Stuck In The Middle
Haris tak tahu apa yang dialami Hanum di sekolah, yang pria itu tahu adalah Hanum pulang dengan amarah yang membara. Adiknya itu datang tanpa salam dengan membanting pintu hingga membuat Haris yang sedang melamun di sofa memikirkan nasib dan kesalahannya itu terlonjak, terkejut setengah mati.
“Bisa nggak tutup pintunya pelan-pelan?” tegur Haris, pria itu hanya menoleh tanpa beranjak dari posisinya. Matanya menatap Hanum lelah.
“Dateng nggak pake salam, main banting-banting pintu, kakaknya dilewatin gitu aja nggak disapa. Siapa yang ngajarin begitu?” tanya Haris lagi.
Hanum pada akhirnya menyerah. Perempuan dengan rambut sebahu yang digerai bebas mengenai seragam sekolahnya itu menghela napas dan berbalik menatap sang kakak. “Sorry, okay?” ucapnya kemudian berniat pergi.
Haris mengernyit heran, tak biasanya Hanum seperti ini. Namun pemuda itu tak ambil pusing. Mungkin sedang ada masalah di sekolah, pikirnya. Dengan segera Haris mengendalikan diri, agar hal ini tak jadi sumber keributan bagi keduanya.
“Sepatumu lepas dulu, Num,” tegur Haris lagi. “Mau dibawa tidur itu sepatunya?”
Hanum lagi-lagi menghela napas, kemudian kembali mendekati pintu rumahnya guna melepas sepatu sesuai perintah sang kakak. Haris benar-benar tak habis pikir, sebab baru kali ini ia melihat Hanum semarah sekarang. Rasanya jika keduanya hidup dalam sebuah film kartun, maka sudah keluar asap dari kedua telinga Hanum dengan wajah yang semerah kepiting rebus.
Haris sesekali meringis melihat Hanum 'menyiksa' sepatunya sendiri. Gadis itu melepas tali sepatunya dengan beringas, kemudian marah sendiri ketika tali sepatunya malah semakin kencang terikat. Dan sebelum seisi rumahnya yang hancur, Haris mendekati Hanum. “Sini, sini, Kakak lepasin,” ucapnya lembut.
Hanum hanya diam ketika Haris membukakan sepatunya dengan lembut. Gadis itu memilih memalingkan wajah, menyembunyikan kedua matanya yang sudah berair. “Kenapa sih? Mau cerita nggak?” tanya Haris sembari masih membukakan sebelah sepatu Hanum.
Hanum hanya menggeleng, ia hanya ingin sendiri saat ini. Hanum hanya butuh lari ke kamarnya sekarang, ia tak membutuhkan siapapun untuk mengajaknya bicara termasuk Haris.
Haris pun diam setelah Hanum menanggapi ucapannya. Setelahnya Hanum bergegas pergi menuju kamarnya. Meninggalkan Haris sendiri di sana yang pada akhirnya membuat pemuda itu kembali merenung di sofa ruang tamu.
Rupanya sudah sore ketika Hanum memutuskan untuk keluar kamar dan turun ke bawah. Maksud hatinya adalah mengambil camilan atau makanan apapun yang dapat mengisi perut kosongnya. Amarahnya hari itu sepertinya terlalu besar hingga hampir seluruh tenaganya habis.
Hanum akhirnya mengambil sehelai roti tawar dan mengoleskannya dengan selai cokelat kesukaannya. Gadis itu kemudian mengambil keju dari kulkas dan memarutnya di atas roti guna menambah kelezatan roti tawar buatannya.
Sembari mengigit rotinya, Hanum menyadari bahwa kondisi rumah begitu sepi ketimbang saat ia pulang sekolah tadi. Gadis itu pun baru menyadari bahwa sang kakak tak lagi duduk di sofa ruang tamu. Hanum celingak-celinguk, pandangannya diedarkan pada seisi rumah.
“Kaaaak? Udah makan belom? Mau roti nggaaaaak?” tanya Hanum. Tak ada jawaban, membuat gadis itu kembali memanggil Haris.
“Kak? Kak Hareeeeeeess?” ujarnya. “Di mana sih? Tidur kali ya?”
Masih tak ada jawaban, Hanum pun menggendikkan bahu. Diam-diam ia bersyukur sebab tak ada yang mengganggu. Selama Haris dirumahkan, pria itu kerap kali merepotkan Hanum. Menyuruhnya membuatkannya makanan, membelikan sesuatu di warung, mengambilkan minum, menggantikan baju Haura, menemani Haura menonton hingga adiknya itu tertidur, dan sebagainya. Belum lagi, Haris suka sekali mengoper perintah Mama yang ditujukan untuknya kepada Hanum.
“Num, tolong bikinin es teh manis dong!”
“Num, jagain dulu adeknya ya? Kakak ngantuk.”
“Num, tolong beliin mie sama telor dong di warung.”
“Hanum, hehe. Tolong ambilin minum dong, cantik!”
“Haura sama Kak Hanum dulu ya?”
“Num, jangan lupa gantiin baju Haura dulu nanti kalo pulang.”
“Tolong bikinin susu buat Haura dong, Num. Ngantuk kayaknya nih dia.”
“Num, kata Mama jangan lupa nanti telepon tukang cuci AC ya, udah pada nggak dingin nih, AC kamar.”
Mumet. Seringkali Hanum mumet mendengar semua suruhan yang tertuju padanya. Entah kenapa selalu padanya. Tak ada kah orang lain lagi di rumah ini yang bisa diandalkan?
Kalau boleh jujur, Hanum seringkali ingin protes. Namun sisi lain hatinya mengurungkan niatnya dengan mencoba mengerti posisi sang kakak. Biarlah ia membantunya sedikit, mungkin Kak Haris-nya perlu waktu untuk sendiri. Mungkin Kak Haris-nya perlu waktu untuk kembali bangkit dari hari-hari yang berat ini.
Hanum sangat tahu seberapa besar semangat Haris untuk pendidikannya. Dan gadis itu yakin bahwa diskors merupakan hukuman yang sangat tidak bisa diterima oleh Haris. Seringkali Hanum prihatin, ia tahu Haris pasti memikul beban besar di pundaknya. Tak hanya dari keluarganya di mana ia terlahir sebagai anak pertama, tetapi juga di sekolah di mana ia dikenal sebagai anak teladan.
Maka Hanum berusaha mengerti. Meski dalam hatinya pun ia bertanya-tanya, apakah hanya anak sulung yang boleh punya beban?
Setelah Hanum menghabiskan rotinya, ia membereskan segala peralatan yang baru saja ia gunakan. Pisau roti dan piring kecil itu langsung ia letakkan di wastafel. Tak lupa Hanum pun mengikat kembali bungkusan roti tawar agar tertutup rapat. Setelahnya gadis itu berniat untuk mengecek Haris di kamarnya sebab pemuda itu tak kunjung menunjukkan eksistensinya.
Namun, baru saja Hanum melangkah menuju tangga, sebuah suara pintu terbuka membuat langkahnya terhenti.
“Assalamu'alaikum!” Hanum menoleh tatkala mendengar suara bariton satu-satunya yang pernah terdengar di rumah. Gadis itu langsung tahu, bahwa pemilik suara itu adalah Haris. Dengan segera ia menghampiri sumber suara, dilihatnya Haris baru saja pulang dengan penampilan yang cukup rapi. Membuat Hanum mengernyit, pemuda itu tak mungkin hanya dari warung atau sekadar jalan-jalan sore ketika pakaiannya serapi ini, kan?
“Dari mana, Kak? Kukira tidur tadi?” tanya Hanum.
Haris melepas sepatu ketsnya dan meletakkannya di rak sepatu. Setelahnya pemuda jangkung itu melangkah masuk dengan kaus kakinya yang belum dilepas dan merebahkan dirinya di sofa. “Dari Mama,” jawab Haris.
“Ngapain? Tadi bukannya kata Kakak, Kakak nggak mau ke mana-mana?”
Haris menghela napas lelah, “Tolong air putih dong, Num! Panas banget capek dah.”
Setelah permintaan Haris meluncur, yang pertama Hanum lakukan adalah mengeluh. Adakah di luar sana dunia yang penghuninya adalah kakak-kakak yang tidak suka menyuruh adiknya dan melakukan apapun sendiri?
Namun gadis itu tetap mengambilkan segelas air putih dingin untuk Haris sebab ia pun tak tega melihat pemuda itu bercucuran peluh. Dengan tangan kanannya, Hanum menyodorkan gelas itu ke hadapan Haris—yang kemudian langsung meneguk habis isinya.
“Makasih ya,” ucap Haris kemudian menaruh gelas itu di atas meja kecil di depannya. Setelah kembali bersandar, barulah Haris menjawab pertanyaan Hanum. “Kakak dari Mama,” ucapnya.
“Iyaaa, ngapain?”
“Haura minta ditemenin, Mama lagi sibuk banget soalnya,” balas Haris.
Detik itu, Hanum merasakan amarahnya kembali. Di mana Haris yang mengatakan tak bisa menjemputnya sebab sedang merasa tidak baik-baik saja dan tidak ingin ke manapun? Di mana Haris yang selalu menolak ke manapun ia meminta ditemani? Di mana Haris yang selalu menyuruhnya melakukan apapun sendiri? Sirna-kah semua itu ketika urusannya menyangkut soal Haura?
Hanum meremas ujung bajunya sendiri, ia benar-benar marah sekarang. Tanpa berpikir panjang, Hanum merampas bantal yang berada dipelukan Haris dan memukulkannya pada wajah sang kakak dengan keras.
“ASTAGHFIRULLAHALADZIM, APA-APAAN SIH, NUM?!” seru Haris. Pemuda yang tadinya memejamkan matanya itu mendadak terbangun kala merasakan tamparan keras sebuah bantal yang berasal dari adiknya.
Haris mengerjapkan dan mengucek matanya sebab sedikit debu dari bantal berhasil masuk ke dalam matanya. Namun, Hanum masih kesal. Gadis itu kembali memukul-mukul Haris, kali ini dengan tangan kosong yang membuat pukulannya lebih terasa sakit. Entah apa yang merasuki Hanum saat itu, yang jelas Haris hanya bisa menjadikan kedua tangannya sebagai perisai agar pukulan Hanum tak mengenai wajahnya.
“JAHAT! KAKAK JAHAT BANGET! JAHAAAATTT!!!!” seru Hanum seraya masih memberi Haris pukulan bertubi-tubi.
“Sakit, sakit! Kenapa sih?!”
“JAHAT!”
“APAAAN?” balas Haris frustrasi. Diam-diam ia menghela napas lega sebab pukulan Hanum yang sedari tadi menghujaninya itu akhirnya berhenti. Kesal, Haris jadi ikut marah-marah.
“Gue baru pulang ya, Num. Panas, gerah, CAPEK! Terus lo tiba-tiba ngajak ribut gini maksudnya apa?! Kakaknya dipukulin gitu siapa yang ngajarin?” ucap Haris keras. Satu hal yang sama sekali tak akan Haris toleransi adalah ketidaksopanan. Baik di sekolah, maupun di rumah. Dan apa yang dilakukan Hanum saat ini, sudah. Melewati. Batas.
Haris melihat Hanum yang menatapnya nyalang, wajah gadis itu memerah dan pelupuk matanya digenangi air mata yang siap turun dalam satu kedipan mata. Meskipun begitu, Haris tak berhenti bicara.
“Dari pulang sekolah ya, dari lo pulang sekolah gue udah toleransi. Dateng-dateng banting pintu, nggak ada salam, marah-marah. Sekarang lo mukul-mukul gue kayak gini. Lo kalo ada masalah di sekolah jangan dibawa-bawa ke rumah! Gue nggak tau apa-apa!” marah Haris. “Masih tau sopan santun nggak, Num? Sopan emang begini sama kakaknya?”
Hanum mulai menangis. Gadis berambut kecokelatan sebahu itu semakin marah sekaligus takut jika Haris semakin marah. Dan tanpa Haris tahu, ia berhasil mematahkan hati adiknya.
Hanum tak menjawab ucapan Haris, ia lantas bangkit dan berlari menuju kamarnya. “KALO KAKAKNYA NGOMONG TUH DENGERIN! Bukan malah kabur!” teriak Haris. Pemuda itu kini bangkit berdiri saking kesalnya.
Langkah kaki Hanum berhenti tepat pada anak tangga ketiga. Sontak gadis itu menoleh, menatap sang kakak tepat di matanya. Tatapan mereka sejajar sekarang, membuat Hanum menatap netra legam itu dengan berani. Tak ada lagi Haris yang lebih tinggi sekarang.
Dan dengan tatapan marahnya, Hanum membalas dengan suara pelan dan nada menusuk. “Don't. Call. Yourself. My brother! Cause you know what? Right now i don't feel like i have one.“