Now

Gia memakai sepatunya seraya menunggu Zahra yang masih memanfaatkan toilet masjid sekolahnya sebelum mereka pulang. Keduanya baru saja selesai salat asar sore itu. Hari ini, sengaja memilih melakukannya di sekolah karena sesuai agenda, mereka akan mengerjakan tugas kelompok bersama dengan Alwan yang juga sedang beribadah di bagian masjid laki-laki.

Syukurlah Gia tak perlu menunggu lama, Zahra baru saja keluar sebelum Gia sempat berdecak. Gadis itu kemudian mengambil posisi di sebelah Gia, “Weh, Gial-Giul, tolong dong operin sepatu aku!”

Gia melirik Zahra dengan sedikit tatapan tidak terima mengenai panggilannya, kemudian tetap mengoper sepatu milik teman sebangkunya itu. “Alwan mana dah? Kok nggak keliatan?” tanya Zahra seraya memakai kaus kaki kanannya.

“Masih di dalem kali, nggak tau juga,” jawab Gia asal. Zahra tak menanggapi, ia justru memilih mengganti topik. “Eh kita jadinya negosiasinya gimana, Gi?” tanya Zahra.

Bersama dengan Alwan, mereka tergabung membentuk kelompok untuk mengerjakan tugas Bahasa Indonesia bertemakan negosiasi di mana ketiganya harus membuat video rekayasa melakukan sebuah negosiasi hingga mencapai kesepakatan. Sejak kemarin, banyak sekali konsep yang Gia, Zahra, dan Alwan bicarakan hingga menemukan yang hampir pas dengan keinginan mereka. Namun, rasanya konsep itu masih belum matang.

“Ya nggak tau? Katanya kemaren pakenya yang itu kann, yangg pedagang sama pembeli?” balas Gia. “Yang jadi pedagangnya siapa?” tanya Zahra.

“Alwan. Nanti kita yang beliii soalnya kalo yang nawar cowok tuh kurang pas aja keliatannya. Yang biasanya nawar kan emak-emak,” balas Gia lagi.

“Alwan jualan apa ceritanya?”

“Apa aja yang ada di rumah kamu lah, Jar. Tas kek, baju-baju, semuanya aja keluarin. Pajang, biar kayak Tanah Abang,” canda Gia.

Zahra mengerucutkan bibirnya. Gadis itu kemudian memukul Gia dengan kaus kaki sebelah kirinya yang sedari tadi ia kibaskan untuk dibersihkan. Gia menghindar geli sementara Zahra bersungut, “Orang nanya serius juga, malah bercanda.”

“Itu aku jawab seriuuus, kamu punya sling bag gitu nggak? Ada dongg? Nanti keluarin aja ceritanya Alwan obral itu terus kita beli tapi nawar,” Gia menjelaskan konsep yang mendadak terpikir di kepalanya. Dalam hati ia pun tak menyangka, memang terkadang ide muncul hanya pada saat kepepet.

“Nggak tau diri lu, Gi. Udah obral masih aja nawar parah banget,” balas Zahra sebelum akhirnya bibirnya meluncurkan sebuah kekehan. “Iya lah gitu aja lah ya? Dari pada ribet. Tadi aku mikirnya kali aja Alwan ceritanya jualan buah atau nggak sayur gitu. Tapi nyari di mana bahannya ya, susah,” Zahra melanjutkan bicaranya. Sementara Gia hanya mengangguk, sebagian dari dirinya merasa bangga karena idenya disetujui oleh Zahra.

“Ya udah, yuk, Gi.”

Gia menyambar ranselnya bersamaan dengan Zahra yang sudah berdiri, sudah siap dengan bawaannya sendiri. Keduanya kemudian berjalan santai, berniat menghampiri Alwan yang rupanya tengah memakai sepatu sebelum berjalan menuju gerbang.

“Heh, Alwan!” tegur Zahra. “Buruannn, biar cepet kelar tugas kitah,” sambung perempuan bertubuh mungil itu. Sementara Gia hanya terkikik mendengar cara Zahra menegur Alwan.

“Bawel lu, teri. Sabar kenapa? Gue ae baru keluar,” sahut Alwan kesal. Pemandangan seperti ini adalah hal yang lumrah bagi Gia, sebab setiap hari, Alwan akan mampir ke mejanya untuk berdiskusi pelajaran atau sekadar meminjam tip-ex milik Gia. Yang selanjutnya terdengar adalah ocehan Zahra yang kerap protes akan kedatangan Alwan. Katanya gadis itu merasa terganggu karena badan Alwan yang besar dan gagah itu selalu menghalangi pandangannya untuk melihat ke papan tulis, juga membuat space menulisnya menjadi tidak leluasa.

“Gue mau jajan dulu tapi, Jar,” ucap Alwan nyengir seraya memastikan sepatu kirinya sudah terpasang dengan baik. Zahra berdecak sebal, namun tentu saja diabaikan oleh Alwan yang sudah meluncur ke kantin untuk membeli donat kentang bertabur gula bubuk. Maklum, tubuh sebesar miliknya mungkin memang perlu lebih banyak asupan dibanding tubuh Zahra dan Gia yang mungil.

Seraya menunggu Alwan, Gia dan Zahra melipir agar tak menghalangi jalan bagi orang yang ingin berlalu. Keduanya kini bersandar pada tembok, namun masih berada di depan masjid tempat anak laki-laki. Gia mengedarkan pandangannya asal, hanya bermaksud agar tidak jenuh. Namun, yang ia temukan adalah seseorang yang ia kenali sebagai teman Haris.

Hah kok ada Kak Damar? Mampus deh ini ada Kak Haris nggak ya? Astaga... nggak berani banget ketemu diaaaaaaa, belom selesai deg-degannya dari abis diiketin tali sepatu ya Allah.

Gia merasakan batinnya mulai berisik. Suara detak jantungnya yang berusaha ia sembunyikan seakan bersahutan dengan pikirannya sendiri. Membuatnya tak fokus dan tanpa sadar gadis itu mencengkeram tali ranselnya erat-erat. Gia menelan ludah, beberapa kali berdeham guna menetralisir perasaannya yang rasanya ingin meledak saat itu juga.

Beruntung, tidak lama kemudian Dhimas muncul dan menyadari keberadaannya. “Eh, Gia! Ngapain, Gi?” tanyanya sambil tersenyum. Pria itu kemudian menyusul Damar untuk duduk di lantai masjid yang lebih tinggi untuk memakai sepatu.

Gia memaksakan sebuah senyum, “Lagi nunggu Alwan, Kak. Mau kerkom.”

“Kerkom apaan, Gi?” tanya Dhimas lagi. Seringkali Gia bersyukur memiliki kakak kelas seperti Dhimas yang sama sekali tidak menganggap dirinya superior dan lebih unggul hanya karena lebih tua. Dhimas tak segan menyapa lebih dulu pada adik kelasnya, pun untuk memulai percakapan selayaknya teman akrab.

“B. Indo, Kak. Disuruh bikin video negosiasi gitu. Kakak juga dulu disuruh?” Gia balik bertanya.

“Iya kita disuruh juga ya, Dam?”

“Iya anjir, inget banget gue sekelompok sama Ojan sama Nadia videonya kagak jadi jadi gara-gara kebanyakan ketawa. Baru salam aja ketawa, heran,” balas Damar.

Dhimas tertawa kemudian ikut menerawang, mengingat masa-masa kelas sepuluhnya yang belum lama ia lalui. “Iya disuruh juga, Gi. Dulu saya sama.. nih sama tetangganya dia nih,” ucap Dhimas menunjuk Zahra. “Sama Aghniya dulu saya bikin. Tapi dulu ceritanya dia jadi bini gua, Dam. Gue bernegosiasi biar dikasih izin mancing deh kalo nggak salah.”

“Itu perlu banget lo ceritain sampe detail gitu ya, Dhim?” sindir Damar. Membuat Dhimas semakin terkikik lantaran berhasil mengejek Damar yang mudah cemburu.

“Eh sepatu gua mana sih?”

Sebuah suara menginterupsi obrolan yang sudah berjalan. Membuat Gia, Zahra, dan kedua kakak kelas di hadapannya itu menoleh pada arah yang sama. Rupanya berdiri seorang Haris seraya bertolak pinggang, netranya memindai setiap sepatu yang berbaris di hadapannya. Namun, tak satupun ia temukan miliknya.

Lagi-lagi, Gia terpana. Matanya kembali temukan surga dunia yang Zahra gadang-gadang setiap hari untuk meledeknya. Secepat kilat, Gia mengerjapkan matanya dan memalingkan wajah. Dalam hatinya was-was, berharap tidak ada yang menyadari tingkahnya.

“Serius ege, Dhim sepatu gua mana? Tadi sebelah Damar loh!” ujar Haris lagi. Tiba-tiba Pak Indra yang baru selesai berwudu itu nimbrung, “Nyari apa, Ris?”

“Sepatu, Pak.”

“Oooh, ya udah cari yang bener ya,” balas Pak Indra kemudian tertawa sebelum akhirnya bergabung dengan saf para jamaah.

Haris memincingkan mata tanpa sepengetahuan Pak Indra, di sebelahnya Dhimas dan Damar sudah tergelak. Ketiganya tahu bahwa ini pasti perbuatan Pak Indra karena sebagaimana yang sudah menjadi perbincangan seantero sekolah, Pak Indra adalah guru paling iseng.

“Udah itu mah, Ris. Pasti sama dia itu diumpetin,” ucap Damar, masih dengan senyuman yang tersungging di wajahnya.

“Liat belakang tong sampah, Ris. Kagak jauh-jauh Indra mah kalo ngumpetin,” usul Dhimas.

“Tau anjir dia kurang kerjaan apa gimana ya? Padahal kita udah tau gitu ulahnya gitu-gitu doang tapi masih aja gitu,” sahut Damar.

“Ah emang Indra musuh Allah anjir,” balas Haris yang kemudian mengundang tawa beberapa orang di sekitarnya. Pria itu setelahnya beranjak dan mengecek keberadaan sepatunya di balik tong sampah dekat kantin, benar saja. Sepatunya di sana. Haris bersyukur setidaknya sepatunya tidak dimasukkan ke dalam tempat sampah, kalau iya, maka Haris akan memilih nyeker untuk pulang.

Haris memakai sepatunya dengan gesit, setelahnya pria itu berdiri dengan semangat. Setelah menepuk-nepuk celananya guna menyingkirkan kotoran di sana, Haris mencari sepatu Pak Indra.

“Eh sepatu Pak Indra yang mana?” tanya Haris pada kedua temannya.

“Mana ya, itu tuh belakang Gia,” balas Dhimas. Haris menoleh, kala itu ia baru tersadar akan keberadaan Gia. Setelah tertegun beberapa detik, Haris dengan cepat menyadarkan dirinya dan berusaha bersikap biasa. Apa lagi di hadapan Dhimas. Setelah apa yang ia ceritakan kemarin, Dhimas pasti tak akan segan untuk meledeknya habis-habisan.

“Misi dulu, Gi,” ucap Haris. Kemudian ia merunduk mengambil sepatu Pak Indra yang disimpan di rak buatan di belakang Gia. Haris tidak mengambil keduanya, melainkan hanya sebelah. Setelahnya ia meletakannya di atas asbes yang menjuntai menaungi masjid sekolah. Tingginya yang berlebih itu membuat perkara begini menjadi soalan mudah.

Gia terbelalak namun juga menahan tawanya, sementara Zahra sudah melayangkan komentarnya. Sementara Damar dan Dhimas, keduanya sudah cekikikan namun tetap menahan untuk tidak berisik dan mengganggu orang yang sedang ibadah.

“Kak ya Allah parah banget ihhhhh!” ucap Zahra. Namun gadis itu tetap tertawa. Seakan ada sebagian dari dirinya yang mendukung tindakan Haris.

“Biarin aja, Pak Indra tuh public enemy tau,” sahut Haris. “Sumpah parahan Ojan anjir inget nggak lo sepatu Pak Indra dimasukin es batu?” kini Haris beralih bicara pada kedua temannya.

“HAHAHA eh iya anjir baru inget gua. Ampe loncat gitu Pak Indra gegara kaget bangke,” balas Dhimas.

“Eh iya Kak Ojan mana, Kak? Kok cuma bertiga?” tanya Zahra.

“Ojan lagi piket,” balas Dhimas. Setelahnya Zahra hanya mengangguk.

Tak lama kemudian Alwan yang mereka tunggu-tunggu sudah kembali dengan plastik kecil berisi tiga donat kentang di tangan kanannya.

“Nahh ini dia yang ditungguin, lama banget sih, Wannnn?!” protes Zahra. Alwan nyengir santai tanpa merasa bersalah telah membiarkan Zahra dan Gia menunggu. Mulutnya sibuk mengunyah donat kentang di tangannya. “Ini tadi digoreng dulu donatnya,” jawab Alwan.

“Ayo buruan, Wan, nanti kesorean,” ucap Gia. Mendengar suara Gia, Haris auto mendongak. Pria itu pun tak tahu apa yang membuatnya begitu cepat menoleh, mungkin karena kepada siapa gadis itu berbicara.

“Iya, iya, Gi, bentar. Mau nggak?” Alwan menawarkan donatnya pada Gia. Melihat itu, Zahra menoyor Alwan dengan sepenuh hati. “YEUUUUUUUUUU BIASANYA GUE MINTA DONAT LU MARAH BANGET, giran Gia aja lu tawarin. Naksir temen gua lu?”

Alwan tak menjawab, pria bertubuh bongsor itu memilih membungkam mulutnya dengan makanannya seraya terkekeh. Setelahnya ia menyambar tasnya, “Ayok!”

“Kak, duluan yaa,” pamit Zahra pada ketiga kakak kelasnya.

“Jar, Jar, nitip deh. Bukunya Aghni, nanti tolong kasihin yaa,” balas Dhimas kemudian buru-buru menyerahkan buku tulis yang dilabeli nama 'Aghniya Zhafira Y.' itu pada Zahra. Setelahnya Zahra dan teman-temannya itu berpamitan.

Tanpa sengaja tatapan Gia bersirobok dengan milik Haris, gadis itu mengangguk sopan. Kemudian Haris balas dengan senyum tipis.

Sepeninggal Gia dan teman-temannya, Damar dan Dhimas menoleh pada Haris yang masih belum mengalihkan pandangannya pada arah yang sama sebelum punggung Gia menghilang di balik tembok.

“Bau-baunya sih, mau punya saingan nih?” cibir Dhimas. Haris menoleh, kemudian tertawa mendengus.

“Kapan mau PDKT-nya? Keburu diserobot,” ucap Damar. “Kalo suka mah ngaku aja, udah keliatan juga kok, Ris hahaha.”

Haris berdecak sambil menahan senyum, “Lo songong lo ya! Mentang-mentang udah mulai PDKT belagu luuu!”

Damar hanya tertawa, “Jadi? Kapan?”

“Cabut ah,” sahut Haris. Setelahnya pria itu memakai jaketnya dan meraih ranselnya untuk segera bergegas pulang. Memilih untuk menghindar menjawab pertanyaan Damar.

Haris melangkah menuju parkiran. Namun, baru beberapa langkah, ia kembali berhenti. Haris termangu, melihat Gia yang duduk manis di jok belakang motor Alwan, berboncengan dengan pria itu. Tangannya mencengkeram erat tali ransel yang tersampir di bahu kanannya, menyalurkan sebagian perasaan tak nyaman yang mendadak timbul di hatinya.

“Sekarang. Sekarang, Dam. Sekarang gue mulai.”