Stuck In The Middle (4)

Mendengar semua cerita Hanum, Haris sama sekali tak berkutik. Pemuda itu bahkan sama sekali tak memiliki balasan apapun yang bisa ia keluarkan. Satu-satunya yang bisa Haris lakukan adalah membentangkan tangannya lebar-lebar, dan menawarkan Hanum sebuah pelukan paling hangat yang bisa ia berikan.

Dengan segera gadis itu menyeka air matanya dan menghambur ke dalam pelukan sang kakak. Hanum membasahi pipinya sendiri, serta kaus putih berlengan panjang milik Haris dengan air matanya yang semakin deras.

Tangan kanan Haris terangkat mengusap pucuk kepala Hanum guna memberi gadis itu sedikit ketenangan. “Kakak minta maaf, maaf karena udah bikin kamu jadi ngerasa kayak gini. I'm proud of you, selalu. Nggak cuma hari ini, tapi dari dulu, sampe besok dan seterusnya juga. Makasih ya Hanum, udah nemenin Kak Haris terus dari dulu sampe sekarang. Thank you for being such a perfect partner so far,” ucap Haris tulus.

“Baikan ya, Num?” tanya Haris. Dan setelah Hanum menjawabnya dengan sebuah anggukan, maka barulah Haris bisa bernapas lega. Setelahnya ia pun mengeratkan pelukannya dan menyandarkan kepalanya pada kepala adiknya itu.

“Satu lagi, Kakak nggak bakal ninggalin kamu kayak Papa,” ucap Haris.

Hening, Hanum masih diam dalam pelukan Haris. Hingga tiba-tiba gadis itu bersuara.

“Laper, Kak.”

“Lu merusak suasana sumpah,” balas Haris, masih dalam posisi yang sama yaitu memeluk Hanum.

“Laper sumpah. Aku tuh dari tadi nungguin Kakak mau makan, eh lu malah cabut,” balas Hanum lagi.

Hanum kemudian menjadi orang pertama yang melepas pelukan mereka. Kini keduanya duduk berhadapan. “Keluar aja yuk? Jalan-jalan, jalan kaki tapi. Sekalian nyari makan,” tawar Haris.

Hanum menggeleng cepat, “Mager ah. Emang kalo kakiku pegel Kakak mau gendong?”

“Mau.”

“Halah, ngibul!”

“Yeeee, dibilangin orang tua nggak percaya!”

“Ya udah, beneran ya?! Kalo pegel gendong! Kalo boong nanti bulu kakinya aku cabut!”

“Iya!”


Haris berjalan dengan langkah yang ia usahakan mati-matian agar tetap sejajar dengan langkah Hanum. Keduanya kini tengah berjalan memutari komplek rumah dan berencana membeli makanan apapun yang pertama kali mereka temukan. Pemuda itu memasukkan kedua tangannya ke dalam saku hoodie berwarna pink yang ia kenakan, pakaian yang paling sering mendapat kritikan dari Hanum. Katanya, laki-laki kok pake warna pink. Dan setelahnya Haris akan berargumen bahwa memakai baju berwarna merah muda tak akan serta-merta menjadikannya seorang perempuan.

Di sebelahnya, Hanum pun memasukkan kedua tangannya ke dalam saku hoodie kuning kesukaannya. Keduanya berjalan berdampingan tanpa ada satupun yang bersuara.

“Kita kayak Spongebob sama Patrick, Kak, kuning sama pink,” ucap Hanum tiba-tiba.

Haris menunduk, melihat warna bajunya sendiri dan baju milik Hanum. “Iya ya? Kocak.”

“Nggak apa-apa, berarti kita best friend kayak Spongebob sama Patrick,” balas Hanum.

“Nggak mau ah gue mau jadi Mr. Crab aja, banyak duit,” sahut Haris.

Hanum mendelik, “Pantesan pelit!”

Haris sontak menoleh dan membulatkan matanya, “Gue nggak pelit ya! Buktinya sekarang lo berjalan dengan kaki lo mencari makanan yang akan gue bayar pake duit gue, Mayzhura Hanum!”

“Lu perhitungan banget, Kak, sumpah!”

“Manusia emang harus perhitungan, egee. Amal lu aja nanti diitung, kan?”

“NGGAK GITU!” balas Hanum. Setelahnya Haris terkekeh dan hening kembali menyelimuti keduanya.

Hanya terdengar embusan angin malam dan gesekan alas kaki yang bertemu dengan aspal jalanan—berasal dari Haris dan Hanum yang berjalan berdampingan dengan damai. Diam-diam Haris bersyukur dalam hatinya sebab konflik antara dirinya dan Hanum berhasil diselesaikan tanpa harus menunggu pergantian hari. Haris pun bersyukur sebab akhirnya Hanum dapat mengeluarkan segala unek-uneknya dan membuat Haris mengerti perasaannya.

Keduanya masih diam, sampai ketika Hanum kembali memulai percakapan. “I don't like it, Kak “

Haris menoleh seraya mengangkat sebelah alisnya bingung, belum paham akan konteks pembicaraan yang dimulai Hanum.

“Apa?” tanyanya.

Hanum menghela napasnya sebelum melanjutkan bicaranya. “I don't like it when people always chattering about being first child. First child this, first child that. Do you know that being the middle one sucks too? Terus juga di luar sana mungkin ada anak bungsu yang merasa hidupnya nggak se-dimanja itu. *No hate, tho, i just don't like it.”

“Kenapa?”

“Menurut aku semua anak punya bebannya masing-masing. Yang mereka pendem sendiri dan nggak pernah diceritain ke siapapun termasuk orang tua atau saudara kandungnya. Pikiran dan perasaan manusia tuh dalem banget nggak sih, Kak? Pasti ada aja deh yang nggak terjangkau bahkan sama orang terdekatnya sekalipun,” Hanum mulai berceloteh. Saat-saat seperti ini, Haris tahu dirinya harus berperan sebagai pendegar. Karena ketika Hanum mulai mengeluarkan pikiran-pikirannya, gadis itu tak akan berhenti. Haris tak keberatan, pemuda itu menyukainya. Menarik menurutnya mendengarkan pendapat-pendapat yang keluar dari mulut Hanum yang merupakan hasil renungannya sendiri, tak jarang pula Haris merasa bangga melihat betapa dewasa adiknya sehingga dapat berpikir sedalam itu.

“Gimana ya bilangnya, pokoknya tuh setiap anak pasti punya masalahnya masing-masing. Nggak cuma anak pertama, tengah, atau bungsu. Semua. Aku yakin nggak ada juga kok anak yang mau nunjukin kesedihannya di depan orang tuanya. Pasti kita semua berusaha kuat di depan mereka sebagaimana mereka berusaha kuat di depan kita juga, kan?” ujar Hanum lagi. Haris mengangguk-angguk dengan seulas senyuman tipis di wajahnya, “Setuju.”

“Yang aku pikirin adalah, kenapa ya orang-orang tuh seakan-akan seneng banget nyiptain persaingan di keluarganya sendiri. Anak pertama yang paling capek lah, anak tengah nggak ngapa-ngapain lah, anak bungsu selalu dimanja lah. Belum lagi perbandingan antara anak perempuan sama anak laki-laki yang sering juga jadi bikin konflik saudara gitu. Kayak—ngapain sih, begitu?” ucap Hanum kian menggebu-gebu. Haris tebak, ini adalah gumpalan dendamnya terhadap salah satu oknum di keluarga besarnya ketika kumpul keluarga yang sudah terjadi entah kapan.

“Terus menurut kamu harusnya gimana?” tanya Haris.

“Ya—duhhh!” ucap Hanum frustrasi. Haris hanya tertawa melihat Hanum. Pemuda itu tahu, kalau sudah begitu tandanya sudah banyak yang ingin gadis itu lontarkan namun Hanum tak tahu harus mengeluarkan yang mana.

Setelahnya Hanum menghela napasnya, menenangkan diri karena menyadari bahwa dirinya sudah terlalu menggebu-gebu. Setelah merasa lebih tenang, Hanum menggendikkan bahunya. “I don't know, i just think that siblings have to stick together. Saling mendukung, bukan saling memukul mundur.”

Haris tersenyum bangga, melihat betapa dewasanya Hanum saat ini. Benar juga, sudah lama rupanya mereka tak menghabiskan waktu berdua. Hingga rasanya Haris melewatkan banyak hal soal Hanum. Apakah Hanym menyukai seseorang? Apakah Hanum memiliki kesulitan dalam menjadi seorang ketua ekskul di sekolahnya? Apakah Hanum pernah menangis meraung-raung lagi karena harus remedial? Ah, bahkan Haris tidak menyadari bahwa sekarang tinggi Hanum sudah mencapai lehernya.

“Setuju. Semoga kita bertiga kayak gitu ya?” jawab Haris pada akhirnya. Membuat Hanum akhirnya tersenyum seraya mengangguk. Puas. Gadis itu sudah puas dan lega sebab isi kepalanya berhasil ditumpahkan pada wadah yang tepat.

Kemudian keduanya tetap melanjutkan langkahnya. Rupanya jalan-jalan malam begini bukan keputusan yang buruk. Haris dan Hanum kembali diam. Hingga akhirnya Haris teringat akan sesuatu, yang membuatnya pada akhirnya memulai percakapan. “Eh, kamu kenapa di sekolah?”

Hanum sontak menoleh ketika mendengar Haris bicara padanya. “Ah, itu. Yaa, di sekolah ada ulangan harian. IPA. Temenku ini emang duduknya deket aku, nggak sebangku cuma dia di sebelah barisanku. Terus aku yakin banget dia nyontek aku, cuma aku nggak berasa gitu, Kak. Dia mulus banget deh, nyonteknya. Terus pas udah selesai memang dia ngumpulin duluan, jadi itu yang bikin guruku marahnya sama aku pas tau jawaban kita tuh sama persis,” jelas Hanum.

Haris menyimak cerita Hanum. Kemudian seraya meneruskan langkahnya, pemuda itu memikirkan cara untuk mengeluarkan adiknya dari masalah. Ketika secercah ide muncul di kepalanya, Haris berbalik badan secara tiba-tiba. Membuat Hanum terkejut dan menghentikan langkahnya.

Rematch,” ucap Haris.

“Hah?”

“Minta ulangan lagi. Hubungin guru kamu, temuin, terus minta ulangan lagi. Tapi kamu sama dia aja. Bilang sama guru kamu, kalo kamu beneran nggak nyontek. Bilang kalo kamu siap semisal guru kamu mau ngeluangin waktu untuk ngasih ulangan lagi untuk kamu sama temen kamu itu walaupun kalo soalnya diganti,” jawab Haris. “Kalo kamu belajar dan beneran nggak nyontek, pasti bisa. Terus temen kamu, kalo emang dia beneran nyontek pasti dia akan ketar-ketir denger kamu ngomong kayak gitu.”

Tak ada jawaban. Hanum hanya menatap Haris dalam diam tanpa menanggapi ucapannya. Selang beberapa detik, gadis itu tersenyum puas, “I always knew that i could count on you, Kak.”

Kini, giliran Hanum yang teringat akan sesuatu. “Oh iya, Kak—”

Haris meresponnya dengan mengangkat sebelah alisnya, mengisyaratkan Hanum agar melanjutkan kalimatnya. Gadis itu menggeleng sebelum melanjutkan kalimatnya. “Nevermind, i just wanna tell you, kalo Kakak nggak pernah mengecewakan siapapun. Dan Kakak juga nggak pernah mengacaukan apapun. Well—at least, sejauh ini. I'm still proud of my one and only brother.

Hanum terkekeh geli sebelum akhirnya kembali bicara. “Always have been and always will be,” ucapnya, mengulangi kalimat yang sebelumnya Haris lontarkan kepadanya. Sekon berikutnya keduanya tergelak bersama. Sudah cukup momen manis antara kakak-beradik ini. Haris dan Hanum sudah merasa geli karena sudah terlalu banyak menyatakan kata-kata manis untuk satu sama lain. Entah apa yang terjadi dengan hari ini, yang jelas—bagi Haris—terasa cukup magis hingga dapat membuat dirinya dan Hanum yang biasanya saling beradu mulut dan saling menjahili malah berperilaku manis seperti ini.

“Lu nyogok gue, kan?” canda Haris

“Lu merusak suasana, Kak, sumpah!”

“Lu lebih merusak suasana, Num!”

“Lu, Kak!”

“Lu! Gue tinggal lu!”

“DUH CAPEK NIH PEGEL, GENDONG BISA KALI KAN TADI UDAH JANJI MAU GENDONG,” ucap Hanum dibuat-buat. “Maaaana ya yang tadi bilangnya mau gendong kalo kaki aku pegeeeuuull?”

Haris berdecak sebal, ia memutar matanya malas sebelum akhirnya berjongkok di depan Hanum agar gadis itu dapat naik ke punggungnya. “Buru, naek!”

Seraya memekik girang, Hanum pun menaiki punggung sang kakak dan Haris menggendongnya.

“Ih, seru ya! Kakak tinggi banget deh aku baru sadar,” ucap Hanum.

“Seru seru pala lu! Berat banget ini kayak ngangkat karung beras,” canda Haris, yang kemudian mendapat pukulan hebat di pundaknya.

“Kak,” panggil Hanum.

“Masih tau diri lu manggil gue setelah memukul gue?”

“DRAMA BANGET!”

“Kalo gue nggak kasian sama Mama, lo gue ceburin di got situ deh, Num,” balas Haris seraya menunjuk sebuah selokan dengan dagunya.

“Kan, jahat!”

Haris pada akhirnya tergelak, “Kenapa?”

You kok keren banget bisa diskors?” tanya Hanum.

“Keren dari mana?! Jangan macem-macem kamu! Jangan ikutin jejak Kakak yang ini, yang lain aja! Jangan sampe diskors, enak aja!”

“YA ENGGAK, LAH! Tapi keren aja, aku pikir nggak bakal ada orang yang sebandel itu sampe diskors ehehehe rupanya Kakakku sendiri jadi fakta yang mematahkan pikiranku,” balas Hanum. Haris tak menanggapi, pemuda itu hanya menggelengkan kepalanya.

“Num,” panggil Haris memecah keheningan yang sudah hampir kembali mendominasi.

“Apah?”

“Mau jalan-jalan sama gue nggak?” tanya Haris.

“Mau dong!!! Kapannn??? Besok ya, pulang sekolah?”

“Nggak usah pulang sekolah,” ucap Haris membuat Hanum mengernyit. “Besok nggak usah sekolah aja, gue yang izinin ke Mama. Pagi-pagi kita jalan.”

Hanum tak langsung merespons, gadis itu diam sejenak sebelum akhirnya—

“YEEEEEEEUUUU!! Baru aja bilang jangan ngikutin jejak Kakak diskors ini malah ngajarin bolos!” balas Hanum seraya lagi-lagi, memukul pundak Haris keras-keras.

Haris meringis, “Lu—makan apa sih sakit banget pukulan lu!! Anak debus lu ya?”

“Enak aja!”

“Mau nggak besok?” tanga Haris sekali lagi.

“Mau.”

“YEUUUUUUUU, MAEMUNAH!” Haris menjawab seraya dengan sengaja membungkukkan dirinya ke depan hingga membuat Hanum hampir terjatuh.

“MANA ADA MAEMUNAH SIH ORANG MAYZHURA HANUM! KAKAK JANGAN GITU IH NANTI AKU JATOH!!!!!!!”