raranotruru

Pagi ini Haris harus menerima kenyataan bahwa ia lagi-lagi harus direpotkan oleh sohib tercinta. Siapa lagi kalau bukan seorang Jauzan Narendra. Pukul enam pagi Haris sudah berada di depan rumah Ojan sebagaimana perjanjian yang mereka buat semalam. Haris akan menjemput Ojan di pagi hari lalu mereka berangkat bersama.

Namun, bukan Haris yang mengingkari janji tetapi Ojan. Ketika Haris sampai di rumahnya, ibu Ojan mengabari bahwa anak lelakinya itu belum bangun dan malah meminta Haris untuk membangunkannya secara paksa. Alhasil, Haris membangunkannya tanpa ampun.

Haris langsung mendobrak kamar Ojan setelah mendapat izin dari ibu sahabatnya itu. Matanya menangkap seonggok manusia yang masih meringkuk di dalam balutan selimut hingga sebatas pinggang. Pipinya menggembung masih setia menempel pada permukaan bantal yang masih dingin lantaran AC yang masih menyala.

Haris berdecak kesal, ia tak pernah habis pikir dengan kelakuan Ojan. Namun, di sisi lain pria itu juga sudah biasa. Secepat kilat, Haris mematikan AC kamar Ojan sebelum menyibak selimut yang membalut sahabatnya itu.

“Jan, bangun anjing masih tidur aja ni orang. Jan, sekolah egeer buruan gue piket OSIS hari ini!” ucap Haris seraya menggoyang-goyangkan tubuh Ojan. Sementara yang diguncang tak menunjukkan reaksi apapun.

“Jan! Bangunnnnn— IH BRENGSEK ILERAN!” keluh Haris. Dengan geli, Haris menyapukan jejak liur Ojan pada baju pemuda itu. “Jan, bangun anjir, besok begini lagi kagak gue jemput lagi lu ya!”

Haris terus berusaha membangunkan Ojan, menggelitik kakinya, menampar pipinya, menarik tangannya, hingga menutup jalan napas Ojan, namun yang ia dengar hanya lenguhan panjang dari Ojan yang tak kunjung bangun. Pria itu hanya berganti posisi menjadi membelakangi Haris. Semakin kesal, Haris akhirnya memilih untuk langsung menggulingkan Ojan dengan sekuat tenaga.

“ASTAGHFIRULLAH GEMPA GEMPA! MAMAHHH GEMPA MAHHHHH TURUN TURUN!” seru Ojan terkejut. Pria itu bangkit terburu-buru dan berniat untuk menggapai pintu kamarnya, mengabaikan celana boxer-nya yang melorot dan eksistensi Haris yang berdiri di sana.

Ketika Ojan hampir menggapai pintu, Haris menariknya dengan kencang hingga ia kembali terhuyung ke kasur. Karena tindakannya itu Ojan kembali menjerit terkejut. “INNALILLAHI YA ALLAH MAH GEMP—”

“Woi!” panggil Haris.

“ANJING— ASTAGHFIRULLAH ya Allah emak gue denger kagak tuh? Goblok ngagetin aje!” ucap Ojan memukul lengan Haris. Dengan cepat Haris membalasnya dengan memukulkan guling ke pundak Ojan.

“Eluuuuu! Bener-bener lu ya! Gue pagi-pagi dateng ke sini, mandi pagi-pagi buta dingin-dingin, berangkat masih belekan, elu enak-enakan tidur,” balas Haris. “Buruannnn gue ada piket hari ini, besok-besok lo sama Dhimas aja ah gue kagak mau lagi jemput lo!”

“Ah lo mah ngambekan, Ris. Jangan gitu dong, ayaang~” goda Ojan. Haris mendelik, “Geli, bego. Iler lo noh kering, mandi sono buruan. Lima menit nggak turun gue tinggal!”

“LIMA MENIT GUE MANDI APAAN? MANDI PASIR?!”


Pada akhirnya Haris dan Ojan berhasil sampai di sekolah sepuluh menit sebelum gerbang di tutup. Itu pun hasil Haris memacu motornya dengan kecepatan penuh. Sesampainya di sekolah, Haris langsung memarkirkan motornya asal kemudian buru-buru mengeluarkan almet OSIS-nya dari dalam tas.

Setelahnya Haris melempar tasnya kepada Ojan, menitipkannya untuk dibawakan ke kelas sementara ia bergegas berjalan menuju gerbang seraya memakai almetnya. Pagi ini Haris bertugas menjaga gerbang dan mengecek kelengkapan atribut para peserta didik sebelum dipersilakan masuk ke kelas. Haris juga yang akan mengunci gerbang jika bel sudah berbunyi.

Satu persatu peserta didik berdatangan dan Haris melaksanakan tugasnya. Di sebelahnya ada Dhimas yang juga melakukan hal yang sama. Sesekali keduanya bercengkrama guna mengusir bosan.

“Kesiangan, Bro?” tanya Dhimas seraya terkekeh. “Biasa tuh kebo. Minta bareng minta bareng, pas gue jemput masih molor,” balas Haris.

Dhimas tertawa sebelum membalas, “Terus lu apain?”

“Gue gulingkan tahtanya. Mana ileran lagi buanyak banget, spreinya berpulau-pulau lu tau?” ucap Haris.

“HAHAH PULAU! Emang kurang ajar kadang, lagitu gue jemput dia pagi-pagi dianya masih setoran,” balas Dhimas. Keduanya kini seakan beradu nasib siapa yang paling sial saat menjemput seorang Jauzan Narendra. Bagaimana tidak? Entah disengaja atau tidak, Ojan hanya akan siap dan tepat waktu saat Damar yang menjemputnya untuk berangkat ke sekolah. Kalau untuk Dhimas dan Haris, seperti yang selalu mereka katakan, Adaaaaaaaaaa aja perkaranya!

“Kaos kakinya bisa ditarik lagi nggak?” tanya Haris pada salah seorang adik kelas yang memakai kaus kaki terlalu pendek. Bahkan tidak sampai mata kaki.

“Nggak bisa, Kak..”

“Yah, gimana? Pak, Pak kaos kakinya pendek nih, Pak!” ucap Haris.

“Dih, Kakak mah gitu ih jahat banget!”

“Lah kenapa jahat? Kan saya udah tanya, bisa ditarik lagi nggak itu sampe mata kaki? Kamu jawab nggak bisa ya udah saya kenain sanksi. Sana sana ke Pak Asep,” balas Haris.

Haris memang dikenal tegas. Tak peduli siapa yang melanggar, pasti akan tetap ia kenakan hukuman ketika sedang menjalankan tugasnya sebagai petugas piket pagi hari. Karena itu juga, jadwal piket Haris adalah yang paling sering dihapalkan oleh para peserta didik agar dapat menghindari kesalahan. Karena itu juga, jadwal piket Haris adalah yang paling sering diacak, agar tidak ada yang bisa menghindari kesalahannya. Berbeda dengan Dhimas yang lebih santai dan jauh lebih ramah dari pada Haris.

“Berapa menit lagi, Dhim?” tanya Haris menanyakan waktu bel berbunyi pada Dhimas. Dhimas melirik arloji di tangannya, “tiga menit.”

“Ya udah gue jaga sono ya?”

“Iyak, sana dah!”

Haris memilih stand by di depan gerbang, bersiap menutupnya bertepatan dengan bel yang berbunyi. Tiga menit rupanya bukan waktu yang cukup lama, bel tanda masuk akhirnya berbunyi. Membuat para siswa yang masih di luar itu berbondong-bondong menerobos masuk selagi masih ada kesempatan.

Haris baru saja akan menutup pintu dengan rapat ketika ia melihat seseorang yang cukup ia kenali. Anggia Kalila, gadis yang nampak mungil jika berada di sebelah Haris itu muncul dengan tergesa-gesa. Entah apa yang merasuki seorang Muhammad Haris yang dikenal tegas itu, hari ini ia melunak hanya karena kehadiran seseorang.

Gia berniat menerobos masuk seperti yang dilakukan orang-orang yang tiba bersamaan dengannya. Namun dirinya mendadak ragu ketika mendapati seorang Haris yang menjaga gerbang. Nyalinya ciut seketika, apalagi ketika tatapannya tak sengaja bertubrukan dengan milik Haris yang selalu tajam dan tegas itu.

Gia masih ragu, kegelisahan membuat langkahnya maju mundur dan pada akhirnya ia hanya berdiam diri di tempat. Sementara Haris, pria itu memperhatikan Gia. Sejujurnya, tatapannya tak lepas dari gadis itu sejak keduanya tak sengaja bertatapan.

“Anggia mau masuk nggak?” tanya Haris tiba-tiba, membuat Gia mendongak kaget.

“H-hah? M-mau, Kak,” jawab Gia hati-hati. Nggak lucu kalo kena semprot pagi-pagi, batinnya.

“Ya, masuk! Kenapa diem aja di situ?” tanya Haris lagi. “Boleh, Kak?” Gia memastikan. Ia memberanikan diri menatap Haris yang masih belum melanjutkan tugasnya menggeser pagar hingga tertutup rapat.

“Cepet. Mumpung pagernya macet nggak bisa digeser,” ucap Haris.

Mendengar ucapan Haris, Gia lantas sumringah dan buru-buru melanjutkan langkahnya menerobos masuk. “Makasih, Kak Harisss!”

Gia berlari cepat, gadis itu memilih memotong jalan dengan menyebrangi lapangan agar lebih cepat sampai ke kelasnya. Gerakannya yang kilat itu tanpa sengaja membuat harum stroberi yang melekat pada tubuhnya menguar di udara hingga sampai pada indra penciuman Haris. Tanpa sepengetahuan gadis itu, semerbaknya berhasil membuat Haris mengulas senyum tipis yang segera ia tepis dengan gelengan kepala.

“Tegas banget ya, Kak Haris. Takut deh,” ejek Dhimas dari belakang. Haris menoleh, kemudian seraya menahan senyum ia membalas perkataan Dhimas sebelum kembali menutup pagar sekolah.

“Berisik!”

Zafran dalam keluarganya ibarat life of the party. Menjadi anak bungsu nggak menjadikan Zafran anak yang paling dimanja. Kedua orang tuanya memperlakukan semua anaknya sama. Bapaknya Zafran kerjanya tuh staf DPRD, jadi tenaga ahli salah satu dewan. Sementara ibunya pedagang kecil yang buka kios di salah satu pasar. That makes keluarga Zafran berkecukupan dan sama sekali nggak kekurangan.

Gue pernah ikut Zafran ke rumahnya untuk ngambil bahan kerja kelompok yang ketinggalan. Waktu itu, kita janjian kerja kelompok di rumah salah satu temen dan sepakat menuju ke sana saling bonceng. Zafran milih untuk bonceng gue, tapi dia bilang mau pulang dulu untuk ngambil bahan yang ketinggalan. Akhirnya, mau nggak mau gue tau diri. Sebagai yang ditumpangi gue nurut aja.

Zafran tinggal di rumah sama orang tuanya, kedua kakaknya, dan neneknya. Waktu ke rumahnya itu, kami disambut sama neneknya yang lagi duduk di teras. Zafran lebih dulu salim sama neneknya dan gue pun melakukan hal yang sama. Kemudian Zafran mempersilakan gue duduk di sebelah neneknya dan berlanjut dia ngeledekin neneknya.

“Ngapain sih nongkrong mulu di luar? Nungguin kakek-kakek yang suka godain Mbah yaa?!” ucap Zafran dengan telunjuk yang diarahkan ke wajah sang nenek, bergurau.

“Paan sih lu, Mbah mah emang tiap hari di luar. Nyari angin,” balas neneknya. Zafran tak lagi membalas perkataan beliau, sebagai gantinya Zafran kembali meledek sang nenek dengan menoel-noel dagu neneknya yang berakhir menerima pukulan dari sang nenek. Zafran, seperti biasa cuma ketawa-tawa aja.

Gue yang melihat itu di depan mata gue hari itu cukup kaget sih. Gue speechless, ternyata anak laki-laki seumuran gue yang sikapnya sehangat ini sama keluarganya. Setelah itu Zafran masuk, ninggalin gue yang kemudian diajak ngobrol sama neneknya.

“Temen sekelasnya Jai?”

“Hah? Ohh, iya Mbah,” jawab gue setelah sadar kalo Zafran di rumah ternyata panggilannya adalah Jai.

“Oohh, mau main apa gimana?” tanya neneknya Zafran. Sumpah, neneknya ini ramah banget, suaranya alus banget. Gue jadi berasa ngomong sama nenek sendiri.

“Mau kerja kelompok, Mbah, tapi Zafran pulang dulu soalnya ada bahan yang ketinggalan,” jawab gue. “Ohhh, kirain mau main. Terus ini mau jalan lagi?”

“Iyaaa, mau ke rumah temen lagi,” balas gue. “Ohh iya deh, nanti kapan-kapan main sini lagi yaa!”

Gue cuma senyum dan nggak lama Zafran balik lagi. Ngeledek neneknya lagi. “Berangkat lagi ya, Mbah. Bae-bae di rumah, kalo dikasih permen sama orang jangan mau!”

Beon lo ah, emange gue anak kecil?” balas neneknya Zafran. Gue sama Zafran cuma ketawa terus kita pamitan.

Pas mau berangkat, di gerbang kita papasan sama kakak sulungnya Zafran yang baru pulang beli bakso. Zafran yang tadinya jalan santai auto kepo. “Ih apaan tuh, Mbak? Bakso ye? Mau dongggg kok nggak beliin sih?”

“Mana aku tau kamu udah pulang?!”

“Mau dongggg,” balas Zafran. “Tapi ntar aja deh malem, aku mau pergi lagi.”

“Mau ke mana?” tanya kakaknya Zafran. “Jalan-jalan lahh emangnya Mbak, nggak pernah bergaul?” canda Zafran.

Sang kakak berlagak tersinggung, “Dih? Awas lu ya! Kagak usah lu minta-minta beliin bakso lagi sama gua!”

Yang selanjutnya terjadi adalah Zafran yang mendadak clingy. “IYA IYA BERCANDA DOANG IH! Damai damai,” ucap Zafran seraya memeluk dan memberi kecupan-kecupan ringan pada pucuk kepala sang kakak. Sementara kakaknya berteriak geli seraya meminta ampun.

“Beliin bakso yak ntar malem?”

“Iya iya bawel!”

“Nah, gitu dong! Dadaahh!” ucap Zafran. Kemudian gue juga pamit sama kakaknya untuk lanjut jalan lagi. Dari jauh gue denger kakaknya teriak, Pager tutup lagi, Dekk!

“Yaaaa!” balas Zafran santai.

Hari itu gue tau kalo Zafran di rumah, adalah Dedek Jai. Yang meskipun tetep cari ribut, tapi tetep kesayangan semuanya. Zafran bilang, satu-satunya yang nggak suka dia adalah abangnya. Which is, anak tengah di keluarganya. Itu pun sebatas karena Zafran sering jadiin dia samsak aja. Bukan benci beneran.

Zafran cerita kalo di rumah, sama abangnya dia suka tiba-tiba main reog-reogan. Alias, abangnya gendong Zafran di punggungnya terus mereka joget-joget. Kadang juga dia main smack down sama abangnya. Abangnya yang dipiting, bukan Zafran.

Jujur, kadang gue iri ngeliat betapa hangatnya keluarga Zafran. Betapa orang tuanya berhasil mendidik anak-anaknya untuk menjadi sebuah keluarga yang paham betul kalau sama saudara harus saling jaga dan saling menyayangi. Gue tau Zafran sayang kakak-kakaknya. Dia suka bilang kangen Mbak dan Masnya kalo mereka lagi ada acara sekolah yang mengharuskan nginep, dan ketika ketemu lagi, mereka bakalan saling berpelukan kayak nggak ketemu lamaa banget padahal cuma sehari semalam.

Pada lain kesempatan gue juga sempet ngobrol sama Mbaknya Zafran. Dia bilang Zafran adalah adiknya yang paling peduli kalo liat dia nangis. Waktu nggak keterima SBM, Zafran liat dia nangis dan langsung lapor ke neneknya. Berakhir mereka semua nenangin mbaknya Zafran dan meluk dia. Zafran yang kalo di kelas nggak pernah tau ada temennya yang sakit, jadi sensitif banget kalo soal kakak perempuannya. Kalo kata mbaknya, “Nyedot ingus dikit ditanyain 'Mbak nangis?'”

Sejauh ini, Zafran adalah anak bungsu yang baik untuk keluarganya.

Meskipun begitu, Zafran juga bisa menjadi sosok kakak yang baik. Suatu hari gue diminta jadi tutor belajar bareng untuk ujian akhir semester untuk Zafran dan temen-temennya. Iya, Zafran yang minta, otomatis tempatnya juga di rumah Zafran. Seakan nggak cukup memikat gue pake sikap hangatnya ke keluarganya, Zafran memikat gue pake sikap momongnya ke anak-anak kecil di sekitar rumahnya.

Gue, waktu itu jadi orang yang pertama dateng. Apa yang gue temuin di teras rumahnya Zafran? Zafran yang lagi ngorek-ngorek tanah sama anak kecil laki-laki yang perkiraan gue berumur dua tahun. Mereka sahut-sahutan nyanyi Semut-Semut Kecil.

“Semuut-Semuut kecil, saya mau?” Zafran menjeda nyanyiannya, memberi umpan ke bocah itu untuk ngelanjutin.

“Tannyaa!”

“Apakah kamu?”

“Di dalam tanah!”

“Tidak kegela?”

“Paaaaaan!”

Zafran baru sadar gue ada di depan rumahnya ketika gue ketawa denger dia sahut-sahutan nyanyian sama bocah.

“Wehh, udah nyampe aja lu, Im! Masuk-masuk,” ucap Zafran. Gue akhirnya masuk dan duduk di kursi teras rumahnya Zafran.

“Bentar, ya, Im,” balas Zafran. Gue cuma ngangguk dan nyuruh dia santai karena emang belom ada yang dateng juga selain gue.

Zafran nepuk-nepuk celananya, ngebersihin sisa tanah yang nempel di sana bekas dia lesehan di jalanan. Terus dia bilang sama bocah yang masih ngorek-ngorek tanah itu, “Biw, udahan dulu mainnya ya? MaJai mau belajar dulu.”

Anak kecil itu ngambek dan nolak udahan. Terus Zafran nunjuk-nunjuk gue, “Majai mau belajar dulu tuh temen Majai udah dateng. Besok lagi mainnya okey?”

“Aaa tapi gendong,” balas bocah itu. Kata Zafran, namanya Nabil tapi dipanggilnya Abiw. Ah, Zafran juga bilang kalo Majai itu adalah panggilan dirinya. Aslinya Mas Jai, cuma karena anak kecil itu waktu itu belom lancar ngomong, jadi Majai dan kebiasaan manggil begitu sampe sekarang.

“Haaaaaa? Gueeendong?” canda Zafran. Membuat Abiw nggak jadi ngambek dan malah ketawa. “Iya, ayo gendong tapi cuci tangan dulu Abiwnya.” Setelah itu, akhirnya Zafran gendong Abiw dengan mudah. Betul, bukan Zafran kalo cuma gendong biasa. Zafran gendong Abiw ala-ala Superman dan diterbangin sampe rumahnya. Setelah situasi aman, baru Zafran nyamperin gue dan ngajak gue ngobrol sambil nungguin temen-temen yang lain. Hari itu Zafran cerita dia suka dapet makanan gratisan dari para orang tua yang anaknya pernah kena momong Zafran.

Hari itu gue tau, Zafran mencintai dan dicintai seisi rumah. Entah rumahnya atau rumah tetangganya yang anak kecilnya berteman baik dengan Zafran. Meskipun anak bungsu, Zafran tak hanya tau caranya menjadi adik yang baik, tetapi ia juga paham caranya menjadi seorang kakak yang baik. Rasanya, Zafran adalah anak bungsu yang bisa menjadi tempat pulang semua orang.

Berteman sama Zafran, membawa perubahan. Makin lama kenal Zafran, gue makin tau kalo dia adalah sosok yang sedikit dijadikan sebagai pemimpin di tengah komplotannya. Gue suka denger sekelebat, kalo markas nongkrong komplotannya Zafran itu yaa di rumah Zafran. Mereka akan tidur-tiduran santai di kasur yang entah gimana caranya bisa ada di ruang tamunya Zafran. Kenapa pilih di sana? Ya karena ada Wi-Fi, plus, ibunya Zafran friendly parah!

Ibunya Zafran nggak pernah marah meskipun temennya Zafran sekampung dateng ke rumahnya. Asal kalo abis beli jajan diberesin, dan nggak lupa tanggung jawab alias sembahyang dan ngaji. Iya, Zafran masih ngaji meskipun udah SMA.

Kalau gue telaah, circle-nya Zafran itu luas banget. Mulai dari anak-anak, yang sebaya, orang tua, semuanya deket banget sama dia. Temen-temennya nggak cuma sebatas temen sekolah, tapi juga temen main di rumah, temen ngaji, temen les waktu SMP, dan lain-lain. Waktu gue berkesempatan ke rumah Zafran buat kerja kelompok, Zafran nggak henti-hentinya jawab sapaan orang padahal rumahnya masih jauh. Gue nggak tau ini orang pernah main sejauh apa, but he seems so famous. Kayak yang gue bilang, circle-nya Zafran terisi oleh semua kalangan. Di perjalanan ke rumahnya Zafran nggak cuma disapa yang sebaya, tapi juga bapak-bapak, ibu-ibu, kakek-kakek, nenek-nenek, dan surprisingly, he knows their name. Soalnya katanya sering dengerin neneknya curhat sebel sama beberapa nama. Kata Zafran, kalo kayak gitu dia cuma bisa diem sambil ngasih komentar dikit-dikit biar neneknya merasa seneng karena ada yang nanggepin.

Zafran adalah orang yang ramah, sangat. Zafran nggak cuma kenal sama mereka yang punya title, tapi juga mereka yang selalu dipandang sebelah mata. Di sekolah, Zafran adalah orang yang paling sering nongkrong di pos satpam dan ngajak ngobrol para satpam entah apa topiknya. Kadang mereka bahkan ketawa kenceng banget sampe tawanya Zafran yang renyah itu terdengar sampe ujung lapangan.

Zafran benar-benar berteman dengan siapapun. Tukang odong-odong, tukang sapu sekolah, satpam, tukang mainan gerobak yang suka mangkal di SD seberang sekolah, guru ngaji, pak RT. Bahkan Zafran pernah cerita, ayah dari salah satu temannya adalah anggota BIN yang entah bagaimana bisa informasi itu bisa diketahui orang lain.

Soal tugas, mungkin Zafran akan selalu meninggalkannya. Tapi kalau soal ibadah, Zafran juaranya. Di manapun tempatnya, memang selalu ponsel yang setia berada di genggaman tangannya. Kedua jempolnya itu pasti akan berlomba menekan-nekan layar ponsel seraya bibirnya berkomat-kamit mengucapkan arahan pada rekan satu timnya dalam bermain game online. Gue pernah liat sekali Zafran lagi main game di sekolah.

“MUNDUR WOI MUNDUR ADUHHH LO NGAPAIN MAJU SENDIRI?” ucap Zafran menggebu-gebu.

“Itu itu serang dong serang! EH— GOOOBLOK! Itu kan dia di depan lu, depan maaata lu kenapa lu diem aja kagak kaburrr?!” ucap Zafran lagi.

“Jap Jap lindungin gue Jap lindungin gue— oke mantaaaaap! Saikkkkkk!!!”

“Uhuu, satu lagi satu lagi tuh,” ucap Zafran girang. Kini tak lagi emosi melainkan pria itu merasa riang.

“CEPET CEPET TEMBAK ITU TEMBAK DONG ADUH—NAH, NAH!! Duh, tiga menit lagi azan, NAH CAKEP CAKEP AYOK, NAH! VICTORYYYYYYYYY!!!!!” Zafran bersorak girang, suaranya bersaing dengan sorakan teman-temannya yang juga rasakan kemenangan. Setelah puas berbahagia mereka semua kembali bersandar pada dinding sekolah, mengabaikan seragam putih yang bisa saja menghitam karena terkena noda di dinding.

“Ayok maen lagi, Jap,” ajak salah satu teman. Zafran awalnya mengangguk mengiyakan, namun ketika ia menyadari sebentar lagi waktu zuhur tiba, Zafran justru menoyor temannya bercanda. “LOHORRRR!!”

Iya, yang barusan menjadi pelopor salat Zuhur tepat waktu dalam lingkaran pergaulannya adalah Zafran yang sama dengan yang selalu menunda tugas. Kalau ditanya kenapa, Zafran pasti akan bilang “Gue nggak mau ditunda masuk surga.”

Soal menjadi seseorang yang selalu dikagumi dan dijadikan panutan oleh teman-teman sepermainannya, Zafran sudah ahli sejak kecil.

*“Gue waktu kecil paling suka main sepeda sama gundu, sih, Im. Ih gila gundu gue tuh dua box gede ditambah satu kaleng Tango yang gede. Jago guaa menang mulu,” sombong Zafran.

“Seru, Im, masa kecil gue mah. Kalo sore abis Asar tuh gue pasti keliling sama temen gue naik sepeda. Ngebut gitu. Pernah nih, Im, gue mau belok ala-ala MotoGP gitu kan yang mengsong gitu. Eh, jalanannya licin banget terus gue dalem hati udah firasat nih 'wah jatoh ini mah jatoh nih' bener aje ban gue srosot terus gue mental jungkir balik. Sikut gue besot dengkul gue berdarah,” ceritanya penuh semangat.

Zafran juga cerita, waktu kecil kalau ditinggal temennya naik sepeda, Zafran akan iseng ngubah rute. Teman-temannya lurus lebih dulu, Zafran yang berada di paling belakang akan belok kiri sambil teriak “GUE BELOK!!” dan berujung semua temannya putar balik dan malah mengikuti rute Zafran.

Sebesar itu power Zafran bahkan ketika masih kecil. Entah apa yang membuat mereka semua percaya sama Zafran yang kalo di sekolah nggak ada apa-apanya itu. Zafran yang jadi musuh semua guru, rupanya adalah teman bagi semua orang.

Zafran menurut Bapak dan Ibu Guru itu.. disaster! Banyak banget tugasnya yang nggak dikerjain dan nilai ulangannya jelek-jelek. Gue rasa dia dateng ke sekolah cuma buat ketemu temen-temennya dan main mobile legend.

“Muhammad Zafran,” panggil bu Meiti, wali kelas gue waktu kelas 11. Zafran yang sedang fokus menyalin jawaban teman sebangkunya kala itu seketika mendongak. “Iya, Bu?”

“Tugas kamu yang kemarin mana?”

“Ini, Bu, lagi saya kerjain,” bas Zafran. Bu Meiti auto-menghela napas. Ya, kalo jadi Bu Meiti dan guru-guru lain gue juga pasti ngelakuin hal yang sama, sih. Alias, CUAPEK BANGET NGGAK SIH punya murid kayak Zafran? Udah dibilangin dari cara alus, sampe pake otot, Zafran masih tetep Zafran. Tugasnya tetep bolong, otaknya tetep kosong.

“Kamu tuh, kebiasaan banget sih?! Tugasmu ini kosong semua loh, Zafran! Kalo nggak dikerjain nanti apa yang menolong kamu untuk naik kelas? Maksimal cuma tiga pelajaran loh, TIGA yang boleh merah. Lebih dari tiga pelajaran di bawah KKM, guru-guru juga nggak bisa nolong kamu, Nak! Mana ulanganmu juga merah semua,” ucap Bu Meiti. “Ayo dong, Nak, berubah. Kamu nih udah kelas 11 loh! Masa mau begini terus? Kamu nanti bisa nggak dapet kesempatan buat SNM loh! Ingat ya semua, yang dilihat itu nilai semester satu sampai lima. Ini kalau nilainya kayak Zafran semua gini gimana?”

“Maaf, Bu,” balas Zafran dengan wajah menunduk. Masih tau sopan santun, alhamdulilah.

“Ah kamu, besok diulang lagi. Jangan main-main kamu, semuuuuua guru di ruang guru asal ketemu Ibu pasti ngomonginnya kamu tau nggak?” tanya Bu Meiti. “Asal Ibu masuk ruang guru, pasti deh, Muhammad Zafran ini nggak pernah absen masuk telinga Ibu. Bu Meiti, anakmu itu loh, Bu! Nggak sanggup saya deh ngurusnya. Zafran nilainya kosong semua. Bu Meiti, Zafran kemarin nggak ngerjain tugas pelajaran saya. Bu Meiti, Zafran tadi tidur di kelas jam pelajaran saya.

“Kamu mungkin nggak malu, tapi orang tua kamu dan saya sebagai wali kelas kamu, kami yang malu. Kamu mau nggak naik kelas, Zafran?” tanya Bu Meiti lagi.

“Enggak, Bu,” jawab Zafran. Masih nunduk, kali ini dia udah berhenti nulis. Memilih dengerin Bu Meiti dulu dengan segala amarahnya.

“Ini saya mau jadi wali kelas kalian juga karena ada Calista. Seenggaknya masih ada lah, murid saya yang bener. Kalo nggak semua setidaknya satu. Kamu jangan duduk di situ deh, Zafran. Duduk sama Calista situ! Calista sebelahmu kosong kan, Nak? Udah pindah kan temen sebangkumu?” ujar Bu Meiti.

“I-iya, Bu,” dengan sangat terpaksa gue harus jawab jujur ke Bu Meiti. Gue emang duduk sendiri, dulu sebangku gue namanya Anin, tapi dia pindah sekolah dan jadilah gue duduk sendiri. Tapi sumpah, gue mendingan duduk sendiri dan sesekali nerima temen-temen mampir untuk nanya jawaban dari pada harus setiap hari duduk sama manusia kayak Zafran.

“Nah, udah pindah pindah situ, Zafran! Biar ketularan pinternya Calista kamu tuh. Calista juara satu kamu juara dua gitu! Jangan peringkat terakhir terus! Biar nggak main terus!” Oceh Bu Meiti. Pada akhirnya, atas perintah Bu Meiti Zafran membawa tasnya dan merapikan bukunya untuk dibawa ke sebelah bangku gue yang kosong. Zafran cuma diem dan segera duduk, kemudian lanjutin nyalin jawaban dari buku mantan temen sebangkunya yang juga ia bawa.

Liat, kan, betapa jeleknya sosok Zafran di mata guru-guru? Itu baru satu yang mewakili semuanya, belum seisi ruang guru yang menumpahkan kekesalannya terhadap seonggok manusia bernama Zafran. Masih banyak catatan kriminal Zafran yang disimpan di benak guru-guru. Pernah ditegur guru Fisika karena ngapalin rumus saat lagu Indonesia Raya berkumandang, diusir dari kelas sama guru Bahasa Indonesia karena makan mie rebus diem-diem. LITERALLY MIE REBUS PAKE TELOR!

Nggak cuma itu, waktu Try Out ujian, Zafran pernah ngerjain asal-asalan. Bahkan nggak sampai lima menit, Zafran udah selesai. Setelah itu dia cengengesan, terus nyender di tembok dan ngajakin temennya yang lain ngobrol. Tiba-tiba, HP-nya bunyi. Gue masih inget banget sebesar apa mata Zafran melotot dan sepanik apa dia waktu itu. Ternyata, guru Matematika yang waktu itu Try Out-nya berhasil diselesaikan Zafran dalam waktu kurang dari lima menit itu nelepon Zafran.

“H-halo, Bu?”

“Zafran kamu udah selesai ini TO-nya?”

“Udah, Bu..”

“Kamu ngerjain apa? Baca soalnya nggak sih? Ini bakal beneran ada soalnya di ujian akhir kamu nanti, dibaca baik-baik bukannya dikerjain asal-asalan begini ya, Muhammad Zafran! Ini kamu ngerjain nggak sampe lima menit loh! Mending kalo jawabannya bener, lah ini ngaco semua! Niat sekolah nggak sih kamu tuh?!”

“Niat, Bu..”

“Besok saya nggak mau liat kamu begini lagi ya, Zafran!”

“Iya, Bu, maaf, Bu..”

Kemudian berakhir dengan Zafran yang mengelus dada dan seisi kelas ngetawain dia.

See? Zafran is a total disaster.

Satria menyandarkan dirinya pada besi tronton yang hanya sampai pertengahan punggungnya itu. Berusaha memejamkan matanya seraya angin dari jendela seberang yang terbuka menyapu wajahnya. Saat ini kanan dan kirinya sibuk mengoceh, saling menukar gelak tawa mumpung masih ada kesempatan sebelum katanya, disiksa dikemudian hari.

Saat hampir terlelap, seseorang dari arah kanan menepuk pundaknya dengan tenaga cukup kuat. Membuat Satria seketika membuka matanya dan mengaduh kesakitan seraya mengelus-elus pundaknya yang keluarkan sensasi nyeri. “Jam segini tidur,” ejek Azriel. Satria kemudian dengan terpaksa membenarkan posisinya menjadi posisi duduk.

“Ngantuk, Bang. Semalem nggak bisa tidur,” balas Satria.

“Kenape lu? Galau?” tanya Azriel lagi. “Iya kali, kagak tau.”

“Yeu ileh anak muda banyak laga,” balas Azriel.

“Lama banget ya, Bang, tiga bulan? Copot udah tulang lu semua itu mah,” ucap Satria mengundang tawa Azriel. “Iya ya. Gue dulu LDKS sehari semalem aja balik-balik pegel banget kayaknya ini gimana tiga bulan ya?”

“Nah, itu dia maksud gue, Bang. Gokil yak!”

Azriel menghela napas panjang. Pasrah akan apa yang akan ia alami di camp nanti. Ide Satria ada benarnya, lebih baik ia tidur sekarang sebelum lelah nanti dan tak ada waktu istirahat yang cukup.

“Jalanin aja, dah. Namanya juga idup,” balas Azriel. “Udah tidur lagi lu, gue juga mau tidur,” ucapnya lagi.

Setelahnya Satria kembali menyandarkan dirinya. Di sebelahnya, Azriel pun melakukan hal yang sama. Keduanya kemudian memejamkan mata, berusaha tertidur sebisanya meskipun sekali-kali matanya harus terbuka kala tronton melintasi jalanan yang tak rata dan menyebabkan semua penumpang terloncat.

Selang beberapa lama, keduanya tertidur, dengan kepala Satria bersandar di pundak Azriel sementara kepala pemuda yang lebih tua bersandar di atas kepala Satria. Kalau Yasmine melihat ini, gadis itu pasti akan tersenyum hingga telinganya. Melihat kedua pemuda yang ia sayangi nampak seperti kakak beradik sungguhan.

“Tante, Om, makasih banyak yaaa! Maaf nih Jiel jadi ngerepotin,” ucap Jiel seraya turun dari mobil milik papa Arjuna.

“Nggak pa-pa, Jiel, hati-hati yaaa. Titip Satria di sana!”

“Pamit, Om,” ujar Satria sambil menyalami tangan pamannya, disusul Yasmine yang juga mengucap terima kasih sekaligus berpamitan. Tak lupa gadis itu pun menyapa Arjuna yang tersisa di sana.

Ketiganya kini berjalan bersama memasuki gerbang sekolah yang terbuka lebar. Azriel mengambil langkah terdepan, memberi contoh pada dua orang yang lebih muda darinya untuk memberi sapaan pada satpam yang berjaga di sana pagi itu.

“Sat ngumpul di mana sih?”

“Depan ruang OSIS katanya, Bang,” jawab Satria.

“Ya udah gue duluan ya?” ucap Azriel. “Kok buru-buru banget, Mas? Nanti aja kali?” balas Yasmine tidak rela.

Azriel terkekeh, “Yah elaah, kalo kelamaan nanti makin nggak rela perginya.”

“Iya juga sih, ya udah terserah Mamas.”

“Jangan lesu gitu doong, nanti kan kita ketemu lagi,” balas Azriel seraya menatap Yasmine yang tak lagi miliki semangat yang sama ketika keduanya hadir di sekolah.

“Masih lama,” balas Yasmine.

“Enggak, nggak bakal berasa. Beneran deh!”

Pada akhirnya Yasmine pasrah. Mau ditahan selama apapun juga, kakaknya tetap harus pergi. Yasmine menghela napas panjang yang sembunyikan makna kecewa, setelahnya ia membalas ucapan kakaknya. “Iya deh.”

Azriel lagi-lagi terkekeh, “Lawak banget, dah! Sini, sini, peluk sekali lagi.”

Pemuda itu lalu menarik Yasmine ke dalam pelukan hangatnya yang singkat. Tak lupa mengacak-acak rambut Yasmine yang masih terurai pagi itu. “Mamas duluan ya?”

“Iya, daah, Mas!”

Setelahnya Azriel hanya membalasnya dengan lambaian tangan seraya kakinya melangkah menjauhi Yasmine dan Satria yang tersisa di sana. Kedua muda-mudi itu kini bertukar pandang, dengan Satria yang mengulas senyum tipis guna melepas canggung.

“Buat gue ada perpisahan juga nggak nih?” tanya Satria.

Yasmine tersenyum sambil menunduk sebelum akhirnya kembali menatap pemuda di hadapannya. “Hati-hati juga ya, Daf! Semoga betah dan bisa ngikutin rangkaian acaranya.”

Satria berdecak main-main, “Ah, kalo betah mah nggak bakal betah lah. Di sana mana enak, pasti nggak boleh main hp, nggak ada nasi uduk, nggak ada es teh manis, nggak ada—”

Satria menghentikan ucapannya. Membuat Yasmine menagih kelanjutannya dengan sebelah alis terangkat, “Apa?”

“Nggak ada elo, hehe.”

Jawaban terakhir dari Satria berhasil membuat Yasmine tersipu. Masih pagi, setidaknya ia kembali temukan semangat untuk menjalani hari yang masih panjang. Hatinya kembali pancarkan percikan kebahagiaan yang ia rasa, cukup untuk membuatnya tersenyum sepanjang hari. Setidaknya, hingga jam sekolah berakhir.

“Kan ada Mas Jiel,” balas Yasmine.

“Mas Jiel serem, lo kan enggak,” canda Satria.

“Ih, aku bilangin Mas Jiel kalo nanti dia pulang!” balas Yasmine, melontarkan ancaman pada Satria dengan telunjuk yang diarahkan pada pemuda itu. Sementara Satria hanya tertawa.

“Yas, jaga diri juga ya? Kalo lagi sedih malem-malem jangan suka nongkrong di taman sendirian. Apalagi bengong-bengong, bahaya. Tiga bulan ini gue nggak bisa nyamperin lo ke sana soalnya. Kalo lagi sedih, lo boleh jadiin room chat kita tempat curhat lo, kok. Jadi, nanti kalo gue udah boleh buka hp atau gue udah pulang, gue bisa baca. Eh, tapi kalo mau diapus lagi juga boleh. Biar lo lega aja, siapa tau ada yang nggak bisa lo ceritain ke orang lain dan cuma pengen lo keluarin aja,” ucap Satria panjang lebar.

Yasmine menatap Satria yang juga menatap lurus ke arahnya, keduanya saling pandang tanpa ada yang berniat memutus kontak mata. Satria masih menatap mata Yasmine yang berbinar, yang menurutnya, selalu indah. Kali ini, pria itu sengaja menatapnya cukup lama sebelum akhirnya ia akan menghadapi hari-hari di mana ia harus merindukan kedua mata indah itu, beserta pemiliknya.

Yasmine akhirnya memutus kontak mata lebih dulu, kemudian gadis itu mengangguk. “Iya, nanti aku cerita sama kamu. Makasih ya, Daf.”

Anytime,” balas Satria seraya tersenyum. Manis. Manis sekali. Senyum itu, yang selalu berhasil membuat Yasmine terpana sebab meskipun pemiliknya hanya menunjukkannya sedikit, tapi tetap membuat Yasmine tenang. His smile lights up her world once more.

So, see you, i guess?” ucap Satria. Yasmine tertegun sesaat, kemudian gadis itu mengangguk dengan senyuman tipis.

“Sampai ketemu lagi ya, Yasmine Arthawidya Cantika?”

Yasmine terkekeh mendengar Satria menyebutkan nama panjangnya. Kemudian ia membalas, “Sampai ketemu lagi, Satria Daffa Perwira!”

Pada akhirnya hari yang selama ini Yasmine harap tak akan tiba, tiba juga. Esok adalah hari keberangkatan Azriel untuk mengikuti latihan kepemimpinan dari sekolah dengan tujuan bela negara. Artinya, pemuda itu juga akan meninggalkan rumah beserta adiknya selama 3 bulan.

Azriel kini masih berkumpul dengan keluarganya untuk makan malam. Seperti biasa, pemuda itu mengambil kursi di sebelah adiknya, membuat gadis itu terapit oleh dirinya dan bundanya.

“Kamu besok ya, Mas perginya?” tanya bunda. Azriel mengangguk seraya mengunyah makanannya.

“Perlengkapannya udah semua, Mas?” tanya bunda lagi. “Udah, Bun. Udah semua. Tinggal jalan aja besok.”

Bunda hanya mengangguk menanggapi jawaban anak sulungnya. Tak lupa bersyukur dalam hati bahwa perlengkapan anaknya sudah terpenuhi. Kemudian wanita itu kembali menyantap makanannya.

“Harus banget kamu yang pergi apa, Mas? Gantiin aja tuh sama dia,” ujar Ayah seraya menunjuk Yasmine dengan dagunya. “Ayah mendingan nggak liat muka dia dari pada kamu yang nggak ada, Mas.”

Yasmine yang sedari tadi menunduk akhirnya mendongak, melirik sang ayah dari sudut matanya. Sudah biasa, namun rasanya masih sakit. Ia menghela napas lesu, bahunya merosot, menyerah berpura-pura tegar. Masih ada Mas Jiel saja begini, apalagi tidak?

“Ayah!” tegur Azriel. Yasmine dengan sigap mengusap lengan Azriel, mengisyaratkan agar dirinya tak mengeluarkan amarahnya lebih besar lagi.

Sementara ayah yang melirik Yasmine dengan tatapan tajam, “Liat tuh, kakak kamu jadi kurang ajar gara-gara kamu! Harusnya kamu aja yang pergi.”

Setelahnya ayah bangkit dan menuju kamarnya. Pria itu bahkan tak menghabiskan makan malamnya. Membuat Yasmine turut kehilangan napsu makannya, gadis itu hanya menunduk merasakan matanya yang memanas. Tak ada yang melanjutkan makan malam itu, Azriel sibuk menahan emosinya yang menggelora, sementara bunda menghela napas, entah harus bagaimana caranya membuat suaminya berhenti bersikap seperti ini pada anak bungsunya.


Paginya Yasmine terbangun tanpa semangat. Hari ini akan menjadi hari pertamanya tanpa Azriel, juga tanpa melihat senyuman manis Satria yang selama ini diam-diam ia kagumi dalam hati.

Selang beberapa menit, Yasmine akhirnya siap dengan seragam dan perlengkapan sekolahnya. Gadis itu melangkah gontai menuju kamar sang kakak, mengetuknya perlahan.

“Mas?”

“Mas.. Yayas masuk ya?”

Belum sempat gadis itu membuka pintu, Azriel sudah lebih dulu membukanya. Pria itu telah siap dengan seragam Pramukanya, serta dapat Yasmine lihat dari balik bahu Azriel, sebuah tas carrier yang disandarkan di dekat kasur sudah terisi penuh dengan perlengkapan kakaknya itu.

Yasmine mengerucutkan bibir seraya menghela napas kecewa, “Udah siap ya, Mas?”

Azriel mengangguk, “Udah. Yayas kenapa ke sini?”

Yasmine menundukkan kepalanya. Menjeda bicaranya sementara. “Mamas berangkatnya naik apa?”

“Mamas sama Satria, dianter papanya Juna. Soalnya nggak bisa bawa motor, kan hari ini Mamas nggak pulang,” jawab Azriel.

“Oh.. gitu ya? Oke deh..”

Mendengar jawaban Yasmine, kening Azriel berkerut bingung. “Kenapa, Yas?” tanya Azriel.

Gadis itu menggeleng seraya tersenyum, “Enggak. Nanya aja.”

Azriel terkekeh, ia tahu adiknya itu pasti ingin berangkat bersamanya. “Ayo siap-siap, berangkat bareng Mamas sama Satria, sama Juna juga sih.”

“Hah?”

“Jangan hah hoh hah hoh! Buruan. Kemarin Mamas udah bilang kok sama Satria Juna, kamu ikut bareng. Biar sekalian. Lagian, nanti kan kita lama nggak ketemunya. Jadi, hari ini berangkat bareng ya? Jangan sendirian,” ucap Azriel.

Yasmine masih terpaku di hadapan Azriel. Terkejut kakaknya itu menebak isi pikirannya dengan mudah.

Azriel kembali terkekeh kemudian menyentil pelan dahi Yasmine, “Ayo jangan bengong. Nanti telat. Ambil tasnya, turun.”

“Hah? Iya iya.”

“Eh, Yas!” panggil Azriel. Membuat Yasmine kembali terhenti. Sekon berikutnya Yasmine sudah merasakan dirinya berada dalam pelukan hangat sang kakak. Yang selama ini menjadi tempatnya mengutarakan keluh kesahnya, tempatnya meluapkan semua tangis dan amarahnya.

Yasmine membalas pelukan Azriel sama eratnya. Seiring Azriel mengusap surai legam panjang milik Yasmine.

“Jaga diri ya Yas? Jangan lupa makan. Jangan dengerin kata Eyang sama Ayah kalo mereka ngomong macem-macem. Sehat-sehat ya? Mamas pulang Yayas harus jadi orang pertama yang nemuin Mamas. Oke?”

“Ah Mamas. Aku tuh udah nangis semaleman, masa sekarang nangis lagi?”

Azriel terkekeh. “Haduh, bakal kangen nih.”

“Emang iya?”

“Enggak lah, barusan pura-pura aja,” balas Azriel bercanda.

“IH!”

Tawa Azriel kembali menguar, disusul tawa kecil Yasmine kali ini. “Mamas juga ya, hati-hati di sana. Sampai ketemu 3 bulan lagi!”

“Iyaaaa. Udah sana, ambil tasnya, kita turun bareng.”

LOVE YOU, MASSS!!!” seru Yasmine. Sementara Azriel hanya tersenyum dan berniat kembali masuk ke kamarnya.

“Mas? Nggak dibales?”

“Tadinya mau dibales love you too tapi bukannya Yayas cintanya sama Satria?”

“APAAN SIH!”

Azriel kini sudah berada di kamar sang adik, matanya menajam seraya memantau pergerakan Yasmine yang dengan santai berguling di kasurnya sendiri seakan mengabaikan presensi kakaknya yang sudah menatap serius.

“Adek,” panggil Azriel. Yasmine hanya berdehem sebagai sahutan dari panggilan kakaknya. Azriel mulai jengah, sudah sekitar tiga puluh menit dirinya berada di sana tanpa mendapat perhatian Yasmine.

“Yas, Mamas mau ngomong loh, dicuekin gini? Kenapa sih?” tanya Azriel frustasi. Mendengar nada bicara Azriel, barulah Yasmine bangkit dan duduk menghadap pemuda yang sudah jengah itu.

“Yasmine kenapa? Dari Mas Jiel sembuh, Yayas tuh kayak menghindar gitu deh. Ke mana-mana nggak mau dianterin, nggak mau berangkat bareng, nggak mau pulang bareng. Yayas kenapa? Mas Jiel khawatir tau,” ucap Azriel, masih berusaha bicara lembut pada adik satu-satunya itu. Benar, jika sampai terjadi sesuatu terhadap Yasmine, Azriel adalah orang pertama yang tak bisa memaafkan dirinya sendiri.

Yasmine menghela napasnya, “Mas, Mas Jiel tuh..”

“Apa?”

Gadis itu menunduk sebelum melanjutkan bicaranya, menghindari tatapan Azriel. “Mas Jiel tuh harus ikut acara yang pergi 3 bulan itu, kan?”

“Yasmine tau dari mana?”

“Aku liat di mading sekolah,” jawab Yasmine cepat. “Aku liat ada namanya Mas Jiel.”

Azriel menatap lurus ke dalam netra Yasmine yang kini sudah berkaca-kaca. Ia menemukan jawabannya. “Terus maksudnya Yayas mau membiasakan diri tanpa Mamas gitu?”

“Ya iya.. selama ini Yayas apa-apa sama Mamas. Dimarahin Ayah, larinya ke Mamas, kalo nggak ada yang jemput, kalo nggak ada yang nganterin, kalo nggak ada temen, semuanya aman karena ada Mamas,” jawab Yasmine.

“Mamas bisa kok nggak ikut, nanti Mamas izin—”

“Nggak usah, Mas. Yayas juga tau kok, Yayas nggak boleh terus-terusan bergantung sama Mamas. Yayas juga harus bisa apa-apa sendiri, udah gede juga. Yayas tauu, Mamas suka kan kegiatan kayak gitu? Yayas nggak mau jadi penghalangnya Mas Jiel juga, Mas..”

Penurutan Yasmine lantas membuat Azriel terperangah. Kalau dipikir-pikir, benar juga. Entah sudah berapa lama hidupnya ia dedikasikan untuk menjaga dan melindungi adiknya. Banyak sekali mimpi, keinginan, dan waktu yang harus ia relakan demi mengutamakan kepentingan Yasmine sebagai adiknya. Namun, Azriel tak pernah marah. Ia tahu hidup Yasmine bahkan sudah pahit semenjak gadis itu lahir, mengingat betapa bencinya sang ayah terhadap adiknya hingga membuat gadis itu tak pernah merasakan perlindungan dan dekapan hangat dari seorang ayah. Hingga ketika suatu hari, Azriel tahu bahwa perannya bukan hanya sebagai seorang kakak, namun lebih besar dari itu.

Azriel tersenyum tipis seraya meraih tangan Yasmine dan menggenggamnya, “Yasmine nggak pernah jadi penghalangnya Mamas.”

“Bohong,” ucap Yasmine. “Yayas pernah nggak sengaja denger Mas Jiel ngobrol sama temen-temen Mamas waktu mereka main ke sini. Mas Jiel mau kuliah di luar kota, kan? Tapi nggak bisa karena Mamas harus jagain Yasmine?”

Azriel kembali terdiam. Satu lagi fakta keluar dari mulut Yasmine membuat Azriel tak dapat mengelak. Benar, dirinya memang berencana melanjutkan studi di luar kota. Meraih kampus impiannya di Yogyakarta. Namun, setelah melewati malam-malam panjang tanpa tidur yang ia habiskan untuk berpikir lebih jauh, rasanya Azriel harus merelakan mimpinya. Alasannya satu, Yasmine.

Azriel merasa tak bisa meninggalkan adiknya begitu saja di rumah. Ia tak tahu akan sehancur apa Yasmine jika harus bertahan di rumah sendirian tanpanya. Ia tahu, ayahnya akan semakin menganggap Yasmine tidak ada tanpa kehadiran Azriel di sisinya.

“Yas, jagain Yasmine itu kewajibannya Mamas, dan Mamas nggak pernah keberatan. Yasmine nggak pernah jadi penghalang Mas Jiel.”

“Tapi Yasmine ngerasanya gitu, Mas. Yayas udah terlalu sering nyusahin Mas Jiel. Kayak kata Ayah, Yayas bikin Mamas jadi anak kurang ajar karena sering ngelawan, Yayas juga yang bikin Mamas nggak disukain keluarga kita yang lain, Yayas tuh beban, Mas,” ucap Yasmine dengan kepala tertunduk. Azriel yakin, gadis itu pasti sudah berkaca-kaca.

“Nggak pa-pa, Mas. Mamas ikut aja. Yayas bisa sendiri,” ucap Yasmine lagi.

Azriel mengembuskan napas pasrah, bagaimanapun juga, Yasmine adalah anak ayah yang miliki keras kepala yang sama.

Please, Mas, it's okay. You can go, i'll be okay,” ucap Yasmine berusaha meyakinkan Azriel.

“Gimanapun juga aku harus belajar, Mas. Aku nggak bisa bergantung sama Mas Ji terus, aku nggak mau,” ucap Yasmine lagi.

“Izinin aku belajar sendiri ya, Mas?”

Sabrina lagi tampil. Dia bawain cerita Timun Mas. Meskipun gue udah mabok banget dengerinnya, tapi gue tetep tepuk tangan kalo yang lain tepuk tangan. Sabrina keren banget, dia berhasil bikin semua orang nontonin dia dan nyimak ceritanya. Soalnya suaranya beneran nyaring, gesturnya enak diliat, seru deh. Sabrina bikin cerita yang udah dikenal orang jadi makin seru pokoknya. Udah gue bilang, dia tuh jago. Liat aja nanti, juara 1, 2, atau 3, pasti salah satunya ada namanya.

Gue emang udah dengerin Sabrina cerita, intonasinya, dialognya, gue tau. Tapi gue nggak tau tuh, gayanya dia gimana. Ternyata pas gue liat hari ini dia keren banget. Sabrina udah kelar tampil, dia langsung turun dan nyamperin gue. Kayak perserta yang lain, kelar tampil udah, bebas.

“Dam, Damm, Daaaamm!! Gue gemeterannnn! Gimana gimana?” tanya Sabrina.

Gue ketawa, “Kereeen!”

“Haduhh gue deg-degan,” kata Sabrina lagi.

“Deg-degan kenapa lu? Diliatin Revan?” kata gue sambil ketawa, gue demen banget asli ngeledekin Sabrina.

“Damar ih! Mana Revan orang nggak ada!”

“Itu ege, Na, belakang lo noh!”

Sabrina nengok belakang, terus nengok gue lagi dengan tampang bingungnya soalnya dia nggak nemu Revan. Ya iyalah, orang gue boongin. Abis itu gue digebuk, kenapa sih cewek-cewek demen banget gebuk orang?

“Abis lo siapa, Na tau nggak?”

“Kagak lah. Mana sempet gue mikirin orang laen si?”

“Parah lo, Naa, egois loo!”

“APAANSI GAJELAS!”

Nggak berasa banget, kita ngobrol dan jadinya nggak nyimak MC ngomong apa. Ternyata setelah Sabrina tuh, ceweknya Revan. Sumpah hari ini komedi banget sih.

“Na, lo bestie banget ye sama ceweknya Revan? Abis elu dia, Na, hahahah.”

“Damar mulut lo gue cabein ya!”

Gue ketawa aja liat Sabrina marah. Abis itu gue memilih diem dan nyimak ceritanya ceweknya Revan. Dia bawain Maleficent. Keren dah, biasanya orang bawain Sleeping Beauty-nya, tapi dia bawain Maleficent sebagai tokoh utamanya. Jangan salah paham loh ya, gue nyimak karena menghargai aja, bukan karena apa-apa. Sebagai orang yang juga pernah tampil, gue ngerti lah, pasti lebih seneng dan merasa lega kalo penampilan kita nggak cuma disaksikan tapi juga disimak dengan baik. Rasanya kayak dihargai dan itu yang bikin lega. Karena kalo kita tau penonton nggak menyimak dan malah sibuk sendiri, pasti jadinya insecure.

Penampilan dia selesai, dimulai dan ditutup dengan baik. Menurut gue, dia lawan setimpal buat Sabrina. Gue juga yakin, entah juara 1, 2, atau 3, salah satunya pasti juga ada nama dia. Setelah itu dia turun, dan langsung nyamperin Revan. Gue ngelirik sekilas, Revan tepuk tangan dan ngelus kepalanya. Abis itu gue milih buat malingin muka, menghindari konten pacaran buat mata gue. Males.


Gue baru selesai salat Zuhur, bareng Sabrina dan guru-guru gue. Abis itu kita balik lagi ke tempat duduk dan nunggu saatnya pengumuman pemenang.

Nah, bukan Sabrina kalo nggak julid. Sehari nggak ngomongin orang gatel kayaknya mulutnya.

“Dam, lo liat dah ceweknya Revan.”

“Iya, Na, dari tadi juga gue ngeliatin sebenernya,” bales gue. Ini jujur. Gue emang ngeliatin mulu soalnya entah kenapa mukanya mendadak familar aja di otak gue. Iya sih, pernah ketemu pas nanya toilet. Tapi kayaknya jauh sebelum itu juga pernah ketemu deh. Tapi di mana ya?

“Anjir ngapain lo ngeliatin?! Naksir?!”

“Kagakkk. Kepo lu, lo kenapa nyuruh gue liatin dia?”

“Itu dia lagi makan, apaan sih rakus banget!”

Gue otomatis nyangkal, karena dia cuma makan biasa, kok. Nggak rakus, nggak brutal juga cara makannya. Rapi. Gue nggak suka deh, kalo begini caranya.

“Nana, jangan mulai, deh. Dia nggak salah apa-apa. Dia makan biasa, kok. Jangan suka cari-cari kesalahan yang nggak ada cuma buat lo jadiin alesan buat benci sama dia, Na.”

“Abis gue sebelllll!!!”

“Kenapa? Lo gue tanya kenapa nggak punya jawabannya kan? Alesan lo ya mentok di situ aja, Na. Cuma karena dia pacarnya Revan. Itu mah lo iri, iri banget. Jelek ati lo, Naa, Na.”

“Ih lo mah! Lo beneran naksir ya sama ceweknya Revan?” tanya Sabrina.

Gue terkekeh, “Cakep ceweknya, Na.”

“IH KOK LO DUKUNG DIA?! biasa aja lagian ah, cakepan gue. Ngomong cakepan gue!” kata Sabrina.

“Iyeee cakepan eloo,” balas gue pasrah.

Pas banget gue juga udah nggak mau ngeladenin Sabrina dengan niatnya buat ngomongin orang itu, MC akhirnya kembali buka acara dan akan ngumumin pemenang lomba hari ini. Sabrina akhirnya diem, kembali mainin tangannya soalnya mendadak grogi lagi katanya.

Juara ketiga, jatuh kepada SMP NEGERI 5, atas nama—”

“Dam anjir gue menang nggak ya?”

“Menang.”

Sabrina kadang nyebelin banget, gue jadi nggak denger lagi MC ngomong apa. Tiba-tiba ceweknya Revan maju, dia yang menang. Tapi gue jadi nggak denger lagi namanya siapa.

“Dam serius lu!”

“Serius gue nih abis ini nama lo,” dah gue jawab gitu aja dah. Biar diem dia.

Tapi kayaknya emang bener kata Sabrina, kayaknya ibadah gue kebanyakan. Omongan gue kadang manjur banget anjir, ini Sabrina beneran menang juara 2. Keren dah. Sabrina yang keren, bukan gue.

“Na maju anjir lo malah gremet-gremet tangan gue. Buruan sana! Ntar piala lo diambil orang!” ucap gue. Akhirnya Sabrina maju dan berdiri di sebelah pacarnya Revan. Bener kan kata gue, bestie banget mereka tuh.

Eh tapi SMP 5 keren deh, juara 1 nya dari sekolah mereka juga. Jadi Sabrina diapit musuh-musuhnya. Gue yakin abis ini dia bukannya bersyukur tapi malah bete, Sabrina anaknya perfeksionis soalnya, harga dirinya juga tinggi banget. Kayaknya dia nggak bakal terima kalo menangnya kayak gini.

Bener kan, ni anak turun terus cemberut.

“Kan Naaa gue bilang juga apaaa! Menang kannn! Keren banget lo, Na. Keren!” ucap gue.

“Nggak ah, gue bete. Masa gue diapit gitu? Gue di tengah-tengah musuh kita dih nyebelin banget!” bales Sabrina.

“Astaghfirullah Nanaa, nggak ada bersyukurnya lo, Na jadi manusia.”

“Apaan sih!”

Baru aja Sabrina mau lanjut marah, tiba-tiba kita berdua teralih sama teriakan girang seseorang dari jarak yang nggak jauh.

“KHANSAAA!!! WE DID ITT!!! KHANSA SUMPAH LO KEREN SEKALI OMAYGAT!! SA SENENG BANGET NGGAK SIHHHH????”

“Iya sumpah gue nggak nyangka kita menang Aghh! Gue tuh kayak ya udah lomba aja gue nggak mikirin juara! Ternyata kita berdua menang ya Allahh. Sumpah ya, katanya yang speech juga menang!! Perwakilan sekolah kita menang semua, Agh!!”

“Demi apa, Saaaa?!!!! Ya Allah temen-temen gue keren semua aaaaa bangga banget mau nangissss! MISS DEVI TRAKTIR NGGAK SIH MISS boong bercanda Miss ampun.”

Gue refleks ketawa, seems like she's the mood maker around her circle right?

“Na, dia aja yang juara tiga kayaknya happy happy aja. Dia di bawah lo loh posisinya. Tandanya lo udah ngalahin dia, kan?”

“Emang dasar lo, Dam. Iya dah iyaaa! Alhamdulillah ya Allah aku menang,” ucap Sabrina. Gue senyum aja liat dia begitu. Emang kadang perlu ditoyor dikit.

Nggak lama setelah itu, pacarnya Revan justru nyamperin Sabrina. Sebenernya nggak sengaja sih, karena kita emang berdiri deket pintu keluar sambil nunggu Mam Wida yang lagi ke toilet.

“Haloo, Sabrina ya? Selamat yaaaa! Keren banget loh juara dua. Tadi kata Khansa kamu temen lesnya dia ya?” tanyanya.

Sabrina nggak jawab, bahkan nggak mau bales jabatan tangan dia. Sabrina malah melengos aja terus pergi. Terpaksa deh, jadinya gue yang bales.

“Maaf ya, Nana emang gitu orangnya. Emang nggak terimaan,” bales gue. Nggak mungkin juga kan gue beberin kalo Sabrina sensi sama dia gara-gara naksir cowoknya?

“Ohh, gitu ya? Hehe, iyaa nggak pa-pa. Ngerti kok,” bales dia. Gue nggak ngerti hatinya terbuat dari apa. Gue kalo jadi dia, sakit hati banget sih. Tapi dia lapang banget bilang nggak pa-pa, senyumnya juga nggak pernah lepas.

Gue juga salut sama dia, karena ibaratnya dia kan kalah dari Sabrina, tapi dia dengan sportif nerima kekalahan dan bahkan ngucapin selamat ke Sabrina. Gue salut, karena gue pun kadang susah nerima kekalahan. Kadang juara tiga tuh nggak terlihat, men. Gue tau rasanya. Nerima kekalahan aja udah susah, apalagi ikut berbahagia akan kemenangan orang lain gitu kan?

Ini pacarnya Revan sekarang jadi di sebelah gue. Agak canggung sih, soalnya gue nggak kenal. Dia juga kan tadinya ke sini buat nyamperin Sabrina, bukan gue. Cuma karena Sabrina-nya kabur, jadi tinggal gue sama dia nih.

“Temen-temen lo pada ke mana?” akhirnya gue nanya. Biarin deh, sesekali gue yang mulai interaksi sosial. Biar agak naek dikit social skill gue nilainya kalo dites. Padahal gue juga nggak tau sih ngaruh atau enggak. Ngarang aja.

Dia senyum sebelum jawab gue. Eh lo jangan bosen ya gue bilang senyum mulu, soalnga emang dia senyum terus. “Lagi pada ke toilet, dingin soalnya jadi pada.. gitu deh, beser,” katanya.

“Ohh, lo kok nggak ikut?”

“Enggak, sengaja sih gue dari tadi minumnya sedikit biar nggak beser hehe.”

“Ohh, hahaha. Eh, sorry, kayaknya tuh gue pernah liat lo deh,” ucap gue. Maaf banget, tapi rasa penasaran gue udah nggak ketahan deh kayaknya. Gue bener-bener merasa gue pernah liat dia sebelumnya, tapi gue lupa di mana.

“Loh, ya kan emang iya. Kan emang kita pernah ketemu di sekolah gue,” katanya sambil ketawa.

“Enggak, kayaknya muka lo familiar,” bales gue.

“Masa sih? Coba inget-ingett!” katanya.

Gue ngeliatin mukanya lebih seksama, mungkin bakal nemuin ingetan gue yang udah ketimbun di dalem kepala soal kapan dan di mana gue ngeliat dia sebelumnya. Tapi nggak nemu.

Gue jadi garuk tengkuk yang sama sekali nggak gatel, malu. “Nggak tau deh, lupa. Iya kali ya baru ketemu pas gue nanya toilet, hehehe. Sorry.”

“Iyaa nggak pa-pa. Eh, gue ke sana lagi ya?”

“Iya, iya. Eh!”

Dia nengok lagi ke gue. “Selamat juga karena lo menang hari ini.”

Dia senyum, tapi kali ini lebih lebar dari yang sebelumnya gue liat. Seneng banget kayaknya. Gue rasa dia orangnya sederhana deh. Ngeliat dari caranya congratulate Sabrina padahal dia 'kalah' dari Sabrina, caranya ikut berbahagia atas pencapaian orang lain, caranya ketawa depan gue saat ini. Seneng banget karena dapet selamat dari orang lain, gue rasa dia menghargai hal-hal kecil deh.

“Terima kasihh, ya ampun baik banget. Ke sana dulu yaa? Dadahh!”

Apa tuh? Terima kasih? Orang sekarang masih ada yang bilang terima kasih secara lengkap begitu? In a world full of people saying 'makasih', she said 'terima kasih?'

Duh gue tadi bengong, mikirin perkara ucapan terima kasih yang lengkap dan terdengar tulus itu. Pas gue dengak, orangnya udah pergi. Udah gabung lagi sama temen-temen dan.. pacarnya.

Hari itu gue jadi mikir, Revan beruntung banget bisa kenal dia. Bahkan jadi pacarnya. Hari itu juga gue berdoa dalem hati. Kalo suatu saat nanti gue punya pacar, gue pengen punya pacar kayak dia. Like i said before, she seems.. sincere.

Tapi as always, Yudhistira Damar lupa nanya namanya. Bahkan gue nggak sempet ngapalin wajahnya, lagi.

Selamat menebak-nebak sampai jangka waktu yang nggak ditentukan, Damar!

Hari yang ditunggu-tunggu Sabrina akhirnya tiba juga. Ini anak dari kemaren chat gue nggak berenti, panik. Berujung gue harus nelepon dia dan nenangin dia supaya bisa diem dan tidur aja. Sekarang Sabrina, gue, dan beberapa temen gue yang lain yang juga berperan sebagai supporter dan peserta sedang dalam perjalanan menuju lokasi. Kami berangkat pake mobil sewaan sekolah. Sabrina di sebelah gue, sesekali dia megangin tangan gue sambil nanya tangan dia dingin atau enggak. Ya jawabannya, pasti lah. Gue tau dia deg-degan parah, berkali-kali juga dia bilang mules karena grogi.

“Udah sih, Na,” kata gue sambil ketawa, biar santai dikit ni orang. “Dari pada lo nanya mulu tangan lo dingin apa enggak, mending lo apalin dialog lo terus lo berdoa biar lancar semuanya. Kalo lo begini yang ada malah makin panik, nanti fokus lo buyar.”

“Aduh lo jangan gitu dong, Dam! Gue jadi makin panik.”

Gue berdecak, Sabrina tuh emang se-ngeyel itu. “Ya udah, tenang, tarik napas, berdoa, abis itu diem udah. Santai aja, Naa. Lo pasti bisa udah!”

“Duhh iya dehhhhhh!”

“Nah, kalo gini kan enak, Na. Gue bisa tidur,” kata gue. Tiba-tiba dicubit Sabrina, katanya brengsekkkkk, gitu.


Pas sampe di lokasi, anak-anak sekolah gue mencar bersama guru pendamping yang juga hadir. Temen-temen gue yang dateng hari ini kebagi jadi dua cabang lomba soalnya, speech dan story telling, dan tempatnya juga beda. Jadi, mau nggak mau mencar.

Gue duduk berhadapan sama Sabrina, dengerin dia latihan dialog sebelum dia dipanggil sama panitia untuk gabung ke ruangan peserta. Masih lama sih, kita datengnya kepagian soalnya. Nggak lama ada seseorang manggil Sabrina, katanya temen lesnya sih. Ala-ala perempuan kalo ketemu temennya, pasti teriak heboh terus berpelukaaaaan! Pas gue nengok, eh ada pacarnya Revan juga. Gue ketawa dalem hati, Mampus lo, Naa, peluk juga tuh ceweknya Revan.

Gue ngeliat Sabrina akhirnya cuma nyapa ceweknya Revan sekilas doang, gue makin ngakak. Pura-pura baik banget anjjirr! Tapi yang bikin gue berbalik badan adalah ketika Revan-nya juga muncul. Kayak, abis banget nggak sih loo, Sabrina? Mati kutu mati kutu, dah. Bener aja, Sabrina langsung balik lagi ke sebelah gue. Cemberut.

Sambil ketawa, gue tanya, “Kenapa, Na?”

“Diem lo!” galak. Macannya keluar.

“Doi lu, Na. Makin ganteng aja gue liat-liat,” gue nggak akan nyerah ngeledek Sabrina. Abis ini gue digaplok.

“Dam ih! doi lu doi lu, gue colok mata lu!”

Baru aja gue mau berenti ketawa terus bantuin Sabrina lagi ngapalin dialognya, EH CEWEKNYA REVAN DUDUK SEBELAH GUE. Makin komedi. Sabrina udah nyubit-nyubit gue aja anjir nggak jelas, kalo tangan gue pulang-pulang jadi biru pokoknya dia gue laporin.

“Haloo,” sapanya. Gue mau nggak mau nengok dan ikut senyum. Ternyata dia inget gue.

“Yang waktu itu nanya toilet bukan, sih?”

“Iyaa bener, kok lo inget?”

“Iya ya? Kok inget ya? Biasanya enggak tau. Mungkin karena belom lama banget kali ya?”

“Lo juga susah ngapalin muka orang?” tanya gue.

“Iya, susah. Kecuali ketemu tiap hari atau seharian penuh sama dia gitu, baru inget. Kalo cuma sekelebat gitu doang kayaknya nggak bakal inget.”

“Ohh, sama sih,” bales gue. Baru mau gue ajak kenalan, cowoknya dateng. Nggak jadi deh. Nanti malah jadi masalah, ribet. Gue juga udah digaplok-gaplok Sabrina, akhirnya gue bantuin dia lagi buat ngapalin dialog. Sampe akhirnya Sabrina dipanggil ke ruang peserta bareng peserta lainnya, termasuk pacarnya Revan itu.

Gue diem-diem merhatiin gerak-geriknya, aduh, Van, sorry, deh ya. Gue juga nggak tau kenapa mata gue ngarahnya ke dia mulu.

Semua peserta diabsen, dicocokin identitasnya sama yang tertera di formulir sebelum masuk ke ruangan. Saat yang lain panik, gemeteran, goyang-goyangin tangannya, kakinya, dan lain-lain. She stays still, senyum dan nenangin temennya yang juga jadi perwakilan sekolahnya. Padahal gue tau dia juga butuh itu, tapi disaat yang lain sibuk mikirin dirinya sendiri, dia mikirin orang lain. Abis itu, baru dia mikirin dirinya sendiri, berdoa.