Stuck In The Middle (2)
“Don't. Call. Yourself. My brother! Cause you know what? Right now i don't feel like i have one.“
DEG!
Haris merasakan tubuhnya sedikit terhuyung saking terkejutnya. Sudah keterlaluan kah dirinya? Sebab selama ini, semarah apapun Hanum terhadapnya, gadis itu sama sekali tak pernah menghapus keberadaan Haris dalam hidupnya.
Amarah Haris mendadak sirna, kini justru pemuda itu merasakan sedikit sesak dalam dadanya. Haris mengerjapkan matanya, menatap Hanum yang masih tak gencar memberikannya tatapan tajam. Sejujurnya Haris ingin bicara, namun rasanya terlalu banyak kalimat yang saling bertubrukan di kepalanya, meminta untuk dikeluarkan. Alhasil, diam adalah yang pemuda itu bisa lakukan.
Hanum membuang napasnya kasar, kemudian mengambil napas dalam satu tarikan. Bahunya naik-turun sebab empunya sedang emosi dan seakan lupa caranya bernapas dengan lembut. Hanum mempersiapkan diri untuk menumpahkan segala isi kepalanya.
“Aku capek, Kak!” Hanum mulai bicara, sementara Haris di hadapannya kini mempersiapkan diri untuk mendengarkan Hanum dengan segala protesnya. “Aku capek karena lama-lama rasanya aku nggak terlihat di rumah ini.”
“Kakak sama Mama tuh cuma peduli sama Haura, tau nggak?” ujar Hanum. Gadis itu kemudian mendecih seraya tertawa kecil sebelum melanjutkan perkataannya. “Di rumah ini tuh kayak— Mama ratunya, YOU'RE the charming prince, HAURA is the princess the people adore so much, WHILE ME—? Upik abu.”
“Well, SORRY if i annoyed you today, tapi iya, Kak, aku juga punya masalah di sekolah. Aku minta jemput Kakak tuh bukan karena aku nggak bisa pulang sendiri, Kak. Tapi karena aku butuh Kakak,” ucap Hanum. Dan di hadapannya, Haris semakin tak berkutik. Perasaan Haris kian berkecamuk, dadanya kini dipenuhi rasa bersalah yang kian membesar. Haris pikir ia sudah mengacaukan cukup banyak, namun rupanya hari ini ia mengacaukan lebih banyak lagi.
Tatapan Hanum kini melunak seiring helaan napas terdengar darinya. Gadis itu mengusap wajahnya kasar dan Haris merasakan hatinya semakin remuk melihatnya. Haris benar-benar menyesal dan mengetahui kesalahannya. Maka ia memilih diam dan merutuki dirinya sendiri. Apapun masalah Hanum, Haris tahu pasti masalah itu cukup besar hingga membuat Hanum merasa membutuhkannya. Dan ia mengecewakan Hanum karena tak datang menemuinya hanya karena alasan egois.
“Kertas ulanganku ternyata disalin persis sama temen sekelasku, tapi dia nuduh aku yang nyontek padahal aku nggak tau sama sekali soal ini. Guruku marah-marahin aku in front of the whole class dan temenku playing victim,” ujar Hanum lagi. “I was frustrated enough that i needed you to come,” ucap Hanum seraya terisak.
“Tapi Kakak nggak bisa, nggak masalah. Sumpah demi Tuhan aku nggak marah soal itu. I completely understand that you're not feeling okay, aku ngerti Kakak stress, Kakak lagi feeling down, dan merasa mengecewakan banyak orang. Aku ngerti, Kak. Makanya aku nggak mau ganggu Kakak banyak-banyak, tapi apa yang aku liat? Kakak rela jauh-jauh ke butik Mama cuma buat nemenin Haura—tapi nggak buat aku?”
“Setiap kali Haura butuh Kakak, Kakak pasti sigap banget. Haura mau beli ini, Kakak cepet banget beliinnya. Haura mau itu, Kakak cepet banget nurutinnya. Haura minta temenin, Kakak cepet banget nyamperinnya. Kakak rela lari-lari secepat kilat cuma buat Haura, Kakak rela panas-panasan keluar rumah juga cuma buat Haura. Sementara kalo buat aku? Aku minta temenin, minta anterin, minta jemput, aku mau ini, mau itu, semua harus aku lakuin sendiri.”
“Sana jalan sendiri! Sana beli sendiri! Sendiri aja ngapain di temenin? Udah gede,” Hanum menirukan ucapan Haris yang pernah dilontarkan padanya. Membuat kejadian-kejadian itu kembali terputar di dalam kepala Haris. Kini pemuda itu menunduk, Haris benar-benar merasa gagal sekarang.
“Kenapa sih Haura terus? Aku juga adeknya Kak Haris, aku juga mau jalan-jalan berdua sama Kakak, ditemenin sama Kakak, dijemput sama Kakak. Bukan cuma Haura, Kak, aku juga..” Hanum menumpahkan sebagian besar keluhannya bersamaan dengan tangisannya. Ia kini mengusap air matanya dan menuntaskan tangisnya sebelum akhirnya kembali berucap. “I miss you, Kak, I miss the time when we spend time together, when it's just—the two of us.“
Haris sontak mendongak, kembali menatap Hanum yang bisa ia rasakan menatap kecewa ke arahnya. Ingatannya membawa pemuda itu kembali ketika Hanum masih seusia Haura. Keduanya seringkali menghabiskan waktu bersama sebagaimana Haris dan Hanum menghabiskan waktu dengan Haura. Haris dengan setia menemani adiknya bermain rumah-rumahan, bermain sepeda, berkemah di halaman rumah dengan api yang berasal dari kompor kecil—yang membuat Haris pada akhirnya harus kena omel Mama dan Papa sebab bermain kompor tanpa pengawasan.
Benar juga, semenjak kedatangan Haura ke dunia dan seiring bertambah dewasanya Hanum, Haris sudah jarang menghabiskan waktu bersamanya. Selain sebab jadwal kesibukan keduanya yang cukup berbeda, kalau diingat-ingat Haris memang seringkali menolak permintaan Hanum. Gadis itu memang sering marah, sering mengatainya jahat sebab tak mau meluangkan waktu untuknya. Namun Haris tak pernah mengira bahwa itu adalah hal yang serius, mengingat keduanya memang sering beradu mulut.
Hanum kembali melihat ke arah Haris. Dan kali ini Haris menangkap kebingungan dan sedikit ketakutan dari kilatan mata Hanum. “Are you just gonna leave me? Like Papa did?”
DEG!
Entah ini kali ke berapa, ucapan Hanum kembali menghujam dada Haris. Pria itu menggigit bibir dan Haris merasakan netranya mulai berkaca-kaca. Tenggorokannya tercekat hingga tak sedikit suara pun berhasil keluar dari pita suaranya. Haris menciut. Haris menciut sebab tak punya perlawanan.
Selama ini yang Haris takutkan hanyalah dua hal. Pertama, hari ketika Haura akan menanyakan soal Papa. Dan kedua, hari ketika ia harus bertemu kembali dengan Papa. Maka Haris mempersiapkan diri sejak jauh-jauh hari. Haris mempersiapkan perlawanan dan benteng bagi dirinya sendiri agar tak kalah dalam situasi. Namun untuk hari ini, Haris kalah telak.
Yang Haris lakukan hanyalah diam seraya berharap seluruh keberaniannya kembali untuk mengatakan pada adiknya bahwa ia tidak akan pernah meninggalkan Hanum, maupun Haura. Haris hanya diam seraya berharap seluruh sarafnya berfungsi untuk mengirimkan sinyal kepada pusatnya untuk membuatnya setidaknya dapat bergerak untuk menggelengkan kepalanya.
Namun Haris tetap diam. Pemuda itu hanya mematung hingga Hanum kembali menyadarkannya.
Gadis itu terkekeh miris, seakan menertawakan nasibnya sendiri. “Seems like a yes to me.“
Sekon berikutnya, Hanum berlari masuk ke kamarnya dan segera mengunci pintu. Sementara Haris, pemuda itu pada akhirnya terduduk di lantai. Mengusap wajahnya kasar dan menyugar rambutnya frustrasi. Bahkan tanpa ia sadari, Haris benar-benar mengacaukan dan mengecewakan semuanya. Semuanya.