raranotruru

Haris menghirup udara pagi sepuasnya, pula menghirup kembali semangat-semangat baru yang selama ini ia tinggalkan entah di mana. Hari ini pemuda itu seakan terlahir kembali. Sebab setelah beberapa hari berpisah dengan sahabat-sahabat karibnya, kini Haris siap untuk bertemu kembali dengan ketiganya. Pun, Haris siap untuk balas dendam. Haris siap untuk membabat habis seluruh kesempatannya untuk kembali aktif di kelas, maupun di sekolah melalui organisasi yang ia jalani.

Di depan cermin, Haris memandangi refleksi dirinya berkali-kali. Rambut hitamnya disisir rapi, Haris membaginya menjadi belah pinggir agar tak menghalangi pandangannya sebab rambutnya sudah sedikit melebihi alis tebalnya. Membuat keningnya terekspos, namun justru membuatnya semakin menawan. Kedua lengan pendek kaus olahraganya sengaja ia gulung seakan mendeklarasikan bahwa dirinya adalah seorang jagoan. Begitu pun dengan celana olahraganya, Haris menggulungnya dengan rapi hingga sebatas betis.

Setelah merasa puas dengan penampilannya, Haris menyambar tas sekolahnya dan menyampirkannya asal di bahu kanannya. Pria itu kemudian turun ke bawah untuk menemui keluarganya.

“Ih udah sekolah, Kak?” tanya Hanum yang sudah rapi dan sedang menyantap sarapannya di meja makan. Haris mengangguk seraya berjalan menuju rak sepatu untuk memakai sepatunya.

“Mau bareng?” tawar Haris. Dengan semangat Hanum mengangguk dan meneguk habis segelas susu miliknya.

Haris terkekeh, “Buset dah, pelan-pelan aja kali. Gue juga belom mau berangkat.”

Hanum mendelik, “Kakak kebiasaan abisnya ninggalin aku mulu. Emang mau ngapain dulu?”

“Ya mau sarapan?” balas Haris.

“Oh, ya udah,” sahut Hanum. “Kak, aku bikinin bekel ya?”

Haris menoleh cepat, “Sakit perut nggak Kakak nanti makannya?”

“YA ENGGAK LAH?! Aku bikinin ya, please? Sekali seumur hidup!” balas Hanum lagi.

“Iya sekali seumur hidup soalnya abis itu gue nggak hidup lagi gara-gara lu, kan?”

“Dih? MAMAAA KAKAKNYA GITU!!!!” Hanum mulai mengadu.

“Apa sih, Kak? Adeknya diisengin mulu,” ucap Mama yang baru saja kembali dari kamar Haura, membawa gadis kecil itu dalam gendongannya.

“Lah, kalo nggak ngisengin Hanum, ngisengin siapa?” balas Haris seraya tertawa. “Ya udah iyaaa, bikinin bekel. Emang mau bikinin apa sih? Bisa masak juga mie sama telor doang lu, Num.”

“Mau bikin pizza, tapi dari roti. Aku bikinin bentuk kucing nanti ya biar cute. Sebagai penyemangat kakakku menjalani hari pertama sekolah, lagi,” ucap Hanum panjang lebar.

Haris hanya mengangguk-angguk, setelahnya membiarkan Hanum berkreasi. “Iya iya, buat aja buat. Keluarin aja gebrakan baru lo keluarin. EH TAPI JANGAN LUCU-LUCU, NUMM! NGGAK TEGA MAKANNYA NANTI!”

Setelah bermenit-menit menunggu Hanum menyiapkan bekal untuknya, Haris pada akhirnya melirik jam dinding rumahnya. Jarum panjang sudah menunjukkan pukul enam tepat, maka dengan segera Haris memanggil Hanum untuk bergegas. Keduanya harus berangkat sekarang mengingat Haris harus mengantar Hanum lebih dulu.

“Num? Udah belomm? Ayo berangkat udah jam enam!”

IYAA INI UDAHHH,” balas Hanum yang berteriak dari dapur.

“Kakak tunggu depan yaa, manasin motor dulu!”

YAAA!”


Tepat pukul 06.25, Haris sampai di sekolah. Pria itu jadi mendapat ledekan dari Pak Asep sebab nyaris datang terlambat. Namun Haris tak mempermasalahkan, toh dirinya masih tidak terlambat. Setelah menyalami gurunya dan sedikit bercengkrama, Haris bergegas melanjutkan langkahnya agar tidak bertabrakan dengan arus siswa-siswi yang kembali turun ke lapangan saat bel berbunyi untuk agenda senam bersama.

Haris membenarkan posisi ranselnya yang ia sampirkan di sebelah bahu, setelahnya memilih berjalan dengan kepala tegak. Mengabaikan bisikan-bisikan yang sampai pada pendengarannya, juga tatapan-tatapan terkejut yang dilayangkan ke arahnya. Haris mewajarkannya, pasti banyak keterkejutan ketika melihatnya kembali. Kasusnya tidak mungkin tidak terdengar hingga penjuru sekolah mengingat siapa lawannya.

Di sisi lain, dua orang gadis remaja menuruni tangga untuk menuju kantin. Pagi itu Zahra melupakan minumnya hingga ia meminta Gia untuk menemaninya membeli minum, keduanya memutuskan untuk membelinya sebelum bel masuk mengingat setelah senam nanti kantin pasti akan menjadi bagian sekolah yang diserbu oleh semua orang.

“Tungguin dong, Gi!” ucap Zahra.

“Cepetaan, orang udah mau bel juga! Nanti keburu disuruh ke lapangan tauu, dikunci nanti pintu kantinnya,” balas Gia seraya menoleh pada Zahra yang tertinggal di belakangnya. Namun temannya itu tetap tidak mempercepat langkahnya. Sebaliknya, Zahra malah menghentikan langkahnya pada satu anak tangga dan memilih berdecak, “Orang tadi diajak ngobrol Alwan dulu.”

Sontak Gia pun ikut menghentikan langkahnya, gadis itu menatap Zahra jahil, “OW OW OWWWWWWW!! Ngobrolin aaaapa tiiii pagi-pagi?”

Zahra membalasnya dengan tatapan garang, “Gue gatak lo ya?!”

Setelahnya Gia hanya tertawa geli dan buru-buru melanjutkan langkahnya. Namun, karena tidak memperhatikan sekitarnya, Gia tak menyadari bahwa ada seseorang yang juga terburu-buru untuk menaiki tangga. Alhasil, keduanya bertubrukan dengan cukup keras.

Sebagai siswa tahun pertama, Gia inisiatif meminta maaf meskipun tulang pipinya terasa sakit sebab menabrak seseorang di hadapannya. “Aduh! Astaga, maaf Kak! Nggak senga—”

Gia mendongak guna mengetahui sosok di hadapannya, takut-takut orang tersebut marah dan justru membuatnya terkena masalah pada pagi hari. Namun seiring netranya menangkap seseorang di depannya, Gia menegang di tempatnya.

Matanya membulat dan pikirannya seakan meninggalkan tubuhnya. Seseorang yang bertabrakan dengannya pagi itu adalah Haris, yang rupanya sudah lebih dulu menatapnya dengan tatapan terkejut yang sama dengan milik Gia. Entah apa yang Gia rasakan saat itu, yang jelas semuanya bercampur aduk. Seakan ada rindu yang menyeruak, ada lega yang bersemayam, bahagia, namun juga sedih pada saat yang bersamaan. Jika saja hubungan keduanya baik saat terakhir kali bertemu, Gia memastikan dirinya sudah berseru kegirangan secara terang-terangan.

Alhasil baik Gia maupun Haris, keduanya sama-sama terpaku. Seakan-akan terdistraksi oleh pemandangan yang baru dijumpai lagi setelah sekian lama. Gia masih memusatkan pandangannya pada Haris. Entah matanya sudah menjadi bias lantaran dibutakan oleh perasaannya sendiri, atau memang penampilan Haris begitu sempurna hari ini. Gia terpana melihat Haris dengan baju olahraga yang pemuda itu atur sedemikian rupa. Entah berniat atau tidak, Haris selalu tampak menawan ditambah gaya rambutnya yang sedikit berbeda dari biasanya, juga gestur Haris yang selalu—keren.

Di depan Gia, Haris hanya terdiam. Haris memang sudah menyiapkan amunisi untuk kembali ke sekolah. Perlengkapan sekolah, penampilannya sendiri, semangat untuk sekolah, Haris mempersiapkan semuanya. Namun nampaknya ia melupakan satu hal, Haris lupa persiapan untuk bertemu dengan Anggia. Tak punya pertahanan, Haris akhirnya hanya diam tanpa melakukan apapun. Sejujurnya Haris ingin segera pergi, namun langkahnya tertahan sebab jauh di lubuk hatinya, Haris tak lagi dapat membohongi dirinya sendiri bahwa ia merindukan gadis yang kini berdiri di hadapannya.

Bertemu di pagi hari seharusnya adalah hal biasa mengingat hal itu memang rutinitas Haris dan Gia setiap hari. Namun kali ini rasanya berbeda. Rasanya seperti serba salah. Keduanya saling merindukan tetapi juga saling mengerti bahwa mereka tak lagi dapat bercengkrama seperti dulu. Pada akhirnya tak ada kata yang dapat meluncur dari bibir masing-masing.

Haris mencengkeram erat sebelah tali ranselnya yang sedari tadi ia sampirkan di bahu kanannya. Berharap ada sedikit keberanian untuk mengeluarkan suaranya. Mungkin untuk sekadar menyapa, menerima maaf dari Gia, atau syukur-syukur, Haris bisa meminta maaf juga. Namun sayangnya, nihil.

Keduanya bertahan pada posisi yang sama, hingga sama-sama tersadarkan oleh suara nyaring bel sekolah yang pada akhirnya berbunyi. Detik itu, Haris dan Gia sama-sama memutus kontak mata. Setelahnya Haris memilih melanjutkan langkahnya melewati Gia yang masih terdiam kaku, hanya bisa menahan napasnya ketika Haris berjalan melaluinya.

Sekon berikutnya Gia menghela napas, dengan pelupuk mata yang sudah dipenuhi air mata yang menggenang. Setelah Haris menghilang di balik tangga menuju lantai dua, Zahra baru berani menghampiri Gia setelah sedari tadi ikut menghentikan langkahnya.

Dengan senyum jahil dan wajah berseri, Zahra membisikkan sesuatu di telinga Gia. Belum mengetahui bahwa temannya itu sudah sangat siap menangis.

“Lu makan tuh OW OW OW!”

Sekon berikutnya, Gia berjongkok dan mulai menangis keras. Tangisnya tak lagi dapat ia bendung, membuat Zahra jadi panik sendiri.

“EH JANGAN NANGIS DI SINI ANJIR, GI! YA ALLAH IYA IYA MAAPPPP MAAP NGGAK GUE LEDEKIN LAGI ENGGAK!!!”

tw // body shaming

The Least He Can Do

Agenda olahraga hari ini adalah lari mengelilingi komplek sekolah. Siapa yang sampai duluan diharuskan melapor dan tentunya akan mendapat nilai tinggi. Karena itu, Alwan dan Zahra berubah menjadi tak kenal ampun. Keduanya bersaing begitu ketat, saling mendahului agar sampai lebih cepat di sekolah. Keduanya bahkan meninggalkan Gia jauh di belakang, namun gadis itu tak ambil pusing. Gia memilih untuk berlari sesukanya, toh, Pak Edo pun tak akan setega itu untuk memberi murid-muridnya nilai merah.

Belakangan ini Gia merasakan semangatnya menurun untuk hadir di sekolah. Kalau saja Mama tidak mudah marah, Gia sudah pasti akan meminta izin untuk bolos. Entahlah, sekolah rasanya tak menarik tanpa kehadiran Kak Haris di depan gerbang setiap pukul 6.15 pagi. Segala sesuatu tentang gerbang sekolah di pagi hari rasanya kerap kali mengingatkannya dengan Haris yang seharusnya ia lupakan. Bahkan ketika Gia sengaja memperlambat waktu kedatangannya di sekolah agar tak teringat momennya bersama Haris, pemuda itu tetap saja mendominasi ingatannya. Ketika Gia nyaris terlambat, ingatannya justru memutar kejadian ketika Haris menahan gerbang untuknya agar dirinya tidak terlambat.

Pemuda bernama Muhammad Haris itu rasanya tak akan pernah membiarkan seorang Anggia Kalila terbebas dari eksistensinya sekalipun raganya tak hadir di depan mata. Andai saja Haris tahu bahwa sudah sejak lama pemuda itu menjajah hati dan benak Gia, kemudian dengan mudah menjadikannya daerah kekuasaannya.

Kembali kepada duo yang tak pernah damai, Zahra dan Alwan semakin gencar bersaing ketika mendekati gerbang sekolah. Keduanya kemudian menghampiri Pak Edo dan berebut perihal siapa yang sampai lebih dulu. Perdebatan keduanya baru selesai ketika Pak Edo menengahi dengan mengatakan bahwa keduanya mendapat nilai yang sama yaitu 90.

Alwan dan Zahra kemudian melipir, lelah berlari sekaligus lelah berdebat. Keduanya kini bersandar pada sebuah taman kecil di pinggir lapangan seraya mengipasi diri sendiri, berharap keringat-keringat jagung itu berhenti bercucuran.

“Buset buset, branwir* lu ya? Minum sekali tenggak langsung abis gitu?” ucap Zahra ketika melihat Alwan menghabiskan minumnya dalam waktu singkat. Gadis itu bahkan membelalakkan matanya.

“Aus,” balas Alwan. “Capek banget ya? Gue kira deket dah rutenya, ternyata jauh juga kalo lari gitu,” ujarnya lagi.

“Jauh lah! Lo ngerasa deket karena biasanya jalan keliling sekolah tuh naik motor, Wan,” balas Zahra yang masih terengah-engah.

“Oh iya sih, bener juga. Hadaaaah capek!”

Pemuda berbadan tinggi nan kekar pada usia muda itu membenarkan posisinya guna mendapatkan posisi wuenak agar tubuhnya bisa beristirahat dengan lebih nyaman. Hal itu membuat Alwan terlihat lebih pendek dari Zahra, kini kepala pemuda itu bersebelahan dengan pundak kiri Zahra yang juga masih bersandar pada taman kecil di pinggir lapangan.

Kini hening menyelimuti keduanya. Hanya terdengar embusan angin dan benturan bagian bawah botol dengan lapangan sekolah sebab Zahra masih berkali-kali menenggak minumannya. Balapan lari dengan Alwan rasanya adalah keputusan yang salah sebab tenaganya benar-benar terkuras habis sekarang. Bahkan perutnya terasa sakit lantaran harus berlari sehabis makan. Salahkan siapapun yang menyusun jadwal pelajaran dan menempatkan pelajaran olahraga setelah istirahat pertama. Zahra kini terkapar pasrah. Beruntung Alwan tak menyadari gelagatnya, sebab kalau sampai pemuda itu menyadarinya, maka Zahra harus repot-repot meladeni ejekan pemuda itu.

Setelah lama terdiam, Alwan kembali bersuara. “Jar,” panggilnya.

Gadis itu berjengit, “Kaget gue! Kirain tidur lo, Wan.”

“Enggak, lah!”

“Kenapa?” tanya Zahra.

“Gue mau cerita dong!” balas Alwan.

Mendegar hal itu, Zahra kembali bersemangat. “Oh iya, apa apa?”

Alwan mendelik, “Gosip aja lu kenceng! Ijo mata lu langsung ya?”

Gadis itu memukul paha Alwan keras, namun sama sekali tak memberi efek apapun pada Alwan. Pemuda itu hanya tertawa menanggapi amarah Zahra. “Kenapa nggak?! Buruan! Lo mau cerita apa sih?”

“Lo maunya gue cerita apa?” canda Alwan seraya tersenyum jahil.

Zahra tak menjawab, perempuan itu hanya mendelik tak suka ke arah Alwan dan berniat bangkit meninggalkan pemuda itu. Namun Alwan menahan pergelangan tangannya dan kembali menarik Zahra untuk duduk di sebelahnya.

“Bercanda, bercanda,” ucap Alwan seraya tertawa. Dan setelah Zahra kembali duduk di sebelahnya, Alwan mempersiapkan diri untuk bercerita. Lebih tepatnya, pemuda itu mempersiapkan hatinya.

“Lama, anjir! Kebanyakan diem lu cepirit apa gimana, sih?” tanya Zahra. Gadis itu sudah mulai lelah dengan Alwan yang terlalu banyak diam.

“Gue suka sama Gia, Jar,” ucap Alwan tiba-tiba.

Sepersekian detik, kini giliran Zahra yang terdiam. Ia memusatkan pandangannya pada Alwan yang kini menatap ke sembarang arah. Sekon berikutnya Zahra memalingkan wajahnya, ikut memandang ke sembarang arah selayaknya Alwan.

“Udah tau,” balas Zahra seraya memainkan botol minumnya.

“Hah?!”

“Gia juga udah tau, nggak seru, Wan. Skip, skip!”

Alwan berdecak, “Yang bener sih, Jar!”

“Lah beneran! Emang udah tau. Ganti, ganti. Nggak ada cerita yang lebih seru gitu?”

Alwan menghela napasnya, setelahnya ia terdiam sebelum akhirnya kembali bicara. “Tapi gue mau relain Gia sama yang lain.”

Perkataan Alwan membuat Zahra menoleh cepat, “Kenapa? Baru juga ngaku masa udah lari gitu?”

“Ada yang lebih bisa jagain Gia dibanding gue, Jar,” balas Alwan.

“Maksudnya?”

Alwan terdiam, nampak sungkan untuk melanjutkan ceritanya. Namun sekon berikutnya pemuda itu kembali menghela napasnya dan kembali bicara. “Ada alesan kenapa gue ngelaporin Gio, Jar,” ucapnya. Membuat Zahra otomatis membalikkan badannya menjadi sepenuhnya menghadap Alwan. Mendengarkan pemuda itu dengan seksama dengan seluruh rasa penasarannya.

“Sebenernya Kak Haris ngehajar Gio tanpa ampun gitu karena—Gio ngatain Gia. Kak Haris emang ada di sana pas Gio lagi nongkrong sama gengnya. Terus dia denger Gio mulai body shaming Gia, dan itu emang parah banget. Nggak pake ancang-ancang, tiba-tiba Kak Haris langsung ngehajar Gio gitu. Semua orang yang ada di sana juga kaget, kayak nggak pernah liat auranya Kak Haris yang kayak gitu sebelumnya. Gue tau—karena gue juga ada di sana, Jar,” ujar Alwan. Mendengar perkataannya, Zahra otomatis membulatkan mata.

“Lo ada di sana? Berarti lo tau detail kejadiannya kayak apa dong?!” tanya Zahra.

Alwan mengangguk, “Iya. Gue ada di sana, Jar. Gue juga denger Gio ngomong apa aja. Gue juga ikut sakit hati dan marah. Seharusnya gue negur Gio dan marahin dia karena udah berani-beraninya ngomongin temen gue kayak gitu, iya kan, Jar? Seharusnya gue nonjokin dia abis-abisan kayak yang Kak Haris lakuin karena udah berani-beraninya ngerendahin temen gue, temen kita.”

“Padahal Gia tuh temen gue yang baik banget, temen kita yang baik banget. Tapi kenapa gue nggak tergerak sama sekali ya buat belain dia ketika ada yang ngerendahin dia sampe segitunya?” Alwan masih mengeluarkan segala yang mengganjal di pikirannya, sementara Zahra masih setia menyimak. “Waktu itu gue takut, Jar. Gue mikirin kalo gue buat masalah sama Gio, pasti gue yang celaka. Ketakutan gue terbukti bener, bahkan Kak Haris aja sampe terancam dikeluarin dari sekolah. Untungnya cuma berujung di skors. Gue nyesel, Jar, kalo lo mau tau. Maksud gue, kenapa gue harus takut padahal yang dilakuin Gio itu salah dan emang seharusnya ditegur bahkan dihentikan?”

Alwan menghentikan ceritanya sejenak sebab ingatannya membawa pemuda itu kembali pada saat kejadian menggemparkan itu. Hari ketika Haris menjadi orang pertama yang berhasil membuat Gio babak belur, hari ketika Haris menjadi orang pertama yang berani melawan seorang Giovanno Sadewa.

Alwan memilih melipir sembari menghabiskan batagor yang baru saja ia beli. Pemuda itu berniat mengisi perut sebelum akhirnya pulang ke rumah. Suasana halaman depan sekolah cukup ramai kala itu, banyak tempat dipenuhi perkumpulan anak-anak SMA dengan teman-temannya entah untuk sekadar duduk-duduk dan menunggu jemputan atau untuk membahas topik yang entah apa.

Alwan tak begitu memperhatikan sekitar, namun samar-samar ia mendengar percakapan di sebuah gerombolan anak laki-laki yang lebih mendominasi ketimbang yang lain. Pemuda itu menoleh singkat, kemudian ia mengetahui bahwa gerombolan itu adalah Gio dan teman-temannya. Tak heran jika mereka mendominasi situasi saat itu. Namun Alwan tak ambil pusing, ia segera menghabiskan batagornya dan membuang plastiknya ke tempat sampah. Setelahnya pemuda itu berniat pulang.

Sekon berikutnya langkahnya terhenti ketika tak sengaja mendengar percakapan Gio yang menyebutkan nama seseorang yang ia kenali.

“Lagian lo ngapain sih, kayaknya getol banget deketin dia? Lo naksir beneran?”

“Ya, enggak. Gue deketin Gia iseng aja sih, tapi emang ada rencana gue pacarin. Cuma nggak lama-lama, sebulan dua bulan aja abis itu gue tinggal,” balas Gio.

“Maksudnya lo mau mainin dia gitu?”

Gio mengangguk-angguk yakin, “Ya iyalah! Emang ada yang mau beneran sama cewek kayak Gia gitu? Cewek kayak dia mah terlalu polos buat diajak pacaran, emang cocoknya jadi bahan iseng doang.”

Alwan mematung di tempatnya. Dalam dirinya kini penuh gejolak, Alwan merasakan darahnya berdesir hingga membuat sekujur tubuhnya memanas. Dalam benaknya pun ia berpikir, orang macam apa yang membicarakan orang lain secara terang-terangan? Dengan topik yang tidak seharusnya dibicarakan pula. Detik itu Alwan mengurungkan niatnya untuk pulang dan memilih menyimak pembicaraan Gio lebih jauh. Bagaimanapun juga, ini menyangkut soal Anggia, seseorang yang ia kenal cukup baik. Alwan harus membela Gia, kan?

“Enggak ah. Mukanya standar, biasa aja. Nggak cantik-cantik banget. Terus—sorry nih ya, badannya juga nggak enak diliat. Nggak ada lekukannya. Cewek apaan dah rata banget? Triplek?”

“Ya badannya udah lebih bagus sih dibanding dia waktu SD dulu, tapi tetep aja nggak enak diliat. Kayak nggak niat jadi cewek dah jadinya, ceking banget gitu kayak orang penyakitan,” ucap Gio lagi.

Alwan merasakan amarahnya semakin bergejolak. Pemuda itu mengepalkan tangannya erat-erat, seakan memusatkan seluruh tenaganya di sana. Alwan pun mempertajam pendegarannya guna menangkap segala omong kosong yang keluar dari mulut Gio.

“Parah lu, Gi! Emang waktu SD Gia gimana, dah?”

Gio membiarkan tawanya menyembur sebelum membalas, “PPFT! Lebih parah lagi, kayak babi aer. Gemuk banget!”

Alwan marah. Ia tidak terima Gia diolok-olok oleh laki-laki yang rasanya bahkan tak pantas disebut laki-laki. Bagi Alwan, Gio dan komplotannya lebih pantas untuk disebut sebagai seorang pecundang. Sebab figur laki-laki seharusnya hadir untuk melindungi para perempuan, bukan untuk menghancurkan harga diri mereka.

Alwan sejujurnya ingin langsung meninju wajah Gio, namun sesuatu dalam dirinya seakan menahannya. Langkahnya jadi maju-mundur. Ia terus memikirkan dampak yang akan ia terima jika tinjunya benar-benar ia layangkan pada wajah mulus nan terawat milik Gio. Masa depannya bisa hancur seketika. Namun di sisi lain, Alwan terus memikirkan bahwa ia akan merasa bersalah pada Gia jika tak menghentikan Gio dari segala omong kosongnya yang terus merendahkan gadis itu.

Alwan terus berkutat dengan peperangan antara batin dan pikirannya, hingga sebuah suara mengagetkannya. Dan ketika ia menoleh, Gio sudah tersungkur di jalanan dengan lebam pada tulang pipinya. Jantung Alwan terasa berhenti saat itu. Dengan sedikit ketakutan, Alwan mencari tahu siapa orang yang berani menjadi pahlawan kesiangan dan mempertaruhkan segalanya untuk memberi Gio pelajaran yang seharusnya ia terima sejak lama. Rupanya, orang itu adalah Haris. Setelahnya, ia memilih untuk pergi. Alwan malu, dan mengaku kalah. Sebab rasanya, dirinya pun pantas disebut sebagai pecundang.

“Wan!” panggil Zahra. Panggilan serta tepukan pelan di pundaknya yang berasal dari Zahra itu membuatnya terkejut setengah mati. “Kok malah bengong sih? Kesambet tau rasa lu!”

“Untung gue nggak jantungan, Jaaar, Jar!”

“Ya siapa suruh bengong sampe kayak gitu?!” balas Zahra. “Terus gimana nih? Lo mau lanjutin ceritanya apa enggak?”

Alwan berdeham kemudian mengangguk. Pria itu kemudian membasahi bibirnya sebelum kembali menceritakan semuanya. “Sampe mana tadi?”

“Lo mau negur Gio tapi nggak berani. Eh, tapi emangnya dia tuh ngatain apa sih?” balas Zahra.

“Ah kalo soal itu—gue juga nggak mau ngasih tau deh, Jar. Soalnya gue denger-denger temen-temennya Kak Haris waktu mereka ngobrol bertiga, katanya Kak Haris tuh nggak mau ngasih tau alesannya karena dia nggak mau nyebutin itu lagi pake mulutnya sendiri. Terus juga, dia nggak mau sampe Gia tau. Kak Haris nggak mau kalo nanti jadinya Gia malah nggak bisa percaya diri lagi gitu gara-gara omongan sampahnya Gio. Makanya, gue juga milih diem aja padahal gue tau,” balas Alwan.

Zahra tersenyum tipis, “Gue nggak nyangka Kak Haris se-thoughtful itu.”

Alwan balas mengangguk dengan seulas senyum tipis yang sama dengan milik Zahra, “Sama. Gue pikir Kak Haris orangnya malesin banget, tapi ternyata baik juga.”

“Gue minder, Jar,” ucap Alwan lagi.

“Minder? Kenapa?”

“Gue nggak sanggup kalo harus saingan sama Kak Haris. Gue nggak ada apa-apanya, Jar dibanding dia. Ngeliat Kak Haris kayak gitu, bikin gue sadar kalo ada orang yang jauh lebih sanggup ngelindungin Gia daripada gue. Kak Haris berani banget. Saat gue masih mikirin ini itu, Kak Haris udah langsung bertindak. Dia bertindak tanpa peduli konsekuensinya apa, lawannya siapa. Kak Haris hari itu seakan-akan cuma mastiin kalo Gia aman, walaupun Gia-nya nggak tau.”

Alwan yang entah sejak kapan memeluk kedua lututnya itu kini menghela napasnya untuk kesekian kali, “Makanya gue mau nyerah aja, Jar. Gia pantes dapetin Kak Haris yang rela nerjang apapun buat dia. Bukan cowok cupu kayak gue yang mau bilang suka aja nggak berani.”

Tatapan Zahra berubah menjadi sendu, ini adalah sisi baru Alwan yang rasanya baru saja terbuka setelah lama terkunci. “Duh, gue jadi nggak tau nih harus gimana.. biasanya gue liat lo nyebelin banget soalnya, Wan. Tapi.. kalo begini gimana ya? Lo sama Gia sama-sama temen gue, gue juga pengen dukung lo sama Gia, tapi gue juga pengen dukung Gia sama orang yang dia suka. Sorry ya, Wan, bukannya gue bermaksud jadi ular kepala dua atau gimana tapi—”

“Santai, gue ngerti kok. Gue juga temennya Gia—kalo gue boleh nganggep diri gue begitu. Gia—emang lebih pantes sama Kak Haris. Tapi gue nggak sesedih itu juga sih, Jar. Mungkin karena gue juga belom sedalem itu suka sama Gia kali ya? Terus juga, gue sekarang menempatkan diri sebagai temennya Gia gitu loh, Jar. Bukan sebagai orang yang juga suka sama Gia dan dengan egois mikir kalo cuma gue yang terbaik buat dia,” potong Alwan.

Pria itu kemudian terkekeh seraya menatap Zahra yang masih menatapnya iba, “Sebagai temennya pasti kita ikut seneng dong kalo Gia dapet cowok yang bener?”

Kini Zahra ikut mengulas senyum tipis sebelum akhirnya mengangguk, “Bener, sih.”

“Terus sekarang lo di pihak Kak Haris?” tanya Zahra lagi.

Alwan mengerucutkan bibirnya, “Gue di pihak yang bener, lah. Gio tuh emang bajingan banget, Jar. Gue yakin satu sekolah ini juga udah muak banget sama kelakuannya, tapi nggak ada yang berani ngelawan. Ulah Kak Haris kemaren tuh nggak cuma buat nyelamatin Gia, tau nggak? Bisa jadi gerbang buat korban-korbannya Gio buat speak up juga. Makanya gue komporin aja kemaren tuh temen-temen sekelasnya Gio. Mumpung ada momennya, ayo kita lurusin yang salah bareng-bareng. Kesempatan kayak gini nggak dateng tiap hari, kan?”

Zahra menganggukkan kepalanya, “Setuju. Waktu itu juga temen saman gue pernah sampe nangis-nangis gara-gara Gio. Ya, ulahnya yang itu. Tapi dia nggak berani lapor karena.. ya, dia tau nggak bakal ada gunanya. Akhirnya kita rame-rame cuma bisa melukin dia doang. Sejujurnya gue waktu itu nyiram dia juga ketar-ketir sih, takut didepak gue dari dunia ini.”

Alwan terkikik geli mendengar ucapan Zahra yang berlebihan, “Lebay lu! Emang bapaknya Gio yang punya dunia ini apa?”

“Ya, kali aja punya saham dikit.”

“Ngarang!” balas Alwan. “Lagian apa ya, gue juga nggak nyaman lah jadi orang yang tau kebenarannya gimana tapi diem-diem aja. Makanya selama ini gue ke BK terus, nyimak permasalahannya gimana. Ternyata bener aja dugaan gue, Gio ada aja alesannya sampe bikin Kak Haris keliatan kayak yang sepenuhnya bersalah. Gue nggak suka dah orang kayak dia menang mulu, makanya gue laporin balik. Gue ceritain ke Bu Juju kejadian sebenernya gimana, gue nggak bilang Gio ngomong apa sih, gue cuma bilang kalo yang diomongin Gio itu udah nggak seharusnya diucapin ke perempuan dan Kak Haris cuma berusaha menghentikan itu. Abis itu temen-temen sekelasnya pada speak up, nggak cuma yang perempuan. Yang laki-laki juga tuh, yang sering dijadiin kacung-kacungnya.”

“Terus kelanjutannya gimana?” tanya Zahra.

“Sekolah lagi proses, makanya acara LDKS kita juga ditunda dulu,” sahut Alwan.

“Lo gimana? Lega?” tanya Zahra lagi.

Pemuda di hadapannya tak langsung menjawab, Alwan memilih memalingkan wajah. Memusatkan pandangannya pada sembarang arah. Setelahnya ia mengangguk, “Lega. Kalo kita ngelakuin sesuatu yang bener emang selalu bikin lega, kan?”

Zahra hanya tersenyum menanggapi ucapan Alwan yang sepenuhnya ia setujui. Sekon berikutnya Alwan menunduk, “Gue ngelakuin ini juga sebagai permintaan maaf gue ke Gia karena waktu itu gagal ikut ngelindungin dia. Seenggaknya, istilahnya, ngebersihin namanya Kak Haris tuh—the least that i can do.

“Iya, Wan. Udah keren, tinggal cari aja cewek yang mau sama lo,” balas Zahra seraya menepuk-nepuk pundak Alwan pelan.

“Gue lagi serius anj—”

“Iya gue juga serius, lo keren banget, Wan. Mama lo pasti bangga,” timpal Zahra seraya terkekeh dan mengacungkan kedua jempolnya di udara.

Alwan berdecak malas, sejak awal harusnya ia tahu bahwa Zahra hanya akan menjahilinya. Maka dengan segera ia bangkit dan meninggalkan gadis itu sendirian. “Rese luuu!”

“YEHHH NGAMBEK!” seru Zahra yang dengan segera ikut berdiri dan menyusul Alwan.

“Jangan gampang ngambek ih nanti mens loh!”

“NGGAK ADA HUBUNGANNYA YA, JAR!”

Hari itu, dengan hanya mendeklarasikannya kepada Zahra, Alwan resmi merelakan Gia. Sebab sejak saat ia melihat betapa marahnya Haris ketika mendengar seseorang merendahkan Gia, Alwan tersadar akan satu hal. Bahwa ada seseorang yang rela menerjang apapun, ada seseorang yang rela mengesampingkan dirinya sendiri demi seorang Anggia ketimbang dirinya yang hanya mampu mengepalkan tangannya dan menahan langkah kakinya sebab terlalu takut akan risiko yang akan diterima.

Alwan tersadar akan satu hal, bahwa ada seseorang yang lebih sanggup melindungi Anggia dibanding dirinya sendiri. Dan melepaskan Gia dengan seseorang yang selalu bisa mengusahakan penjagaan terbaik untuknya, adalah sesuatu yang paling tidak bisa Alwan lakukan.

Hari ini adalah hari yang cukup menyiksa bagi X MIPA 2, pasalnya mereka harus berolahraga dengan pengambilan nilai lari mengelilingi komplek sekolah yang menguras tenaga habis-habisan. Bahkan Gia harus tertinggal di belakang lantaran tak sanggup mengejar Zahra yang memang lebih kuat fisiknya ketimbang dirinya. Saat Zahra menawarkan untuk menemaninya, Gia menolak. Gadis itu mempersilakan Zahra untuk lari lebih dulu dan meninggalkannya agar tidak mempengaruhi nilai teman sebangkunya itu. Dan Gia memilih untuk berlari semampunya seraya sesekali mengistirahatkan kakinya dengan berjalan santai dan mengatur napasnya.

Biasanya, Gia pun termasuk kuat untuk berlari. Namun hari ini entah mengapa kondisi fisiknya rasanya kurang mumpuni. Akhirnya gadis itu memilih untuk mengalah dan tidak memaksakan, menghindari hal-hal yang tidak diinginkan terjadi.

Alwan dan Zahra menjadi dua orang pertama yang sampai di sekolah. Sebab keduanya memang tak henti-hentinya bersaing sepanjang jalan. Ketika Zahra beristirahat, Alwan memilih untuk melalui gadis itu. Dan ketika Alwan lengah, Zahra melaju secepat kilat untuk mendahului pemuda itu.

Keduanya kemudian menghampiri Pak Edo, sang guru olahraga untuk melapor agar waktu mereka tercatat dan nilai dapat dituliskan. Baik Alwan maupun Zahra sama-sama terengah dan bercucuran keringat. Wajah keduanya pun sama merahnya dengan kepiting rebus.

“Pak, saya duluan dong, Pakk! Zahra Aaliyah,” ucap Zahra.

“Enak aja! Saya duluan, Pak! Alwan Anggara!” serobot Alwan.

“Ya ilahhh ribut banget berdua, ini gue tulis sama nilainya nih 90 dua-duanya!” sahut Pak Edo menengahi. Setelah itu kemudian Alwan dan Zahra berjalan gontai menuju pinggir lapangan untuk meluruskan kaki dan beristirahat.

Kedua muda-mudi itu kini bersandar kepada sebuah taman kecil di pinggir lapangan. Kemudian sama-sama menenggak air putih yang mereka bawa dari kelas. Botol Alwan kosong lebih dulu sebab pemuda itu meneguknya habis dalam sekali tenggakan. Pemuda itu kemudian menjadikan botol plastiknya sebagai mainan, diketuk-ketukkannya ke lapangan hingga menimbulkan suara yang cukup mengganggu bagi Zahra.

“Berisik tau nggak?” ucap Zahra disertai delikan tidak suka. Alwan menoleh kemudian tersenyum jahil. Pemuda berbadan kekar nan tinggi itu malah iseng, semakin mengetuk-ngetukkan botolnya ke tanah dengan iringan fanchant ala-ala pendukung tim sepak bola Indonesia.

Kelakuannya itu tentu saja segera mendapat respon kemarahan dari Zahra. “Gue gebbbug lo ya?!” ancam Zahra, gadis itu sudah dengan siap mengangkat botol minumnya di udara sebagai alat untuk memukul Alwan tepat di keningnya.

Pemuda itu berlindung di balik kedua tangannya sendiri, “Ampun, ampun!”

“Lo melupakan nasib primadona lo yang masih gue simpan baik-baik, kah, Wan?” canda Zahra.

“Oh iya anjrit!” ucap Alwan seraya menoleh cepat. Setelahnya ia meraih tangan Zahra untuk disalami. “Maafin aku, yah!”

“IH KERINGET LU INII KENA TANGAN GUE!!”

Mendengar semua cerita Hanum, Haris sama sekali tak berkutik. Pemuda itu bahkan sama sekali tak memiliki balasan apapun yang bisa ia keluarkan. Satu-satunya yang bisa Haris lakukan adalah membentangkan tangannya lebar-lebar, dan menawarkan Hanum sebuah pelukan paling hangat yang bisa ia berikan.

Dengan segera gadis itu menyeka air matanya dan menghambur ke dalam pelukan sang kakak. Hanum membasahi pipinya sendiri, serta kaus putih berlengan panjang milik Haris dengan air matanya yang semakin deras.

Tangan kanan Haris terangkat mengusap pucuk kepala Hanum guna memberi gadis itu sedikit ketenangan. “Kakak minta maaf, maaf karena udah bikin kamu jadi ngerasa kayak gini. I'm proud of you, selalu. Nggak cuma hari ini, tapi dari dulu, sampe besok dan seterusnya juga. Makasih ya Hanum, udah nemenin Kak Haris terus dari dulu sampe sekarang. Thank you for being such a perfect partner so far,” ucap Haris tulus.

“Baikan ya, Num?” tanya Haris. Dan setelah Hanum menjawabnya dengan sebuah anggukan, maka barulah Haris bisa bernapas lega. Setelahnya ia pun mengeratkan pelukannya dan menyandarkan kepalanya pada kepala adiknya itu.

“Satu lagi, Kakak nggak bakal ninggalin kamu kayak Papa,” ucap Haris.

Hening, Hanum masih diam dalam pelukan Haris. Hingga tiba-tiba gadis itu bersuara.

“Laper, Kak.”

“Lu merusak suasana sumpah,” balas Haris, masih dalam posisi yang sama yaitu memeluk Hanum.

“Laper sumpah. Aku tuh dari tadi nungguin Kakak mau makan, eh lu malah cabut,” balas Hanum lagi.

Hanum kemudian menjadi orang pertama yang melepas pelukan mereka. Kini keduanya duduk berhadapan. “Keluar aja yuk? Jalan-jalan, jalan kaki tapi. Sekalian nyari makan,” tawar Haris.

Hanum menggeleng cepat, “Mager ah. Emang kalo kakiku pegel Kakak mau gendong?”

“Mau.”

“Halah, ngibul!”

“Yeeee, dibilangin orang tua nggak percaya!”

“Ya udah, beneran ya?! Kalo pegel gendong! Kalo boong nanti bulu kakinya aku cabut!”

“Iya!”


Haris berjalan dengan langkah yang ia usahakan mati-matian agar tetap sejajar dengan langkah Hanum. Keduanya kini tengah berjalan memutari komplek rumah dan berencana membeli makanan apapun yang pertama kali mereka temukan. Pemuda itu memasukkan kedua tangannya ke dalam saku hoodie berwarna pink yang ia kenakan, pakaian yang paling sering mendapat kritikan dari Hanum. Katanya, laki-laki kok pake warna pink. Dan setelahnya Haris akan berargumen bahwa memakai baju berwarna merah muda tak akan serta-merta menjadikannya seorang perempuan.

Di sebelahnya, Hanum pun memasukkan kedua tangannya ke dalam saku hoodie kuning kesukaannya. Keduanya berjalan berdampingan tanpa ada satupun yang bersuara.

“Kita kayak Spongebob sama Patrick, Kak, kuning sama pink,” ucap Hanum tiba-tiba.

Haris menunduk, melihat warna bajunya sendiri dan baju milik Hanum. “Iya ya? Kocak.”

“Nggak apa-apa, berarti kita best friend kayak Spongebob sama Patrick,” balas Hanum.

“Nggak mau ah gue mau jadi Mr. Crab aja, banyak duit,” sahut Haris.

Hanum mendelik, “Pantesan pelit!”

Haris sontak menoleh dan membulatkan matanya, “Gue nggak pelit ya! Buktinya sekarang lo berjalan dengan kaki lo mencari makanan yang akan gue bayar pake duit gue, Mayzhura Hanum!”

“Lu perhitungan banget, Kak, sumpah!”

“Manusia emang harus perhitungan, egee. Amal lu aja nanti diitung, kan?”

“NGGAK GITU!” balas Hanum. Setelahnya Haris terkekeh dan hening kembali menyelimuti keduanya.

Hanya terdengar embusan angin malam dan gesekan alas kaki yang bertemu dengan aspal jalanan—berasal dari Haris dan Hanum yang berjalan berdampingan dengan damai. Diam-diam Haris bersyukur dalam hatinya sebab konflik antara dirinya dan Hanum berhasil diselesaikan tanpa harus menunggu pergantian hari. Haris pun bersyukur sebab akhirnya Hanum dapat mengeluarkan segala unek-uneknya dan membuat Haris mengerti perasaannya.

Keduanya masih diam, sampai ketika Hanum kembali memulai percakapan. “I don't like it, Kak “

Haris menoleh seraya mengangkat sebelah alisnya bingung, belum paham akan konteks pembicaraan yang dimulai Hanum.

“Apa?” tanyanya.

Hanum menghela napasnya sebelum melanjutkan bicaranya. “I don't like it when people always chattering about being first child. First child this, first child that. Do you know that being the middle one sucks too? Terus juga di luar sana mungkin ada anak bungsu yang merasa hidupnya nggak se-dimanja itu. *No hate, tho, i just don't like it.”

“Kenapa?”

“Menurut aku semua anak punya bebannya masing-masing. Yang mereka pendem sendiri dan nggak pernah diceritain ke siapapun termasuk orang tua atau saudara kandungnya. Pikiran dan perasaan manusia tuh dalem banget nggak sih, Kak? Pasti ada aja deh yang nggak terjangkau bahkan sama orang terdekatnya sekalipun,” Hanum mulai berceloteh. Saat-saat seperti ini, Haris tahu dirinya harus berperan sebagai pendegar. Karena ketika Hanum mulai mengeluarkan pikiran-pikirannya, gadis itu tak akan berhenti. Haris tak keberatan, pemuda itu menyukainya. Menarik menurutnya mendengarkan pendapat-pendapat yang keluar dari mulut Hanum yang merupakan hasil renungannya sendiri, tak jarang pula Haris merasa bangga melihat betapa dewasa adiknya sehingga dapat berpikir sedalam itu.

“Gimana ya bilangnya, pokoknya tuh setiap anak pasti punya masalahnya masing-masing. Nggak cuma anak pertama, tengah, atau bungsu. Semua. Aku yakin nggak ada juga kok anak yang mau nunjukin kesedihannya di depan orang tuanya. Pasti kita semua berusaha kuat di depan mereka sebagaimana mereka berusaha kuat di depan kita juga, kan?” ujar Hanum lagi. Haris mengangguk-angguk dengan seulas senyuman tipis di wajahnya, “Setuju.”

“Yang aku pikirin adalah, kenapa ya orang-orang tuh seakan-akan seneng banget nyiptain persaingan di keluarganya sendiri. Anak pertama yang paling capek lah, anak tengah nggak ngapa-ngapain lah, anak bungsu selalu dimanja lah. Belum lagi perbandingan antara anak perempuan sama anak laki-laki yang sering juga jadi bikin konflik saudara gitu. Kayak—ngapain sih, begitu?” ucap Hanum kian menggebu-gebu. Haris tebak, ini adalah gumpalan dendamnya terhadap salah satu oknum di keluarga besarnya ketika kumpul keluarga yang sudah terjadi entah kapan.

“Terus menurut kamu harusnya gimana?” tanya Haris.

“Ya—duhhh!” ucap Hanum frustrasi. Haris hanya tertawa melihat Hanum. Pemuda itu tahu, kalau sudah begitu tandanya sudah banyak yang ingin gadis itu lontarkan namun Hanum tak tahu harus mengeluarkan yang mana.

Setelahnya Hanum menghela napasnya, menenangkan diri karena menyadari bahwa dirinya sudah terlalu menggebu-gebu. Setelah merasa lebih tenang, Hanum menggendikkan bahunya. “I don't know, i just think that siblings have to stick together. Saling mendukung, bukan saling memukul mundur.”

Haris tersenyum bangga, melihat betapa dewasanya Hanum saat ini. Benar juga, sudah lama rupanya mereka tak menghabiskan waktu berdua. Hingga rasanya Haris melewatkan banyak hal soal Hanum. Apakah Hanym menyukai seseorang? Apakah Hanum memiliki kesulitan dalam menjadi seorang ketua ekskul di sekolahnya? Apakah Hanum pernah menangis meraung-raung lagi karena harus remedial? Ah, bahkan Haris tidak menyadari bahwa sekarang tinggi Hanum sudah mencapai lehernya.

“Setuju. Semoga kita bertiga kayak gitu ya?” jawab Haris pada akhirnya. Membuat Hanum akhirnya tersenyum seraya mengangguk. Puas. Gadis itu sudah puas dan lega sebab isi kepalanya berhasil ditumpahkan pada wadah yang tepat.

Kemudian keduanya tetap melanjutkan langkahnya. Rupanya jalan-jalan malam begini bukan keputusan yang buruk. Haris dan Hanum kembali diam. Hingga akhirnya Haris teringat akan sesuatu, yang membuatnya pada akhirnya memulai percakapan. “Eh, kamu kenapa di sekolah?”

Hanum sontak menoleh ketika mendengar Haris bicara padanya. “Ah, itu. Yaa, di sekolah ada ulangan harian. IPA. Temenku ini emang duduknya deket aku, nggak sebangku cuma dia di sebelah barisanku. Terus aku yakin banget dia nyontek aku, cuma aku nggak berasa gitu, Kak. Dia mulus banget deh, nyonteknya. Terus pas udah selesai memang dia ngumpulin duluan, jadi itu yang bikin guruku marahnya sama aku pas tau jawaban kita tuh sama persis,” jelas Hanum.

Haris menyimak cerita Hanum. Kemudian seraya meneruskan langkahnya, pemuda itu memikirkan cara untuk mengeluarkan adiknya dari masalah. Ketika secercah ide muncul di kepalanya, Haris berbalik badan secara tiba-tiba. Membuat Hanum terkejut dan menghentikan langkahnya.

Rematch,” ucap Haris.

“Hah?”

“Minta ulangan lagi. Hubungin guru kamu, temuin, terus minta ulangan lagi. Tapi kamu sama dia aja. Bilang sama guru kamu, kalo kamu beneran nggak nyontek. Bilang kalo kamu siap semisal guru kamu mau ngeluangin waktu untuk ngasih ulangan lagi untuk kamu sama temen kamu itu walaupun kalo soalnya diganti,” jawab Haris. “Kalo kamu belajar dan beneran nggak nyontek, pasti bisa. Terus temen kamu, kalo emang dia beneran nyontek pasti dia akan ketar-ketir denger kamu ngomong kayak gitu.”

Tak ada jawaban. Hanum hanya menatap Haris dalam diam tanpa menanggapi ucapannya. Selang beberapa detik, gadis itu tersenyum puas, “I always knew that i could count on you, Kak.”

Kini, giliran Hanum yang teringat akan sesuatu. “Oh iya, Kak—”

Haris meresponnya dengan mengangkat sebelah alisnya, mengisyaratkan Hanum agar melanjutkan kalimatnya. Gadis itu menggeleng sebelum melanjutkan kalimatnya. “Nevermind, i just wanna tell you, kalo Kakak nggak pernah mengecewakan siapapun. Dan Kakak juga nggak pernah mengacaukan apapun. Well—at least, sejauh ini. I'm still proud of my one and only brother.

Hanum terkekeh geli sebelum akhirnya kembali bicara. “Always have been and always will be,” ucapnya, mengulangi kalimat yang sebelumnya Haris lontarkan kepadanya. Sekon berikutnya keduanya tergelak bersama. Sudah cukup momen manis antara kakak-beradik ini. Haris dan Hanum sudah merasa geli karena sudah terlalu banyak menyatakan kata-kata manis untuk satu sama lain. Entah apa yang terjadi dengan hari ini, yang jelas—bagi Haris—terasa cukup magis hingga dapat membuat dirinya dan Hanum yang biasanya saling beradu mulut dan saling menjahili malah berperilaku manis seperti ini.

“Lu nyogok gue, kan?” canda Haris

“Lu merusak suasana, Kak, sumpah!”

“Lu lebih merusak suasana, Num!”

“Lu, Kak!”

“Lu! Gue tinggal lu!”

“DUH CAPEK NIH PEGEL, GENDONG BISA KALI KAN TADI UDAH JANJI MAU GENDONG,” ucap Hanum dibuat-buat. “Maaaana ya yang tadi bilangnya mau gendong kalo kaki aku pegeeeuuull?”

Haris berdecak sebal, ia memutar matanya malas sebelum akhirnya berjongkok di depan Hanum agar gadis itu dapat naik ke punggungnya. “Buru, naek!”

Seraya memekik girang, Hanum pun menaiki punggung sang kakak dan Haris menggendongnya.

“Ih, seru ya! Kakak tinggi banget deh aku baru sadar,” ucap Hanum.

“Seru seru pala lu! Berat banget ini kayak ngangkat karung beras,” canda Haris, yang kemudian mendapat pukulan hebat di pundaknya.

“Kak,” panggil Hanum.

“Masih tau diri lu manggil gue setelah memukul gue?”

“DRAMA BANGET!”

“Kalo gue nggak kasian sama Mama, lo gue ceburin di got situ deh, Num,” balas Haris seraya menunjuk sebuah selokan dengan dagunya.

“Kan, jahat!”

Haris pada akhirnya tergelak, “Kenapa?”

You kok keren banget bisa diskors?” tanya Hanum.

“Keren dari mana?! Jangan macem-macem kamu! Jangan ikutin jejak Kakak yang ini, yang lain aja! Jangan sampe diskors, enak aja!”

“YA ENGGAK, LAH! Tapi keren aja, aku pikir nggak bakal ada orang yang sebandel itu sampe diskors ehehehe rupanya Kakakku sendiri jadi fakta yang mematahkan pikiranku,” balas Hanum. Haris tak menanggapi, pemuda itu hanya menggelengkan kepalanya.

“Num,” panggil Haris memecah keheningan yang sudah hampir kembali mendominasi.

“Apah?”

“Mau jalan-jalan sama gue nggak?” tanya Haris.

“Mau dong!!! Kapannn??? Besok ya, pulang sekolah?”

“Nggak usah pulang sekolah,” ucap Haris membuat Hanum mengernyit. “Besok nggak usah sekolah aja, gue yang izinin ke Mama. Pagi-pagi kita jalan.”

Hanum tak langsung merespons, gadis itu diam sejenak sebelum akhirnya—

“YEEEEEEEUUUU!! Baru aja bilang jangan ngikutin jejak Kakak diskors ini malah ngajarin bolos!” balas Hanum seraya lagi-lagi, memukul pundak Haris keras-keras.

Haris meringis, “Lu—makan apa sih sakit banget pukulan lu!! Anak debus lu ya?”

“Enak aja!”

“Mau nggak besok?” tanga Haris sekali lagi.

“Mau.”

“YEUUUUUUUU, MAEMUNAH!” Haris menjawab seraya dengan sengaja membungkukkan dirinya ke depan hingga membuat Hanum hampir terjatuh.

“MANA ADA MAEMUNAH SIH ORANG MAYZHURA HANUM! KAKAK JANGAN GITU IH NANTI AKU JATOH!!!!!!!”

Haris tak peduli, ia hanya tertawa sepuasnya meski Hanum mencengkeram kedua pundaknya erat. Entah menjadi semerah apa kedua pundaknya esok hari sebab dianiaya oleh adiknya sendiri, Haris memilih membiarkannya. Kalaupun ada luka, Haris akan dengan segera mengadukannya pada Mama.

Hari itu terasa panjang baik bagi Haris dan Hanum. Namun, setelah perpecahan yang nyaris terjadi di antara keduanya, Haris dan Hanum bersyukur hari itu berakhir dengan baik. Dan malam ini, meninggalkan kesan yang begitu dalam bagi dua anak yang sama hebat dan membanggakan. Dua anak yang selama ini selalu berdampingan, anak lelaki dan perempuan pertama dalam keluarga kecilnya, Muhammad Haris dan Mayzhura Hanum.

Mendengar semua cerita Hanum, Haris sama sekali tak berkutik. Pemuda itu bahkan sama sekali tak memiliki balasan apapun yang bisa ia keluarkan. Satu-satunya yang bisa Haris lakukan adalah membentangkan tangannya lebar-lebar, dan menawarkan Hanum sebuah pelukan paling hangat yang bisa ia berikan.

Dengan segera gadis itu menyeka air matanya dan menghambur ke dalam pelukan sang kakak. Hanum membasahi pipinya sendiri, serta kaus putih berlengan panjang milik Haris dengan air matanya yang semakin deras.

Tangan kanan Haris terangkat mengusap pucuk kepala Hanum guna memberi gadis itu sedikit ketenangan. “Kakak minta maaf, maaf karena udah bikin kamu jadi ngerasa kayak gini. I'm proud of you, selalu. Nggak cuma hari ini, tapi dari dulu, sampe besok dan seterusnya juga. Makasih ya Hanum, udah nemenin Kak Haris terus dari dulu sampe sekarang. Thank you for being such a perfect partner so far,” ucap Haris tulus.

“Baikan ya, Num?” tanya Haris. Dan setelah Hanum menjawabnya dengan sebuah anggukan, maka barulah Haris bisa bernapas lega. Setelahnya ia pun mengeratkan pelukannya dan menyandarkan kepalanya pada kepala adiknya itu.

“Satu lagi, Kakak nggak bakal ninggalin kamu kayak Papa,” ucap Haris.

Hening, Hanum masih diam dalam pelukan Haris. Hingga tiba-tiba gadis itu bersuara.

“Laper, Kak.”

“Lu merusak suasana sumpah,” balas Haris, masih dalam posisi yang sama yaitu memeluk Hanum.

“Laper sumpah. Aku tuh dari tadi nungguin Kakak mau makan, eh lu malah cabut,” balas Hanum lagi.

Hanum kemudian menjadi orang pertama yang melepas pelukan mereka. Kini keduanya duduk berhadapan. “Keluar aja yuk? Jalan-jalan, jalan kaki tapi. Sekalian nyari makan,” tawar Haris.

Hanum menggeleng cepat, “Mager ah. Emang kalo kakiku pegel Kakak mau gendong?”

“Mau.”

“Halah, ngibul!”

“Yeeee, dibilangin orang tua nggak percaya!”

“Ya udah, beneran ya?! Kalo pegel gendong! Kalo boong nanti bulu kakinya aku cabut!”

“Iya!”


Haris berjalan dengan langkah yang ia usahakan mati-matian agar tetap sejajar dengan langkah Hanum. Keduanya kini tengah berjalan memutari komplek rumah dan berencana membeli makanan apapun yang pertama kali mereka temukan. Pemuda itu memasukkan kedua tangannya ke dalam saku hoodie berwarna pink yang ia kenakan, pakaian yang paling sering mendapat kritikan dari Hanum. Katanya, laki-laki kok pake warna pink. Dan setelahnya Haris akan berargumen bahwa memakai baju berwarna merah muda tak akan serta-merta menjadikannya seorang perempuan.

Di sebelahnya, Hanum pun memasukkan kedua tangannya ke dalam saku hoodie kuning kesukaannya. Keduanya berjalan berdampingan tanpa ada satupun yang bersuara.

“Kita kayak Spongebob sama Patrick, Kak, kuning sama pink,” ucap Hanum tiba-tiba.

Haris menunduk, melihat warna bajunya sendiri dan baju milik Hanum. “Iya ya? Kocak.”

“Nggak apa-apa, berarti kita best friend kayak Spongebob sama Patrick,” balas Hanum.

“Nggak mau ah gue mau jadi Mr. Crab aja, banyak duit,” sahut Haris.

Hanum mendelik, “Pantesan pelit!”

Haris sontak menoleh dan membulatkan matanya, “Gue nggak pelit ya! Buktinya sekarang lo berjalan dengan kaki lo mencari makanan yang akan gue bayar pake duit gue, Mayzhura Hanum!”

“Lu perhitungan banget, Kak, sumpah!”

“Manusia emang harus perhitungan, egee. Amal lu aja nanti diitung, kan?”

“NGGAK GITU!” balas Hanum. Setelahnya Haris terkekeh dan hening kembali menyelimuti keduanya.

Hanya terdengar embusan angin malam dan gesekan alas kaki yang bertemu dengan aspal jalanan—berasal dari Haris dan Hanum yang berjalan berdampingan dengan damai. Diam-diam Haris bersyukur dalam hatinya sebab konflik antara dirinya dan Hanum berhasil diselesaikan tanpa harus menunggu pergantian hari. Haris pun bersyukur sebab akhirnya Hanum dapat mengeluarkan segala unek-uneknya dan membuat Haris mengerti perasaannya.

Keduanya masih diam, sampai ketika Hanum kembali memulai percakapan. “I don't like it, Kak “

Haris menoleh seraya mengangkat sebelah alisnya bingung, belum paham akan konteks pembicaraan yang dimulai Hanum.

“Apa?” tanyanya.

Hanum menghela napasnya sebelum melanjutkan bicaranya. “I don't like it when people always chattering about being first child. First child this, first child that. Do you know that being the middle one sucks too? Terus juga di luar sana mungkin ada anak bungsu yang merasa hidupnya nggak se-dimanja itu. *No hate, tho, i just don't like it.”

“Kenapa?”

“Menurut aku semua anak punya bebannya masing-masing. Yang mereka pendem sendiri dan nggak pernah diceritain ke siapapun termasuk orang tua atau saudara kandungnya. Pikiran dan perasaan manusia tuh dalem banget nggak sih, Kak? Pasti ada aja deh yang nggak terjangkau bahkan sama orang terdekatnya sekalipun,” Hanum mulai berceloteh. Saat-saat seperti ini, Haris tahu dirinya harus berperan sebagai pendegar. Karena ketika Hanum mulai mengeluarkan pikiran-pikirannya, gadis itu tak akan berhenti. Haris tak keberatan, pemuda itu menyukainya. Menarik menurutnya mendengarkan pendapat-pendapat yang keluar dari mulut Hanum yang merupakan hasil renungannya sendiri, tak jarang pula Haris merasa bangga melihat betapa dewasa adiknya sehingga dapat berpikir sedalam itu.

“Gimana ya bilangnya, pokoknya tuh setiap anak pasti punya masalahnya masing-masing. Nggak cuma anak pertama, tengah, atau bungsu. Semua. Aku yakin nggak ada juga kok anak yang mau nunjukin kesedihannya di depan orang tuanya. Pasti kita semua berusaha kuat di depan mereka sebagaimana mereka berusaha kuat di depan kita juga, kan?” ujar Hanum lagi. Haris mengangguk-angguk dengan seulas senyuman tipis di wajahnya, “Setuju.”

“Yang aku pikirin adalah, kenapa ya orang-orang tuh seakan-akan seneng banget nyiptain persaingan di keluarganya sendiri. Anak pertama yang paling capek lah, anak tengah nggak ngapa-ngapain lah, anak bungsu selalu dimanja lah. Belum lagi perbandingan antara anak perempuan sama anak laki-laki yang sering juga jadi bikin konflik saudara gitu. Kayak—ngapain sih, begitu?” ucap Hanum kian menggebu-gebu. Haris tebak, ini adalah gumpalan dendamnya terhadap salah satu oknum di keluarga besarnya ketika kumpul keluarga yang sudah terjadi entah kapan.

“Terus menurut kamu harusnya gimana?” tanya Haris.

“Ya—duhhh!” ucap Hanum frustrasi. Haris hanya tertawa melihat Hanum. Pemuda itu tahu, kalau sudah begitu tandanya sudah banyak yang ingin gadis itu lontarkan namun Hanum tak tahu harus mengeluarkan yang mana.

Setelahnya Hanum menghela napasnya, menenangkan diri karena menyadari bahwa dirinya sudah terlalu menggebu-gebu. Setelah merasa lebih tenang, Hanum menggendikkan bahunya. “I don't know, i just think that siblings have to stick together. Saling mendukung, bukan saling memukul mundur.”

Haris tersenyum bangga, melihat betapa dewasanya Hanum saat ini. Benar juga, sudah lama rupanya mereka tak menghabiskan waktu berdua. Hingga rasanya Haris melewatkan banyak hal soal Hanum. Apakah Hanym menyukai seseorang? Apakah Hanum memiliki kesulitan dalam menjadi seorang ketua ekskul di sekolahnya? Apakah Hanum pernah menangis meraung-raung lagi karena harus remedial? Ah, bahkan Haris tidak menyadari bahwa sekarang tinggi Hanum sudah mencapai lehernya.

“Setuju. Semoga kita bertiga kayak gitu ya?” jawab Haris pada akhirnya. Membuat Hanum akhirnya tersenyum seraya mengangguk. Puas. Gadis itu sudah puas dan lega sebab isi kepalanya berhasil ditumpahkan pada wadah yang tepat.

Kemudian keduanya tetap melanjutkan langkahnya. Rupanya jalan-jalan malam begini bukan keputusan yang buruk. Haris dan Hanum kembali diam. Hingga akhirnya Haris teringat akan sesuatu, yang membuatnya pada akhirnya memulai percakapan. “Eh, kamu kenapa di sekolah?”

Hanum sontak menoleh ketika mendengar Haris bicara padanya. “Ah, itu. Yaa, di sekolah ada ulangan harian. IPA. Temenku ini emang duduknya deket aku, nggak sebangku cuma dia di sebelah barisanku. Terus aku yakin banget dia nyontek aku, cuma aku nggak berasa gitu, Kak. Dia mulus banget deh, nyonteknya. Terus pas udah selesai memang dia ngumpulin duluan, jadi itu yang bikin guruku marahnya sama aku pas tau jawaban kita tuh sama persis,” jelas Hanum.

Haris menyimak cerita Hanum. Kemudian seraya meneruskan langkahnya, pemuda itu memikirkan cara untuk mengeluarkan adiknya dari masalah. Ketika secercah ide muncul di kepalanya, Haris berbalik badan secara tiba-tiba. Membuat Hanum terkejut dan menghentikan langkahnya.

Rematch,” ucap Haris.

“Hah?”

“Minta ulangan lagi. Hubungin guru kamu, temuin, terus minta ulangan lagi. Tapi kamu sama dia aja. Bilang sama guru kamu, kalo kamu beneran nggak nyontek. Bilang kalo kamu siap semisal guru kamu mau ngeluangin waktu untuk ngasih ulangan lagi untuk kamu sama temen kamu itu walaupun kalo soalnya diganti,” jawab Haris. “Kalo kamu belajar dan beneran nggak nyontek, pasti bisa. Terus temen kamu, kalo emang dia beneran nyontek pasti dia akan ketar-ketir denger kamu ngomong kayak gitu.”

Tak ada jawaban. Hanum hanya menatap Haris dalam diam tanpa menanggapi ucapannya. Selang beberapa detik, gadis itu tersenyum puas, “I always knew that i could count on you, Kak.”

Kini, giliran Hanum yang teringat akan sesuatu. “Oh iya, Kak—”

Haris meresponnya dengan mengangkat sebelah alisnya, mengisyaratkan Hanum agar melanjutkan kalimatnya. Gadis itu menggeleng sebelum melanjutkan kalimatnya. “Nevermind, i just wanna tell you, kalo Kakak nggak pernah mengecewakan siapapun. Dan Kakak juga nggak pernah mengacaukan apapun. Well—at least, sejauh ini. I'm still proud of my one and only brother.

Hanum terkekeh geli sebelum akhirnya kembali bicara. “Always have been and always will be,” ucapnya, mengulangi kalimat yang sebelumnya Haris lontarkan kepadanya. Sekon berikutnya keduanya tergelak bersama. Sudah cukup momen manis antara kakak-beradik ini. Haris dan Hanum sudah merasa geli karena sudah terlalu banyak menyatakan kata-kata manis untuk satu sama lain. Entah apa yang terjadi dengan hari ini, yang jelas—bagi Haris—terasa cukup magis hingga dapat membuat dirinya dan Hanum yang biasanya saling beradu mulut dan saling menjahili malah berperilaku manis seperti ini.

“Lu nyogok gue, kan?” canda Haris

“Lu merusak suasana, Kak, sumpah!”

“Lu lebih merusak suasana, Num!”

“Lu, Kak!”

“Lu! Gue tinggal lu!”

“DUH CAPEK NIH PEGEL, GENDONG BISA KALI KAN TADI UDAH JANJI MAU GENDONG,” ucap Hanum dibuat-buat. “Maaaana ya yang tadi bilangnya mau gendong kalo kaki aku pegeeeuuull?”

Haris berdecak sebal, ia memutar matanya malas sebelum akhirnya berjongkok di depan Hanum agar gadis itu dapat naik ke punggungnya. “Buru, naek!”

Seraya memekik girang, Hanum pun menaiki punggung sang kakak dan Haris menggendongnya.

“Ih, seru ya! Kakak tinggi banget deh aku baru sadar,” ucap Hanum.

“Seru seru pala lu! Berat banget ini kayak ngangkat karung beras,” canda Haris, yang kemudian mendapat pukulan hebat di pundaknya.

“Kak,” panggil Hanum.

“Masih tau diri lu manggil gue setelah memukul gue?”

“DRAMA BANGET!”

“Kalo gue nggak kasian sama Mama, lo gue ceburin di got situ deh, Num,” balas Haris seraya menunjuk sebuah selokan dengan dagunya.

“Kan, jahat!”

Haris pada akhirnya tergelak, “Kenapa?”

You kok keren banget bisa diskors?” tanya Hanum.

“Keren dari mana?! Jangan macem-macem kamu! Jangan ikutin jejak Kakak yang ini, yang lain aja! Jangan sampe diskors, enak aja!”

“YA ENGGAK, LAH! Tapi keren aja, aku pikir nggak bakal ada orang yang sebandel itu sampe diskors ehehehe rupanya Kakakku sendiri jadi fakta yang mematahkan pikiranku,” balas Hanum. Haris tak menanggapi, pemuda itu hanya menggelengkan kepalanya.

“Num,” panggil Haris memecah keheningan yang sudah hampir kembali mendominasi.

“Apah?”

“Mau jalan-jalan sama gue nggak?” tanya Haris.

“Mau dong!!! Kapannn??? Besok ya, pulang sekolah?”

“Nggak usah pulang sekolah,” ucap Haris membuat Hanum mengernyit. “Besok nggak usah sekolah aja, gue yang izinin ke Mama. Pagi-pagi kita jalan.”

Hanum tak langsung merespons, gadis itu diam sejenak sebelum akhirnya—

“YEEEEEEEUUUU!! Baru aja bilang jangan ngikutin jejak Kakak diskors ini malah ngajarin bolos!” balas Hanum seraya lagi-lagi, memukul pundak Haris keras-keras.

Haris meringis, “Lu—makan apa sih sakit banget pukulan lu!! Anak debus lu ya?”

“Enak aja!”

“Mau nggak besok?” tanga Haris sekali lagi.

“Mau.”

“YEUUUUUUUU, MAEMUNAH!” Haris menjawab seraya dengan sengaja membungkukkan dirinya ke depan hingga membuat Hanum hampir terjatuh.

“MANA ADA MAEMUNAH SIH ORANG MAYZHURA HANUM! KAKAK JANGAN GITU IH NANTI AKU JATOH!!!!!!!”

Sudah pukul setengah delapan malam dan sudah lima belas menit Haris mondar-mandir di depan pintu kamar Hanum. Haris tahu ia harus bicara dengan adiknya dan tentunya meminta maaf. Namun pemuda itu ragu, entah mengapa rasanya ia takut untuk bicara pada adiknya sendiri. Alhasil, sedari tadi Haris hanya maju-mundur menjauhi pintu kamar Hanum sebelum kemudian kembali mendekatinya. Berkali-kali Haris menggigit kukunya sendiri, menepis rasa takutnya yang tak kunjung sirna seraya sesekali menampar dirinya sendiri ketika salah mengucap dialog yang ia latih berkali-kali untuk dibicarakan dengan Hanum.

Lelah dengan kelakuannya sendiri, Haris akhirnya menghela napasnya. Ini terlalu berlebihan, lagipula dirinya bukan akan memasuki rumah hantu. Akhirnya, dengan menyebut nama yang mahakuasa, Haris akhirnya mengetuk pintu.

Tok, tok, tok!

“Hanum,” panggilnya.

Tok, tok, tok!

“Boleh masuk, nggak? Ngobrol yuk?” Tepat setelah menyelesaikan ucapannya, Haris menggigit kukunya. Bersiap untuk menerima respon dari Hanum.

Satu menit, satu setengah menit, gadis itu tak kunjung menyahut. Haris akhirnya kembali mengetuk pintu. “Num? Tidur apa enggak? Kakak boleh masuk nggak?”

“Hanum.. Kakak udah lima belas menit di sini, nih,” ucap Haris pasrah. Namun masih tak ada jawaban. Haris menyerah, pria itu menempelkan keningnya di pintu kamar Hanum, menjadikannya tumpuan untuk seluruh tubuhnya. Pegal di kakinya mulai terasa akibat berdiri terlalu lama.

Haris mengetuk-ngetukkan jarinya di sana, berharap sang pemilik kamar akan iba dan membukakannya pintu untuk kemudian bicara dengannya. Namun sepertinya itu hanya akan terjadi di dalam khayalannya.

Iseng, Haris meraih kenop pintu berwarna keemasan di hadapannya. Beruntung, pria itu membulatkan matanya senang ketika mendapati pintu kamar Hanum tidak dikunci sebelum pada akhirnya mendengus sebal. Tau gini mah dari tadi aja gue masuk, nggak usah repot tak tok tak tok! batin Haris.

Haris melangkah penuh hati-hati ke dalam kamar bernuansa lilac milik Hanum. Dalam hati ia berdoa agar adiknya itu tak semakin marah padanya. Ketika memasuki kamar Hanum, yang ia temukan adalah Hanum sudah berdiri menghadap pintu sembari melipat kedua tangannya di depan dada. Gadis itu menatap tak minat pada Haris dengan mata sembab, Haris yakin Hanum menangis hebat sebab kedua matanya sangat bengkak.

Haris masih cengar-cengir, bukannya tidak merasa bersalah. Hanya saja ia berusaha untuk membuat situasi di antara keduanya tak begitu kaku. “Hai, adikku,” sapa Haris jahil. Kemudian ia berniat untuk menduduki kasur Hanum yang dengan segera mendapat pelototan dari sang pemilik kamar.

“Siapa yang suruh duduk?” ucap Hanum tegas. Membuat Haris auto berdiri kembali dan menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.

“Ini kamar aku, jangan seenaknya!” ucap Hanum lagi. “Main duduk-duduk aja!”

Haris tidak langsung menjawab, pemuda itu hanya berdiri dengan pose canggung dan kepala yang tertunduk khas seseorang yang sedang di-ospek kakak kelasnya. “Maaf.”

“Ngapain ke sini-sini?” tanya Hanum.

Haris mendongak, memandangi Hanum dengan tatapan ragu. “Ini—ini boleh gerak nggak, nih?” tanya Haris.

Hanum berdecak sebal, “Serah.”

“Kamu belom makan, ya?” tanya Haris.

“Nggak usah basa-basi deh, ngomong aja mau ngapain,” jawab Hanum sewot.

Haris menghela napasnya. Ia memaklumi sikap Hanum, sebab ini murni kesalahannya. Haris pun tahu, Hanum pasti sudah memendam sangat banyak hingga segala unek-uneknya itu menjadi sebuah bom waktu yang hanya menunggu saat untuk meledak. Dan hari ini-lah saatnya.

“Sebentar,” ucap Haris. Hanum mengernyit ketika melihat sang kakak justru berlari keluar kamarnya alih-alih menjawab pertanyaannya. Selang beberapa menit, Haris kembali dengan membawa sebuah mahkota mainan di tangannya.

Pemuda itu menyodorkannya ke hadapan Hanum, membuat sudut bibir gadis itu berkedut lantaran melihat sebuah benda familiar yang dulu memenuhi masa kecilnya. “Ini bukannya—”

Haris mengangguk sebelum Hanum sempat menyelesaikan kalimatnya. “Mahkota hadiah kamu menang lomba fashion show pas TK,” ucap Haris.

Hanum mengulas sebuah senyum tipis, sudut bibirnya melengkung ke arah berlawanan menghapus raut wajahnya yang sedari tadi ditekuk. “Kakak simpen?”

“Iya.”

“Buat apa?”

“Dulu Kakak simpen karena ikut bangga sama kamu yang akhirnya berani tampil. Menang lagi,” ucap Haris. “Sekarang kayaknya bisa buat ngingetin ke kamu—”

“Kalo aku princess Kakak juga gitu maksudnya?” tebak Hanum. Dan dengan sebuah senyuman tipis di wajahnya, Haris mengangguk pelan.

Always have been and always will be,” ucap Haris.

Hanum tak punya pilihan lain selain menahan senyumannya agar tak mengembang lebih lebar. Ia harus mempertahankan harga diri yang sudah ia bangun tinggi-tinggi di hadapan sang kakak. Pokoknya hari ini konsepnya marah sama Kak Haris! pikirnya.

“Boleh ngobrol, nggak?” tanya Haris. Meminta izin untuk meluruskan kesalahpahaman, meminta maaf, serta menyelesaikan konflik di antara keduanya. Di hadapannya, Hanum hanya mengangguk.

“Maaf banget, boleh duduk nggak? Pegel banget SUMPAH,” ucap Haris lagi.

“Ya udah duduk—JANGAN DI KASUR AKU! Di karpet situ!”

“Perasaan lo masuk kamar gue main tengkurep-tengkurep aja di kasur gue kenapa gue duduk doang nggak boleh?” ucap Haris ngedumel.

“Ya, kalo nggak suka keluar aja,” balas Hanum.

“Iya, iya, maaf.” Pada akhirnya Haris mengalah dan mendudukkan diri di atas karpet bulu berwarna putih.

“Aduhh, ini geli banget, Num! Ngapain dah lu pake karpet bulu-bulu begini? Ini bulu apa lagi, bulu domba apa bulu babi nih?” Haris masih komplain. Kemudian Hanum hanya menatapnya malas dan kembali mengulang perkataannya.

“Kalo nggak suka, keluar.”

“Siapa nggak suka? Suka, suka banget gila gue bisa guling-guling nih di sini,” balas Haris.

“Lawak banget, Kakak buruan DEHHHHH! Basa-basi tuh bukan kamu banget, please!”

Haris otomatis meneguk ludahnya sendiri. Setelahnya ia berdeham, membersihkan tenggorokannya sebelum ia harus berbicara panjang lebar. Seraya bersila, Haris menatap Hanum yang kini duduk di atas kursi untuk meja belajarnya. Hening, keduanya sama-sama menantikan ada yang bicara lebih dulu. Namun Hanum tak ingin membuat Haris tergesa-gesa. Hanum membiarkan Haris untuk mempersiapkan dirinya untuk mengungkapkan apapun yang ada di pikirannya.

Selang beberapa detik, suara bariton yang sangat ia kenali itu akhirnya terdengar dengan mengucapkan satu kata. “Maaf.”

“Maaf karena udah bikin kamu ngerasa nggak dianggap di rumah ini. Maaf karena udah bikin kamu sampe mikir kayak tadi. Maaf karena udah bikin kamu ngerasain ketidakadilan di rumah ini,” ujar Haris lagi.

Hanum tersenyum tipis sebelum akhirnya mendengus untuk kesekian kalinya. “I just don't get it, Kak. Kenapa di kebanyakan keluarga, selalu keliatan seakan-akan cuma anak pertama aja yang boleh dimengerti kalo mereka punya beban atau keluhan. Kenapa di kebanyakan keluarga, selalu keliatan seakan-akan cuma anak bungsu aja yang boleh jadi kesayangan keluarga. Then how about the middle ones?

Haris menatap Hanum lekat, dan dengan matanya sendiri ia menangkap dengan jelas tersimpan kesedihan yang Hanum pancarkan melalui kilat matanya.

“Anak tengah tuh kayak—invisible, Kak. Aku capek. Setiap ketemu temen-temen Mama, yang pasti aku denger adalah 'Oh ini anaknya yang pertama ya? Hebat, pasti selalu jagain adiknya, ya? Kuat-kuat yaa, berat pasti punya dua adik perempuan.' habis itu pasti larinya ke Haura, 'Oh ini yang paling kecil, aduh lucunya. Pasti paling disayang kakak-kakaknya ya?' habis itu selesai.”

“Nggak pernah tuh aku denger kalo aku juga hebat karena sering bantu kakakku jagain adikku, nggak pernah tuh aku denger kalo aku juga pasti paling disayang kakakku,” keluh Hanum. Dapat Haris lihat mata gadis itu kembali berkaca-kaca, turut membuat hatinya sakit.

Detik itu, dalam benaknya Haris menyadari bahwa selama ini rupanya Haris terlalu memikirkan diri sendiri. Selama ini ia selalu menganggap bahwa dirinya-lah yang paling lelah. Paling memiliki tanggung jawab, paling memiliki beban berat di kedua pundaknya, paling memiliki tugas yang berat.

Namun hari itu matanya seolah terbuka. Memangnya siapa yang membantunya melewati semua tanggung jawab dan bebannya selama bertahun-tahun ia hidup? Jawabannya adalah Hanum.

Gadis itu selalu bisa diandalkan, bahkan selalu melakukan pekerjaan lebih cekatan dibanding Haris. Sejak dulu, jika Haura menangis, Hanum adalah orang yang paling gesit menemukan cara untuk menenangkannya ketika Mama sedang tak ada di rumah. Hanum yang menjadi partner-nya dalam melakukan segala hal, dalam mengatasi setiap masalah dalam keluarga. Hanum adalah orang pertama yang membelanya dan memberi tatapan ganas ketika ada anggota keluarga yang berani-berani menyepelekan Haris.

Maka Haris tersadar bahwa ia tidak memiliki beban dan tanggung jawab seberat itu. Hanya saja posisinya yang sering disebut-sebut sebagai anak sulung, membuat semua bebannya semakin nyata sebab tekanan dari kanan dan kiri. Haris tersadar bahwa dirinya pun tidak pantas dihadiahi begitu banyak ucapan bangga yang hanya tertuju pada dirinya seorang. Sebab rupanya, Haris hanya berhasil melakukan semua tugasnya karena ada bantuan dari Hanum.

Namun benar apa yang dikatakan oleh Hanum. Hanya anak pertama yang mendapat segala pengakuan dan ucapan bangga dari orang-orang, hanya anak pertama yang mendapat validasi atas keluhan-keluhannya. Terbukti dalam hidup Haris ketika hampir semua orang berterima kasih padanya tanpa sedikitpun mengucapkannya pada Hanum—yang justru melakukan tugasnya jauh lebih baik dari dirinya.

“Boleh kan kalo aku masih mau manja-manja sama Kakak dan Mama kayak Haura terlepas dari berapa umurku? Boleh kan kalo aku juga mau dianggap hebat kayak Kakak? Boleh kan kalo aku juga mau ngerasa dihargai dan dianggap ada? Boleh kan kalo aku juga mau nangis kayak Haura dan berharap kalian semua dateng buru-buru nyamperin aku? Boleh kan kalo aku juga mau diprioritaskan? Boleh kan, Kak?” ujar Hanum bertubi-tubi. Haris masih menatapnya lekat. Ah, rupanya adiknya sudah menangis entah sejak kapan.

“Aku—nggak benci sama Haura. Aku sayang sama dia. Aku juga nggak mau iri sama dia. Aku ngerti kondisi keluarga kita saat dia lahir itu kacau, makanya aku pun berusaha ikut berperan memenuhi afeksi untuk Haura supaya dia tau kalo keluarganya sayang sama dia tanpa pernah berkurang sedikitpun. Tapi lama-lama kok aku capek ya, Kak? Seakan-akan dunia ini berputar cuma mengelilingi dia. Lama-lama aku jadi berpikir, sebenernya aku ini dianggap apa sih? Kenapa rasanya aku udah ngelakuin yang terbaik tapi rasanya aku tetep nggak terlihat? Karena aku bukan anak sulung? Karena aku bukan anak bungsu?” ucap Hanum lagi.

Haris kemudian tersadar lagi akan satu hal, harusnya tidak begini. Sama seperti ketika Hanum menatapnya lurus saat gadis itu menaiki anak tangga, begitulah seharusnya posisi keduanya. Sejajar. Tak ada anak sulung maupun tengah. Seharusnya Hanum tak perlu merasa bahwa ia terjebak di tengah-tengah.

Haris adalah anak pertama. Tak ada yang mendebatnya. Namun Haris pun tersadar bahwa Hanum, juga adalah seorang anak pertama. Haris adalah seorang anak laki-laki pertama, dan Hanum adalah seorang anak perempuan pertama. Sejak dulu keduanya bahu-membahu mengupayakan kenyamanan serta kebahagiaan bagi keluarga kecilnya, Mama dan Haura. Sejak dulu Hanum memiliki peran yang sama besarnya dengan milik Haris. Seharusnya seluruh dunia tahu, bahwa Hanum yang seringkali tidak terlihat sebab merupakan seorang anak tengah itu juga merupakan adik yang menggemaskan bagi Haris seperti yang selalu dielu-elukan pada Haura sang anak bungsu.

Seharusnya, seluruh dunia tahu bahwa Hanum yang seringkali tidak terlihat sebab merupakan anak tengah itu sama hebatnya dan sama membanggakannya dengan yang selalu dielu-elukan pada Haris, sang anak sulung.

Don't. Call. Yourself. My brother! Cause you know what? Right now i don't feel like i have one.

DEG!

Haris merasakan tubuhnya sedikit terhuyung saking terkejutnya. Sudah keterlaluan kah dirinya? Sebab selama ini, semarah apapun Hanum terhadapnya, gadis itu sama sekali tak pernah menghapus keberadaan Haris dalam hidupnya.

Amarah Haris mendadak sirna, kini justru pemuda itu merasakan sedikit sesak dalam dadanya. Haris mengerjapkan matanya, menatap Hanum yang masih tak gencar memberikannya tatapan tajam. Sejujurnya Haris ingin bicara, namun rasanya terlalu banyak kalimat yang saling bertubrukan di kepalanya, meminta untuk dikeluarkan. Alhasil, diam adalah yang pemuda itu bisa lakukan.

Hanum membuang napasnya kasar, kemudian mengambil napas dalam satu tarikan. Bahunya naik-turun sebab empunya sedang emosi dan seakan lupa caranya bernapas dengan lembut. Hanum mempersiapkan diri untuk menumpahkan segala isi kepalanya.

“Aku capek, Kak!” Hanum mulai bicara, sementara Haris di hadapannya kini mempersiapkan diri untuk mendengarkan Hanum dengan segala protesnya. “Aku capek karena lama-lama rasanya aku nggak terlihat di rumah ini.”

“Kakak sama Mama tuh cuma peduli sama Haura, tau nggak?” ujar Hanum. Gadis itu kemudian mendecih seraya tertawa kecil sebelum melanjutkan perkataannya. “Di rumah ini tuh kayak— Mama ratunya, YOU'RE the charming prince, HAURA is the princess the people adore so much, WHILE ME—? Upik abu.”

Well, SORRY if i annoyed you today, tapi iya, Kak, aku juga punya masalah di sekolah. Aku minta jemput Kakak tuh bukan karena aku nggak bisa pulang sendiri, Kak. Tapi karena aku butuh Kakak,” ucap Hanum. Dan di hadapannya, Haris semakin tak berkutik. Perasaan Haris kian berkecamuk, dadanya kini dipenuhi rasa bersalah yang kian membesar. Haris pikir ia sudah mengacaukan cukup banyak, namun rupanya hari ini ia mengacaukan lebih banyak lagi.

Tatapan Hanum kini melunak seiring helaan napas terdengar darinya. Gadis itu mengusap wajahnya kasar dan Haris merasakan hatinya semakin remuk melihatnya. Haris benar-benar menyesal dan mengetahui kesalahannya. Maka ia memilih diam dan merutuki dirinya sendiri. Apapun masalah Hanum, Haris tahu pasti masalah itu cukup besar hingga membuat Hanum merasa membutuhkannya. Dan ia mengecewakan Hanum karena tak datang menemuinya hanya karena alasan egois.

“Kertas ulanganku ternyata disalin persis sama temen sekelasku, tapi dia nuduh aku yang nyontek padahal aku nggak tau sama sekali soal ini. Guruku marah-marahin aku in front of the whole class dan temenku playing victim,” ujar Hanum lagi. “I was frustrated enough that i needed you to come,” ucap Hanum seraya terisak.

“Tapi Kakak nggak bisa, nggak masalah. Sumpah demi Tuhan aku nggak marah soal itu. I completely understand that you're not feeling okay, aku ngerti Kakak stress, Kakak lagi feeling down, dan merasa mengecewakan banyak orang. Aku ngerti, Kak. Makanya aku nggak mau ganggu Kakak banyak-banyak, tapi apa yang aku liat? Kakak rela jauh-jauh ke butik Mama cuma buat nemenin Haura—tapi nggak buat aku?”

“Setiap kali Haura butuh Kakak, Kakak pasti sigap banget. Haura mau beli ini, Kakak cepet banget beliinnya. Haura mau itu, Kakak cepet banget nurutinnya. Haura minta temenin, Kakak cepet banget nyamperinnya. Kakak rela lari-lari secepat kilat cuma buat Haura, Kakak rela panas-panasan keluar rumah juga cuma buat Haura. Sementara kalo buat aku? Aku minta temenin, minta anterin, minta jemput, aku mau ini, mau itu, semua harus aku lakuin sendiri.”

Sana jalan sendiri! Sana beli sendiri! Sendiri aja ngapain di temenin? Udah gede,” Hanum menirukan ucapan Haris yang pernah dilontarkan padanya. Membuat kejadian-kejadian itu kembali terputar di dalam kepala Haris. Kini pemuda itu menunduk, Haris benar-benar merasa gagal sekarang.

“Kenapa sih Haura terus? Aku juga adeknya Kak Haris, aku juga mau jalan-jalan berdua sama Kakak, ditemenin sama Kakak, dijemput sama Kakak. Bukan cuma Haura, Kak, aku juga..” Hanum menumpahkan sebagian besar keluhannya bersamaan dengan tangisannya. Ia kini mengusap air matanya dan menuntaskan tangisnya sebelum akhirnya kembali berucap. “I miss you, Kak, I miss the time when we spend time together, when it's just—the two of us.

Haris sontak mendongak, kembali menatap Hanum yang bisa ia rasakan menatap kecewa ke arahnya. Ingatannya membawa pemuda itu kembali ketika Hanum masih seusia Haura. Keduanya seringkali menghabiskan waktu bersama sebagaimana Haris dan Hanum menghabiskan waktu dengan Haura. Haris dengan setia menemani adiknya bermain rumah-rumahan, bermain sepeda, berkemah di halaman rumah dengan api yang berasal dari kompor kecil—yang membuat Haris pada akhirnya harus kena omel Mama dan Papa sebab bermain kompor tanpa pengawasan.

Benar juga, semenjak kedatangan Haura ke dunia dan seiring bertambah dewasanya Hanum, Haris sudah jarang menghabiskan waktu bersamanya. Selain sebab jadwal kesibukan keduanya yang cukup berbeda, kalau diingat-ingat Haris memang seringkali menolak permintaan Hanum. Gadis itu memang sering marah, sering mengatainya jahat sebab tak mau meluangkan waktu untuknya. Namun Haris tak pernah mengira bahwa itu adalah hal yang serius, mengingat keduanya memang sering beradu mulut.

Hanum kembali melihat ke arah Haris. Dan kali ini Haris menangkap kebingungan dan sedikit ketakutan dari kilatan mata Hanum. “Are you just gonna leave me? Like Papa did?”

DEG!

Entah ini kali ke berapa, ucapan Hanum kembali menghujam dada Haris. Pria itu menggigit bibir dan Haris merasakan netranya mulai berkaca-kaca. Tenggorokannya tercekat hingga tak sedikit suara pun berhasil keluar dari pita suaranya. Haris menciut. Haris menciut sebab tak punya perlawanan.

Selama ini yang Haris takutkan hanyalah dua hal. Pertama, hari ketika Haura akan menanyakan soal Papa. Dan kedua, hari ketika ia harus bertemu kembali dengan Papa. Maka Haris mempersiapkan diri sejak jauh-jauh hari. Haris mempersiapkan perlawanan dan benteng bagi dirinya sendiri agar tak kalah dalam situasi. Namun untuk hari ini, Haris kalah telak.

Yang Haris lakukan hanyalah diam seraya berharap seluruh keberaniannya kembali untuk mengatakan pada adiknya bahwa ia tidak akan pernah meninggalkan Hanum, maupun Haura. Haris hanya diam seraya berharap seluruh sarafnya berfungsi untuk mengirimkan sinyal kepada pusatnya untuk membuatnya setidaknya dapat bergerak untuk menggelengkan kepalanya.

Namun Haris tetap diam. Pemuda itu hanya mematung hingga Hanum kembali menyadarkannya.

Gadis itu terkekeh miris, seakan menertawakan nasibnya sendiri. “Seems like a yes to me.

Sekon berikutnya, Hanum berlari masuk ke kamarnya dan segera mengunci pintu. Sementara Haris, pemuda itu pada akhirnya terduduk di lantai. Mengusap wajahnya kasar dan menyugar rambutnya frustrasi. Bahkan tanpa ia sadari, Haris benar-benar mengacaukan dan mengecewakan semuanya. Semuanya.

Haris tak tahu apa yang dialami Hanum di sekolah, yang pria itu tahu adalah Hanum pulang dengan amarah yang membara. Adiknya itu datang tanpa salam dengan membanting pintu hingga membuat Haris yang sedang melamun di sofa memikirkan nasib dan kesalahannya itu terlonjak, terkejut setengah mati.

“Bisa nggak tutup pintunya pelan-pelan?” tegur Haris, pria itu hanya menoleh tanpa beranjak dari posisinya. Matanya menatap Hanum lelah.

“Dateng nggak pake salam, main banting-banting pintu, kakaknya dilewatin gitu aja nggak disapa. Siapa yang ngajarin begitu?” tanya Haris lagi.

Hanum pada akhirnya menyerah. Perempuan dengan rambut sebahu yang digerai bebas mengenai seragam sekolahnya itu menghela napas dan berbalik menatap sang kakak. “Sorry, okay?” ucapnya kemudian berniat pergi.

Haris mengernyit heran, tak biasanya Hanum seperti ini. Namun pemuda itu tak ambil pusing. Mungkin sedang ada masalah di sekolah, pikirnya. Dengan segera Haris mengendalikan diri, agar hal ini tak jadi sumber keributan bagi keduanya.

“Sepatumu lepas dulu, Num,” tegur Haris lagi. “Mau dibawa tidur itu sepatunya?”

Hanum lagi-lagi menghela napas, kemudian kembali mendekati pintu rumahnya guna melepas sepatu sesuai perintah sang kakak. Haris benar-benar tak habis pikir, sebab baru kali ini ia melihat Hanum semarah sekarang. Rasanya jika keduanya hidup dalam sebuah film kartun, maka sudah keluar asap dari kedua telinga Hanum dengan wajah yang semerah kepiting rebus.

Haris sesekali meringis melihat Hanum 'menyiksa' sepatunya sendiri. Gadis itu melepas tali sepatunya dengan beringas, kemudian marah sendiri ketika tali sepatunya malah semakin kencang terikat. Dan sebelum seisi rumahnya yang hancur, Haris mendekati Hanum. “Sini, sini, Kakak lepasin,” ucapnya lembut.

Hanum hanya diam ketika Haris membukakan sepatunya dengan lembut. Gadis itu memilih memalingkan wajah, menyembunyikan kedua matanya yang sudah berair. “Kenapa sih? Mau cerita nggak?” tanya Haris sembari masih membukakan sebelah sepatu Hanum.

Hanum hanya menggeleng, ia hanya ingin sendiri saat ini. Hanum hanya butuh lari ke kamarnya sekarang, ia tak membutuhkan siapapun untuk mengajaknya bicara termasuk Haris.

Haris pun diam setelah Hanum menanggapi ucapannya. Setelahnya Hanum bergegas pergi menuju kamarnya. Meninggalkan Haris sendiri di sana yang pada akhirnya membuat pemuda itu kembali merenung di sofa ruang tamu.


Rupanya sudah sore ketika Hanum memutuskan untuk keluar kamar dan turun ke bawah. Maksud hatinya adalah mengambil camilan atau makanan apapun yang dapat mengisi perut kosongnya. Amarahnya hari itu sepertinya terlalu besar hingga hampir seluruh tenaganya habis.

Hanum akhirnya mengambil sehelai roti tawar dan mengoleskannya dengan selai cokelat kesukaannya. Gadis itu kemudian mengambil keju dari kulkas dan memarutnya di atas roti guna menambah kelezatan roti tawar buatannya.

Sembari mengigit rotinya, Hanum menyadari bahwa kondisi rumah begitu sepi ketimbang saat ia pulang sekolah tadi. Gadis itu pun baru menyadari bahwa sang kakak tak lagi duduk di sofa ruang tamu. Hanum celingak-celinguk, pandangannya diedarkan pada seisi rumah.

“Kaaaak? Udah makan belom? Mau roti nggaaaaak?” tanya Hanum. Tak ada jawaban, membuat gadis itu kembali memanggil Haris.

“Kak? Kak Hareeeeeeess?” ujarnya. “Di mana sih? Tidur kali ya?”

Masih tak ada jawaban, Hanum pun menggendikkan bahu. Diam-diam ia bersyukur sebab tak ada yang mengganggu. Selama Haris dirumahkan, pria itu kerap kali merepotkan Hanum. Menyuruhnya membuatkannya makanan, membelikan sesuatu di warung, mengambilkan minum, menggantikan baju Haura, menemani Haura menonton hingga adiknya itu tertidur, dan sebagainya. Belum lagi, Haris suka sekali mengoper perintah Mama yang ditujukan untuknya kepada Hanum.

“Num, tolong bikinin es teh manis dong!”

“Num, jagain dulu adeknya ya? Kakak ngantuk.”

“Num, tolong beliin mie sama telor dong di warung.”

“Hanum, hehe. Tolong ambilin minum dong, cantik!”

“Haura sama Kak Hanum dulu ya?”

“Num, jangan lupa gantiin baju Haura dulu nanti kalo pulang.”

“Tolong bikinin susu buat Haura dong, Num. Ngantuk kayaknya nih dia.”

“Num, kata Mama jangan lupa nanti telepon tukang cuci AC ya, udah pada nggak dingin nih, AC kamar.”

Mumet. Seringkali Hanum mumet mendengar semua suruhan yang tertuju padanya. Entah kenapa selalu padanya. Tak ada kah orang lain lagi di rumah ini yang bisa diandalkan?

Kalau boleh jujur, Hanum seringkali ingin protes. Namun sisi lain hatinya mengurungkan niatnya dengan mencoba mengerti posisi sang kakak. Biarlah ia membantunya sedikit, mungkin Kak Haris-nya perlu waktu untuk sendiri. Mungkin Kak Haris-nya perlu waktu untuk kembali bangkit dari hari-hari yang berat ini.

Hanum sangat tahu seberapa besar semangat Haris untuk pendidikannya. Dan gadis itu yakin bahwa diskors merupakan hukuman yang sangat tidak bisa diterima oleh Haris. Seringkali Hanum prihatin, ia tahu Haris pasti memikul beban besar di pundaknya. Tak hanya dari keluarganya di mana ia terlahir sebagai anak pertama, tetapi juga di sekolah di mana ia dikenal sebagai anak teladan.

Maka Hanum berusaha mengerti. Meski dalam hatinya pun ia bertanya-tanya, apakah hanya anak sulung yang boleh punya beban?

Setelah Hanum menghabiskan rotinya, ia membereskan segala peralatan yang baru saja ia gunakan. Pisau roti dan piring kecil itu langsung ia letakkan di wastafel. Tak lupa Hanum pun mengikat kembali bungkusan roti tawar agar tertutup rapat. Setelahnya gadis itu berniat untuk mengecek Haris di kamarnya sebab pemuda itu tak kunjung menunjukkan eksistensinya.

Namun, baru saja Hanum melangkah menuju tangga, sebuah suara pintu terbuka membuat langkahnya terhenti.

“Assalamu'alaikum!” Hanum menoleh tatkala mendengar suara bariton satu-satunya yang pernah terdengar di rumah. Gadis itu langsung tahu, bahwa pemilik suara itu adalah Haris. Dengan segera ia menghampiri sumber suara, dilihatnya Haris baru saja pulang dengan penampilan yang cukup rapi. Membuat Hanum mengernyit, pemuda itu tak mungkin hanya dari warung atau sekadar jalan-jalan sore ketika pakaiannya serapi ini, kan?

“Dari mana, Kak? Kukira tidur tadi?” tanya Hanum.

Haris melepas sepatu ketsnya dan meletakkannya di rak sepatu. Setelahnya pemuda jangkung itu melangkah masuk dengan kaus kakinya yang belum dilepas dan merebahkan dirinya di sofa. “Dari Mama,” jawab Haris.

“Ngapain? Tadi bukannya kata Kakak, Kakak nggak mau ke mana-mana?”

Haris menghela napas lelah, “Tolong air putih dong, Num! Panas banget capek dah.”

Setelah permintaan Haris meluncur, yang pertama Hanum lakukan adalah mengeluh. Adakah di luar sana dunia yang penghuninya adalah kakak-kakak yang tidak suka menyuruh adiknya dan melakukan apapun sendiri?

Namun gadis itu tetap mengambilkan segelas air putih dingin untuk Haris sebab ia pun tak tega melihat pemuda itu bercucuran peluh. Dengan tangan kanannya, Hanum menyodorkan gelas itu ke hadapan Haris—yang kemudian langsung meneguk habis isinya.

“Makasih ya,” ucap Haris kemudian menaruh gelas itu di atas meja kecil di depannya. Setelah kembali bersandar, barulah Haris menjawab pertanyaan Hanum. “Kakak dari Mama,” ucapnya.

“Iyaaa, ngapain?”

“Haura minta ditemenin, Mama lagi sibuk banget soalnya,” balas Haris.

Detik itu, Hanum merasakan amarahnya kembali. Di mana Haris yang mengatakan tak bisa menjemputnya sebab sedang merasa tidak baik-baik saja dan tidak ingin ke manapun? Di mana Haris yang selalu menolak ke manapun ia meminta ditemani? Di mana Haris yang selalu menyuruhnya melakukan apapun sendiri? Sirna-kah semua itu ketika urusannya menyangkut soal Haura?

Hanum meremas ujung bajunya sendiri, ia benar-benar marah sekarang. Tanpa berpikir panjang, Hanum merampas bantal yang berada dipelukan Haris dan memukulkannya pada wajah sang kakak dengan keras.

“ASTAGHFIRULLAHALADZIM, APA-APAAN SIH, NUM?!” seru Haris. Pemuda yang tadinya memejamkan matanya itu mendadak terbangun kala merasakan tamparan keras sebuah bantal yang berasal dari adiknya.

Haris mengerjapkan dan mengucek matanya sebab sedikit debu dari bantal berhasil masuk ke dalam matanya. Namun, Hanum masih kesal. Gadis itu kembali memukul-mukul Haris, kali ini dengan tangan kosong yang membuat pukulannya lebih terasa sakit. Entah apa yang merasuki Hanum saat itu, yang jelas Haris hanya bisa menjadikan kedua tangannya sebagai perisai agar pukulan Hanum tak mengenai wajahnya.

“JAHAT! KAKAK JAHAT BANGET! JAHAAAATTT!!!!” seru Hanum seraya masih memberi Haris pukulan bertubi-tubi.

“Sakit, sakit! Kenapa sih?!”

“JAHAT!”

“APAAAN?” balas Haris frustrasi. Diam-diam ia menghela napas lega sebab pukulan Hanum yang sedari tadi menghujaninya itu akhirnya berhenti. Kesal, Haris jadi ikut marah-marah.

“Gue baru pulang ya, Num. Panas, gerah, CAPEK! Terus lo tiba-tiba ngajak ribut gini maksudnya apa?! Kakaknya dipukulin gitu siapa yang ngajarin?” ucap Haris keras. Satu hal yang sama sekali tak akan Haris toleransi adalah ketidaksopanan. Baik di sekolah, maupun di rumah. Dan apa yang dilakukan Hanum saat ini, sudah. Melewati. Batas.

Haris melihat Hanum yang menatapnya nyalang, wajah gadis itu memerah dan pelupuk matanya digenangi air mata yang siap turun dalam satu kedipan mata. Meskipun begitu, Haris tak berhenti bicara.

“Dari pulang sekolah ya, dari lo pulang sekolah gue udah toleransi. Dateng-dateng banting pintu, nggak ada salam, marah-marah. Sekarang lo mukul-mukul gue kayak gini. Lo kalo ada masalah di sekolah jangan dibawa-bawa ke rumah! Gue nggak tau apa-apa!” marah Haris. “Masih tau sopan santun nggak, Num? Sopan emang begini sama kakaknya?”

Hanum mulai menangis. Gadis berambut kecokelatan sebahu itu semakin marah sekaligus takut jika Haris semakin marah. Dan tanpa Haris tahu, ia berhasil mematahkan hati adiknya.

Hanum tak menjawab ucapan Haris, ia lantas bangkit dan berlari menuju kamarnya. “KALO KAKAKNYA NGOMONG TUH DENGERIN! Bukan malah kabur!” teriak Haris. Pemuda itu kini bangkit berdiri saking kesalnya.

Langkah kaki Hanum berhenti tepat pada anak tangga ketiga. Sontak gadis itu menoleh, menatap sang kakak tepat di matanya. Tatapan mereka sejajar sekarang, membuat Hanum menatap netra legam itu dengan berani. Tak ada lagi Haris yang lebih tinggi sekarang.

Dan dengan tatapan marahnya, Hanum membalas dengan suara pelan dan nada menusuk. “Don't. Call. Yourself. My brother! Cause you know what? Right now i don't feel like i have one.

Anggia memutuskan untuk menunggu Zahra di depan gerbang sekolah sebab gadis itu bilang ingin mengambil kotak makannya yang tertinggal di kolong meja. Gia menyerah untuk kembali ke kelas sebab ia merasa tenaganya sudah terkuras habis. Gadis itu memilih untuk berdiri di bawah salah satu pohon rindang yang hasilkan udara cukup sejuh sore itu. Gia menunggu seraya memainkan pasir jalanan yang berkumpul di sana. Sesekali kakinya menendang-nendang kerikil untuk membunuh bosan. Sesekali pula gadis itu tersenyum ketika orang yang ia kenali tak sengaja lewat di hadapannya.

Kini tatapannya ia sapukan pada pemandangan di sekitarnya. Sedikit terputar di ingatannya kejadian di mana Haris menghantam Gio dengan tinjunya. Di sini-lah tempatnya, di tempat yang ia pijaki saat ini. Terekam jelas di ingatannya bagaimana kala itu Gia tak henti-hentinya terkejut. Gadis itu sudah cukup terkejut melihat Gio menjadi korban kekerasan, kemudian lebih terkejut lagi ketika mengetahui Haris-lah pelakunya.

Gia tak tahu masalahnya. Yang gadis itu tahu, berurusan dengan Gio hanya akan membahayakan diri sendiri. Karenanya ketakutannya berubah menjadi kekhawatiran, dan sekarang rasanya Haris mewujudkan apa yang Gia khawatirkan.

Omong-omong soal Haris, Gia tak melihatnya hari ini. Di gerbang pagi tadi pun tak ada sosok tinggi yang biasanya menyapa Gia secara rahasia melalui gerakan alis dan senyum tipisnya. Seakan kode rahasia milik berdua yang hanya Haris dan Gia pahami. Di kantin pun Gia tak melihat Haris meski teman-teman pemuda itu berkumpul di tempat yang sama seperti biasanya. Hingga pulang sekolah pun Gia tak menemukannya.

Kalau boleh jujur, Gia penasaran. Hatinya gelisah sejak tadi. Begitu banyak pertanyaan yang memenuhi kepalanya perihal. Di mana Haris? Apakah pemuda itu baik-baik saja? Apakah sekolah sudah menetapkan keputusan untuknya? Apakah.. pemuda itu sudah dikeluarkan dari sekolah?

Gia sangat ingin mencari tahu lebih lanjut. Namun niatnya terhenti ketika suara Haris kembali menggema di telinganya. “Bisa nggak sih kamu nggak usah ikut campur?! Biar apa sih, Gi? Biar dicap pahlawan? Biar dikira perhatian? Iya?! Kamu pikir kamu siapa sih gi? Temen saya? Pacar saya? Kamu tuh bukan siapa-siapa, Gia! Nggak usah sok peduli! Mau saya diskors, kek, dikeluarin, kek, itu bukan urusan kamu!”

Bukan urusan kamu!

Rasanya Gia harus mematri lebih dalam lagi kalimat itu di dalam benaknya. Memang benar yang pemuda itu katakan. Sebesar apapun pedulinya, Gia tidak berhak untuk ikut campur. Kini kepalanya tertunduk, tendangan-tendangan kecilnya terhadap pasir jalanan pun menjadi tak bertenaga sebab sang empunya sudah tak berminat.

“Semoga Kak Haris nggak jadi dikeluarin deh..”

“Gi?” panggil seseorang. Terkejut, Gia terlonjak. Rupanya di hadapannya berdiri seorang Jauzan Narendra. Dengan cengiran khasnya, Ojan kembali bersuara. “Ngapain sendirian di sini?”

Gia menghela napas lega sebab yang mengajaknya bicara bukanlah orang yang dapat membahayakan dirinya. Setelahnya ia membalas, “Eh, Kakak. Maaf ya, kaget. Aku nunggu Jara, dia lagi balik ke kelas soalnya ada yang ketinggalan.”

Ojan terkekeh, “Oohh, kirain ngapain. Abis kayak bengong sendirian gitu sih? Gue ngeri lo dicopet makanya gue tegor.”

Gia ikut tertawa mendengar perkataan Ojan yang memang selalu di luar perkiraan, “Hehehe. Nggak bengong kok, Kak. Cuma—lagi mikir aja.”

Senyuman Ojan semakin melebar, kali ini adalah senyuman mengejek. “Mikirin Haris?”

“Hah?”

“Hah?” balas Ojan iseng.

“Apa sih, Kak? Enggak, kok!”

Kemudian Ojan hanya terkekeh membalas perkataan Gia. Setelahnya gadis itu kembali bicara. “Kakak—tumben sendirian? Biasanya sama Kak Haris?”

“TUH KAN! Mikirin Haris kan luuu?” balas Ojan membuat Gia panik. Gadis itu menggeleng cepat, “ENGGAK IHH CUMA NANYA!”

“Beneran juga nggak pa-pa, Gi. Kebaca kokkk kebacaaa,” sahut Ojan dengan nada mengejek. Setelahnya Gia hanya memalingkan wajah. Menyembunyikan semburat merah jambu yang menghiasi pipi tembamnya kala itu.

Di sebelahnya Ojan menghela napas, pemuda itu memutuskan untuk berhenti mengejek Gia.

“Haris diskors, Gi,” ucapnya tiba-tiba. Gia yang tadinya sibuk menahan malu kini sontak kembali menoleh.

Raut wajahnya jelas memancarkan keterkejutan, “Hah? Diskors, Kak? Berapa lama?”

“Seminggu. Mulai dari hari ini, tadi dia pulang.”

“Ya ampun, Kak Haris..”

“Tapi itu juga udah untung banget, Gi. Dia nggak jadi dikeluarin dari sekolah. Cuma ancaman dikeluarkan itu tetep ada. Maksudnya kalo sampe ini keulang lagi, Haris auto dikeluarin. Gitu katanya tadi,” ucap Ojan lagi.

Gia kini tak tahu harus berkata apa. Pikirannya kini berkecamuk. Rasanya banyak sekali yang ingin ia utarakan pada Ojan, banyak sekali yang ingin ia tanyakan, namun entah harus memulainya dari mana.

“Kemaren lo dimarahin Haris, ya?” tanya Ojan. Sederet kalimat yang keluar dari mulut pemuda itu lagi-lagi berhasil membuat Gia terkejut. Setelahnya gadis itu menggeleng, “Enggak, kok, Kak.”

“Masa? Haris sendiri yang bilang, kok,” ucap Ojan. Setelahnya Gia hanya diam, tak tahu harus membalas apa. “Maafin Haris ya, Gia. Dia tuh emang kalo marah kayak kesurupan gituuu, kita semua juga nggak berani deketin kalo emosinya udah meletup-letup seperti popcorn begitu.”

Gia menggeleng seraya tersenyum tipis, “Nggak kok, Kak. Salahku juga. Emang harusnya aku nggak ikut campur, apalagi sok pahlawan gitu.”

“Tapi iya dah, kenapa sih lo kayak setakut itu Haris bermasalah sama Gio?”

Gia kini menghela napasnya. Pikirannya menerawang mengingat masa lalu ketika dirinya masih di Sekolah Dasar. Kemudian gadis itu mulai bercerita.

“Dulu kakak kelasku juga pernah kena masalah sama Gio, Kak. Masalahnya mirip kayak Kak Haris. Kakak kelasku tuh lagi lewat aja, terus Gio ngatain mamanya kakak kelasku yang memang kondisi kakinya udah nggak sempurna lagi karena baru aja kecelakaan. Terus kakak kelasku marah, kakak kelasku kelas 6 waktu itu. Aku sama Gio kelas 4. Terus kakak kelasku itu akhirnya ya sama, ngehajar Gio abis-abisan. Malah lebih parah, kepalanya Gio sampe bocor karena dijedotin ke tembok,” cerita Gia. Gadis itu kemudian bergidik mengingat betapa ngerinya situasi saat itu.

“Itu parah banget sih, Kak. Aku aja merinding kalo inget-inget lagi. Gio tuh emang udah parah dari dulu, bayangin aja deh, Kak. Anak SD tapi udah berani ngatain orang tua kayak gitu dan bikin keributan sebesar itu. Akhirnya kakak kelasku dikeluarin dari sekolah karena Gio bilangnya dia cuma lagi diem aja terus tiba-tiba ditonjok. Ya, jelas aja semua orang percaya sama dia, mukanya emang innocent, selain itu juga karena kakak kelasku nggak punya kuasa untuk ngelawan sih, Kak. Aku pernah ngobrol sama dia, katanya kasusnya nggak dibawa ke ranah hukum aja udah syukur,” lanjut Gia.

“Papinya Gio tuh polisi, Kak. Jadi yang punya power bukan cuma dia aja gitu. Keluarganya emang gede banget sih power-nya. Makanya kemarin Kak Haris kena masalah sama Gio tuh, jujur aku takut banget. Gio tuh bisa ngelakuin apapun yang dia mau, Kak. Apalagi dia anak tunggal, jadi dimanja banget sama Mami Papi-nya.”

Ojan cukup terkejut mendengar penuturan Gia. Masuk akal kalau gadis itu terlihat begitu panik kala mengetahui Haris membuat Gio babak belur. Sebab Gio dan keluarganya benar-benar bisa menghancurkan hidup orang lain hanya dalam sekali jentikan jari. Dan Ojan paham, gadis di hadapannya ini begitu peduli pada sahabatnya hingga tak ingin masa depan pemuda itu hancur di tangan Gio.

“Kak Haris tuh.. udah banyak banget nolongin aku deh, Kak. Makanya kemaren aku nyamperin dia dan mau tau kejadiannya kayak gimana. Siapa tau aku bisa bantu bilang ke Maminya Gio. Maminya Gio tuh sebenernya baik banget, Kak. Cuma beliau emang nggak pernah tau kelakuan anaknya di sekolah kayak apa, karena ya itu, Gio jago banget nutupin semuanya. Jadi yang beliau tau, ya anaknya adalah anak baik-baik yang nggak pernah buat masalah di manapun. Selalu rajin, pinter, dan lain-lain. Padahal fakta di lapangannya nggak gitu,” ucap Gia lagi. “Tapi siapa yang mau ngasih tau begitu ke maminya Gio ya kan, Kak? Mana ada yang berani. Lagian nggak bakal dipercaya juga kalo bukan Gio-nya yang bilang sendiri.”

Ojan mengangguk, “Dia tuh kurang perhatian apa gimana deh, Gi?”

Gia terkekeh, “Kayaknya kebalik, Kak. Gio terlalu banyak nerima perhatian, orang tuanya selalu ngatur dia dan nyusun jadwal Gio setiap hari. Sekolah, les ini, les itu, pemotretan, dan lain-lain. Mungkin sikap-sikap Gio yang kayak gini tuh bentuk pemberontakan dia kali ya, Kak? Ya, walaupun nggak bisa dibenarkan juga, sih. Tapi yang aku liat selama aku temenan sama dia, dari dulu Gio emang selalu pengen main sama temen-temennya. Gio selalu pengen kayak anak-anak seumuran dia yang lain yang bisa main futsal sampe Magrib tanpa harus dipanggil sama Mami dan diingetin untuk les piano dan lain-lain. Gio yang biasa dikelilingin keluarganya yang strict itu mungkin ngerasa akhirnya dia bisa semena-mena di luar, makanya kayak gitu.”

Gadis itu kemudian menggeleng, mengibaskan tangannya di depan wajahnya. Mengabaikan Ojan yang masih terdiam mendengar cerita Gia tentang Gio. “Duh, kok jadi ngomongin Gio sih?”

“Ehm, tapi Kak Haris nggak apa-apa kan, Kak?” Gia kembali berucap

Ojan tersentak dari lamunannya ketika suara Gia kembali terdengar. Sejujurnya ingin menjawab bahwa pemuda itu baik-baik saja. Namun secercah ide jahil di kepalanya membuatnya mengurungkan niatnya. “Kalo itu nggak tau sih, Haris susah dihubungin gitu. Coba chat aja, Gi. Siapa tau kalo lo yang chat dibales,” jawab Ojan.

Gia lantas menggeleng lesu. Kemudian seraya tersenyum tipis gadis itu menjawab, “Enggak deh, Kak. Takut ganggu.”

Setelahnya Zahra pun kembali dan memanggil Gia dari kejauhan. Gadis itu melambai membalas panggilan Zahra. Kemudian dengan sopan ia berpamitan kepada Ojan yang masih kebingungan akan jawaban Gia.

“Kak, duluan ya!” pamit Gia. Kemudian gadis itu berlalu pergi.

Kini Haris berdiri di hadapan sang ibu setelah keduanya melipir dari banyak pasang mata yang menanti kabar untuk disebarluaskan di depan ruang BK. Haris menatap mamanya, tak ada yang bisa ia simpulkan dari raut wajah Mama yang cukup sulit diartikan saat itu.

Haris menunduk dalam, menatap kakinya yang terbalut sepatu hitam. Kemudian dengan suara pelan, pemuda itu berucap. “Maaf ya, Ma.”

Mama yang sedari tadi melihat ke sembarang arah kini memusatkan pandangannya pada Haris yang lebih tinggi darinya. Tak ada jawaban dari sang ibu, maka lantas Haris melanjutkan bicaranya.

“Maaf bikin Mama malu sampe harus dipanggil sekolah dua kali kayak gini,” ucap Haris.

Mama menghela napasnya, kemudian menggeleng seraya tersenyum tipis. Kedua tangannya terulur menangkup wajah Haris. “It's okay, Kak. Namanya juga hidup, pasti ada fase yang bikin pengen kita lupain. I got mine already, maybe it's your turn to get yours.”

Haris balas tersenyum tipis, dalam hati ia bersyukur memiliki Mama yang begitu pengertian. Namun senyumannya luntur seiring Mama menarik kembali tangannya. “Sebenernya Haris pengen ngasih tau Mama kejadian sebenernya kayak apa, tapi—”

“Nggak apa-apa, Mama tau kok Kakak nggak akan mulai duluan kalo nggak ada yang bikin kamu tersulut. I trust you, Kak,” potong Mama cepat. “Mama udah cukup lega karena kamu nggak jadi dikeluarin.”

Haris hanya mengangguk kaku membalas ucapan Mama. Setelahnya Mama kembali bicara, “Ambil dulu gih, tasnya! Mama tunggu sini.”

Setelahnya Haris beranjak pergi. Pemuda itu melangkah lesu menuju kelasnya sendiri guna mengambil tas untuk menjalankan skorsnya yang pertama kali.

Haris memutuskan untuk menegakkan kepalanya, menatap lurus, dan memasang wajah garangnya guna mengabaikan bisikan-bisikan mengenai dirinya yang kini memenuhi pendengarannya. Persetan orang lain berkata apa, toh mereka pun tak benar-benar tahu yang sebenarnya.

Pemuda itu berniat mempercepat langkahnya ketika melewati ruang BK, namun sebuah suara membuat Haris mengurungkan niatnya. Pemuda itu menoleh dan menemukan Vio yang baru saja keluar dari ruangan. “Kenapa, Kak?” tanyanya.

“Lo mau ke kelas?” tanya Vio. Seketika Haris mengangguk menjawab pertanyaan kakak kelasnya itu. “Bareng, sekalian gue mau ngomong sama lo.”

Diam-diam Haris meneguk ludahnya kasar. Raut wajahnya tak bisa menyembunyikan bahwa uratnya menegang, takut akan kena semprot oleh kakak kelas yang juga merupakan ketua OSIS-nya itu. “Kenapa, Kak?”

Sembari berjalan, Vio memulai pembicaraan. “Lo kenapa sih bisa kena masalah kayak gini?”

Haris kembali menunduk, lagi-lagi hatinya diselimuti rasa bersalah. Setelah Mama, kini ia pun membuat Vio kecewa. Rasanya hatinya yang semula memberontak mengatakan bahwa dirinya tak pantas menerima hukuman ini pun mulai luluh. Haris benar-benar mengecewakan semua orang hari ini.

“Maaf ya, Kak. Gue jadi bikin lo malu, bikin nama OSIS jelek juga. Nggak bakal gue ulangin kok, sumpah!” balas Haris.

Vio menghela napasnya, kemudian menghentikan langkahnya. “Kali ini nggak apa, tapi lain kali dipikirin lagi konsekuensi yang akan lo terima ya, Ris? Gimanapun juga lo anak OSIS. Suka nggak suka, mau nggak mau, kelakuan lo jadi cerminan sekolah. Kemaren gue ditegur Bapak, katanya kalo kelakuan anak OSIS-nya aja begini, sekolah mau dipandang gimana? Lo tau nggak? Pak Asep lebih esktrem lagi, minta lo dikeluarin dari OSIS.”

Sontak Haris menatap Vio terkejut, dadanya bagai ditimpa batu besar kala itu. Ia benar-benar tidak menyangka bahwa dampaknya akan sebesar ini. Tak ada satu kata pun yang bisa ia keluarkan, Haris hanya bisa menghela napasnya lagi dan lagi. Kemudian berharap agar tak ada lagi orang-orang yang ia kecewakan.

“Jangan gini lagi ya, Ris? Jangan bikin malu OSIS, jangan bikin malu sekolah, jangan bikin malu diri lo sendiri! Lo termasuk orang yang gue dan pembina OSIS kita percaya buat nerusin OSIS setelah gue nanti, jangan bikin kepercayaan itu ilang,” ucap Vio. Setelahnya pemuda itu menepuk-nepuk pundak Haris pelan. “Udah, sana gih ambil tas lo. Selamat liburan! Nikmatin aja dulu waktu istirahat lo,” ujarnya, kemudian Vio berlalu mendahului Haris yang masih terpaku di tempatnya.