tw // body shaming
The Least He Can Do
Agenda olahraga hari ini adalah lari mengelilingi komplek sekolah. Siapa yang sampai duluan diharuskan melapor dan tentunya akan mendapat nilai tinggi. Karena itu, Alwan dan Zahra berubah menjadi tak kenal ampun. Keduanya bersaing begitu ketat, saling mendahului agar sampai lebih cepat di sekolah. Keduanya bahkan meninggalkan Gia jauh di belakang, namun gadis itu tak ambil pusing. Gia memilih untuk berlari sesukanya, toh, Pak Edo pun tak akan setega itu untuk memberi murid-muridnya nilai merah.
Belakangan ini Gia merasakan semangatnya menurun untuk hadir di sekolah. Kalau saja Mama tidak mudah marah, Gia sudah pasti akan meminta izin untuk bolos. Entahlah, sekolah rasanya tak menarik tanpa kehadiran Kak Haris di depan gerbang setiap pukul 6.15 pagi. Segala sesuatu tentang gerbang sekolah di pagi hari rasanya kerap kali mengingatkannya dengan Haris yang seharusnya ia lupakan. Bahkan ketika Gia sengaja memperlambat waktu kedatangannya di sekolah agar tak teringat momennya bersama Haris, pemuda itu tetap saja mendominasi ingatannya. Ketika Gia nyaris terlambat, ingatannya justru memutar kejadian ketika Haris menahan gerbang untuknya agar dirinya tidak terlambat.
Pemuda bernama Muhammad Haris itu rasanya tak akan pernah membiarkan seorang Anggia Kalila terbebas dari eksistensinya sekalipun raganya tak hadir di depan mata. Andai saja Haris tahu bahwa sudah sejak lama pemuda itu menjajah hati dan benak Gia, kemudian dengan mudah menjadikannya daerah kekuasaannya.
Kembali kepada duo yang tak pernah damai, Zahra dan Alwan semakin gencar bersaing ketika mendekati gerbang sekolah. Keduanya kemudian menghampiri Pak Edo dan berebut perihal siapa yang sampai lebih dulu. Perdebatan keduanya baru selesai ketika Pak Edo menengahi dengan mengatakan bahwa keduanya mendapat nilai yang sama yaitu 90.
Alwan dan Zahra kemudian melipir, lelah berlari sekaligus lelah berdebat. Keduanya kini bersandar pada sebuah taman kecil di pinggir lapangan seraya mengipasi diri sendiri, berharap keringat-keringat jagung itu berhenti bercucuran.
“Buset buset, branwir* lu ya? Minum sekali tenggak langsung abis gitu?” ucap Zahra ketika melihat Alwan menghabiskan minumnya dalam waktu singkat. Gadis itu bahkan membelalakkan matanya.
“Aus,” balas Alwan. “Capek banget ya? Gue kira deket dah rutenya, ternyata jauh juga kalo lari gitu,” ujarnya lagi.
“Jauh lah! Lo ngerasa deket karena biasanya jalan keliling sekolah tuh naik motor, Wan,” balas Zahra yang masih terengah-engah.
“Oh iya sih, bener juga. Hadaaaah capek!”
Pemuda berbadan tinggi nan kekar pada usia muda itu membenarkan posisinya guna mendapatkan posisi wuenak agar tubuhnya bisa beristirahat dengan lebih nyaman. Hal itu membuat Alwan terlihat lebih pendek dari Zahra, kini kepala pemuda itu bersebelahan dengan pundak kiri Zahra yang juga masih bersandar pada taman kecil di pinggir lapangan.
Kini hening menyelimuti keduanya. Hanya terdengar embusan angin dan benturan bagian bawah botol dengan lapangan sekolah sebab Zahra masih berkali-kali menenggak minumannya. Balapan lari dengan Alwan rasanya adalah keputusan yang salah sebab tenaganya benar-benar terkuras habis sekarang. Bahkan perutnya terasa sakit lantaran harus berlari sehabis makan. Salahkan siapapun yang menyusun jadwal pelajaran dan menempatkan pelajaran olahraga setelah istirahat pertama. Zahra kini terkapar pasrah. Beruntung Alwan tak menyadari gelagatnya, sebab kalau sampai pemuda itu menyadarinya, maka Zahra harus repot-repot meladeni ejekan pemuda itu.
Setelah lama terdiam, Alwan kembali bersuara. “Jar,” panggilnya.
Gadis itu berjengit, “Kaget gue! Kirain tidur lo, Wan.”
“Enggak, lah!”
“Kenapa?” tanya Zahra.
“Gue mau cerita dong!” balas Alwan.
Mendegar hal itu, Zahra kembali bersemangat. “Oh iya, apa apa?”
Alwan mendelik, “Gosip aja lu kenceng! Ijo mata lu langsung ya?”
Gadis itu memukul paha Alwan keras, namun sama sekali tak memberi efek apapun pada Alwan. Pemuda itu hanya tertawa menanggapi amarah Zahra. “Kenapa nggak?! Buruan! Lo mau cerita apa sih?”
“Lo maunya gue cerita apa?” canda Alwan seraya tersenyum jahil.
Zahra tak menjawab, perempuan itu hanya mendelik tak suka ke arah Alwan dan berniat bangkit meninggalkan pemuda itu. Namun Alwan menahan pergelangan tangannya dan kembali menarik Zahra untuk duduk di sebelahnya.
“Bercanda, bercanda,” ucap Alwan seraya tertawa. Dan setelah Zahra kembali duduk di sebelahnya, Alwan mempersiapkan diri untuk bercerita. Lebih tepatnya, pemuda itu mempersiapkan hatinya.
“Lama, anjir! Kebanyakan diem lu cepirit apa gimana, sih?” tanya Zahra. Gadis itu sudah mulai lelah dengan Alwan yang terlalu banyak diam.
“Gue suka sama Gia, Jar,” ucap Alwan tiba-tiba.
Sepersekian detik, kini giliran Zahra yang terdiam. Ia memusatkan pandangannya pada Alwan yang kini menatap ke sembarang arah. Sekon berikutnya Zahra memalingkan wajahnya, ikut memandang ke sembarang arah selayaknya Alwan.
“Udah tau,” balas Zahra seraya memainkan botol minumnya.
“Hah?!”
“Gia juga udah tau, nggak seru, Wan. Skip, skip!”
Alwan berdecak, “Yang bener sih, Jar!”
“Lah beneran! Emang udah tau. Ganti, ganti. Nggak ada cerita yang lebih seru gitu?”
Alwan menghela napasnya, setelahnya ia terdiam sebelum akhirnya kembali bicara. “Tapi gue mau relain Gia sama yang lain.”
Perkataan Alwan membuat Zahra menoleh cepat, “Kenapa? Baru juga ngaku masa udah lari gitu?”
“Ada yang lebih bisa jagain Gia dibanding gue, Jar,” balas Alwan.
“Maksudnya?”
Alwan terdiam, nampak sungkan untuk melanjutkan ceritanya. Namun sekon berikutnya pemuda itu kembali menghela napasnya dan kembali bicara. “Ada alesan kenapa gue ngelaporin Gio, Jar,” ucapnya. Membuat Zahra otomatis membalikkan badannya menjadi sepenuhnya menghadap Alwan. Mendengarkan pemuda itu dengan seksama dengan seluruh rasa penasarannya.
“Sebenernya Kak Haris ngehajar Gio tanpa ampun gitu karena—Gio ngatain Gia. Kak Haris emang ada di sana pas Gio lagi nongkrong sama gengnya. Terus dia denger Gio mulai body shaming Gia, dan itu emang parah banget. Nggak pake ancang-ancang, tiba-tiba Kak Haris langsung ngehajar Gio gitu. Semua orang yang ada di sana juga kaget, kayak nggak pernah liat auranya Kak Haris yang kayak gitu sebelumnya. Gue tau—karena gue juga ada di sana, Jar,” ujar Alwan. Mendengar perkataannya, Zahra otomatis membulatkan mata.
“Lo ada di sana? Berarti lo tau detail kejadiannya kayak apa dong?!” tanya Zahra.
Alwan mengangguk, “Iya. Gue ada di sana, Jar. Gue juga denger Gio ngomong apa aja. Gue juga ikut sakit hati dan marah. Seharusnya gue negur Gio dan marahin dia karena udah berani-beraninya ngomongin temen gue kayak gitu, iya kan, Jar? Seharusnya gue nonjokin dia abis-abisan kayak yang Kak Haris lakuin karena udah berani-beraninya ngerendahin temen gue, temen kita.”
“Padahal Gia tuh temen gue yang baik banget, temen kita yang baik banget. Tapi kenapa gue nggak tergerak sama sekali ya buat belain dia ketika ada yang ngerendahin dia sampe segitunya?” Alwan masih mengeluarkan segala yang mengganjal di pikirannya, sementara Zahra masih setia menyimak. “Waktu itu gue takut, Jar. Gue mikirin kalo gue buat masalah sama Gio, pasti gue yang celaka. Ketakutan gue terbukti bener, bahkan Kak Haris aja sampe terancam dikeluarin dari sekolah. Untungnya cuma berujung di skors. Gue nyesel, Jar, kalo lo mau tau. Maksud gue, kenapa gue harus takut padahal yang dilakuin Gio itu salah dan emang seharusnya ditegur bahkan dihentikan?”
Alwan menghentikan ceritanya sejenak sebab ingatannya membawa pemuda itu kembali pada saat kejadian menggemparkan itu. Hari ketika Haris menjadi orang pertama yang berhasil membuat Gio babak belur, hari ketika Haris menjadi orang pertama yang berani melawan seorang Giovanno Sadewa.
Alwan memilih melipir sembari menghabiskan batagor yang baru saja ia beli. Pemuda itu berniat mengisi perut sebelum akhirnya pulang ke rumah. Suasana halaman depan sekolah cukup ramai kala itu, banyak tempat dipenuhi perkumpulan anak-anak SMA dengan teman-temannya entah untuk sekadar duduk-duduk dan menunggu jemputan atau untuk membahas topik yang entah apa.
Alwan tak begitu memperhatikan sekitar, namun samar-samar ia mendengar percakapan di sebuah gerombolan anak laki-laki yang lebih mendominasi ketimbang yang lain. Pemuda itu menoleh singkat, kemudian ia mengetahui bahwa gerombolan itu adalah Gio dan teman-temannya. Tak heran jika mereka mendominasi situasi saat itu. Namun Alwan tak ambil pusing, ia segera menghabiskan batagornya dan membuang plastiknya ke tempat sampah. Setelahnya pemuda itu berniat pulang.
Sekon berikutnya langkahnya terhenti ketika tak sengaja mendengar percakapan Gio yang menyebutkan nama seseorang yang ia kenali.
“Lagian lo ngapain sih, kayaknya getol banget deketin dia? Lo naksir beneran?”
“Ya, enggak. Gue deketin Gia iseng aja sih, tapi emang ada rencana gue pacarin. Cuma nggak lama-lama, sebulan dua bulan aja abis itu gue tinggal,” balas Gio.
“Maksudnya lo mau mainin dia gitu?”
Gio mengangguk-angguk yakin, “Ya iyalah! Emang ada yang mau beneran sama cewek kayak Gia gitu? Cewek kayak dia mah terlalu polos buat diajak pacaran, emang cocoknya jadi bahan iseng doang.”
Alwan mematung di tempatnya. Dalam dirinya kini penuh gejolak, Alwan merasakan darahnya berdesir hingga membuat sekujur tubuhnya memanas. Dalam benaknya pun ia berpikir, orang macam apa yang membicarakan orang lain secara terang-terangan? Dengan topik yang tidak seharusnya dibicarakan pula. Detik itu Alwan mengurungkan niatnya untuk pulang dan memilih menyimak pembicaraan Gio lebih jauh. Bagaimanapun juga, ini menyangkut soal Anggia, seseorang yang ia kenal cukup baik. Alwan harus membela Gia, kan?
“Enggak ah. Mukanya standar, biasa aja. Nggak cantik-cantik banget. Terus—sorry nih ya, badannya juga nggak enak diliat. Nggak ada lekukannya. Cewek apaan dah rata banget? Triplek?”
“Ya badannya udah lebih bagus sih dibanding dia waktu SD dulu, tapi tetep aja nggak enak diliat. Kayak nggak niat jadi cewek dah jadinya, ceking banget gitu kayak orang penyakitan,” ucap Gio lagi.
Alwan merasakan amarahnya semakin bergejolak. Pemuda itu mengepalkan tangannya erat-erat, seakan memusatkan seluruh tenaganya di sana. Alwan pun mempertajam pendegarannya guna menangkap segala omong kosong yang keluar dari mulut Gio.
“Parah lu, Gi! Emang waktu SD Gia gimana, dah?”
Gio membiarkan tawanya menyembur sebelum membalas, “PPFT! Lebih parah lagi, kayak babi aer. Gemuk banget!”
Alwan marah. Ia tidak terima Gia diolok-olok oleh laki-laki yang rasanya bahkan tak pantas disebut laki-laki. Bagi Alwan, Gio dan komplotannya lebih pantas untuk disebut sebagai seorang pecundang. Sebab figur laki-laki seharusnya hadir untuk melindungi para perempuan, bukan untuk menghancurkan harga diri mereka.
Alwan sejujurnya ingin langsung meninju wajah Gio, namun sesuatu dalam dirinya seakan menahannya. Langkahnya jadi maju-mundur. Ia terus memikirkan dampak yang akan ia terima jika tinjunya benar-benar ia layangkan pada wajah mulus nan terawat milik Gio. Masa depannya bisa hancur seketika. Namun di sisi lain, Alwan terus memikirkan bahwa ia akan merasa bersalah pada Gia jika tak menghentikan Gio dari segala omong kosongnya yang terus merendahkan gadis itu.
Alwan terus berkutat dengan peperangan antara batin dan pikirannya, hingga sebuah suara mengagetkannya. Dan ketika ia menoleh, Gio sudah tersungkur di jalanan dengan lebam pada tulang pipinya. Jantung Alwan terasa berhenti saat itu. Dengan sedikit ketakutan, Alwan mencari tahu siapa orang yang berani menjadi pahlawan kesiangan dan mempertaruhkan segalanya untuk memberi Gio pelajaran yang seharusnya ia terima sejak lama. Rupanya, orang itu adalah Haris. Setelahnya, ia memilih untuk pergi. Alwan malu, dan mengaku kalah. Sebab rasanya, dirinya pun pantas disebut sebagai pecundang.
“Wan!” panggil Zahra. Panggilan serta tepukan pelan di pundaknya yang berasal dari Zahra itu membuatnya terkejut setengah mati. “Kok malah bengong sih? Kesambet tau rasa lu!”
“Untung gue nggak jantungan, Jaaar, Jar!”
“Ya siapa suruh bengong sampe kayak gitu?!” balas Zahra. “Terus gimana nih? Lo mau lanjutin ceritanya apa enggak?”
Alwan berdeham kemudian mengangguk. Pria itu kemudian membasahi bibirnya sebelum kembali menceritakan semuanya. “Sampe mana tadi?”
“Lo mau negur Gio tapi nggak berani. Eh, tapi emangnya dia tuh ngatain apa sih?” balas Zahra.
“Ah kalo soal itu—gue juga nggak mau ngasih tau deh, Jar. Soalnya gue denger-denger temen-temennya Kak Haris waktu mereka ngobrol bertiga, katanya Kak Haris tuh nggak mau ngasih tau alesannya karena dia nggak mau nyebutin itu lagi pake mulutnya sendiri. Terus juga, dia nggak mau sampe Gia tau. Kak Haris nggak mau kalo nanti jadinya Gia malah nggak bisa percaya diri lagi gitu gara-gara omongan sampahnya Gio. Makanya, gue juga milih diem aja padahal gue tau,” balas Alwan.
Zahra tersenyum tipis, “Gue nggak nyangka Kak Haris se-thoughtful itu.”
Alwan balas mengangguk dengan seulas senyum tipis yang sama dengan milik Zahra, “Sama. Gue pikir Kak Haris orangnya malesin banget, tapi ternyata baik juga.”
“Gue minder, Jar,” ucap Alwan lagi.
“Minder? Kenapa?”
“Gue nggak sanggup kalo harus saingan sama Kak Haris. Gue nggak ada apa-apanya, Jar dibanding dia. Ngeliat Kak Haris kayak gitu, bikin gue sadar kalo ada orang yang jauh lebih sanggup ngelindungin Gia daripada gue. Kak Haris berani banget. Saat gue masih mikirin ini itu, Kak Haris udah langsung bertindak. Dia bertindak tanpa peduli konsekuensinya apa, lawannya siapa. Kak Haris hari itu seakan-akan cuma mastiin kalo Gia aman, walaupun Gia-nya nggak tau.”
Alwan yang entah sejak kapan memeluk kedua lututnya itu kini menghela napasnya untuk kesekian kali, “Makanya gue mau nyerah aja, Jar. Gia pantes dapetin Kak Haris yang rela nerjang apapun buat dia. Bukan cowok cupu kayak gue yang mau bilang suka aja nggak berani.”
Tatapan Zahra berubah menjadi sendu, ini adalah sisi baru Alwan yang rasanya baru saja terbuka setelah lama terkunci. “Duh, gue jadi nggak tau nih harus gimana.. biasanya gue liat lo nyebelin banget soalnya, Wan. Tapi.. kalo begini gimana ya? Lo sama Gia sama-sama temen gue, gue juga pengen dukung lo sama Gia, tapi gue juga pengen dukung Gia sama orang yang dia suka. Sorry ya, Wan, bukannya gue bermaksud jadi ular kepala dua atau gimana tapi—”
“Santai, gue ngerti kok. Gue juga temennya Gia—kalo gue boleh nganggep diri gue begitu. Gia—emang lebih pantes sama Kak Haris. Tapi gue nggak sesedih itu juga sih, Jar. Mungkin karena gue juga belom sedalem itu suka sama Gia kali ya? Terus juga, gue sekarang menempatkan diri sebagai temennya Gia gitu loh, Jar. Bukan sebagai orang yang juga suka sama Gia dan dengan egois mikir kalo cuma gue yang terbaik buat dia,” potong Alwan.
Pria itu kemudian terkekeh seraya menatap Zahra yang masih menatapnya iba, “Sebagai temennya pasti kita ikut seneng dong kalo Gia dapet cowok yang bener?”
Kini Zahra ikut mengulas senyum tipis sebelum akhirnya mengangguk, “Bener, sih.”
“Terus sekarang lo di pihak Kak Haris?” tanya Zahra lagi.
Alwan mengerucutkan bibirnya, “Gue di pihak yang bener, lah. Gio tuh emang bajingan banget, Jar. Gue yakin satu sekolah ini juga udah muak banget sama kelakuannya, tapi nggak ada yang berani ngelawan. Ulah Kak Haris kemaren tuh nggak cuma buat nyelamatin Gia, tau nggak? Bisa jadi gerbang buat korban-korbannya Gio buat speak up juga. Makanya gue komporin aja kemaren tuh temen-temen sekelasnya Gio. Mumpung ada momennya, ayo kita lurusin yang salah bareng-bareng. Kesempatan kayak gini nggak dateng tiap hari, kan?”
Zahra menganggukkan kepalanya, “Setuju. Waktu itu juga temen saman gue pernah sampe nangis-nangis gara-gara Gio. Ya, ulahnya yang itu. Tapi dia nggak berani lapor karena.. ya, dia tau nggak bakal ada gunanya. Akhirnya kita rame-rame cuma bisa melukin dia doang. Sejujurnya gue waktu itu nyiram dia juga ketar-ketir sih, takut didepak gue dari dunia ini.”
Alwan terkikik geli mendengar ucapan Zahra yang berlebihan, “Lebay lu! Emang bapaknya Gio yang punya dunia ini apa?”
“Ya, kali aja punya saham dikit.”
“Ngarang!” balas Alwan. “Lagian apa ya, gue juga nggak nyaman lah jadi orang yang tau kebenarannya gimana tapi diem-diem aja. Makanya selama ini gue ke BK terus, nyimak permasalahannya gimana. Ternyata bener aja dugaan gue, Gio ada aja alesannya sampe bikin Kak Haris keliatan kayak yang sepenuhnya bersalah. Gue nggak suka dah orang kayak dia menang mulu, makanya gue laporin balik. Gue ceritain ke Bu Juju kejadian sebenernya gimana, gue nggak bilang Gio ngomong apa sih, gue cuma bilang kalo yang diomongin Gio itu udah nggak seharusnya diucapin ke perempuan dan Kak Haris cuma berusaha menghentikan itu. Abis itu temen-temen sekelasnya pada speak up, nggak cuma yang perempuan. Yang laki-laki juga tuh, yang sering dijadiin kacung-kacungnya.”
“Terus kelanjutannya gimana?” tanya Zahra.
“Sekolah lagi proses, makanya acara LDKS kita juga ditunda dulu,” sahut Alwan.
“Lo gimana? Lega?” tanya Zahra lagi.
Pemuda di hadapannya tak langsung menjawab, Alwan memilih memalingkan wajah. Memusatkan pandangannya pada sembarang arah. Setelahnya ia mengangguk, “Lega. Kalo kita ngelakuin sesuatu yang bener emang selalu bikin lega, kan?”
Zahra hanya tersenyum menanggapi ucapan Alwan yang sepenuhnya ia setujui. Sekon berikutnya Alwan menunduk, “Gue ngelakuin ini juga sebagai permintaan maaf gue ke Gia karena waktu itu gagal ikut ngelindungin dia. Seenggaknya, istilahnya, ngebersihin namanya Kak Haris tuh—the least that i can do.“
“Iya, Wan. Udah keren, tinggal cari aja cewek yang mau sama lo,” balas Zahra seraya menepuk-nepuk pundak Alwan pelan.
“Gue lagi serius anj—”
“Iya gue juga serius, lo keren banget, Wan. Mama lo pasti bangga,” timpal Zahra seraya terkekeh dan mengacungkan kedua jempolnya di udara.
Alwan berdecak malas, sejak awal harusnya ia tahu bahwa Zahra hanya akan menjahilinya. Maka dengan segera ia bangkit dan meninggalkan gadis itu sendirian. “Rese luuu!”
“YEHHH NGAMBEK!” seru Zahra yang dengan segera ikut berdiri dan menyusul Alwan.
“Jangan gampang ngambek ih nanti mens loh!”
“NGGAK ADA HUBUNGANNYA YA, JAR!”
Hari itu, dengan hanya mendeklarasikannya kepada Zahra, Alwan resmi merelakan Gia. Sebab sejak saat ia melihat betapa marahnya Haris ketika mendengar seseorang merendahkan Gia, Alwan tersadar akan satu hal. Bahwa ada seseorang yang rela menerjang apapun, ada seseorang yang rela mengesampingkan dirinya sendiri demi seorang Anggia ketimbang dirinya yang hanya mampu mengepalkan tangannya dan menahan langkah kakinya sebab terlalu takut akan risiko yang akan diterima.
Alwan tersadar akan satu hal, bahwa ada seseorang yang lebih sanggup melindungi Anggia dibanding dirinya sendiri. Dan melepaskan Gia dengan seseorang yang selalu bisa mengusahakan penjagaan terbaik untuknya, adalah sesuatu yang paling tidak bisa Alwan lakukan.