His Thought
Haris meninggalkan kamar Haura setelah memastikan gadis kecil itu tertidur dan lampu kamarnya sudah dimatikan. Haris menyalakan ponselnya hanya untuk melihat jam malam itu. Sudah pukul sembilan malam rupanya, sementara mamanya belum pulang. Namun Haris tak mempermasalahkan, hal ini sudah biasa terjadi.
Pria itu kemudian beranjak menuju kamar Hanum yang berada di sebelah kamar Haura.
“Num?” panggil Haris seraya mengetuk pintu. “Masuk aja, Kak, nggak dikunci.”
Setelah mendapat izin dari empunya, barulah Haris membuka pintu. Haris menyembulkan kepalanya dari balik pintu, memilih untuk sekadar mengintip karena ia hanya ingin melihat keadaan adiknya.
“Lagi ngapain?” tanya Haris. “Ngapalin materi presentasi,” jawab Hanum sebelum kembali fokus pada buku IPS tebal di hadapannya.
Haris hanya manggut-manggut, “Buku udah diberesin?”
“Udah.”
“Ya udah, jangan kemaleman ya, Num, selesainya! Tidur!” titah Haris. “You too, Kakak!”
“Iya, Kakak nunggu Mama. Kalo perlu apa-apa, Kakak di kamar ya!”
“Okaay, thank you!” jawab Hanum, masih setia memunggungi Haris. Pandangannya tak sedikitpun berpaling dari bukunya.
Setelahnya, Haris memilih untuk berdiam diri di kamarnya. Pemuda itu memilih meluruskan punggungnya di atas kasur, merenggangkan otot-ototnya yang terasa kaku sebelum akhirnya menghela napas selepas-lepasnya.
Haris memandang langit-langit kamarnya. Pikirannya menerawang entah kemana setelah pertanyaan Adel terngiang di telinga.
“Berat ya, Ris?“
“Banget.”
Mengingat dahulu, Haris adalah seorang anak bocah yang sama cerianya seperti bocah kebanyakan. Kerjanya setiap hari adalah bermain sepeda tanpa henti. Tak peduli panas terik atau hujan deras, Haris akan selalu berkeliling dengan sepeda kecil pemberian papa.
Dahulu, Haris adalah anak yang ramah. Ia tak segan melempar senyum bahkan pada orang tak dikenal sekalipun. Haris gemar membantu orang, seperti yang diajarkan papa. Bahwa manusia yang paling baik adalah yang bermanfaat untuk sesama. Papanya juga yang mengenalkan bahwa setiap kali berbuat kebaikan, maka akan mendapat pahala. Karenanya, setiap kali membantu orang lain, Haris selalu teringat akan iming-iming pahala dari Tuhan yang dibicarakan papa.
Haris bahagia. Menjadi seorang anak dari kedua orang tua yang berkecukupan. Papanya adalah seorang pegawai BUMN, sementara mamanya adalah seorang perancang busana yang memiliki butik sendiri. Tak hanya kebutuhan untuk hidup, namun juga kasih sayang dan perhatian dari keduanya tak pernah kurang. Haris bahagia, rasanya masa kecilnya adalah masa yang paling indah.
Kebahagiaannya sempat sedikit berkurang ketika mendapat informasi bahwa Hanum akan lahir. Haris takut, takut kasih sayang orang tuanya hanya terfokus pada Hanum. Rasa iri muncul dalam dirinya. Namun, lagi-lagi papanya menenangkan.
“Jadi kakak tuh keren loh, Ris! Nanti dipanggilnya jadi Kak Haris bukan Haris lagi. Kalo kamu dipercaya jadi kakak, artinya kamu punya kekuatan lebih. Artinya Tuhan tau kalo kamu bisa jagain adek nanti sampe dia gede. Anak laki-laki Papa hebat kan? Nanti kita team up sama Mama yaaa jagain adek!”
Hasilnya, Haris kecil pun luluh. Ia tak lagi sebal pada bayi yang memenuhi perut mamanya saat itu. Justru ia menjadi orang yang paling protektif pada masanya. Seorang 'Kak Haris' akhirnya tumbuh menjadi kakak yang penyayang, perhatian, selalu ada setiap kali adiknya membutuhkan. Bagi Hanum yang juga semakin besar, juga bagi Haura yang saat itu muncul di perut mama.
Hingga suatu hari, rencana papa untuk selalu team up untuk menjaga adik-adiknya itu berantakan. Entah sejak kapan, Haris mulai mendengar suara ribut-ribut dari dapur di bawah. Sesekali Haris mendengar suara pecahan piring, gelas, dan sebagainya. Saat itu ia tahu, hidupnya tak akan sebahagia yang ia rasakan ketika dirinya kecil.
Selama mamanya mengandung Haura, papanya tak hadir untuk turut bersatu menjaga calon adiknya. Waktu itu, Haris merasa sangat dikhianati oleh orang yang paling ia percaya. Karena pada akhirnya, papa meninggalkan mereka semua, bahkan Haura yang belum sempat hadir di tengah-tengah mereka. Tak lama setelah Haura lahir, pada akhirnya kedua orang tuanya resmi berpisah. Dan sejak itu, Haris pun berubah.
Tak ada lagi Haris yang ramah, Haris yang senang membantu orang lain, atau Haris yang hangat. Sejak saat itu Haris memilih untuk menjadi dirinya yang sekarang, yang selalu memilih untuk mengesampingkan hal-hal yang tidak penting seperti ikut campur urusan orang lain, atau memberikan sedikit perhatiannya pada dunia. Pikirannya hanya penuh dengan ketiga wanita di rumahnya yang jauh lebih penting untuk ia usahakan kepentingan dan keselamatannya.
Kalau dipikir-pikir, perkataan Adel ada benarnya. Seharusnya Haris bisa hidup dengan menikmati masa remajanya. Seharusnya ia pun bisa menjelajah kemanapun tanpa perlu banyak pertimbangan selain izin dari mama, seharusnya ia pun bisa turut menelusuri sekitarnya untuk menemukan seorang gadis yang bisa memikat hatinya, seharusnya ia pun bisa tertawa lebih banyak karena melakukan hal konyol dengan teman-temannya.
Sejujurnya, sedikit banyaknya Haris bersyukur ia bertemu Ojan ketika SMP. Kalau tidak dengan Ojan menjadi sebangkunya, Haris tak akan punya pelepas penat. Haris mungkin akan lupa bagaimana caranya hidup lebih santai. Mungkin itu alasan mengapa Tuhan mempertahankan Ojan di hidupnya. Hingga ketika keduanya beranjak lebih besar, bertemu kembali di SMA yang sama, kemudian Ojan membawakan teman-teman baru untuknya yang juga sering kali menjadi pelipur lara baginya.
Perkataan Adel ada benarnya, mungkin ia sudah terlalu lama memaksa dirinya menjadi dewasa sebelum waktunya. Haris jadi lupa kalau ada yang namanya jatuh cinta. Sebab sebagai satu-satunya lelaki di rumah semenjak papa pergi meninggalkan rumah, Haris hanya berniat untuk mendedikasikan hidupnya untuk ketiga wanita di rumahnya. Bertambah satu ketika ia mengetahui Adel juga merasakan hal yang sama. Tetangganya itu masuk daftar wanita yang Haris prioritaskan setelah orang tuanya juga berpisah.
Berat, bagi satu-satunya laki-laki yang dikelilingi empat wanita dengan kekosongan seorang figur dalam hidupnya. Lebih-lebih Haura.
Tetapi mungkin perkataan Adel ada benarnya, sudah terlalu lama Haris mengusahakan kebahagiaan bagi mama, Hanum, Haura, dan Adel. Mungkin, sudah saatnya ia kembali menjalani hidup sebagaimana yang ia inginkan. Mungkin, sudah saatnya ia kembali menjalani hidup dengan lebih sedikit tekanan untuk dirinya sendiri.
Mungkin, sudah saatnya ia mengusahakan kebahagiaan untuk dirinya sendiri.