“Dhimas?” ucap seorang gadis dengan rambut sebahu yang sedang berhadapan dengan seorang pria seumuran yang tidak Dhimas kenali. Namun, berdasarkan percakapan keduanya yang tak sengaja Dhimas dengar ketika membuntuti perginya gadis itu, pria itu adalah kekasihnya.
Dhimas mengangguk pelan seraya memamerkan seulas senyuman tipis yang bisa ia berikan dengan secuil kekuatannya yang tersisa hari itu. “Iya, Dhir.”
Tiga orang itu kemudian diam. Gadis di hadapannya itu menatapnya terkejut. Sementara kekasihnya menatap bingung, tidak mengerti dengan situasi yang ia hadapi.
Hingga kemudian Dhimas terkekeh. Kedua tangannya yang sedari tadi ia biarkan bebas kini ia sampirkan di pinggang. Kemudian tangan kanannya terangkat guna mengusap wajahnya kasar. Dhimas menertawakan dirinya sendiri.
“Harusnya bilang aja, Dhir, kalo lo udah punya pacar. Harusnya lo jujur aja kalo lo emang nggak pernah ada rasa buat gue. Nggak perlu boong lo nggak bisa nerima gue karena nggak bisa LDR. Harusnya—lo bilang aja kalo lo pindah sekolah buat nyusul pacar lo,” ucap Dhimas.
“Dhim—”
“Gue pamit ya, Dhir,” ucap Dhimas. Kemudian berbalik, meninggalkan sang pujaan hati yang justru berlari dan menghalangi jalannya.
“Dhim, maafin gue. Jangan marah dulu, biar gue jelasin—”
Dhimas tertawa pelan, “Tenang aja, Dhir. Gue nggak pernah bisa marah sama lo, kok. Pamit ya?”
Setelahnya Dhimas beranjak pergi. Meninggalkan gadis itu dan kekasihnya. Sebagaimana ia akan meninggalkannya dan membiarkannya bahagia bersama seseorang yang mengisi hatinya sejak lama. Bahkan sebelum dirinya.
Andhira Larasati, seseorang yang berhasil memikat Dhimas sejak pertama kali matanya bertemu dengan binar yang terpancar dari milik gadis itu. Awalnya pun Dhimas tak memperhatikan, namun semuanya berubah ketika Dhimas hampir menyenggol cairan HCL di laboratorium kimia ketika mereka sedang melakukan praktik uji larutan elektrolit.
Andhira yang menyelamatkan Dhimas dari cairan korosif itu. Gadis itu dengan sigap mengangkat lengan pemuda itu.
“Eh, awas Dhim ini HCL!” ucap Andhira. Gadis itu menahan lengan Dhimas di udara agar sikunya tak mengenai cairan HCL yang tumpah di meja. Dhimas menoleh, netranya bersirobok dengan milik teman sekelasnya yang ia ketahui bernama Andhira itu. Satu kata muncul dalam benaknya, indah.
Dhimas mengerjapkan matanya, setelahnya berusaha untuk memfokuskan dirinya. “Eh, makasih ya.. Andhira.”
Gadis itu mengangguk, setelahnya meminta kain lap dan dengan telaten membersihkan jejak kriminal seorang Dhimas Wijaya agar kelompoknya tidak terkena marah guru kimia kala itu. Dan hari itu, Dhimas jatuh hati.
Andhira Larasati namanya, teman-teman memanggilnya Laras. Dhimas memanggilnya Dhira. Berkali-kali Dhira protes, mengatakan agar Dhimas memanggilnya sama seperti yang lain dengan sebutan Laras. Namun Dhimas bilang, “Kan biar samaan. Dhimas Dhira, hehe.”
Hari-hari berikutnya berlangsung sama. Yang berbeda hanya metode Dhimas mendekati seorang Dhira. Senin, Dhimas meminjam pulpen. Selasa, Dhimas mengajak Dhira berdiskusi pelajaran matematika yang sebenarnya ia kuasai. Rabu, Dhimas memblokir bola basket yang melayang menuju Dhira. Kamis, Dhimas menghibur Dhira yang menangis lantaran nilai ulangan fisikanya jelek. Jumat, Dhimas mengantar Dhira pulang ketika kerja kelompok.
“Dhir, pinjem pulpen ya? Pulpen gue dibetak anak kelas sebelah.”
“Iyaa, pake aja. Tapi balikin!”
“Tenang aja, makasih Dhira cantikk!”
“Dhira nomor dua apa? Caranya gini bukan sih?”
“DHIR AWAS! WEH GOKIL BANGET SIAPA TUH YANG LEMPAR ANJ—”
“Dhir, gagal sekali tuh nggak apa-apa tau. Kalo berhasil terus nanti dari mana tau salahnya? Gue juga remed, lo nggak sendirian kok.”
“Dhir, gue anterin pulang ya? Udah malem, dari pada kelamaan nunggu ojolnya.”
Dhimas melancarkan serangan dengan variasi-variasi yang kerap ia ciptakan setiap harinya. Dan tidak sekalipun nampak penolakan dari Dhira. Gadis itu tetap ramah, dan kadang memberikan Dhimas perhatian-perhatian kecil. Menanyakan apakah Dhimas sudah makan atau belum, mengingatkan Dhimas akan hal-hal yang sering pemuda itu abaikan bahkan lupakan, membalas pesan-pesan Dhimas dengan penuh suka cita tanpa ada niatan menjaga jarak.
Bahkan ketika Dhimas sakit, Dhira turut memberikan perhatian padanya.
“Sakit, Dhim?”
Dhimas menggeleng seraya tersenyum, sebelah tangannya memegangi perutnya yang terasa mual, matanya sayu menahan pusing. “Enggak, Dhir. Pusing doang.”
Dhira berdecak, “Itu sakit namanya. Nih gue ada minyak kayu putih, pake ya? Abis itu ke UKS aja deh, tidur. Jangan dipaksain kalo sakit!”
Hari-hari Dhimas selalu cerah meskipun ia harus menunggu hujan reda untuk pulang. Namun ia tak mengeluh, justru Dhimas bersyukur karena hujan menahan Dhira lebih lama untuk bersamanya.
“Dhiraaa!! Belom pulang?”
“Belom laah, ujan. Lo abis futsal ya?”
Dhimas memamerkan senyuman manisnya, “Iyaa.”
“Ujan-ujan kok futsal, besok tau-tau flu deh. Itu celananya kotor kenapa?” tanya Dhira.
Dhimas cengegesan, “Jatoh tadi, kepeleset.”
“Tuh kann! Sakit deh pasti?”
“Enggak, udah biasa. Tiap hari juga jatoh. Jatoh ke pesonanya Dhira.”
“Apaan sih? Bercanda terus.”
Hari-harinya selalu cerah. Hingga sebuah badai mulai menerpa. Dhimas merasakan hatinya retak seketika saat mendengar berita mengenai Dhira yang akan pindah sekolah.
“Dhim, Dhira mau pindah sekolah tau katanya minggu depan,” ucap Aghniya ketika Dhimas baru saja datang dan berniat menaruh tas di kursinya.
Kepalanya lantas terdongak, “Jangan becanda lu!”
“Beneran anjir. Tanya aja anaknya kalo nggak percaya. Minggu ini pokoknya dia ngurus surat-surat buat pindah. Minggu depan kalo udah beres dia langsung caw.”
Dhimas tak lagi dapat menyembunyikan keterkejutannya. Pria itu lantas menghampiri Dhira. Setelah Dhira mengonfirmasi bahwa berita itu benar adanya, yang tak dapat Dhimas sembunyikan adalah kesedihan dan kekecewaannya.
“Kenapa pindah, Dhir?”
“Sebenernya gue emang nggak pengen sekolah di sini, Dhim. Sekolah ini pilihan terakhir waktu gue daftar. Nem gue nggak cukup buat daftar ke pilihan pertama dan kedua. Makanya gue ambil dulu di sini dan gue pindah kalo udah bisa pindah.”
Sedih. Lesu. Namun itu hanya berlangsung dua hari. Bukan Dhimas namanya kalau tidak bisa menangani kesedihannya sendiri. Keesokan harinya Dhimas kembali bersemangat. Ia berpikir, kalau tidak bisa lagi bersama Dhira, setidaknya ia harus membuat sisa-sisa harinya bersama gadis itu berharga. Dhimas tetap melancarkan serangannya.
Hingga hari terakhir Dhira bersekolah di sekolah yang sama dengan dirinya, Dhimas meminta waktu gadis itu untuk menghabiskan waktu bersamanya. Paling tidak hingga matahari terbenam.
“Dhir, Senin kan lo udah pindah. Boleh nggak gue minta waktu lo hari ini? Jalan-jalan sama gue yuk? Sekalian ada yang pengen gue omongin juga.”
“Boleh.”
Jadilah sepulang sekolah yang lebih awal dari biasanya itu, Dhimas dan Dhira berjalan-jalan ke sebuah lapangan terbuka. Dhimas yang memilih tempat, entah apa yang ada di pikirannya, Lapangan Banteng menjadi tempat yang ia tuju.
“Dulu gue sering latihan silat di sini sampe malem. Matahari terbenam di sini cantik banget, Dhir. Keliatannya jelas banget. Seru kalo dinikmatinnya sama orang yang cantik juga.”
“Dhira terkejut mendengar pernyataan Dhimas. Gadis itu menoleh, mendapati Dhimas yang sudah lebih dulu melihat ke arahnya. “Maksudnya?”
“Gue yakin lo udah tau juga sih. Tapi gue boleh perjelas lagi kan? Gue suka sama lo, Dhir. Lo gimana?”
Dhira menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Setelahnya tersenyum kaku, “G-gue nyaman sih sama lo. Lo baik banget sama gue selama ini.”
Sebuah binar muncul di kedua netra kecoklatan milik Dhimas, secercah harapan muncul dalam hatinya. Akankah gadis yang selama ini menjadi pujaan hatinya dapat menjadi miliknya hari ini? Jantungnya berdegup lebih cepat menanti jawaban Dhira. Namun, yang menjadi jawaban Dhira adalah..
“Tapi maaf ya, Dhim. Gue nggak bisa LDR. Jadi, sebelum lo nyatain perasaan lo lebih jauh, gue boleh bilang duluan ya? Kita temenan aja. Nggak apa-apa kan?”
Jatuh. Hatinya bagaikan jatuh ke dasar jurang paling dalam. Dhimas bahkan tak sanggup membayangkan hati kecilnya itu terpecah hingga berapa kepingan. Namun, yang bisa ia tampilkan hanyalah sebuah tawa kecil untuk menutupi nyeri di hatinya. “Iya, nggak apa-apa, Dhir. Santai aja.”
“Udah sore nih, Dhim. Gue nggak boleh lama-lama. Gue pulang ya?”
“Gue anter ya, Dhir? Please. At least buat yang terakhir kali karena abis ini kita nggak ketemu,” balas Dhimas.
Dhira menggeleng, “Nggak usah, Dhim. Gue udah minta jemput, kok.”
“Ah, gitu ya? Oke deh. Gue temenin aja kalo gitu, sampe jemputannya dateng.”
“Eh, nggak usah, nggak usah. Beneran nggak apa-apa. Lo pulang duluan aja. Makasih banyak yaaa, hari ini seru banget. Good luck buat sekolah lo, gue tau lo pinter banget.”
Pada akhirnya Dhimas hanya bisa pasrah, ia pun tak ingin memaksakan kehendak dan membuat Dhira tidak nyaman. Alhasil, ia menyetujui permintaan Dhira dan pamit untuk 'pulang'. Padahal kenyataannya, Dhimas memperhatikan Dhira dari jauh. Tanpa bermaksud jahat, tentunya. Dhimas hanya ingin memastikan Dhira menemukan orang yang menjemputnya tanpa diganggu siapapun. Dhimas hanya ingin memastikan Dhira pulang dengan selamat.
Namun, yang ia temukan adalah kenyataan yang lagi-lagi menyayat hatinya. Entah hatinya sehancur apa sekarang. Yang jelas, Dhimas merasa dirinya sangat, sangat bodoh.
Ia menemukan Dhira menemui seorang laki-laki dengan perawakan lebih tinggi dari Dhimas. Lebih gagah, lebih.. tampan. Dhira kemudian memeluk lelaki itu, yang kemudian dibalas usapan lembut di kepala Dhira.
Dhimas bergerak mendekat, namun tetap menjaga agar dirinya tak terlihat.
“Kamu udah lama?” tanya lelaki itu.”
“Belum, aku baru selesai. Maaf yaa, aku jalan sama dia berdua. Abis kasian, lagian emang untuk yang terakhir kok. Walaupun sebenernya aku males sih. Tapi yaa.. itung-itung bales budi, deh. Dia baik banget selama aku sekolah di situ. Nganterin aku pulang, bantuin PR aku. Tapi aku beneran nggak ada apa-apa kok sama dia,” jelas Dhira.
Lelaki di hadapan Dhira itu tertawa, “Iyaa, aku juga tau kamu manfaatin dia doang. Jadi Senin nanti kamu udah sekolah di sekolah aku, kan?”
“Iyaaaaaa. Nggak sabar deh!”
Kemudian Dhimas memilih menampakkan dirinya.
“Dhira,” panggilnya. Membuat Dhira menoleh padanya. Gadis itu terkejut bukan main, melihat yang dibicarakan kini ada di depan mata. “Makasih ya, kejujurannya. Gue paham kok. Buat lo, gue tuh sama kayak sekolah gue kan? Cuma pilihan terakhir. Enggak deh, sekolah gue kayaknya lebih punya nilai di mata lo. Masih jadi pilihan terakhir. Sementara gue lebih nggak ada harganya. Gue nggak pernah ada di daftar pilihan lo kan, Dhir?
“Dhimas?”
Present Day
Dhimas membaca pesan-pesan yang saling susul pada layar ponselnya. Sesekali ia tersenyum geli, sesekali juga merasa miris dan iri. Berkali-kali ia hanya bisa diam dan menyimak teman-temannya menemukan tambatan hati. Damar dengan sahabat baiknya, Ojan dengan musuh bebuyutannya sendiri, Haris dengan adik kelas yang terbilang manis. Sementara Dhimas, masih sendirian.
Hatinya masih enggan terbuka untuk orang lain. Sang empunya, masih enggan membuka hati untuk orang lain. Takut. Dhimas takut akan mengalami kekecewaan yang sama. Bahwa dirinya sebenarnya tidak diinginkan dan perasaannya hanya dimanfaatkan. Sudah, perasaan untuk Andhira Larasati sudah hilang seiring terbenamnya matahari di Lapangan Banteng hari itu. Dhimas menguburnya dalam-dalam bersama cahaya yang turut hilang. Namun masih membekas dalam ingatannya, bagaimana menusuknya kenyataan yang harus ia terima kala itu.
Tetapi Dhimas tetap teman yang baik. Ia turut berbahagia dan memberikan saran dan dukungan bagi teman-temannya yang merasakan cintanya bersemi. Meski dalam hati ia bertanya-tanya, kapan gilirannya akan tiba.
Dhimas tetap anak yang baik. Ia tak marah pada dunia. Kekecewaannya ia tutupi dengan rasa syukur sebesar-besarnya akan keberadaan ketiga temannya dan satu gadis yang menjadi sahabatnya. Dhimas pun hanya menceritakan kisahnya pada Damar, Ojan dan Haris. Ia memilih tidak menceritakannya pada Aghniya, takut gadis itu akan melepaskan amarahnya yang meledak-ledak dan melacak keberadaan Andhira untuk memaki-maki gadis itu.
Lagi pula menurut Dhimas, kejadian itu sudah lewat lama sekali. Sudah seharusnya ia berdamai dengan keadaan. Sudah seharusnya ia memaafkan, dan cukup menjadikannya pelajaran. Lagi pula, manusia tak bisa mengatur kepada siapa perasaannya akan berlabuh.
Dhimas menghela napasnya. Hari ini, tidak seperti biasanya, Dhimas merasa lebih lega. Tak ada dendam, tak ada amarah, tak ada lagi perasaan sakit hati yang melandanya seperti dulu.
Hari ini, Dhimas memutuskan untuk melapangkan hatinya. Membuang gumpalan perasaan yang tak terucapkan di dalamnya.
Hari ini, Dhimas melepaskan seorang Andhira Larasati.
“Dhir, kayaknya hari ini gue udah move on beneran dari lo. Makasih ya, udah mengisi otak dan hati gue dalam waktu yang cukup lama. I loved you,” batin Dhimas.
Setelahnya, ia mengabaikan pesan-pesan teman-temannya. Dhimas membuka aplikasi pemutar musik di ponselnya. Membesarkan volume ponselnya hingga maksimal, setelahnya memilih lagu yang mewakili perasaannya.
Now Playing : Day6 — You Were Beautiful