan kepalanya di bahu Haris, matanya kini menatap Haris dengan pandangan bingung. Sementara Haris balik menatap dengan pandangan yang lebih bingung.

Semua bukti yang disebutkan Hanum, tidak salah. Namun rasanya Haris enggan membenarkan. Alhasil, pria itu hanya diam, merapatkan bibirnya dan memandang ke sembarang arah. Setelahnya ia kesal sendiri, “Emangnya kenapa sih, Num?”

Hanum menggeleng santai, “Enggaak. Cuma—Kakak.. suka sama Kak Anggi?”

“Enggak, kenal aja cuma sekelebat doang,” jawab Haris santai.

Then, what was that?

Haris menghela napasnya sebelum akhirnya menggeleng dan bangkit, memilih menyudahi percakapan ini dengan Hanum. Sebab ia pun tak tahu jawabannya.

“Dah ah, mau jemput Haura.”

“YEUUUU KABUR!” ejek Hanum. “Kalo suka bilang aja kaleee! Hanum restuin kokkkk!!”

“Ganti baju, Hanum!”