Senin
Empat belas orang adik kelas kini berkumpul di hadapan Dhimas dan Haris yang kali ini memiliki raut wajah bertolak belakang. Dhimas dengan sumringah yang menambah cerah wajahnya dan Haris dengan wajah datarnya yang membuat aura garang dalam dirinya semakin menguar.
Sesuai jadwal, hari ini merupakan hari pertama untuk diskusi kelompok guna membahas persiapan LDKS. Dan sesuai perjanjian yang dibuat atas usul Dhimas, mereka semua berkumpul saat genap pukul empat sore setelah melaksanakan ibadah wajib. Maka berkumpul lah mereka di koridor lowong tepat di depan perpustakaan, membuat lingkaran yang cukup besar semacam sekte yang dipimpin oleh Dhimas dan Haris.
“Mulai aja, Ris,” ucap Dhimas. Sementara yang diajak bicara menoleh gelagapan, “Kok gue? Lo aja sih!”
“Ya elah, buruan sih! Itu kelompok lain udah mulai kerja liat tuh!” balas Dhimas.
“Ya udah mulai, kenapa harus gue sih? Sama aja, ege, ribet lu!” sahut Haris jengkel. Setelahnya Dhimas terkekeh pelan. Kemudian sembari membenarkan posisinya, ia berdeham guna membuat suaranya terdengar jelas. Kalau bisa hingga ke ujung koridor.
“Oke, assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh, semuanya! Ini udah pada tau kan ya kita mau ngapain? Nah, hari ini sesuai jadwal kita mau diskusi kelompok buat LDKS,” Dhimas memulai obrolan. “Tapi kan kalo nggak kenal nggak sayang gitu ya, jadi kita kenalan dulu ya satu persatu!” lanjutnya.
“Mulai dari yang paling ganteng ya! Yaitu saya sendiri, makasih,” ucap Dhimas penuh percaya diri hingga menghasilkan decihan serta tawa halus yang meluncur dari para adik kelasnya. Ah, Dhimas dengan kehadirannya memang selalu menjadi penghidup suasana.
“Kenalin ya semuanya, gue? Gue lo aja ya, santai aja ya kita nggak usah formal-formal. Gue Dhimas, kelas 11 MIPA 2. Mungkin udah ada beberapa yang kenal ya? Nih kayak Alwan sama Gia karena kelasnya waktu MOS gue yang megang—”
“Udah, ege ini agendanya perkenalan bukan proklamasi!” potong Haris. “Oh? Oh iya hahaha. Maap maap! Ya udah lanjut lu kenalan, Ris!”
“Saya Haris 11 MIPA 1,” ujarnya singkat seakan kata-kata yang bisa diucapkannya itu hanya tersedia dalam jumlah terbatas.
“Lanjut ke—Alwan, deh! Nanti muter ke kanan ya!” ucap Dhimas.
Adik kelas yang memiliki tubuh bongsor dan paling besar di antara yang lain itu mengangguk, kemudian memulai pekenalan dirinya yang ia sampaikan dengan ramah dan ceria. “Hai, semuanya! Nama saya Alwan Anggara, biasa dipanggil Alwan dari kelas 10 MIPA 2.”
“Lanjut, Gia,” ujar Dhimas. Gia sedikit membulatkan matanya ketika mendengar suara Dhimas memasuki telinga. Setelahnya gadis itu meneguk ludah sebagai cara untuk mengumpulkan keberanian dalam dirinya untuk menghadapi banyak pasang mata yang menatap ke arahnya. Termasuk di antaranya, sepasang mata milik Haris yang sedari tadi ia perhatikan diam-diam.
“H-hai, saya Anggia Kalila Maheswari tapi biasa dipanggil Gia. Kelas 10 MIPA 2 juga,” ucap Gia. Berbeda dengan Alwan yang memperkenalkan dirinya dengan suara lantang, Gia memperkenalkan diri dengan suara yang bergetar.
“Oke, sebelahnya,” lanjut Dhimas.
“Nama saya Adinda Kirana dari kelas 10 MIPA 3. Oh, biasa dipanggil Dinda aja. Salam kenal.”
Perkenalan terus berlanjut hingga semua mendapat giliran berbicara. Setelahnya giliran Haris mengambil alih. Dengan suara baritonnya, pria itu memberi jeda selama lima menit untuk menghapal semua nama dari anggota kelompok 1. Agar saling mengenal, dan tidak kena cibiran serta omelan kakak-kakak kelas ketika sampai pada lokasi LDKS akibat melupakan nama anggota kelompok sendiri.
“Oke, udah lima menit ya. Udah apal belom sama temen-temennya?” tanya Haris. “Jangan sampe lupa!” lanjutnya.
“Kalian belom tau perlengkapan yang buat dibawa pas LDKS-nya ya?” tanya Haris lagi.
“Belom, Kak,” balas Alwan.
“Ini saya bagiin ya? Saya kirim ke siapa nih? Oh iya, tentuin ini dulu. Ketua kelompoknya,” ujar Haris.
“Siapa yang kira-kira sanggup atau cocok jadi ketua kelompok?” kini Dhimas kembali membuka suara.
“Alwan aja, Kak. Udah paling keren dia!” ucap Alfian, salah satu anggota kelompok 1 yang juga merupakan teman satu geng Alwan meskipun keduanya tidak satu kelas.
“Setuju, Kak,” ucap Dinda.
“Setuju juga, Kak,” Gia menimpali seraya tertawa.
“Ya udah, Alwan jadi ketua kelompok ya? Siap nggak?” tanya Dhimas. Setelahnya Alwan hanya menghela napas pasrah dan mengangguk, menerima nasibnya yang bisa dibilang, dijadikan tumbal oleh teman-temannya yang kebanyakan baru ia kenali hari itu.
“Ini perlengkapan LDKS-nya saya kirim ke Alwan ya,” ucap Haris. Setelahnya ia mengutak-atik ponselnya untuk mengirimkan foto daftar perlengkapan LDKS untuk kelas 10.
“Udah masuk, Wan?” tanya Haris.
“Udah, Kak. Makasih.”
Haris mengangguk sebelum menjawab, “Langsung disebar aja ke temen-temennya ya! Kalian bikin grup aja rame-rame, biar nggak bingung. Nggak usah ada saya sama Dhimas juga nggak pa-pa, nanti kalo mau tanya-tanya *chat” aja. Chat Dhimas ya jangan saya. Dhimas lebih sering bales.”
“Iya sumpah Haris kalo bales chat seabad. Takutnya kalian nanya dia nggak bales, chat gue aja,” sahut Dhimas menambahkan.
Setelahnya Haris terkekeh, “Sekalian ngeramein hp Dhimas. Sepi soalnya nggak ada yang chat.”
“Belagu lu! Kan sekarang juga hp lo lagi sepi! Udah lama nggak chat-an sama yang itu, kan?” ejek Dhimas dengan senyuman miring.
Netra Haris terbelalak, sekon berikutnya sudut bibirnya berkedut menahan sebuah senyuman sebelum akhirnya mengumpat tanpa suara seraya mengangkat kepalan tangannya di udara seakan bersiap untuk meninju Dhimas, “Anying lu!“
Sementara yang diancam hanya tertawa. Sekon berikutnya keduanya mengembalikan diri pada mode serius dan kembali pada agenda diskusi kelompok.
“Kak, ini kan ada name tag sama baju kuning, ini harus samaan satu kelompok?” tanya Dinda.
“Nah, pertanyaan bagus, Dinda! Name tag harus sama ya, formatnya sama satu angkatan. Kalo baju kuning nggak harus sama sih, cuma lebih baik sama,” sahut Dhimas.
“Ini kuningnya kuning apa, Kak?” tanya Alwan.
“Kuning ta—”
“Ngomong kuning tai gue gampar!” ancam Haris pada Dhimas yang belum sempat menyelesaikan kalimatnya. Dhimas kemudian cengegesan, begitu pula dengan para adik kelasnya yang sedari tadi sejujurnya terhibur dengan perdebatan kecil antara Dhimas dan Haris.
“Baju kuning warnanya nggak spesifik kok, kuning apa aja yang penting kuning. Cuma, kalo kalian mau seragaman mending belinya barengan. Atau kalo misalnya warna kuning susah dicari, boleh beli kaus putih polos aja terus di-wantex rame-rame. Nanti kalo udah ada bajunya dibawa ya, soalnya harus minta tanda tangan kakak kelas 12-nya,” Haris menjelaskan serinci mungkin.
“Oh iya, sendal juga harus sama ya! Sendal jepit kalian harus sama. Itu warna apa? Ijo ya? Itu sama kayak baju, nggak harus spesifik warnanya, yang penting ijo. Beli aja sendal swallow yang di warung tuh, terus nanti dipilok rame-rame,” Dhimas menambahkan.
“Untuk hari ini, mending mulai bikin name tag, soalnya bentuknya susah banget. Bentuk logo OSIS gitu, tau kan? Nih yang di kantong baju,” ujar Haris seraya menunjukkan logo OSIS pada saku seragamnya. “Bikinnya pake kertas karton ya, warna kuning!” lanjutnya.
“Eh sama ini, ada diktat,” ucap Dhimas. Kemudian pria itu bangkit dan merogoh tas sekolahnya guna mengambil sesuatu yang nampak seperti sebuah kliping khas anak sekolahan yang sudah dijilid berwarna hijau. “Ini kalian fotokopi, setiap orang harus punya. Terus dijilid sesuai warna baju. Cewek kuning ya? Cowok pink. Depan belakang warnanya sama. Terus, ini dibaca! Soalnya buat pegangan materi kalian selama di sana nanti,” tambahnya.
“Bagi tugas deh, siapa yang mau beli karton sama jilid? Biar cepet bisa mulai ngerjain name tag-nya,” usul Haris.
“Saya sama Gia deh, Kak,” jawab Alwan. Membuat Haris otomatis membeku di tempatnya. Entah karena mendengar nama Gia disebut, atau karena mendengar nama Gia keluar dari mulut Alwan.
“Ya udah, sana, Gih! Jilidnya tinggal aja, Alwan. Bayar dulu, besok baru diambil. Takutnya kalo ditunggu kelamaan, nanti nggak keburu bikin name tag-nya,” balas Haris.
Setelahnya Alwan mengangguk dan bangkit berdiri. Pemuda yang ditunjuk sebagai ketua kelompok itu akhirnya mulai menggerakkan teman-temannya untuk mengumpulkan uang guna menjilid dan membeli karton untuk masing-masing anggota. Mata tajam Haris tak lepas dari Gia. Gadis itu tak banyak bicara, namun turut membantu Alwan melalui aksinya.
Dalam hati Haris berdecak kecewa. Lebih-lebih Dhimas yang kini memandangnya dengan perangai yang sangat-sangat meminta untuk ditinju. Bagaimana tidak? Sedari tadi Dhimas terus memandanginya dengan tatapan kasihan dan bibir yang terus berkedut menahan tawa.
Sesekali pula Dhimas menepuk-nepuk bahunya seraya mengatakan, “Sabar, yah! Cinta emang nggak selamanya indah, Brader!”
Haris memutar matanya malas. Terutama saat Gia berlari-lari kecil menyusul Alwan yang sudah lebih dulu berjalan ke parkiran. “Waaaaann! Tungguuiinnn!“
Kemudian seiring matanya menangkap Alwan dan Gia berlalu meninggalkan gerbang sekolah, Haris memalingkan wajah. ia menyugestikan dirinya untuk tidak mempedulikan semua itu.
Haris menghela napasnya. Sepertinya hari ini tak akan ada waktu yang bisa ia curi untuk berbicara empat mata dengan Gia. Dan sepertinya, Haris harus menunggu lebih lama. Mungkin esok?