Basket
Haris memilih berdiri di pinggir lapangan seraya menyedot es teh di dalam plastik. Di sebelahnya berdiri seorang Dhimas yang menunggu giliran menyedot es teh miliknya yang dijadikan hak milik oleh Haris.
“Eh tadi masa gue dicium Ojan,” cerita Haris sebelum menyerahkan kembali es teh di tangannya pada pemiliknya.
Dhimas ternganga, “Hah? Dicium Ojan?”
“Iya anjir, pas lagi ambil nilai itu olahraga. Kan sit up ya, terus pas gue bangun jidat gue dikecup anjing.”
Dhimas terekeh, “Bahasa luuu dikecup.”
“LAH IYA ANJIR ORANG BUNYI, demi Allah ya harga diri gue taro di mana emang yang namanya Ojan perlu diboikot.”
Seketika Dhimas tak lagi kuasa menahan tawanya, sampai-sampai es teh yang berada si mulutnya itu menyembur keluar. “IH JOROK ANJIR!” protes Haris. Sementara Dhimas di hadapannya tak menggubris, pria itu tertawa dengan suaranya yang khas.
“Kenapa bisa-bisanya anjirrr?! Lo ambil nilai olahraga aja banyak perkara dah!” ujar Dhimas.
“Ya kalo perkaranya lima mah tombo ati,” sahut Haris.
“JAKHHH tombo ati~ iku limo perkarane~” senandung Dhimas.
Haris terkekeh, “Mendadak religi anjir. Dah ah, cabut yak! Pelatih gue udah dateng.”
“Yoo, gue juga yak! Mau kecup juga nggak?” ejek Dhimas.
“Nggak usah udah, lo simpen aja dah buat bini lo di masa depan, geli gua!”
Haris sudah selesai bermain. Kini giliran pertandingan basket putri, karenanya Haris memilih melipir dan kembali lesehan di pinggir lapangan. Matanya terfokus pada satu orang yang memenuhi pikirannya sejak kemarin.
Sesekali Haris terperangah melihat betapa gesit dan lincahnya Gia menerobos lawan-lawannya yang lebih besar. Rambut panjangnya yang terikat rapi itu berayun mengikuti irama langkah pemiliknya. Gia bergerak begitu cepat hingga Haris rasanya tak memiliki waktu untuk mengagumi setiap kecantikannya yang terpancar. Jujur, ini kali pertama seorang Haris memperhatikan pertandingan basket putri dengan begitu seksama.
Tanpa sadar, Haris ikut bersorak ketika Gia berhasil mencetak skor. Dalam hatinya timbul perasaan bangga, senyumnya pun merekah seiring merekahnya senyum Gia di tengah lapangan. Entah mengapa, namun melihat Gia yang bersorak riang sembari melompat-lompat kecil membuatnya turut merasakan bahagia.
“Gila Gia, kecil-kecil jago juga,” gumamnya tanpa sadar.
“Woi, ngeliatin siapa lu?” Vio datang menghampiri Haris seraya menepuk pundaknya. Membuatnya tersadar dan segera menoleh.
Gelagapan, Haris menjawab, “Enggak.”
Vio terkekeh, “Boong banget, orang dari tadi nggak kedip.”
“Apaan dah lu, Kak?” elak Haris.
Vio tersenyum melihat juniornya yang masih enggan mengaku, “Iya deh, enggak. Tapi gue kasih tau aja ya. Yang ngeliatin Gia bukan cuma lo doang, tuh liat di atas. Anteng juga dia dari tadi di situ nggak pergi-pergi.”
Mendengar nama Gia, Haris tahu tak ada lagi yang bisa ia sembunyikan. Maka dari itu, Haris memilih untuk melirik pada arah yang ditunjukkan oleh Vio. Rupanya di balkon lantai tiga ada Alwan, yang juga menatap ke arah Gia sambil menyemangati gadis itu sesekali.
Seketika Haris memalingkan wajahnya. Sambil berusaha mengabaikan dongkol yang menyeruak dalam hatinya, Haris mengusahakan sebuah senyuman melengkung di wajahnya. “Biarin aja, Kak. Namanya juga orang lagi main, wajar ada yang nonton.”
“Ohh gitu? Okeee kalo gitu,” balas Vio. Kemudian pria itu kembali meninggalkan Haris sendirian. Membiarkan pemuda itu dengan pikirannya sendiri. Haris masih melamun ketika seseorang menegurnya.
“Kak, permisi,” ucapnya.
Haris mendongak, mendapati Gia yang baru selesai bermain. “Hah?”
“I-itu, permisi, Kak. Tas saya di belakang Kakak,” sahut Gia. “Oohhh, iya iya, silakan,” jawab Haris kemudian menggeser posisinya.
Mau tidak mau, mereka duduk bersebelahan dengan Gia yang fokus menenggak air dalam botolnya dan Haris yang berusaha tutupi salah tingkah.
“Ternyata beneran bisa main basket?” ucap Haris memulai percakapan. Gia menoleh sebelun menutup botol minumnya rapat-rapat. “Bisa lah! Emang Kakak doang?”
Haris terkekeh pelan, “Ada manfaatnya ya punya badan kecil gitu? Jadi bisa nerobos-nerobos, hahaha.”
Tawa yang baru saja meluncur dari bibir Haris membuat Gia tertegun. Hari ini memang dirinya sudah menyaksikan tawa Haris yang lebih lepas dari ini, namun ia tak menyangka rasanya akan berbeda ketika ditampilkan langsung di hadapannya.
“Kak Haris kenapa jarang ketawa?”
“Hah?”
“Hah? Enggak, enggak,” balas Gia. Gadis itu langsung menarik ucapannya karena merasa tidak sopan menanyakan hal itu pada seniornya.
“Kenapa jarang ketawa?” tanya Haris, mengulangi pertanyaan Gia yang rupanya sudah ia dengar dengan jelas. “Karena nggak ada yang bisa bikin ketawa.”
Gia tersenyum canggung, “Tapi tadi ketawa pas olahraga?”
Haris mengulas senyuman tipis, “Iya. Emang cuma temen-temen saya doang yang bisa bikin saya ketawa sampe kayak gitu.”
“Eh bentar,” ucap Haris, dirinya teringat akan sesuatu. “Kamu liat saya ya tadi olahraga?”
“Iya, saya tadi di depan lab biologi, Kak.”
“Kamu liat juga dong saya dicium Ojan?” tanya Haris panik.
Gia lantas tertawa, kedua sudut bibirnya terangkat membuat pipinya terlihat semakin chubby. “Liat, Kakk!”
“Wah anjir emang Ojan kerjaannya ngerusak reputasi gua aja brengsekk!”
“Emang biasa begitu ya, Kak?” tanya Gia bercanda.
“ENGGAK LAH, sembarangan aja kamu!”
Gia tak lagi menanggapi, gadis itu hanya menyudahi tawanya seraya merapikan rambutnya sendiri. Setelahnya pluit kembali dibunyikan, Gia harus kembali ke lapangan untuk memulai babak kedua.
“Kak, saya ke sana lagi yaa!” ujar Gia. Gadis itu kemudian bangkit berdiri, berniat meninggalkan Haris.
“Gia!” panggilan Haris membuatnya mengurungkan niatnya. Gia kembali menoleh pada Haris yang berjalan jongkok mendekatinya.
“Iya, Kak?”
Haris tak menjawab, pemuda itu hanya berlutut di hadapan Gia. Kedua tangannya kemudian meraih tali sepatu Gia yang mulai kendur dan hampir lepas. Tanpa membutuhkan waktu lama, Haris mengikat kedua tali sepatu Gia dengan sempurna. Gia pun merasakan perbedaannya, ikatan sepatunya kali ini terasa lebih kencang dan rasanya akan lebih nyaman untuk dipakai berlari.
Setelahnya Haris berdiri, membuat Gia otomatis mendongak mengingat postur tubuh pemuda itu yang jauh lebih tinggi dibandingkan Gia. Gadis itu terpaku pada tempatnya berdiri, darahnya berdesir dan jantungnya berdegup lebih cepat bukan karena lelahnya.
Gia masih menatap Haris yang kini juga menatap matanya. “Iket dulu tali sepatunya kalo mau main, Anggia!” ucap Haris. Ia memberikan sedikit penekanan pada pengucapan nama Gia yang lengkap itu.
Gia semakin tak tahu mau berbuat apa. Hingga suara Haris menyadarkannya.
“Udah sana masuk lapangan. Semangat yaa!” ucap Haris lagi. Pemuda itu tak mengucapkannya dengan cara yang menggebu-gebu, Haris menyuarakan kalimatnya hanya dengan intonasi biasa. Namun cukup untuk membuat Gia gemetar.
“M-makasih, Kak,” balas Gia. Kemudian Haris hanya mengangguk pelan disertai senyuman tipis. Setelahnya pria itu berlalu pergi.
Seiring kakinya berjalan menelusuri koridor, Haris tersenyum diam-diam. Ia menemukan jawabannya. Haris menemukan jawaban atas perasaannya.