Kakaknya Hanum

“Kak Anggi, aku duluan ya? Kakakku udah di depan,” ucap Hanum. Gia mendongak, “Oh? Ya udah bareng aja ke depannya. Ojol aku juga udah deket, kok.”

“ALESAN NIHHH, MAU LIAT KAKAKKU YA?”

Gia tertawa, “Tau ajaa! Enggak lah, bercanda. Serius ini ojol aku udah deket. Yuk bareng!”

Hanum terkekeh, kemudian mengangguk menjawab ajakan Gia. Sejujurnya, Hanum tak pernah keberatan untuk menunjukkan siapa kakaknya pada Gia. Seperti yang ia katakan, Gia itu baik, tidak seperti anak-anak seangkatannya yang suka senioritas terhadap Hanum. Hanya saja, waktunya tak pernah pas setiap kali Hanum ingin mengenalkan kakaknya pada Gia.

“Kak Anggi ojolnya udah sampe mana?” tanya Hanum ketika mereka hampir sampai ke depan gerbang.

“Ini udah deket, kok. Kayaknya tinggal puter balik abangnya,” balas Gia. “Nggak pa-pa, Hanum duluan aja.”

“Iya, ayo liat kakakku duluuuu!” ajak Hanum. “Dari dulu setiap Kak Anggi mau liat kakakku selalu nggak pas waktunya. Jadi nggak pernah ketemu!”

Gia terkikik, “Iya ya? Waktu itu kamu dijemput kakakmu aku ada les, jadi buru-buru pulang. Terus waktu aku ada waktu, kakak kamu jemputnya di seberang. Nggak ketemu lagi.”

“Iyaaa, makanya! Ayo liat dulu kakak aku, sekalian aku kenalin,” balas Hanum.

“Apaan dahhh, masa dikenalin? Nggak usah ah, malu. Nggak pa-pa aku liat mukanya aja,” balas Gia.

“Hanum!” panggil seseorang.

Gia menghentikan langkahnya. Suara bariton itu, suara bariton yang sama dengan yang menyuruhnya segera masuk gerbang tadi pagi, suara bariton yang sama dengan yang meminta izin padanya untuk menggunakan bangkunya, suara bariton yang sama dengan yang mempersilakannya kembali duduk dan mengucap terima kasih. Suara bariton itu..

“Kak Haris?”

“Gia?”

“Looohhhhh, kenaaal?” tanya Hanum bingung. Pandangannya terarah bolak-balik pada Haris dan Gia yang sama-sama terkejut akan keberadaan masing-masing.

“Kamu ngapain, Gi?” tanya Haris.

“Hah? Oh, i-itu.. cap tiga jari,” jawab Gia. Gadis itu mendadak gugup lantaran harus bertemu kembali dengan Haris.

“Kakak— kakaknya Hanum?” tanya Gia.

“Iya,” jawab Haris santai. “Kamu kenal adek saya?”

“Iya, Kak. Dulu satu ekskul,” balas Gia. Haris mengerutkan keningnya, “Kamu bukannya basket, Gi? Hanum perasaan nggak basket?”

“Saya EC juga, Kak,” balas Gia.

“Iyaaa, Hanum sekarang gantiin Kak Anggi jadi ketua. Mantep kan?” Hanum ikut nimbrung.

Haris mendadak menoleh pada adiknya, “Oh ini Kak Anggi yang suka lo omongin?”

Gia menautkan alisnya, “Ngomongin apa, Kak?”

“JANGAN—”

“Katanya Kak Anggi baik, cantik, manis, imut, gemes, gitu Gi— ADUHHHHH APA SIH AH!” ucap Haris yang terpotong akibat Hanum yang menghujaninya dengan cubitan.

Gia tersenyum seraya memandang Hanum yang kini bersungut akibat ulah sang kakak, “Emang iya, Num?”

“Kak Haris maaaah! Malu tauu!” ujar Hanum, gadis itu kini bersembunyi di balik punggung sang kakak. Membuat Haris dan Gia tergelak bersamaan.

“Yeuu di rumah aja lancar banget cerita, kata Hanum—”

“KAKAH IH! UDAHHHHH!” potong Hanum lagi sebelum kakaknya membeberkan rahasianya lebih lanjut. “Hahaha, iyaaa iyaa enggak. Udah naik buruan!”

“Eh, Kakak dari mana kenal sama Kak Anggi?” tanya Hanum.

Haris berdecak, kemudian menunjukkan dasinya yang memiliki logo sekolah sama dengan milik Gia. “Sama nih,” balasnya.

“Ooooh satu sekolah, toh? Tapi kan Kakak nggak pernah kenalan sama cewek, Kak? Kok bisa kenal Kak Anggi?”

Haris refleks memukul pelan punggung tangan Hanum yang melingkari perutnya, “Ck! Mulutnya ni ya!”

Gia hanya tertawa melihat interaksi kakak-beradik di hadapannya, “Kak Haris mentor kelasku waktu MOS, Num.”

“Iya terus Gia bikin masalah mulu jadinya Kakak kenal,” balas Haris.

“Ih? Kakak ingetnya saya gitu?”

“Emang iya, Kan?” balas Haris menahan senyumnya yang hampir lolos karena ekspresi menggemaskan dari Gia.

“Iya, sih,” jawab Gia pasrah. Kemudian hening, ketiganya berhenti bicara hingga Haris kembali bicara.

“Kirain tadi Hanum jalan sama adek kelasnya,” tutur Haris tanpa melihat ke arah Gia. Pria itu memilih menoleh ke arah samping, mengalihkan pandangannya dari Gia.

“Ih kenapa gitu?” balas Gia tak terima.

Terdengar kekehan kecil dari Haris sebelum menjawab pertanyaan Gia, “Abisnya kecil banget.”

Mendengar jawaban Haris, Gia melotot. “Kakaaaaak? Jahat bangeeet!”

Tak ada jawaban dari Haris. Yang terdengar hanya gelak tawa pemuda itu yang berusaha sekuat tenaga untuk ditahannya.

“Kamu dijemput, Gi?” tanya Haris.

“Enggak, Kak. Naik ojol, sebentar lagi sampe, kok,” balas Gia.

“Ohh, ya udah.”

Gia hanya mengangguk. Ia pikir, Haris akan segera pamit dan meninggalkannya sendirian. Namun di luar dugaan, Haris justru menunggunya sampai ojol yang ia pesan tiba.

“Mbak Anggia ya?” tanya supir ojol yang baru saja tiba. Sambil tersenyum ramah, Gia mengangguk. “Iya, Pak.”

“Dadah, Kak Anggiii! Nanti main ke rumah yaaaaa!” ucap Hanum.

“Iyaaa, daaah Hanum!”

Baru saja Gia ingin menaiki ojolnya, Haris kembali memanggilnya.

“Gia!”

Langkahnya terhenti, Gia kembali berbalik dan menunggu Haris melanjutkan bicaranya. Gia memasang wajah bingung ketika melihat Haris justru mengeluarkan sapu tangan dari saku celananya.

“Tangan kamu keringetan, lap dulu, nih! Biasanya kalo keringetan tintanya basah lagi, nanti kena rok kamu. Sayang, warna putih soalnya. Takut nggak ilang,” ucap Haris, pria itu menyerahkan sapu tangan miliknya ke tangan Gia yang masih terpaku di tempatnya.

“Duluan ya, Gi! Hati-hati kamu pulangnya!” ucap Haris kemudian segera tancap gas meninggalkan Gia yang masih terpaku. Matanya mengikuti Haris yang kian menjauh, hingga menghilang dari jangkauan matanya.

Setelahnya ia tertunduk, melihat sebuah sapu tangan berwarna putih yang memiliki bordiran berwarna biru berinisial M.H.

Senyum kecilnya merekah, “Padahal sapu tangannya juga putih, tapi nggak disayang.” batinnya.

Gia akhirnya segera menaiki ojolnya untuk pulang. Entah karena ibadahnya yang mana, yang jelas, hari ini rasanya adalah hari paling menakjubkan bagi seorang Anggia Kalila Maheswari. Sebab, dirinya diberi kesempatan untuk melihat sisi lain dari seorang Muhammad Haris, yang dikenal garang, dingin, dan jauh dari kata ramah.

Hari ini Gia diberi kesempatan untuk melihat sisi seorang Haris yang lebih hangat. Terhadap sesamanya, orang terdekatnya, dan adiknya.