Sempitnya Dunia
Gia menghela napas setelah lelah membalas sapaan-sapaan teman lamanya di SMP. Sesuai rencana, Gia akhirnya izin untuk melakukan cap tiga jari di sekolah lamanya. Namun, belum sempat melakukan tujuannya, Gia sudah lebih dulu ditahan oleh teman-teman lamanya untuk mengobrol. Bertukar sapa serta saling menanyakan kabar sebab sudah lama tak jumpa.
Bahkan setelah melakukan cap tiga jari, Gia yang berniat untuk langsung pulang itu tetap tak bisa melaksanakan niatnya sesuai rencana. Teman-temannya kembali menahannya untuk berfoto bersama. Memamerkan tiga jari tangan kiri yang berwarna biru, khas anak-anak SMP yang baru saja lulus. Dengan bangga mereka berpose dengan tiga jari seakan menunjukkan bahwa mereka telah berhasil melalui jenjang SMP dan kini beralih menjadi lebih dewasa.
“Gia cakep banget, dah!”
“Apa sihhhhh, enggak biasa aja,” balas Gia malu-malu. Setelahnya mereka kembali berfoto.
“Anggi,” panggil salah satu guru SMP-nya. Gia menoleh, lantas terkejut dan segera menyalami beliau. “Eh, Misss! Apa kabaar?”
“Baik, alhamdulillah. Kamu SMA di mana, Gi?”
“Di Pelita Nusantara, Miss,” jawab Gia.
“Oh yaa? Wihh, keren, keren! Itu SMA bagus, Gi. Tinggal belajar yang bener aja kamu.”
Gia tersenyum seraya mengangguk, “Iya, Miss. Sekarang EC gimana, Miss? Makin banyak yang gabung?”
Selain anggota basket, Gia juga merupakan anggota English Club semasa SMP. Bahkan, Gia menjabat sebagai ketuanya. Itulah yang membuatnya akrab dengan guru-guru Bahasa Inggris di sekolahnya.
“Iyaa alhamdulilah. Sekarang Hanum ketuanya, Gi.”
“Oyaa? Ah kentara sihh, Hanum emang rajin dari dulu ya, Miss?” tanya Gia riang. Turut senang rupanya orang yang menggantikan kepemimpinannya adalah orang yang tepat.
“Ini belum pada pulang ya, Miss?” tanya Gia lagi. “Beluum, sebentar lagi, sih. Abis itu paling ekskul. Hari ini EC loh, kamu ikut dulu ya? Kenalann sama anak-anak barunya bisa nggak?”
“Hah? Nggak pa-pa, Miss?”
“Iyaa nggak pa-pa, nanti kamu liat-liat aja. Nggak sibuk kan? Ada kegiatan nggak hari ini?”
“Nggak ada, kok, Miss. Aman aman,” jawab Gia. “Oke, dehh. Saya ke sana dulu ya. Nanti ketemu lagi, Anggi! See you!“
“See you, Miss!”
Bel penanda pulang sekolah berbunyi, para siswa SMP itu berhamburan keluar kelas dengan wajah-wajah riang. Gia tersenyum melihatnya, membayangkan dulu dirinya berada di posisi yang sama dengan mereka. Rok biru, dasi biru, topi biru, dan jam pulang lebih awal. Rasanya ingin kembali mengulang waktu, namun bukan berarti Gia tak mensyukuri hidupnya saat ini. Bisa menjadi murid dari salah satu sekolah favorit, adalah hal yang lebih baik dari itu semua.
Tak lama Gia mendengar suara pengumuman yang memanggil para anggota EC untuk berkumpul di sebuah ruangan. Gia memilih untuk menunggu sang ketua keluar dari ruang TU untuk menemuinya.
“Sst, sst!” Gia memanggil adik kelasnya yang sekarang menjabat sebagai ketua EC menggantikan dirinya. Hanum, seseorang yang dipanggil itu menoleh dan terkejut setelahnya. Dengan semangat dan langkah riang, Hanum menghampiri Gia dan segera memeluknya.
“KAK ANGGIIIII OH MY GODDD!!!! KOK DI SINIII?”
“Aku abis cap tiga jariiii,” balas Gia tak kalah riang.
“Ih ya ampun. Udah jadi anak SMA nih yeee dasinya abu-abu, ciee Kak Anggi!”
Gia tertawa, “Apa sihhhh? Kamu nihhh cieee udah jadi ketua EC uhuhuhu! Kamu kok makin tinggi aja sih, Nuuum?”
“Iya lahh, tiap hari aku minum susu. Kak Anggi kok makin pendek?”
“Ah malessssssss!”
“Eh, tadi kata Miss Isti aku boleh ikuttt ekskul EC,” ucap Gia. “OH IYA? IH BOLEH BOLEHHHH AYO IKUTTT!” balas Hanum seraya menggoyang-goyangkan badan Gia penuh semangat.
“Ya ampunnn, iya iyaaa aku ikut. Pelan-pelan, Hanumm,” balas Gia.
“DUH SORRYY! I'M SO EXCITEDDD!! Seseneng ituuu tau nggak sih ketemu Kak Anggi lagi!!!” balas Hanum.
Gia mengangkat sebelah alisnya tak percaya, “Masa? Kenapa emang?”
“Kakak kan tau, dari dulu Kakak kelas pada nggak suka sama aku padahal aku nggak ngapa-ngapain. Kak Anggi doang yang baik banget sama aku sumpah, makanya pas Kakak lulus aku sedih, deh. Jujur banget ini, mah,” ucap Hanum.
“Ya ampuuun, uuuuutayaank, sahut Gia mencubit-cubit kedua pipi gadis yang lebih tinggi darinya itu pelan. Memang benar, sejak dulu, Hanum adalah adik kelas yang tidak disukai oleh hampir semua anak perempuan seangkatan Gia. Entah alasannya apa, tapi sepertinya karena gadis itu terlalu cantik. Banyak kakak kelas melabraknya tanpa alasan, tiba-tiba menegurnya agar memasang paras lebih ramah padahal Hanum hanya diam, tiba-tiba menegurnya agar tidak kecentilan padahal Hanum tidak melakukan apapun, tiba-tiba menegurnya untuk tidak memakai make up ke sekolah padahal Hanum benar-benar hanya memakai bedak tipis.
Hanya Gia yang bersikap baik padanya. Hanya Gia yang mau menegurnya dan mengajaknya bercengkerama. Hingga tanpa disadari, keduanya memiliki kecocokan dan berteman dekat. Gia dan Hanum sudah seperti adik-kakak. Dulu, di sekolah, sambil menunggu ekskul dimulai biasanya Gia suka membantu Hanum menyelesaikan PR-PR-nya. Meminjaminya catatan, dan menjelaskan materi yang belum Hanum mengerti.
“Ayo, Kak Anggi. Ke kelasnya, gabung sama yang lain. Nanti aku kenalin ke anak-anak barunyaa!” ucap Hanum. Setelahnya Gia hanya mengangguk dan mengikuti langkah Hanum untuk menuju ruangan yang akan mereka gunakan untuk melaksanakan kegiatan ekskul.