Pertolongan
Pagi ini Haris harus menerima kenyataan bahwa ia lagi-lagi harus direpotkan oleh sohib tercinta. Siapa lagi kalau bukan seorang Jauzan Narendra. Pukul enam pagi Haris sudah berada di depan rumah Ojan sebagaimana perjanjian yang mereka buat semalam. Haris akan menjemput Ojan di pagi hari lalu mereka berangkat bersama.
Namun, bukan Haris yang mengingkari janji tetapi Ojan. Ketika Haris sampai di rumahnya, ibu Ojan mengabari bahwa anak lelakinya itu belum bangun dan malah meminta Haris untuk membangunkannya secara paksa. Alhasil, Haris membangunkannya tanpa ampun.
Haris langsung mendobrak kamar Ojan setelah mendapat izin dari ibu sahabatnya itu. Matanya menangkap seonggok manusia yang masih meringkuk di dalam balutan selimut hingga sebatas pinggang. Pipinya menggembung masih setia menempel pada permukaan bantal yang masih dingin lantaran AC yang masih menyala.
Haris berdecak kesal, ia tak pernah habis pikir dengan kelakuan Ojan. Namun, di sisi lain pria itu juga sudah biasa. Secepat kilat, Haris mematikan AC kamar Ojan sebelum menyibak selimut yang membalut sahabatnya itu.
“Jan, bangun anjing masih tidur aja ni orang. Jan, sekolah egeer buruan gue piket OSIS hari ini!” ucap Haris seraya menggoyang-goyangkan tubuh Ojan. Sementara yang diguncang tak menunjukkan reaksi apapun.
“Jan! Bangunnnnn— IH BRENGSEK ILERAN!” keluh Haris. Dengan geli, Haris menyapukan jejak liur Ojan pada baju pemuda itu. “Jan, bangun anjir, besok begini lagi kagak gue jemput lagi lu ya!”
Haris terus berusaha membangunkan Ojan, menggelitik kakinya, menampar pipinya, menarik tangannya, hingga menutup jalan napas Ojan, namun yang ia dengar hanya lenguhan panjang dari Ojan yang tak kunjung bangun. Pria itu hanya berganti posisi menjadi membelakangi Haris. Semakin kesal, Haris akhirnya memilih untuk langsung menggulingkan Ojan dengan sekuat tenaga.
“ASTAGHFIRULLAH GEMPA GEMPA! MAMAHHH GEMPA MAHHHHH TURUN TURUN!” seru Ojan terkejut. Pria itu bangkit terburu-buru dan berniat untuk menggapai pintu kamarnya, mengabaikan celana boxer-nya yang melorot dan eksistensi Haris yang berdiri di sana.
Ketika Ojan hampir menggapai pintu, Haris menariknya dengan kencang hingga ia kembali terhuyung ke kasur. Karena tindakannya itu Ojan kembali menjerit terkejut. “INNALILLAHI YA ALLAH MAH GEMP—”
“Woi!” panggil Haris.
“ANJING— ASTAGHFIRULLAH ya Allah emak gue denger kagak tuh? Goblok ngagetin aje!” ucap Ojan memukul lengan Haris. Dengan cepat Haris membalasnya dengan memukulkan guling ke pundak Ojan.
“Eluuuuu! Bener-bener lu ya! Gue pagi-pagi dateng ke sini, mandi pagi-pagi buta dingin-dingin, berangkat masih belekan, elu enak-enakan tidur,” balas Haris. “Buruannnn gue ada piket hari ini, besok-besok lo sama Dhimas aja ah gue kagak mau lagi jemput lo!”
“Ah lo mah ngambekan, Ris. Jangan gitu dong, ayaang~” goda Ojan. Haris mendelik, “Geli, bego. Iler lo noh kering, mandi sono buruan. Lima menit nggak turun gue tinggal!”
“LIMA MENIT GUE MANDI APAAN? MANDI PASIR?!”
Pada akhirnya Haris dan Ojan berhasil sampai di sekolah sepuluh menit sebelum gerbang di tutup. Itu pun hasil Haris memacu motornya dengan kecepatan penuh. Sesampainya di sekolah, Haris langsung memarkirkan motornya asal kemudian buru-buru mengeluarkan almet OSIS-nya dari dalam tas.
Setelahnya Haris melempar tasnya kepada Ojan, menitipkannya untuk dibawakan ke kelas sementara ia bergegas berjalan menuju gerbang seraya memakai almetnya. Pagi ini Haris bertugas menjaga gerbang dan mengecek kelengkapan atribut para peserta didik sebelum dipersilakan masuk ke kelas. Haris juga yang akan mengunci gerbang jika bel sudah berbunyi.
Satu persatu peserta didik berdatangan dan Haris melaksanakan tugasnya. Di sebelahnya ada Dhimas yang juga melakukan hal yang sama. Sesekali keduanya bercengkrama guna mengusir bosan.
“Kesiangan, Bro?” tanya Dhimas seraya terkekeh. “Biasa tuh kebo. Minta bareng minta bareng, pas gue jemput masih molor,” balas Haris.
Dhimas tertawa sebelum membalas, “Terus lu apain?”
“Gue gulingkan tahtanya. Mana ileran lagi buanyak banget, spreinya berpulau-pulau lu tau?” ucap Haris.
“HAHAH PULAU! Emang kurang ajar kadang, lagitu gue jemput dia pagi-pagi dianya masih setoran,” balas Dhimas. Keduanya kini seakan beradu nasib siapa yang paling sial saat menjemput seorang Jauzan Narendra. Bagaimana tidak? Entah disengaja atau tidak, Ojan hanya akan siap dan tepat waktu saat Damar yang menjemputnya untuk berangkat ke sekolah. Kalau untuk Dhimas dan Haris, seperti yang selalu mereka katakan, Adaaaaaaaaaa aja perkaranya!
“Kaos kakinya bisa ditarik lagi nggak?” tanya Haris pada salah seorang adik kelas yang memakai kaus kaki terlalu pendek. Bahkan tidak sampai mata kaki.
“Nggak bisa, Kak..”
“Yah, gimana? Pak, Pak kaos kakinya pendek nih, Pak!” ucap Haris.
“Dih, Kakak mah gitu ih jahat banget!”
“Lah kenapa jahat? Kan saya udah tanya, bisa ditarik lagi nggak itu sampe mata kaki? Kamu jawab nggak bisa ya udah saya kenain sanksi. Sana sana ke Pak Asep,” balas Haris.
Haris memang dikenal tegas. Tak peduli siapa yang melanggar, pasti akan tetap ia kenakan hukuman ketika sedang menjalankan tugasnya sebagai petugas piket pagi hari. Karena itu juga, jadwal piket Haris adalah yang paling sering dihapalkan oleh para peserta didik agar dapat menghindari kesalahan. Karena itu juga, jadwal piket Haris adalah yang paling sering diacak, agar tidak ada yang bisa menghindari kesalahannya. Berbeda dengan Dhimas yang lebih santai dan jauh lebih ramah dari pada Haris.
“Berapa menit lagi, Dhim?” tanya Haris menanyakan waktu bel berbunyi pada Dhimas. Dhimas melirik arloji di tangannya, “tiga menit.”
“Ya udah gue jaga sono ya?”
“Iyak, sana dah!”
Haris memilih stand by di depan gerbang, bersiap menutupnya bertepatan dengan bel yang berbunyi. Tiga menit rupanya bukan waktu yang cukup lama, bel tanda masuk akhirnya berbunyi. Membuat para siswa yang masih di luar itu berbondong-bondong menerobos masuk selagi masih ada kesempatan.
Haris baru saja akan menutup pintu dengan rapat ketika ia melihat seseorang yang cukup ia kenali. Anggia Kalila, gadis yang nampak mungil jika berada di sebelah Haris itu muncul dengan tergesa-gesa. Entah apa yang merasuki seorang Muhammad Haris yang dikenal tegas itu, hari ini ia melunak hanya karena kehadiran seseorang.
Gia berniat menerobos masuk seperti yang dilakukan orang-orang yang tiba bersamaan dengannya. Namun dirinya mendadak ragu ketika mendapati seorang Haris yang menjaga gerbang. Nyalinya ciut seketika, apalagi ketika tatapannya tak sengaja bertubrukan dengan milik Haris yang selalu tajam dan tegas itu.
Gia masih ragu, kegelisahan membuat langkahnya maju mundur dan pada akhirnya ia hanya berdiam diri di tempat. Sementara Haris, pria itu memperhatikan Gia. Sejujurnya, tatapannya tak lepas dari gadis itu sejak keduanya tak sengaja bertatapan.
“Anggia mau masuk nggak?” tanya Haris tiba-tiba, membuat Gia mendongak kaget.
“H-hah? M-mau, Kak,” jawab Gia hati-hati. Nggak lucu kalo kena semprot pagi-pagi, batinnya.
“Ya, masuk! Kenapa diem aja di situ?” tanya Haris lagi. “Boleh, Kak?” Gia memastikan. Ia memberanikan diri menatap Haris yang masih belum melanjutkan tugasnya menggeser pagar hingga tertutup rapat.
“Cepet. Mumpung pagernya macet nggak bisa digeser,” ucap Haris.
Mendengar ucapan Haris, Gia lantas sumringah dan buru-buru melanjutkan langkahnya menerobos masuk. “Makasih, Kak Harisss!”
Gia berlari cepat, gadis itu memilih memotong jalan dengan menyebrangi lapangan agar lebih cepat sampai ke kelasnya. Gerakannya yang kilat itu tanpa sengaja membuat harum stroberi yang melekat pada tubuhnya menguar di udara hingga sampai pada indra penciuman Haris. Tanpa sepengetahuan gadis itu, semerbaknya berhasil membuat Haris mengulas senyum tipis yang segera ia tepis dengan gelengan kepala.
“Tegas banget ya, Kak Haris. Takut deh,” ejek Dhimas dari belakang. Haris menoleh, kemudian seraya menahan senyum ia membalas perkataan Dhimas sebelum kembali menutup pagar sekolah.
“Berisik!”