Stuck In The Middle (3)
Sudah pukul setengah delapan malam dan sudah lima belas menit Haris mondar-mandir di depan pintu kamar Hanum. Haris tahu ia harus bicara dengan adiknya dan tentunya meminta maaf. Namun pemuda itu ragu, entah mengapa rasanya ia takut untuk bicara pada adiknya sendiri. Alhasil, sedari tadi Haris hanya maju-mundur menjauhi pintu kamar Hanum sebelum kemudian kembali mendekatinya. Berkali-kali Haris menggigit kukunya sendiri, menepis rasa takutnya yang tak kunjung sirna seraya sesekali menampar dirinya sendiri ketika salah mengucap dialog yang ia latih berkali-kali untuk dibicarakan dengan Hanum.
Lelah dengan kelakuannya sendiri, Haris akhirnya menghela napasnya. Ini terlalu berlebihan, lagipula dirinya bukan akan memasuki rumah hantu. Akhirnya, dengan menyebut nama yang mahakuasa, Haris akhirnya mengetuk pintu.
Tok, tok, tok!
“Hanum,” panggilnya.
Tok, tok, tok!
“Boleh masuk, nggak? Ngobrol yuk?” Tepat setelah menyelesaikan ucapannya, Haris menggigit kukunya. Bersiap untuk menerima respon dari Hanum.
Satu menit, satu setengah menit, gadis itu tak kunjung menyahut. Haris akhirnya kembali mengetuk pintu. “Num? Tidur apa enggak? Kakak boleh masuk nggak?”
“Hanum.. Kakak udah lima belas menit di sini, nih,” ucap Haris pasrah. Namun masih tak ada jawaban. Haris menyerah, pria itu menempelkan keningnya di pintu kamar Hanum, menjadikannya tumpuan untuk seluruh tubuhnya. Pegal di kakinya mulai terasa akibat berdiri terlalu lama.
Haris mengetuk-ngetukkan jarinya di sana, berharap sang pemilik kamar akan iba dan membukakannya pintu untuk kemudian bicara dengannya. Namun sepertinya itu hanya akan terjadi di dalam khayalannya.
Iseng, Haris meraih kenop pintu berwarna keemasan di hadapannya. Beruntung, pria itu membulatkan matanya senang ketika mendapati pintu kamar Hanum tidak dikunci sebelum pada akhirnya mendengus sebal. Tau gini mah dari tadi aja gue masuk, nggak usah repot tak tok tak tok! batin Haris.
Haris melangkah penuh hati-hati ke dalam kamar bernuansa lilac milik Hanum. Dalam hati ia berdoa agar adiknya itu tak semakin marah padanya. Ketika memasuki kamar Hanum, yang ia temukan adalah Hanum sudah berdiri menghadap pintu sembari melipat kedua tangannya di depan dada. Gadis itu menatap tak minat pada Haris dengan mata sembab, Haris yakin Hanum menangis hebat sebab kedua matanya sangat bengkak.
Haris masih cengar-cengir, bukannya tidak merasa bersalah. Hanya saja ia berusaha untuk membuat situasi di antara keduanya tak begitu kaku. “Hai, adikku,” sapa Haris jahil. Kemudian ia berniat untuk menduduki kasur Hanum yang dengan segera mendapat pelototan dari sang pemilik kamar.
“Siapa yang suruh duduk?” ucap Hanum tegas. Membuat Haris auto berdiri kembali dan menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
“Ini kamar aku, jangan seenaknya!” ucap Hanum lagi. “Main duduk-duduk aja!”
Haris tidak langsung menjawab, pemuda itu hanya berdiri dengan pose canggung dan kepala yang tertunduk khas seseorang yang sedang di-ospek kakak kelasnya. “Maaf.”
“Ngapain ke sini-sini?” tanya Hanum.
Haris mendongak, memandangi Hanum dengan tatapan ragu. “Ini—ini boleh gerak nggak, nih?” tanya Haris.
Hanum berdecak sebal, “Serah.”
“Kamu belom makan, ya?” tanya Haris.
“Nggak usah basa-basi deh, ngomong aja mau ngapain,” jawab Hanum sewot.
Haris menghela napasnya. Ia memaklumi sikap Hanum, sebab ini murni kesalahannya. Haris pun tahu, Hanum pasti sudah memendam sangat banyak hingga segala unek-uneknya itu menjadi sebuah bom waktu yang hanya menunggu saat untuk meledak. Dan hari ini-lah saatnya.
“Sebentar,” ucap Haris. Hanum mengernyit ketika melihat sang kakak justru berlari keluar kamarnya alih-alih menjawab pertanyaannya. Selang beberapa menit, Haris kembali dengan membawa sebuah mahkota mainan di tangannya.
Pemuda itu menyodorkannya ke hadapan Hanum, membuat sudut bibir gadis itu berkedut lantaran melihat sebuah benda familiar yang dulu memenuhi masa kecilnya. “Ini bukannya—”
Haris mengangguk sebelum Hanum sempat menyelesaikan kalimatnya. “Mahkota hadiah kamu menang lomba fashion show pas TK,” ucap Haris.
Hanum mengulas sebuah senyum tipis, sudut bibirnya melengkung ke arah berlawanan menghapus raut wajahnya yang sedari tadi ditekuk. “Kakak simpen?”
“Iya.”
“Buat apa?”
“Dulu Kakak simpen karena ikut bangga sama kamu yang akhirnya berani tampil. Menang lagi,” ucap Haris. “Sekarang kayaknya bisa buat ngingetin ke kamu—”
“Kalo aku princess Kakak juga gitu maksudnya?” tebak Hanum. Dan dengan sebuah senyuman tipis di wajahnya, Haris mengangguk pelan.
“Always have been and always will be,” ucap Haris.
Hanum tak punya pilihan lain selain menahan senyumannya agar tak mengembang lebih lebar. Ia harus mempertahankan harga diri yang sudah ia bangun tinggi-tinggi di hadapan sang kakak. Pokoknya hari ini konsepnya marah sama Kak Haris! pikirnya.
“Boleh ngobrol, nggak?” tanya Haris. Meminta izin untuk meluruskan kesalahpahaman, meminta maaf, serta menyelesaikan konflik di antara keduanya. Di hadapannya, Hanum hanya mengangguk.
“Maaf banget, boleh duduk nggak? Pegel banget SUMPAH,” ucap Haris lagi.
“Ya udah duduk—JANGAN DI KASUR AKU! Di karpet situ!”
“Perasaan lo masuk kamar gue main tengkurep-tengkurep aja di kasur gue kenapa gue duduk doang nggak boleh?” ucap Haris ngedumel.
“Ya, kalo nggak suka keluar aja,” balas Hanum.
“Iya, iya, maaf.” Pada akhirnya Haris mengalah dan mendudukkan diri di atas karpet bulu berwarna putih.
“Aduhh, ini geli banget, Num! Ngapain dah lu pake karpet bulu-bulu begini? Ini bulu apa lagi, bulu domba apa bulu babi nih?” Haris masih komplain. Kemudian Hanum hanya menatapnya malas dan kembali mengulang perkataannya.
“Kalo nggak suka, keluar.”
“Siapa nggak suka? Suka, suka banget gila gue bisa guling-guling nih di sini,” balas Haris.
“Lawak banget, Kakak buruan DEHHHHH! Basa-basi tuh bukan kamu banget, please!”
Haris otomatis meneguk ludahnya sendiri. Setelahnya ia berdeham, membersihkan tenggorokannya sebelum ia harus berbicara panjang lebar. Seraya bersila, Haris menatap Hanum yang kini duduk di atas kursi untuk meja belajarnya. Hening, keduanya sama-sama menantikan ada yang bicara lebih dulu. Namun Hanum tak ingin membuat Haris tergesa-gesa. Hanum membiarkan Haris untuk mempersiapkan dirinya untuk mengungkapkan apapun yang ada di pikirannya.
Selang beberapa detik, suara bariton yang sangat ia kenali itu akhirnya terdengar dengan mengucapkan satu kata. “Maaf.”
“Maaf karena udah bikin kamu ngerasa nggak dianggap di rumah ini. Maaf karena udah bikin kamu sampe mikir kayak tadi. Maaf karena udah bikin kamu ngerasain ketidakadilan di rumah ini,” ujar Haris lagi.
Hanum tersenyum tipis sebelum akhirnya mendengus untuk kesekian kalinya. “I just don't get it, Kak. Kenapa di kebanyakan keluarga, selalu keliatan seakan-akan cuma anak pertama aja yang boleh dimengerti kalo mereka punya beban atau keluhan. Kenapa di kebanyakan keluarga, selalu keliatan seakan-akan cuma anak bungsu aja yang boleh jadi kesayangan keluarga. Then how about the middle ones?“
Haris menatap Hanum lekat, dan dengan matanya sendiri ia menangkap dengan jelas tersimpan kesedihan yang Hanum pancarkan melalui kilat matanya.
“Anak tengah tuh kayak—invisible, Kak. Aku capek. Setiap ketemu temen-temen Mama, yang pasti aku denger adalah 'Oh ini anaknya yang pertama ya? Hebat, pasti selalu jagain adiknya, ya? Kuat-kuat yaa, berat pasti punya dua adik perempuan.' habis itu pasti larinya ke Haura, 'Oh ini yang paling kecil, aduh lucunya. Pasti paling disayang kakak-kakaknya ya?' habis itu selesai.”
“Nggak pernah tuh aku denger kalo aku juga hebat karena sering bantu kakakku jagain adikku, nggak pernah tuh aku denger kalo aku juga pasti paling disayang kakakku,” keluh Hanum. Dapat Haris lihat mata gadis itu kembali berkaca-kaca, turut membuat hatinya sakit.
Detik itu, dalam benaknya Haris menyadari bahwa selama ini rupanya Haris terlalu memikirkan diri sendiri. Selama ini ia selalu menganggap bahwa dirinya-lah yang paling lelah. Paling memiliki tanggung jawab, paling memiliki beban berat di kedua pundaknya, paling memiliki tugas yang berat.
Namun hari itu matanya seolah terbuka. Memangnya siapa yang membantunya melewati semua tanggung jawab dan bebannya selama bertahun-tahun ia hidup? Jawabannya adalah Hanum.
Gadis itu selalu bisa diandalkan, bahkan selalu melakukan pekerjaan lebih cekatan dibanding Haris. Sejak dulu, jika Haura menangis, Hanum adalah orang yang paling gesit menemukan cara untuk menenangkannya ketika Mama sedang tak ada di rumah. Hanum yang menjadi partner-nya dalam melakukan segala hal, dalam mengatasi setiap masalah dalam keluarga. Hanum adalah orang pertama yang membelanya dan memberi tatapan ganas ketika ada anggota keluarga yang berani-berani menyepelekan Haris.
Maka Haris tersadar bahwa ia tidak memiliki beban dan tanggung jawab seberat itu. Hanya saja posisinya yang sering disebut-sebut sebagai anak sulung, membuat semua bebannya semakin nyata sebab tekanan dari kanan dan kiri. Haris tersadar bahwa dirinya pun tidak pantas dihadiahi begitu banyak ucapan bangga yang hanya tertuju pada dirinya seorang. Sebab rupanya, Haris hanya berhasil melakukan semua tugasnya karena ada bantuan dari Hanum.
Namun benar apa yang dikatakan oleh Hanum. Hanya anak pertama yang mendapat segala pengakuan dan ucapan bangga dari orang-orang, hanya anak pertama yang mendapat validasi atas keluhan-keluhannya. Terbukti dalam hidup Haris ketika hampir semua orang berterima kasih padanya tanpa sedikitpun mengucapkannya pada Hanum—yang justru melakukan tugasnya jauh lebih baik dari dirinya.
“Boleh kan kalo aku masih mau manja-manja sama Kakak dan Mama kayak Haura terlepas dari berapa umurku? Boleh kan kalo aku juga mau dianggap hebat kayak Kakak? Boleh kan kalo aku juga mau ngerasa dihargai dan dianggap ada? Boleh kan kalo aku juga mau nangis kayak Haura dan berharap kalian semua dateng buru-buru nyamperin aku? Boleh kan kalo aku juga mau diprioritaskan? Boleh kan, Kak?” ujar Hanum bertubi-tubi. Haris masih menatapnya lekat. Ah, rupanya adiknya sudah menangis entah sejak kapan.
“Aku—nggak benci sama Haura. Aku sayang sama dia. Aku juga nggak mau iri sama dia. Aku ngerti kondisi keluarga kita saat dia lahir itu kacau, makanya aku pun berusaha ikut berperan memenuhi afeksi untuk Haura supaya dia tau kalo keluarganya sayang sama dia tanpa pernah berkurang sedikitpun. Tapi lama-lama kok aku capek ya, Kak? Seakan-akan dunia ini berputar cuma mengelilingi dia. Lama-lama aku jadi berpikir, sebenernya aku ini dianggap apa sih? Kenapa rasanya aku udah ngelakuin yang terbaik tapi rasanya aku tetep nggak terlihat? Karena aku bukan anak sulung? Karena aku bukan anak bungsu?” ucap Hanum lagi.
Haris kemudian tersadar lagi akan satu hal, harusnya tidak begini. Sama seperti ketika Hanum menatapnya lurus saat gadis itu menaiki anak tangga, begitulah seharusnya posisi keduanya. Sejajar. Tak ada anak sulung maupun tengah. Seharusnya Hanum tak perlu merasa bahwa ia terjebak di tengah-tengah.
Haris adalah anak pertama. Tak ada yang mendebatnya. Namun Haris pun tersadar bahwa Hanum, juga adalah seorang anak pertama. Haris adalah seorang anak laki-laki pertama, dan Hanum adalah seorang anak perempuan pertama. Sejak dulu keduanya bahu-membahu mengupayakan kenyamanan serta kebahagiaan bagi keluarga kecilnya, Mama dan Haura. Sejak dulu Hanum memiliki peran yang sama besarnya dengan milik Haris. Seharusnya seluruh dunia tahu, bahwa Hanum yang seringkali tidak terlihat sebab merupakan seorang anak tengah itu juga merupakan adik yang menggemaskan bagi Haris seperti yang selalu dielu-elukan pada Haura sang anak bungsu.
Seharusnya, seluruh dunia tahu bahwa Hanum yang seringkali tidak terlihat sebab merupakan anak tengah itu sama hebatnya dan sama membanggakannya dengan yang selalu dielu-elukan pada Haris, sang anak sulung.