raranotruru

Kini Haris berdiri di hadapan sang ibu setelah keduanya melipir dari banyak pasang mata yang menanti kabar untuk disebarluaskan di depan ruang BK. Haris menatap mamanya, tak ada yang bisa ia simpulkan dari raut wajah Mama yang cukup sulit diartikan saat itu.

Haris menunduk dalam, menatap kakinya yang terbalut sepatu hitam. Kemudian dengan suara pelan, pemuda itu berucap. “Maaf ya, Ma.”

Mama yang sedari tadi melihat ke sembarang arah kini memusatkan pandangannya pada Haris yang lebih tinggi darinya. Tak ada jawaban dari sang ibu, maka lantas Haris melanjutkan bicaranya.

“Maaf bikin Mama malu sampe harus dipanggil sekolah dua kali kayak gini,” ucap Haris.

Mama menghela napasnya, kemudian menggeleng seraya tersenyum tipis. Kedua tangannya terulur menangkup wajah Haris. “It's okay, Kak. Namanya juga hidup, pasti ada fase yang bikin pengen kita lupain. I got mine already, maybe it's your turn to get yours.”

Haris balas tersenyum tipis, dalam hati ia bersyukur memiliki Mama yang begitu pengertian. Namun senyumannya luntur seiring Mama menarik kembali tangannya. “Sebenernya Haris pengen ngasih tau Mama kejadian sebenernya kayak apa, tapi—”

“Nggak apa-apa, Mama tau kok Kakak nggak akan mulai duluan kalo nggak ada yang bikin kamu tersulut. I trust you, Kak,” potong Mama cepat. “Mama udah cukup lega karena kamu nggak jadi dikeluarin.”

Haris hanya mengangguk kaku membalas ucapan Mama. Setelahnya Mama kembali bicara, “Ambil dulu gih, tasnya! Mama tunggu sini.”

Setelahnya Haris beranjak pergi. Pemuda itu melangkah lesu menuju kelasnya sendiri guna mengambil tas untuk menjalankan skorsnya yang pertama kali.

Haris memutuskan untuk menegakkan kepalanya, menatap lurus, dan memasang wajah garangnya guna mengabaikan bisikan-bisikan mengenai dirinya yang kini memenuhi pendengarannya. Persetan orang lain berkata apa, toh mereka pun tak benar-benar tahu yang sebenarnya.

Pemuda itu berniat mempercepat langkahnya ketika melewati ruang BK, namun sebuah suara membuat Haris mengurungkan niatnya. Pemuda itu menoleh dan menemukan Vio yang baru saja keluar dari ruangan. “Kenapa, Kak?” tanyanya.

“Lo mau ke kelas?” tanya Vio. Seketika Haris mengangguk menjawab pertanyaan kakak kelasnya itu. “Bareng, sekalian gue mau ngomong sama lo.”

Diam-diam Haris meneguk ludahnya kasar. Raut wajahnya tak bisa menyembunyikan bahwa uratnya menegang, takut akan kena semprot oleh kakak kelas yang juga merupakan ketua OSIS-nya itu. “Kenapa, Kak?”

Sembari berjalan, Vio memulai pembicaraan. “Lo kenapa sih bisa kena masalah kayak gini?”

Haris kembali menunduk, lagi-lagi hatinya diselimuti rasa bersalah. Setelah Mama, kini ia pun membuat Vio kecewa. Rasanya hatinya yang semula memberontak mengatakan bahwa dirinya tak pantas menerima hukuman ini pun mulai luluh. Haris benar-benar mengecewakan semua orang hari ini.

“Maaf ya, Kak. Gue jadi bikin lo malu, bikin nama OSIS jelek juga. Nggak bakal gue ulangin kok, sumpah!” balas Haris.

Vio menghela napasnya, kemudian menghentikan langkahnya. “Kali ini nggak apa, tapi lain kali dipikirin lagi konsekuensi yang akan lo terima ya, Ris? Gimanapun juga lo anak OSIS. Suka nggak suka, mau nggak mau, kelakuan lo jadi cerminan sekolah. Kemaren gue ditegur Bapak, katanya kalo kelakuan anak OSIS-nya aja begini, sekolah mau dipandang gimana? Lo tau nggak? Pak Asep lebih esktrem lagi, minta lo dikeluarin dari OSIS.”

Sontak Haris menatap Vio terkejut, dadanya bagai ditimpa batu besar kala itu. Ia benar-benar tidak menyangka bahwa dampaknya akan sebesar ini. Tak ada satu kata pun yang bisa ia keluarkan, Haris hanya bisa menghela napasnya lagi dan lagi. Kemudian berharap agar tak ada lagi orang-orang yang ia kecewakan.

“Jangan gini lagi ya, Ris? Jangan bikin malu OSIS, jangan bikin malu sekolah, jangan bikin malu diri lo sendiri! Lo termasuk orang yang gue dan pembina OSIS kita percaya buat nerusin OSIS setelah gue nanti, jangan bikin kepercayaan itu ilang,” ucap Vio. Setelahnya pemuda itu menepuk-nepuk pundak Haris pelan. “Udah, sana gih ambil tas lo. Selamat liburan! Nikmatin aja dulu waktu istirahat lo,” ujarnya, kemudian Vio berlalu mendahului Haris yang masih terpaku di tempatnya.

“Baik, langsung saja kita mulai ya? Sebelumnya terima kasih kepada orang tua Haris dan Gio karena mau memenuhi undangan kami untuk kedua kali,” Bu Maria membuka pembicaraan seraya menatap tamu-tamu yang kembali hadir memenuhi ruang BK. Tamu-tamu yang membuat ruang BK lagi-lagi dikelilingi orang-orang penasaran yang menempelkan telinganya di pintu ruang BK yang tertutup rapat.

“Udah langsung aja, Bu, nggak usah pake basa-basi. Saya nggak punya banyak waktu,” ucap Mama Gio yang membuat Haris serta Mama otomatis memutar bola matanya malas.

Emang lo doang yang punya urusan? batin Haris.

Setelahnya Bu Juju mengambil alih pembicaraan untuk menjelaskan semuanya pada Haris. “Jadi begini, Haris, Ibu. Setelah kemarin Haris keluar, Gio menceritakan semuanya kepada kami. Gio menceritakan detail kejadiannya seperti apa sampai Haris ini menghajar Gio. Kami, pihak sekolah pun sudah memutuskan konsekuensi untuk Haris.”

Haris mengangguk pelan, matanya kini menatap ke arah Vio yang turut hadir di sana, pria itu menatap Haris dengan tatapan yang sulit diartikan. Setelahnya Haris kembali menatap Bu Juju yang hendak melanjutkan bicaranya. “Kami juga sudah membahas ini dengan kepala sekolah, dan Bapak setuju bahwa Haris akan dikenai sanksi. Sanksi yang akan Haris terima yaitu berupa skors selama satu minggu. Terhitung sejak hari ini.”

Sontak Haris menoleh, tentu saja ini tidak dapat ia terima dengan lapang dada. Haris memang santai sejak kemarin, sebab ia mengira hanya akan mendapat hukuman yang sama dengan yang diterima Dhimas kala itu, skors selama dua hari. Namun, dugaannya meleset. Konsekuensinya justru lebih parah dari itu.

“Loh, kenapa jadinya cuma skors satu minggu sih, Bu? Kemarin saya minta anak ini dikeluarkan. Kalau dia masih di sini, bisa-bisa dia akan membahayakan murid-murid yang lain loh!” sahut Mama Gio.

“Iya, Bu. Kenapa nggak dikeluarin aja sih? Nanti kalo Kak Haris udah masuk lagi, terus dia ngehajar saya lagi gimana? Pasti abis ini dia dendam sama saya, Bu!” Gio menimpali. “Posisi saya nggak akan aman-aman aja setelah ini, Bu. Bisa jadi nanti Kak Haris ngehajar saya lebih parah dari ini. Kalo cuma diskors aja itu nggak akan membuat saya aman dari tukang bully kayak dia, Bu. Saya mohon, tolong keputusan ini dipertimbangkan kembali,” lanjutnya.

Amarahnya sudah ingin meledak kala itu, namun ketika Haris ingin mengeluarkan protes, Vio lantas menatap tajam ke arahnya. Membuat Haris sontak kembali terdiam dan hanya mengangguk pelan.

“Perlu diketahui bahwa keputusan ini sudah tidak bisa diganggu gugat karena ini juga merupakan keputusan kepala sekolah. Ini juga sudah termasuk keringanan bagi kamu, Haris. Sebab Gio dan orang tuanya sebenarnya meminta sekolah untuk langsung mengeluarkan kamu, tapi Bapak mempertimbangkan keringanan karena prestasi-prestasi kamu di sekolah ini,” sambung Bu Juju.

“Untuk Gio dan Ibu, mohon maaf sekali kami tidak bisa sembarangan mengeluarkan peserta didik. Apalagi ketika peserta didik yang terlibat masalah adalah yang berprestasi seperti Haris, pasti kami akan memikirkan dan mempertimbangkannya secara matang. Kemudian Gio tidak perlu takut kejadian ini akan terulang ya, Nak! Sekolah menjamin keamanan untuk kamu. Kalau kejadian seperti ini terulang, maka kami akan dengan tegas mengeluarkan Haris secara tidak terhormat,” Bu Maria menambahkan.

Haris hanya bisa menunduk kala itu, terdengar helaan napas kecewa darinya. Pikirannya berkecamuk, memikirkan sebetulnya dunia macam apa yang ia tinggali hingga orang-orang seperti Gio dapat dengan mudah menutup kebenaran hanya dengan wajah melas dan kekuasaannya?

Haris menatap wajah Gio yang kini tersenyum kemenangan seakan tak ada lagi rasa sakit yang dihasilkan dari luka-luka di wajahnya. Kalau saja ini bukanlah ruang BK, maka Haris akan dengan senang hati kembali melayangkan tinjunya pada Gio. Haris yakin dengan sangat, sudah tercipta berbagai skenario jahat di kepala kosong Gio saat itu. Pemuda itu rasanya benar-benar berniat membuat Haris dikeluarkan dari sekolah ini, dan Haris tahu itu.

“Baik, apakah keputusan ini bisa diterima oleh semua pihak?” tanya Bu Juju. Kemudian dengan terpaksa semua tamu yang hadir saat itu mengangguk. Termasuk pula Mama yang sejak tadi hanya diam tanpa mengeluarkan suara.

“Jika keputusan ini bisa diterima, kita akhiri saja pertemuan hari ini. Untuk Haris, silakan meminta maaf pada Gio. Jangan diulangi lagi ya, Nak. Dengar tadi konsekuensi kamu kalau sampai kejadian ini terulang?” ujar Bu Juju, sementara Haris hanya mengangguk.

Setelahnya Haris mengulurkan tangannya pada Gio, meruntuhkan segala harga diri yang ia bangun di depan seorang pemuda yang kerap ia sebut sebagai bajingan. “Maaf,” ucap Haris singkat.

Namun, tangannya ditepis begitu saja oleh Mama Gio. “Singkirkan tangan kamu! Nggak usah sok baik, sekali berandal tetap berandal!”

“Jaga ucapan Ibu! Saya nggak pernah membesarkan anak saya untuk menjadi seorang berandal seperti yang barusan Ibu sebutkan!” Mama akhirnya membuka suara membela Haris. Namun sebelum situasi semakin ricuh, Haris menahan pundak Mama dan menggeleng pelan.

“Udah, Ma. It's okay,” bisiknya. Membuat sang ibu akhirnya mengendus sebal dan kembali menutup mulutnya.

“Sudah, sudah. Dimohon untuk tenang ya, jangan sampai ada keributan lagi di sini. Kita akhiri saja pertemuan ini, untuk para orang tua dipersilakan pulang. Silakan Gio untuk kembali ke kelas. Haris, silakan mengambil tas kamu dan pulang.”

Setelah Bu Maria mengakhiri pertemuan hari itu, mereka semua bubar. Lagi-lagi Haris terkejut lantaran melihat banyak orang berkerumun di depan ruang BK. Sepertinya kasusnya dan Gio benar-benar membuat semua orang penasaran meski Haris tidak tahu apa alasannya. Kemudian seperti yang sebelumnya, Haris menuntun Mama ke tempat di mana mereka bisa bicara empat mata.

Di sini-lah Haris, duduk di antara berpasang-pasang mata yang berpusat kepadanya. Termasuk di antaranya Mama dan Kak Vio, sang ketua OSIS yang menatapnya tajam, menuntut penjelasan akan apa yang terjadi kemarin sehingga menuntunnya pada situasi hari ini di ruang BK.

Haris bersikap santai meski di dalam sana jantungnya bersiap untuk meledak. “Coba deh, kita utamain korban-nya dulu aja. Saya bagian ngelurus-lurusin aja,” ujar Haris.

Setelahnya Gio berusaha membuka suara, pria itu meringis guna memperjelas fakta bahwa dirinya terluka. Haris memutar matanya malas melihat tingkah Gio yang dibuat-buat itu.

“Saya juga nggak tau, Bu. Saya cuma lagi ngobrol aja sama temen-temen saya di depan sekolah. Tiba-tiba Kak Haris mukulin saya gitu,” adu Gio.

Haris mengangguk-angguk dengan senyuman tipis di wajahnya. Senyuman khas seseorang yang mengetahui lawan bicaranya berbohong tepat di depan matanya. Memang sudah diprediksi olehnya Gio pasti akan bersikap seolah dirinya tak bersalah.

“Benar begitu, Haris?” tanya Bu Maria, guru BK yang mengajar kelas X di sekolahnya.

Dengan tenang, Haris menjawab, “Iya, secara teknis bener begitu, Bu. Tapi mohon maaf sebelumnya, saya juga nggak bisa jelasin detail kenapa saya akhirnya tersulut emosi. Yang jelas, itu ada sangkut pautnya sama apa yang menjadi topik pembicaraan Gio dan teman-temannya kemarin.”

Di hadapan Haris, Mama Gio tersinggung. “Maksud kamu anak saya ngomongin hal yang nggak-nggak? Denger ya, kalo kamu salah ya ngaku aja! Apa susahnya sih jujur? Jelas-jelas kamu mukulin anak saya sampe kayak gini kondisinya. Sudah jelas di sini kamu berandalnya! Kamu pasti kakak kelas yang suka senioritas ke adik-adik kelas kamu, kan?”

Mati-matian Haris menahan kekesalannya agar tidak meledak di sana. Sebelah tangannya sengaja ia tautkan dengan milik Mama agar dapat selalu kembali membuat dirinya tenang. Baru saja Haris ingin membalas, Vio lebih dulu buka suara. “Maaf sebelumnya, Ibu. Saya Vio, kebetulan saya ketua OSIS yang saat ini menjabat dan Haris adalah salah satu anggota saya. Saya kenal baik dengan Haris, dan sejauh saya kenal dengan dia saya pun tau Haris sama sekali tidak seperti yang Ibu katakan barusan.”

“Haris ini memang tegas dan terkenal galak, saya yakin banyak guru, adik kelas, serta temannya yang lain menyetujui itu. Tapi saya lebih yakin lagi kalau mereka juga tidak akan menyetujui apa yang Ibu katakan barusan,” lanjut Vio.

“Saya izin menambahkan, sebagai guru BK yang memang mengajar di kelas XI, saya setuju dengan Vio. Haris sama sekali tidak seperti yang Ibu katakan. Kami, para guru justru mengenal Haris sebagai anak yang berprestasi dan teladan. Haris tidak pernah melanggar peraturan dan selama di sekolah pun baik-baik saja. Haris pokoknya nggak pernah macam-macam,” timpal Bu Juju. Dalam hatinya Haris bersyukur masih ada yang membelanya.

“Justru sebaliknya, saya sering mendengar desas-desus bahwa Gio yang kerap kali melakukan tindakan yang seharusnya tidak dilakukan di sekolah,” lanjut Bu Juju lagi. “Saya sempat membicarakan ini juga dengan Vio ya, waktu itu?” ucapnya meminta konfirmasi dari Vio yang kemudian dibalas anggukan oleh pemuda itu.

“Ya, kami sering mendengar bahwa Gio ini jarang mengerjakan tugas, bahkan seringkali meminta teman-temannya untuk mengerjakan tugasnya. Banyak guru juga mengeluh bahwa Gio ini sering tidak hadir di kelas, ketika hadir pun tidak jarang anak Ibu ini tertidur di kelas,” ucap Bu Juju lagi.

“Sebelumnya mohon maaf Ibu, bukannya kami di sini bertindak tidak adil. Mungkin Ibu melihat kami semua di sini lebih condong membela Haris, tapi memang apa yang dibicarakan oleh Bu Juju dan Vio barusan tadi itu memang fakta. Kami sebagai guru tentu saja melihat track record murid-murid kami setiap kali ada yang terkena masalah. Dan untuk kasus ini, justru malah Gio yang lebih banyak riwayat pelanggarannya dibandingkan Haris,” ucap Bu Maria.

“Tuh kan, Mi, aku bilang juga apa? Mereka nggak akan percaya sama aku. Kak Haris itu udah punya power di sekolah ini,” ucap Gio seraya memegangi tulang pipinya yang lebam. Membuat ibunya itu otomatis mengelus wajahnya perlahan dengan raut wajah kasihan.

“Saya nggak ngerti ya dengan sekolah ini. Katanya sekolah bagus tapi begini cara menangani masalah terhadap siswanya? Memihak orang yang jelas-jelas berandalan dan tukang bully? Jangan main-main ya, saya bisa bawa ini ke ranah hukum!” Mama Gio mulai berbicara. “Kamu nyogok ya di sekolah ini? Biar semua orang belain kamu, kan?”

“Maaf, tujuan kita di sini untuk mencari penyelesaian dari masalah ini dengan cara damai. Jadi, tolong jangan asal bicara,” Mama yang mulai terpancing akhirnya turut bersuara. Sejak tadi, sama seperti Haris, Mama pun menahan emosinya yang sudah bergejolak di dalam dada.

“Ini udah nggak bisa diselesaikan secara damai. Saya nggak mau masalah ini diselesaikan secara damai. Saya nggak terima. Anak saya ini korban, sudah jelas korban. Lihat wajahnya, penuh lebam dan luka-luka begini. Lalu Ibu masih bisa memikirkan cara damai?”

“Ya tentu! Anak-anak kita ini sudah bukan anak SD lagi, sudah berseragam putih abu-abu. Sudah seharusnya memiliki pikiran dewasa sehingga saya rasa nggak perlu lagi ya merengek ke ibunya kalau ada masalah di sekolah? Kalau Ibu menuntut tanggung jawab, ya tentu saya akan tanggung jawab. Saya pun mengakui tindakan Haris, anak saya itu salah. Makanya saya bersedia hadir di sini sebagai bentuk tanggung jawab saya sebagai orang tua. Saya bersedia kok menanggung biaya pengobatan anak Ibu sampai pulih,” sahut Mama panjang lebar. Sementara Haris memilih diam, pria itu tak ingin memperkeruh suasana di tengah-tengah atmosfer yang sudah dipenuhi amarah ini.

“Mohon maaf, Ibu-Ibu, mohon tenang ya! Betul kata Ibunya Haris, kita sama-sama hadir di sini tentu untuk mencari jalan keluar dan penyelesaian. Termasuk sanksi bagi Haris jika memang terbukti Haris yang salah. Namun, karena Haris sendiri menolak untuk menceritakan detail kejadiannya seperti apa, maka kita pun belum bisa untuk menyimpulkan siapa yang salah dan benar. Gio pun di sini hanya menceritakan sedikit saja kejadiannya. Jadi, sama saja, kita belum bisa mengambil kesimpulan dari kejadian ini. Apalagi memutuskan sanksi.”

“Loh, nggak bisa gitu dong, Ibu! Pokoknya saya mau penindas kayak dia ini dapat sanksi yang seberat-beratnya dari sekolah ini, supaya dia jera!” ucap Mama Gio lantang. Membuat berpasang-pasang telinga yang berkerubung di luar ruang BK itu menjauh karena terkejut.

Setelahnya Bu Juju mengangguk, “Iya, Bu. Kami pastikan akan begitu. Namun kami tegaskan di sini, JIKA Haris benar-benar terbukti bersalah. Karena seperti yang tadi dikatakan sebelumnya, kita belum tahu kronologis kejadiannya seperti apa. Jadi, kami pun belum bisa menyimpulkan apa-apa serta belum bisa memberi sanksi untuk siapapun.”

“Begini saja, mungkin Haris dan Mamanya bisa keluar. Kita tunda dulu pembicaraan ini. Gio dan Ibu silakan untuk tetap berada di sini, mungkin kalau tidak ada Haris itu akan lebih memudahkan Gio untuk menceritakan kejadiannya. Sekalian kita berdiskusi untuk menentukan sanksi seperti apa yang menurut Ibu setimpal untuk Haris,” saran Bu Juju. Kemudian dengan sangat terpaksa Haris dan Mama keluar ruangan. Membiarkan Gio membicarakan entah apa yang ada di pikirannya.

Di luar, Haris sempat terkejut bukan main sebab banyak orang yang menghalangi jalan keluarnya dari ruang BK. Namun mereka otomatis menyingkir ketika pintu dibuka. Dengan segera Haris menuntun Mama melipir ke tempat di mana mereka bisa berbicara berdua. Mengabaikan bisikan-bisikan penasaran yang kerap menerka-nerka apa yang akan terjadi pada Haris dan Gio ke depannya.

“Kak Haris tunggu!”

Gia berlari tergesa-gesa mengejar Haris dengan langkah lebarnya yang menggebu-gebu sembari terus memanggil nama pemuda itu. Haris nampak tak peduli, sebab sejujurnya saat ini ia tak ingin diganggu oleh siapapun.

Gia mempercepat langkahnya, bibirnya pun tak henti-hentinya memanggil nama Haris meski sama sekali tidak digubris oleh sang pemilik nama. “Kak!” panggilnya. Entah keberanian dari mana, sebelah tangannya berusaha meraih tangan kiri Haris yang berayun mengikuti irama langkahnya.

Pemuda itu akhirnya menoleh cepat. Sekon berikutnya Haris dengan mudah menarik tangannya dari genggaman Gia. Tentu saja, tenaganya itu jauh berkali-kali lipat dengan milik gadis itu.

“Apa sih?!” Haris berbicara dengan tatapan nyalang yang berhasil membuat nyali Gia menciut. Gia diam-diam menelan ludahnya sendiri di hadapan pemuda itu sebelum melanjutkan bicaranya. Meskipun Haris yang pertama kali ia temui waktu itu adalah Haris yang dingin dengan cara bicara menusuk, Gia mengakui bahwa tak pernah ia lihat Haris segarang ini sebelumnya.

“K-kakak kenapa mukulin Gio kayak gitu?” tanya Gia dengan napas terengah-engah. Menyamai langkah Haris membuatnya kehabisan banyak tenaga.

Haris menyugar rambutnya frustrasi, setelahnya ia berdecak sebal. “Bukan urusan kamu,” jawabnya ketus. Setelahnya Haris berniat pergi, namun Gia kembali menahannya sebelum Haris sempat melangkah lebih jauh.

“Kak, aku kenal Gio udah lama. Dan setelah Kakak buat dia luka-luka kayak gitu, pasti dia akan bikin Kakak kena masalah, Kak,” ucap Gia lagi. Kali ini nada bicaranya terdengar panik.

“Terus? Urusan kamu?” balas Haris.

Gia tak menjawab, gadis itu menghela napasnya dengan matanya yang kian berkaca-kaca. Meskipun Gio yang dipenuhi luka, namun bukan pemuda itu yang membuat Gia khawatir. Dalam hatinya, gadis itu sangat mengkhawatirkan Haris. Berurusan dengan Gio sama saja membahayakan diri sendiri. Pemuda itu bagaikan guci antik yang mudah pecah, dijaga begitu ketat oleh keluarganya seakan tak seorang pun boleh menyentuhnya. Melihat kondisi Gio dengan lebam dan darah pada wajahnya akibat ulah Haris, jelas keluarganya tak akan tinggal diam. Dan Gia tahu, kali ini Haris-lah yang akan dirugikan.

“Aku tau Kak Haris bukan orang yang gampang marah-marah kayak gini. Kakak juga pernah bilang kalo kita harus mikir panjang. Ini yang Kakak bilang mikir panjang? Gio tuh sama kayak Kak Gina, Kak. Even worse! Gio bisa bikin Kakak dikeluarin dari sekolah ini kalo dia mau. Makanya aku tanya, sebenernya ada masalah apa sampe Kakak mukulin Gio kayak gitu?” tanya Gia lagi.

“Saya nggak bisa kasih tau kamu. Nggak semua hal di dunia ini perlu kamu tau, Gia,” balas Haris lugas.

“Tapi yang ini perlu! Kakak bisa dikeluarin dari sekolah, Kak!”

Haris lagi-lagi berdecak, ia sudah kesal bukan kepalang. “Bisa nggak sih kamu nggak usah ikut campur?! Biar apa sih, Gi? Biar dicap pahlawan? Biar dikira perhatian? Iya?! Kamu pikir kamu siapa sih gi? Temen saya? Pacar saya? Kamu tuh bukan siapa-siapa, Gia! Nggak usah sok peduli! Mau saya diskors, kek, dikeluarin, kek, itu bukan urusan kamu!”

Haris menghela napasnya lelah. Jika sudah emosi begini, jalan satu-satunya bagi Haris adalah menyendiri. Kelemahan Haris adalah harus berbicara dengan orang lain ketika sedang dikuasai amarah, itulah sebabnya Ojan dan Dhimas memilih untuk menolong Gio dan membiarkan Haris berlalu.

“Denger ya, Gia. Kamu nggak tau masalahnya apa, dan tanpa kamu kasih tau pun, saya tau konsekuensinya. Bisa nggak sih, Gi, kamu nggak usah nambah-nambahin masalah? Hidup saya tuh jadi makin ribet semenjak ketemu kamu tau nggak?!” ucap Haris lagi.

Gia menunduk dalam, menahan air matanya yang sejak tadi memberontak turun. Gadis itu menghirup napas dalam sebagai sumber kekuatan baru, lalu mendongak ketika cukup berani. Kemudian dengan suara bergetar Gia menjawab, “Kalo niat saya nolong Kakak jadi sebuah kesalahan, saya minta maaf, Kak. Saya nggak niat ikut campur, rasanya juga tadi saya pengen lari sekenceng-kencengnya. Saya juga takut liat orang berantem, pukul-pukulan—”

“—T-tapi saya lebih takut liat Kak Haris kenapa-napa,” lanjutnya.

Di hadapannya, Haris kembali menatap wajahnya. Gia bisa menangkap bahwa ada sedikit keterkejutan di sana, di bola mata Haris yang kini melunak tatapannya. Pemuda itu tak bicara apapun, maka Gia memilih untuk melanjutkan ucapannya. “Maaf kalo tindakan saya malah jadi nambah-nambahin masalah, Kak. Maaf juga kalo ternyata selama ini saya cuma bikin hidup Kakak tambah susah.”

Detik berikutnya, keduanya sama-sama bungkam. Baik Haris maupun Gia sama-sama menunduk, sama-sama menyesali sekaligus menyayangkan apa yang baru saja terjadi. Dalam hatinya Haris membenarkan ucapan Gia, seharusnya ia berpikir lebih jauh sebelum bertindak sebagaimana yang pernah ia ucapkan pada gadis itu. Namun perasaan untuk Gia dalam hatinya yang begitu besar membuatnya seakan-akan siap mengambil risiko apapun asal gadis itu tidak terluka fisik maupun hatinya.

Di sisi lain Gia pun membenarkan ucapan Haris. Mungkin seharusnya ia tak perlu ikut campur, mungkin sebaiknya Gia pura-pura tidak melihat pertengkaran Haris dan Gio di depan sekolah tadi, mungkin seharusnya Gia langsung pulang dan tidak menghampiri Haris dengan pikiran dapat mengajaknya bicara. Namun, seperti yang gadis itu katakan, rupanya kekhawatirannya terhadap Haris lebih besar hingga membuat gadis itu melawan ketakutannya.

Biasanya Gia bukanlah orang yang mudah menyerah pada sebuah perdebatan. Namun untuk hari ini, Gia memilih untuk menyerah. Sebab Haris sudah membicarakan fakta yang sama sekali tak bisa ia sanggah. Bahwa dirinya bukanlah siapa-siapa bagi Haris, dan Gia tidak seharusnya ikut campur.

Gia meneguk ludahnya sendiri, kepalanya masih setia tertunduk seakan tak lagi miliki tenaga untuk mendongak menatap Haris. Kedua bahunya merosot dan air matanya sudah lolos turun membasahi pipinya, entah sejak kapan.

Dengan suara bergetar, Gia kembali membuka suara. “Sekali lagi saya minta maaf, Kak. Kak Haris tenang aja, saya pastiin setelah ini saya nggak akan ganggu Kakak lagi. Permisi, Kak.”

Setelahnya Gia pergi. Meninggalkannya dari tempat itu, sekaligus meninggalkan Haris dengan apa yang sedang keduanya bangun secara tidak sadar.

Sementara itu Haris terpaku di tempatnya, benaknya terus mengeluarkan suara agar ia berteriak memanggil Gia agar gadis itu menghentikan langkahnya.

Panggil, Ris!

Kejar Gia!

Panggil, Ris!

Namun suaranya tercekat, seakan terdapat batu besar yang menjadi penghalang bagi suara lantangnya. Pada akhirnya, Haris memilih pasrah seiring tubuh mungil Gia menghilang dari jangkauan matanya.

Lagi-lagi Haris menghela napasnya, setelahnya pemuda itu menyugar rambutnya frustrasi. Haris mengumpat seraya menendang batu-batu kecil di jalanan. Memilih melampiaskan amarahnya pada kerikil-kerikil yang tak bersalah itu.

Setelah ini entah apa yang akan terjadi. Yang jelas, esok dan seterusnya akan menjadi hari yang tak lagi mudah Haris jalani seperti biasanya. Sebab selain Gio, ada satu hal lagi yang memenuhi pikirannya.

Mungkin apa yang selama ini sedang berusaha ia bangun bersama Gia itu harus terhenti. Sampai di sini.

“Kak Haris tunggu!”

Gia berlari tergesa-gesa mengejar Haris dengan langkah lebarnya yang menggebu-gebu sembari terus memanggil nama pemuda itu. Haris nampak tak peduli, sebab sejujurnya saat ini ia tak ingin diganggu oleh siapapun.

Gia mempercepat langkahnya, bibirnya pun tak henti-hentinya memanggil nama Haris meski sama sekali tidak digubris oleh sang pemilik nama. “Kak!” panggilnya. Entah keberanian dari mana, sebelah tangannya berusaha meraih tangan kiri Haris yang berayun mengikuti irama langkahnya.

Pemuda itu akhirnya menoleh cepat. Sekon berikutnya Haris dengan mudah menarik tangannya dari genggaman Gia. Tentu saja, tenaganya itu jauh berkali-kali lipat dengan milik gadis itu.

“Apa sih?!” Haris berbicara dengan tatapan nyalang yang berhasil membuat nyali Gia menciut. Gia diam-diam menelan ludahnya sendiri di hadapan pemuda itu sebelum melanjutkan bicaranya. Meskipun Haris yang pertama kali ia temui waktu itu adalah Haris yang dingin dengan cara bicara menusuk, Gia mengakui bahwa tak pernah ia lihat Haris segarang ini sebelumnya.

“K-kakak kenapa mukulin Gio kayak gitu?” tanya Gia dengan napas terengah-engah. Menyamai langkah Haris membuatnya kehabisan banyak tenaga.

Haris menyugar rambutnya frustrasi, setelahnya ia berdecak sebal. “Bukan urusan kamu,” jawabnya ketus. Setelahnya Haris berniat pergi, namun Gia kembali menahannya sebelum Haris sempat melangkah lebih jauh.

“Kak, aku kenal Gio udah lama. Dan setelah Kakak buat dia luka-luka kayak gitu, pasti dia akan bikin Kakak kena masalah, Kak,” ucap Gia lagi. Kali ini nada bicaranya terdengar panik.

“Terus? Urusan kamu?” balas Haris.

Gia tak menjawab, gadis itu menghela napasnya dengan matanya yang kian berkaca-kaca. Meskipun Gio yang dipenuhi luka, namun bukan pemuda itu yang membuat Gia khawatir. Dalam hatinya, gadis itu sangat mengkhawatirkan Haris. Berurusan dengan Gio sama saja membahayakan diri sendiri. Pemuda itu bagaikan guci antik yang mudah pecah, dijaga begitu ketat oleh keluarganya seakan tak seorang pun boleh menyentuhnya. Melihat kondisi Gio dengan lebam dan darah pada wajahnya akibat ulah Haris, jelas keluarganya tak akan tinggal diam. Dan Gia tahu, kali ini Haris-lah yang akan dirugikan.

“Aku tau Kak Haris bukan orang yang gampang marah-marah kayak gini. Kakak juga pernah bilang kalo kita harus mikir panjang. Ini yang Kakak bilang mikir panjang? Gio tuh sama kayak Kak Gina, Kak. Even worse! Gio bisa bikin Kakak dikeluarin dari sekolah ini kalo dia mau. Makanya aku tanya, sebenernya ada masalah apa sampe Kakak mukulin Gio kayak gitu?” tanya Gia lagi.

“Saya nggak bisa kasih tau kamu. Nggak semua hal di dunia ini perlu kamu tau, Gia,” balas Haris lugas.

“Tapi yang ini perlu! Kakak bisa dikeluarin dari sekolah, Kak!”

Haris lagi-lagi berdecak, ia sudah kesal bukan kepalang. “Bisa nggak sih kamu nggak usah ikut campur?! Biar apa sih, Gi? Biar dicap pahlawan? Biar dikira perhatian? Iya?! Kamu pikir kamu siapa sih gi? Temen saya? Pacar saya? Kamu tuh bukan siapa-siapa, Gia! Nggak usah sok peduli! Mau saya diskors, kek, dikeluarin, kek, itu bukan urusan kamu!”

Haris menghela napasnya lelah. Jika sudah emosi begini, jalan satu-satunya bagi Haris adalah menyendiri. Kelemahan Haris adalah harus berbicara dengan orang lain ketika sedang dikuasai amarah, itulah sebabnya Ojan dan Dhimas memilih untuk menolong Gio dan membiarkan Haris berlalu.

“Denger ya, Gia. Kamu nggak tau masalahnya apa, dan tanpa kamu kasih tau pun, saya tau konsekuensinya. Bisa nggak sih, Gi, kamu nggak usah nambah-nambahin masalah? Hidup saya tuh jadi makin ribet semenjak ketemu kamu tau nggak?!” ucap Haris lagi.

Gia menunduk dalam, menahan air matanya yang sejak tadi memberontak turun. Gadis itu menghirup napas dalam sebagai sumber kekuatan baru, lalu mendongak ketika cukup berani. Kemudian dengan suara bergetar Gia menjawab, “Kalo niat saya nolong Kakak jadi sebuah kesalahan, saya minta maaf, Kak. Saya nggak niat ikut campur, rasanya juga tadi saya pengen lari sekenceng-kencengnya. Saya juga takut liat orang berantem, pukul-pukulan—”

“—T-tapi saya lebih takut liat Kak Haris kenapa-napa,” lanjutnya.

Di hadapannya, Haris kembali menatap wajahnya. Gia bisa menangkap bahwa ada sedikit keterkejutan di sana, di bola mata Haris yang kini melunak tatapannya. Pemuda itu tak bicara apapun, maka Gia memilih untuk melanjutkan ucapannya. “Maaf kalo tindakan saya malah jadi nambah-nambahin masalah, Kak. Maaf juga kalo ternyata selama ini saya cuma bikin hidup Kakak tambah susah.”

Detik berikutnya, keduanya sama-sama bungkam. Baik Haris maupun Gia sama-sama menunduk, sama-sama menyesali sekaligus menyayangkan apa yang baru saja terjadi. Dalam hatinya Haris membenarkan ucapan Gia, seharusnya ia berpikir lebih jauh sebelum bertindak sebagaimana yang pernah ia ucapkan pada gadis itu. Namun perasaan untuk Gia dalam hatinya yang begitu besar membuatnya seakan-akan siap mengambil risiko apapun asal gadis itu tidak terluka fisik maupun hatinya.

Di sisi lain Gia pun membenarkan ucapan Haris. Mungkin seharusnya ia tak perlu ikut campur, mungkin sebaiknya Gia pura-pura tidak melihat pertengkaran Haris dan Gio di depan sekolah tadi, mungkin seharusnya Gia langsung pulang dan tidak menghampiri Haris dengan pikiran dapat mengajaknya bicara. Namun, seperti yang gadis itu katakan, rupanya kekhawatirannya terhadap Haris lebih besar hingga membuat gadis itu melawan ketakutannya.

Biasanya Gia bukanlah orang yang mudah menyerah pada sebuah perdebatan. Namun untuk hari ini, Gia memilih untuk menyerah. Sebab Haris sudah membicarakan fakta yang sama sekali tak bisa ia sanggah. Bahwa dirinya bukanlah siapa-siapa bagi Haris, dan Gia tidak seharusnya ikut campur.

Gia meneguk ludahnya sendiri, kepalanya masih setia tertunduk seakan tak lagi miliki tenaga untuk mendongak menatap Haris. Kedua bahunya merosot dan air matanya sudah lolos turun membasahi pipinya, entah sejak kapan.

Dengan suara bergetar, Gia kembali membuka suara. “Sekali lagi saya minta maaf, Kak. Kak Haris tenang aja, saya pastiin setelah ini saya nggak akan ganggu Kakak lagi. Permisi, Kak.”

Setelahnya Gia pergi. Meninggalkannya dari tempat itu, sekaligus meninggalkan Haris dengan apa yang sedang keduanya bangun secara tidak sadar.

Sementara itu Haris terpaku di tempatnya, benaknya terus mengeluarkan suara agar ia berteriak memanggil Gia agar gadis itu menghentikan langkahnya.

Panggil, Ris!

Kejar Gia!

Panggil, Ris!

Namun suaranya tercekat, seakan terdapat batu besar yang menjadi penghalang bagi suara lantangnya. Pada akhirnya, Haris memilih pasrah seiring tubuh mungil Gia menghilang dari jangkauan matanya.

Lagi-lagi Haris menghela napasnya, setelahnya pemuda itu menyugar rambutnya frustrasi. Haris mengumpat seraya menendang batu-batu kecil di jalanan. Memilih melampiaskan amarahnya pada kerikil-kerikil yang tak bersalah itu.

Setelah ini entah apa yang akan terjadi. Yang jelas, esok dan seterusnya akan menjadi hari yang tak lagi mudah ia jalani seperti biasanya.

Dan satu hal lagi, mungkin apa yang selama ini sedang berusaha ia bangun bersama Gia itu harus terhenti. Sampai di sini.

tw // body shaming

Sore itu Haris sengaja duduk-duduk di depan gedung sekolah. Tak melakukan apa-apa, tak berniat apa-apa, pemuda itu hanya ingin duduk dan membiarkan pikirannya melanglang buana seraya raganya menikmati embusan angin yang bertiup halus menyapu wajahnya.

Haris sendirian kala itu, tadinya Dhimas dan Ojan menemaninya, namun Ojan diminta menghadap guru Bahasa Indonesia sebab tugasnya kurang dan Dhimas melipir entah ke mana.

Samar-samar, Haris mendengar kanan-kirinya dipenuhi percakapan orang-orang. Rasanya pemuda itu tinggal memilih saja ingin fokus pada suara yang mana jika ingin menguping salah satu dari mereka. Hingga tanpa sengaja, telinganya menangkap sebuah suara paling dominan.

Awalnya Haris cuek, sebab itu hanya suara dari segerombolan lelaki yang Haris tebak satu angkatan di bawahnya. Haris tak ingin tahu, karena dirinya pun lelaki. Sedikit banyaknya Haris tau apa yang biasanya menjadi topik obrolan dalam sebuah tongkrongan. Setidaknya hingga sebuah nama yang melekat di benaknya terucap di tengah-tengah perkumpulan.

Haris menoleh cepat ketika mendengar nama Gia disebut. Matanya menyipit, berusaha memperjelas penglihatannya akan para anggota gerombolan yang membicarakan gadis yang ia kenali itu. Detik itu, darahnya seakan dipanaskan hingga naik ke ubun-ubun sebab yang ia lihat rupanya adalah seseorang yang selama ini diam-diam ia targetkan sebagai musuhnya. Di sana, tepat di depan matanya, orang-orang yang membicarakan Gia adalah Gio dan teman-temannya.

Namun Haris masih berusaha menahan emosinya dalam diam. Pemuda itu mengepalkan tangannya, berkali-kali menyugesti dirinya sendiri agar tetap berpikir panjang untuk tidak semena-mena melayangkan sebuah tinju ke pelipis Gio yang dengan asyik tertawa seraya menjelek-jelekkan Anggia di depan matanya.

Haris memutuskan untuk mempertajam telinganya, diam-diam ia berharap bahwa dirinya salah dengar. Hatinya berdoa supaya nama yang ia dengar barusan bukanlah Anggia. Namun harapannya hangus ketika mendengar Gio kembali bicara.

“Tapi lo semalem jadi ke rumahnya, Gi?” tanya seorang teman Gio yang Haris tak tahu—atau lebih tepatnya tidak peduli—siapa namanya.

Pertanyaan itu membuat Gio mengangguk, kemudian memasang wajah kesal. “Iya, tapi gue diusir gitu aja karena katanya kedatangan gue nggak ada di jadwal dia. Belagu banget, kan?”

Seketika, teman-temannya itu menertawai Gio. “Lagian lo ngapain sih, kayaknya getol banget deketin dia? Lo naksir beneran?”

“Ya, enggak. Gue deketin Gia iseng aja sih, tapi emang ada rencana gue pacarin. Cuma nggak lama-lama, sebulan dua bulan aja abis itu gue tinggal,” balas Gio.

“Maksudnya lo mau mainin dia gitu?”

Gio mengangguk-angguk yakin, “Ya iyalah! Emang ada yang mau beneran sama cewek kayak Gia gitu? Cewek kayak dia mah terlalu polos buat diajak pacaran, emang cocoknya jadi bahan iseng doang.”

Salah seorang lain mengangguk, “Bener, sih! Tapi gue liat-liat Gia lumayan, kok.”

Gio menggeleng seraya mengernyit, “Enggak ah. Mukanya standar, biasa aja. Nggak cantik-cantik banget. Terus—sorry nih ya, badannya juga nggak enak diliat. Nggak ada lekukannya. Cewek apaan dah rata banget? Triplek?”

“Ya badannya udah lebih bagus sih dibanding dia waktu SD dulu, tapi tetep aja nggak enak diliat. Kayak nggak niat jadi cewek dah jadinya, ceking banget gitu kayak orang penyakitan,” ucap Gio lagi.

Teman-temannya tertawa seakan hal itu adalah sesuatu yang lucu. “Parah lu, Gi! Emang waktu SD Gia gimana, dah?”

Gio membiarkan tawanya menyembur sebelum membalas, “PPFT! Lebih parah lagi, kayak babi aer. Gemuk banget!” Setelahnya Gio bahkan menggembungkan pipinya sebagai representasi betapa gemuknya Gia dulu.

Cukup sudah. Haris tak lagi mampu menahan amarahnya sendiri, Haris tak lagi mampu mengurung amarahnya di dalam akal sehatnya. Hari itu, Haris membiarkannya lepas begitu saja. Sebab hatinya ikut teriris, kepalanya bahkan terasa panas akibat amarah yang kian mendidih dan siap untuk meledak sejak awal jika empunya tak menahan diri.

Secepat kilat Haris bangkit untuk menghampiri Gio. Kedatangannya tentu saja menginterupsi obrolan komplotan pemuda itu. Tanpa basa-basi, Haris menarik kerah kemeja Gio penuh amarah dan melayangkan satu pukulan keras tepat pada tulang pipi Gio.

Gio tersungkur di jalanan, sementara teman-temannya yang lain sibuk melarikan diri agar tidak turut menjadi sasaran pukulan Haris. Membuat Gio panik sekaligus merasakan sakit yang menjalar di wajahnya.

Belum selesai dengan amarahnya, Haris kembali menarik kerah Gio kasar. Memaksanya untuk kembali berdiri. “Ngomong apa lo barusan?” tanyanya penuh emosi. Suaranya lebih dalam dari biasanya, wajahnya memerah dan penuh keringat, tak lupa tatapannya yang dingin dan menusuk itu tak sedikitpun lepas dari Gio.

Pemuda yang lebih muda itu hanya diam, nyalinya ciut menatap Haris yang jauh lebih tinggi darinya. Haris kembali mengulang pertanyaannya, kali ini dengan intonasi yang lebih kasar. “Ngomong apa lo barusan?!”

Tak ada jawaban dari Gio, membuat Haris tak lagi dapat bersabar. “Bangsat!” umpat Haris.

BUGH!

Satu lagi pukulan menghantam wajah mulus yang selalu Gio agung-agungkan. Kali ini tepat mengenai sudut bibirnya, membuat Gio harus merasakan rasa logam yang khas di dalam mulutnya. Ia tak melawan, lebih tepatnya tak berani melawan. Gio tahu dirinya bisa lebih hancur dari ini jika berusaha melawan Haris. Gio tahu melawan Haris hanya akan membuat emosi kakak kelasnya itu semakin membesar dan justru akan mencelakakan dirinya sendiri.

“Lo bilang apa soal Gia?” tanya Haris, kali ini lebih jelas dari dua pertanyaan yang ia lontarkan sebelumnya.

Alih-alih langsung memberikan jawaban, Gio memanfaatkan waktu untuk meringis. Di hadapannya nampak Haris dengan kemejanya yang basah akan peluh, dadanya naik turun dengan napas terengah-engah yang disebabkan oleh emosi dan tenaganya yang hampir habis.

“Lo mukulin gue cuma karena Gia, Bang? Gue—” Gio menghela napas sebelum melanjutkan bicaranya sebab rasa sakit yang ia rasakan setiap kali membuka mulutnya. “Apapun yang lo denger, intinya yang gue omongin itu fakta.”

Marah. Haris semakin marah melihat bahwa Gio sama sekali tidak jengah. Jangan tanya semendidih apa kepalanya sekarang, Haris bahkan dapat merasakan darahnya berdesir hebat mengalir menuju kedua tangannya. Seakan memberinya kekuatan penuh untuk kembali merusak wajah Gio dengan pukulan-pukulannya.

Haris masih menatap Gio dengan tatapan yang sama sekali tak menunjukkan keramahan. Tatapannya begitu tajam hingga rasanya dapat membunuh siapapun yang bersirobok dengan netra kelam milik Haris kala itu.

“Cari cewek lain aja, Bang. Pacaran sama Gia mah nggak bakal puas. Itu cewek kalo dipeluk juga nggak bakal ada rasanya,” balas Gio.

“Bajingan!” umpat Haris, cengkeraman tangannya di kerah Gio semakin mengencang. Membuat Gio semakin tercekik. Setelahnya Haris kembali termakan emosi, pria itu meninju Gio untuk yang ketiga kalinya. Kali ini yang paling parah, pukulan Haris mengenai batang hidung Gio hingga menyebabkan darah segar mengalir dari sana.

Persetan dengan segalanya, Haris benar-benar termakan emosi hingga melupakan dirinya dan segala konsekuensi yang akan menimpanya. Gio kini kembali tersungkur. Secepat kilat Haris menindih perut Gio dengan lututnya, mencegahnya untuk bangun.

Setelahnya diangkatnya kepalan tangannya tinggi-tinggi, bersiap untuk melayangkan pukulan mematikan yang mewakili semua amarahnya.

Namun, belum sempat tangannya bergerak lebih jauh, sebuah suara membuatnya tersentak.

“ASTAGA, KAK HARIS! UDAH, KAK!”

Haris menoleh, di hadapannya, Gia muncul dengan raut wajah penuh ketakutan dan kekhawatiran. Gadis itu berlari tergopoh-gopoh ke arahnya dan Gio. Detik itu, baru-lah kesadarannya kembali. Kemudian pandangannya kembali terarah pada Gio yang kini memiliki wajah penuh luka. Pupil Haris melebar, setelahnya sontak ia menjauhi Gio yang tak henti-hentinya meringis memegangi hidungnya yang terus mengeluarkan darah.

Tak lama, Dhimas dan Ojan turut meneriaki namanya. Kedua temannya itu sama terkejutnya dengan Gia, tak ada yang menyangka Haris bisa kelepasan hingga melakukan hal sejauh ini. “RIS, ANJING LO NGAPAIN?!” ujar Ojan panik. “LO MUKULIN GIO?” tanyanya lagi.

Haris hanya diam. Kepalanya menunduk dalam-dalam seraya sesekali netranya memandangi Gia yang dengan hati-hati membantu Gio berdiri. Ah, andai gadis itu tahu betapa pantasnya Gio mendapatkan semua luka di wajahnya, bahkan lebih dari itu.

Di sebelahnya Ojan pun turut kesal, “Jawab, anjing!”

Ragu, Haris merasakan seluruh tubuhnya kaku. Terlebih ketika menjumpai mata Gia yang penuh air mata itu kini tertuju kepadanya. Detik itu, Haris tersadar bahwa satu dari sekian banyak konsekuensi yang akan ia dapatkan adalah Gia akan menjauhinya.

Haris kembali menunduk, memutus kontak mata dengan milik Gia yang sedari tadi menunggu jawaban. Setelahnya ia mengangguk.

Tak ada yang ia lakukan, Haris hanya memejamkan matanya seiring helaan napas kecewa terdengar dari Dhimas dan Ojan. Setelahnya Dhimas memukul bahu Haris keras, “Lo mau bikin mati anak orang?! Pake otak lo, Ris! Nggak seharusnya lo kayak gini, tau nggak?”

Baru saja emosinya mereda, namun Haris kembali naik darah ketika mendengar perkataan Dhimas, ditepisnya tangan Dhimas sebelum kembali membalas perkataannya. “Lo nggak tau permasalahannya! Si Bangsat ini yang harusnya pake otak!” ujarnya seraya menunjuk Gio. Membuat tubuhnya otomatis ditahan oleh Dhimas dan Ojan, takut-takut Haris akan menghantam Gio sekali lagi.

Haris sudah tak peduli lagi dengan kondisi Gio saat ini. Yang kini memenuhi benaknya adalah tak ada seorang pun yang boleh membicarakan Gia sebagaimana Gio membicarakan gadis itu dengan mulut kotornya. Haris menatap Gio yang kini mengalungkan sebelah tangannya di leher Gia, amarahnya semakin membara melihat bagaimana Gio berpura-pura lemas dan meletakkan kepalanya di bahu Gia.

“Eh, lo denger ya! Sekali lagi gue denger omongan kayak tadi dari lo, gue pastiin nggak akan ada satu kata pun yang bisa keluar dari mulut sampah lo itu!” tegas Haris. Setelahnya pria itu memilih untuk pergi.

Sekon berikutnya, Dhimas dan Ojan beranjak dari tempatnya. Kedua temannya itu memilih untuk menolong Gio, menggantikan Gia untuk membopongnya ke UKS.

tw // body shaming

Sore itu Haris sengaja duduk-duduk di depan gedung sekolah. Tak melakukan apa-apa, tak berniat apa-apa, pemuda itu hanya ingin duduk dan membiarkan pikirannya melanglang buana seraya raganya menikmati embusan angin yang bertiup halus menyapu wajahnya.

Haris sendirian kala itu, tadinya Dhimas dan Ojan menemaninya, namun Ojan diminta menghadap guru Bahasa Indonesia sebab tugasnya kurang dan Dhimas melipir entah ke mana.

Samar-samar, Haris mendengar kanan-kirinya dipenuhi percakapan orang-orang. Rasanya pemuda itu tinggal memilih saja ingin fokus pada suara yang mana jika ingin menguping salah satu dari mereka. Hingga tanpa sengaja, telinganya menangkap sebuah suara paling dominan.

Awalnya Haris cuek, sebab itu hanya suara dari segerombolan lelaki yang Haris tebak satu angkatan di bawahnya. Haris tak ingin tahu, karena dirinya pun lelaki. Sedikit banyaknya Haris tau apa yang biasanya menjadi topik obrolan dalam sebuah tongkrongan. Setidaknya hingga sebuah nama yang melekat di benaknya terucap di tengah-tengah perkumpulan.

Haris menoleh cepat ketika mendengar nama Gia disebut. Matanya menyipit, berusaha memperjelas penglihatannya akan para anggota gerombolan yang membicarakan gadis yang ia kenali itu. Detik itu, darahnya seakan dipanaskan hingga naik ke ubun-ubun sebab yang ia lihat rupanya adalah seseorang yang selama ini diam-diam ia targetkan sebagai musuhnya. Di sana, tepat di depan matanya, orang-orang yang membicarakan Gia adalah Gio dan teman-temannya.

Namun Haris masih berusaha menahan emosinya dalam diam. Pemuda itu mengepalkan tangannya, berkali-kali menyugesti dirinya sendiri agar tetap berpikir panjang untuk tidak semena-mena melayangkan sebuah tinju ke pelipis Gio yang dengan asyik tertawa seraya menjelek-jelekkan Anggia di depan matanya.

Haris memutuskan untuk mempertajam telinganya, diam-diam ia berharap bahwa dirinya salah dengar. Hatinya berdoa supaya nama yang ia dengar barusan bukanlah Anggia. Namun harapannya hangus ketika mendengar Gio kembali bicara.

“Tapi lo semalem jadi ke rumahnya, Gi?” tanya seorang teman Gio yang Haris tak tahu—atau lebih tepatnya tidak peduli—siapa namanya.

Pertanyaan itu membuat Gio mengangguk, kemudian memasang wajah kesal. “Iya, tapi gue diusir gitu aja karena katanya kedatangan gue nggak ada di jadwal dia. Belagu banget, kan?”

Seketika, teman-temannya itu menertawai Gio. “Lagian lo ngapain sih, kayaknya getol banget deketin dia? Lo naksir beneran?”

“Ya, enggak. Gue deketin Gia iseng aja sih, tapi emang ada rencana gue pacarin. Cuma nggak lama-lama, sebulan dua bulan aja abis itu gue tinggal,” balas Gio.

“Maksudnya lo mau mainin dia gitu?”

Gio mengangguk-angguk yakin, “Ya iyalah! Emang ada yang mau beneran sama cewek kayak Gia gitu? Cewek kayak dia mah terlalu polos buat diajak pacaran, emang cocoknya jadi bahan iseng doang.”

Salah seorang lain mengangguk, “Bener, sih! Tapi gue liat-liat Gia lumayan, kok.”

Gio menggeleng seraya mengernyit, “Enggak ah. Mukanya standar, biasa aja. Nggak cantik-cantik banget. Terus—sorry nih ya, badannya juga nggak enak diliat. Nggak ada lekukannya. Cewek apaan dah rata banget? Triplek?”

“Ya badannya udah lebih bagus sih dibanding dia waktu SD dulu, tapi tetep aja nggak enak diliat. Kayak nggak niat jadi cewek dah jadinya, ceking banget gitu kayak orang penyakitan,” ucap Gio lagi.

Teman-temannya tertawa seakan hal itu adalah sesuatu yang lucu. “Parah lu, Gi! Emang waktu SD Gia gimana, dah?”

Gio membiarkan tawanya menyembur sebelum membalas, “PPFT! Lebih parah lagi, kayak babi aer. Gemuk banget!” Setelahnya Gio bahkan menggembungkan pipinya sebagai representasi betapa gemuknya Gia dulu.

Cukup sudah. Haris tak lagi mampu menahan amarahnya sendiri, Haris tak lagi mampu mengurung amarahnya di dalam akal sehatnya. Hari itu, Haris membiarkannya lepas begitu saja. Sebab hatinya ikut teriris, kepalanya bahkan terasa panas akibat amarah yang kian mendidih dan siap untuk meledak sejak awal jika empunya tak menahan diri.

Secepat kilat Haris bangkit untuk menghampiri Gio. Kedatangannya tentu saja menginterupsi obrolan komplotan pemuda itu. Tanpa basa-basi, Haris menarik kerah kemeja Gio penuh amarah dan melayangkan satu pukulan keras tepat pada tulang pipi Gio.

Gio tersungkur di jalanan, sementara teman-temannya yang lain sibuk melarikan diri agar tidak turut menjadi sasaran pukulan Haris. Membuat Gio panik sekaligus merasakan sakit yang menjalar di wajahnya.

Belum selesai dengan amarahnya, Haris kembali menarik kerah Gio kasar. Memaksanya untuk kembali berdiri. “Ngomong apa lo barusan?” tanyanya penuh emosi. Suaranya lebih dalam dari biasanya, wajahnya memerah dan penuh keringat, tak lupa tatapannya yang dingin dan menusuk itu tak sedikitpun lepas dari Gio.

Pemuda yang lebih muda itu hanya diam, nyalinya ciut menatap Haris yang jauh lebih tinggi darinya. Haris kembali mengulang pertanyaannya, kali ini dengan intonasi yang lebih kasar. “Ngomong apa lo barusan?!”

Tak ada jawaban dari Gio, membuat Haris tak lagi dapat bersabar. “Bangsat!” umpat Haris.

BUGH!

Satu lagi pukulan menghantam wajah mulus yang selalu Gio agung-agungkan. Kali ini tepat mengenai sudut bibirnya, membuat Gio harus merasakan rasa logam yang khas di dalam mulutnya. Ia tak melawan, lebih tepatnya tak berani melawan. Gio tahu dirinya bisa lebih hancur dari ini jika berusaha melawan Haris. Gio tahu melawan Haris hanya akan membuat emosi kakak kelasnya itu semakin membesar dan justru akan mencelakakan dirinya sendiri.

“Lo bilang apa soal Gia?” tanya Haris, kali ini lebih jelas dari dua pertanyaan yang ia lontarkan sebelumnya.

Alih-alih langsung memberikan jawaban, Gio memanfaatkan waktu untuk meringis. Di hadapannya nampak Haris dengan kemejanya yang basah akan peluh, dadanya naik turun dengan napas terengah-engah yang disebabkan oleh emosi dan tenaganya yang hampir habis.

“Lo mukulin gue cuma karena Gia, Bang? Gue—” Gio menghela napas sebelum melanjutkan bicaranya sebab rasa sakit yang ia rasakan setiap kali membuka mulutnya. “Apapun yang lo denger, intinya yang gue omongin itu fakta.”

Marah. Haris semakin marah melihat bahwa Gio sama sekali tidak jengah. Jangan tanya semendidih apa kepalanya sekarang, Haris bahkan dapat merasakan darahnya berdesir hebat mengalir menuju kedua tangannya. Seakan memberinya kekuatan penuh untuk kembali merusak wajah Gio dengan pukulan-pukulannya.

Haris masih menatap Gio dengan tatapan yang sama sekali tak menunjukkan keramahan. Tatapannya begitu tajam hingga rasanya dapat membunuh siapapun yang bersirobok dengan netra kelam milik Haris kala itu.

“Cari cewek lain aja, Kak. Pacaran sama Gia mah nggak bakal puas. Itu cewek kalo dipeluk juga nggak bakal ada rasanya,” balas Gio.

“Bajingan!” umpat Haris, cengkeraman tangannya di kerah Gio semakin mengencang. Membuat Gio semakin tercekik. Setelahnya Haris kembali termakan emosi, pria itu meninju Gio untuk yang ketiga kalinya. Kali ini yang paling parah, pukulan Haris mengenai batang hidung Gio. Menyebabkan darah segar mengalir dari sana.

Persetan dengan segalanya, Haris benar-benar termakan emosi hingga melupakan dirinya dan segala konsekuensi yang akan menimpanya. Gio kini kembali tersungkur. Secepat kilat Haris menindih perut Gio dengan lututnya, mencegahnya untuk bangun.

“Lo denger ya, sekali lagi gue denger omongan kayak tadi dari lo, jangan harap satu kata pun bisa keluar dari mulut sampah lo itu!” gertak Haris.

Setelahnya diangkatnya kepalan tangannya tinggi-tinggi, bersiap untuk melayangkan pukulan mematikan yang mewakili semua amarahnya.

Namun, belum sempat tangannya bergerak lebih jauh, sebuah suara membuatnya tersentak.

“ASTAGA, KAK HARIS!”

Haris menoleh, di hadapannya, Gia muncul dengan raut wajah penuh ketakutan dan kekhawatiran. Gadis itu berlari tergopoh-gopoh ke arahnya dan Gio. Detik itu, baru-lah kesadarannya kembali. Kemudian pandangannya kembali terarah pada Gio yang kini memiliki wajah penuh luka. Pupil Haris melebar, setelahnya sontak ia menjauhi Gio yang tak henti-hentinya meringis memegangi hidungnya yang terus mengeluarkan darah.

Tak lama, Dhimas dan Ojan turut meneriaki namanya. Kedua temannya itu sama terkejutnya dengan Gia, tak ada yang menyangka Haris bisa kelepasan hingga melakukan hal sejauh ini. “RIS, ANJING LO NGAPAIN?!” ujar Ojan panik. “LO MUKULIN GIO?” tanyanya lagi.

Haris hanya diam. Kepalanya menunduk dalam-dalam seraya sesekali netranya memandangi Gia yang dengan hati-hati membantu Gio berdiri. Ah, andai gadis itu tahu betapa pantasnya Gio mendapatkan semua luka di wajahnya, bahkan lebih dari itu.

Di sebelahnya Ojan pun turut kesal, “Jawab, anjing! Kita nggak pernah lari dari masalah, Ris! Lo yang mukulin Gio sampe kayak gini?”

Ragu, Haris merasakan seluruh tubuhnya kaku. Terlebih ketika menjumpai mata Gia yang penuh air mata itu kini tertuju kepadanya. Benar kata Ojan, mereka selalu diajarkan untuk tidak lari dari masalah. Mereka diajarkan untuk selalu bertanggung jawab, bahkan keempatnya berjanji akan selalu begitu. Namun dalam lubuk hatinya Haris mengaku tidak siap, Haris tau, setelah sebuah kejujuran berhasil ia lepaskan, Gia pasti akan menjauhinya.

Haris kembali menunduk, memutus kontak mata dengan milik Gia yang sedari tadi menunggu jawaban. Setelahnya ia mengangguk.

Tak ada yang ia lakukan, Haris hanya memejamkan matanya seiring helaan napas kecewa terdengar dari Dhimas dan Ojan. Setelahnya Dhimas memukul bahu Haris keras, “Lo mau bikin mati anak orang?! Pake otak lo, Ris!”

Dhimas menghela napasnya sekali lagi, “Ris, gue nggak tau apa yang bikin lo kayak gini. Tapi lo tetep salah, nggak seharusnya lo kayak gini.”

Sekon berikutnya, Dhimas dan Ojan beranjak dari tempatnya. Kedua temannya itu memilih untuk menolong Gio, membopongnya ke UKS. Meninggalkan Haris yang masih terpaku di tempatnya.

tw // body shaming

Sore itu Haris sengaja duduk-duduk di depan gedung sekolah. Tak melakukan apa-apa, tak berniat apa-apa, pemuda itu hanya ingin duduk dan membiarkan pikirannya melanglang buana seraya raganya menikmati embusan angin yang bertiup halus menyapu wajahnya.

Haris sendirian kala itu, tadinya Dhimas dan Ojan menemaninya, namun Ojan diminta menghadap guru Bahasa Indonesia sebab tugasnya kurang dan Dhimas melipir entah ke mana.

Samar-samar, Haris mendengar kanan-kirinya dipenuhi percakapan orang-orang. Rasanya pemuda itu tinggal memilih saja ingin fokus pada suara yang mana jika ingin menguping salah satu dari mereka. Hingga tanpa sengaja, telinganya menangkap sebuah suara paling dominan.

Awalnya Haris cuek, sebab itu hanya suara dari segerombolan lelaki yang Haris tebak satu angkatan di bawahnya. Haris tak ingin tahu, karena dirinya pun lelaki. Sedikit banyaknya Haris tau apa yang biasanya menjadi topik obrolan dalam sebuah tongkrongan. Setidaknya hingga sebuah nama yang melekat di benaknya terucap di tengah-tengah perkumpulan.

Haris menoleh cepat ketika mendengar nama Gia disebut. Matanya menyipit, berusaha memperjelas penglihatannya akan para anggota gerombolan yang membicarakan gadis yang ia kenali itu. Detik itu, darahnya seakan dipanaskan hingga naik ke ubun-ubun sebab yang ia lihat rupanya adalah seseorang yang selama ini diam-diam ia targetkan sebagai musuhnya. Di sana, tepat di depan matanya, orang-orang yang membicarakan Gia adalah Gio dan teman-temannya.

Namun Haris masih berusaha menahan emosinya dalam diam. Pemuda itu mengepalkan tangannya, berkali-kali menyugesti dirinya sendiri agar tetap berpikir panjang untuk tidak semena-mena melayangkan sebuah tinju ke pelipis Gio yang dengan asyik tertawa seraya menjelek-jelekkan Anggia di depan matanya.

Haris memutuskan untuk mempertajam telinganya, diam-diam ia berharap bahwa dirinya salah dengar. Hatinya berdoa supaya nama yang ia dengar barusan bukanlah Anggia. Namun harapannya hangus ketika mendengar Gio kembali bicara.

“Tapi lo semalem jadi ke rumahnya, Gi?” tanya seorang teman Gio yang Haris tak tahu—atau lebih tepatnya tidak peduli—siapa namanya.

Pertanyaan itu membuat Gio mengangguk, kemudian memasang wajah kesal. “Iya, tapi gue diusir gitu aja karena katanya kedatangan gue nggak ada di jadwal dia. Belagu banget, kan?”

Seketika, teman-temannya itu menertawai Gio. “Lagian lo ngapain sih, kayaknya getol banget deketin dia? Lo naksir beneran?”

“Ya, enggak. Gue deketin Gia iseng aja sih, tapi emang ada rencana gue pacarin. Cuma nggak lama-lama, sebulan dua bulan aja abis itu gue tinggal,” balas Gio.

“Maksudnya lo mau mainin dia gitu?”

Gio mengangguk-angguk yakin, “Ya iyalah! Emang ada yang mau beneran sama cewek kayak Gia gitu? Cewek kayak dia mah terlalu polos buat diajak pacaran, emang cocoknya jadi bahan iseng doang.”

Salah seorang lain mengangguk, “Bener, sih! Tapi gue liat-liat Gia lumayan, kok.”

Gio menggeleng seraya mengernyit, “Enggak ah. Mukanya standar, biasa aja. Nggak cantik-cantik banget. Terus—sorry nih ya, badannya juga nggak enak diliat. Nggak ada lekukannya. Cewek apaan dah rata banget? Triplek?”

“Ya badannya udah lebih bagus sih dibanding dia waktu SD dulu, tapi tetep aja nggak enak diliat. Kayak nggak niat jadi cewek dah jadinya, ceking banget gitu kayak orang penyakitan,” ucap Gio lagi.

Teman-temannya tertawa seakan hal itu adalah sesuatu yang lucu. “Parah lu, Gi! Emang waktu SD Gia gimana, dah?”

Gio membiarkan tawanya menyembur sebelum membalas, “PPFT! Lebih parah lagi, kayak babi aer. Gemuk banget!” Setelahnya Gio bahkan menggembungkan pipinya sebagai representasi betapa gemuknya Gia dulu.

Cukup sudah. Haris tak lagi mampu menahan amarahnya sendiri, Haris tak lagi mampu mengurung amarahnya di dalam akal sehatnya. Hari itu, Haris membiarkannya lepas begitu saja. Sebab hatinya ikut teriris, kepalanya bahkan terasa panas akibat amarah yang kian mendidih dan siap untuk meledak sejak awal jika empunya tak menahan diri.

Secepat kilat Haris bangkit untuk menghampiri Gio. Kedatangannya tentu saja menginterupsi obrolan komplotan pemuda itu. Tanpa basa-basi, Haris menarik kerah kemeja Gio penuh amarah dan melayangkan satu pukulan keras tepat pada tulang pipi Gio.

Gio tersungkur di jalanan, sementara teman-temannya yang lain sibuk melarikan diri agar tidak turut menjadi sasaran pukulan Haris. Membuat Gio panik sekaligus merasakan sakit yang menjalar di wajahnya.

Belum selesai dengan amarahnya, Haris kembali menarik kerah Gio kasar. Memaksanya untuk kembali berdiri. “Ngomong apa lo barusan?” tanyanya penuh emosi. Suaranya lebih dalam dari biasanya, wajahnya memerah dan penuh keringat, tak lupa tatapannya yang dingin dan menusuk itu tak sedikitpun lepas dari Gio.

Pemuda yang lebih muda itu hanya diam, nyalinya ciut menatap Haris yang jauh lebih tinggi darinya. Haris kembali mengulang pertanyaannya, kali ini dengan intonasi yang lebih kasar. “Ngomong apa lo barusan?!”

Tak ada jawaban dari Gio, membuat Haris tak lagi dapat bersabar. “Bangsat!” umpat Haris.

BUGH!

Satu lagi pukulan menghantam wajah mulus yang selalu Gio agung-agungkan. Kali ini tepat mengenai sudut bibirnya, membuat Gio harus merasakan rasa logam yang khas di dalam mulutnya. Ia tak melawan, lebih tepatnya tak berani melawan. Gio tahu dirinya bisa lebih hancur dari ini jika berusaha melawan Haris. Gio tahu melawan Haris hanya akan membuat emosi kakak kelasnya itu semakin membesar dan justru akan mencelakakan dirinya sendiri.

“Lo bilang apa soal Gia?” tanya Haris, kali ini lebih jelas dari dua pertanyaan yang ia lontarkan sebelumnya.

Alih-alih langsung memberikan jawaban, Gio memanfaatkan waktu untuk meringis. Di hadapannya nampak Haris dengan kemejanya yang basah akan peluh, dadanya naik turun dengan napas terengah-engah yang disebabkan oleh emosi dan tenaganya yang hampir habis.

“Lo mukulin gue cuma karena Gia, Bang? Gue—” Gio menghela napas sebelum melanjutkan bicaranya sebab rasa sakit yang ia rasakan setiap kali membuka mulutnya. “Apapun yang lo denger, intinya yang gue omongin itu fakta.”

Marah. Haris semakin marah melihat bahwa Gio sama sekali tidak jengah. Jangan tanya semendidih apa kepalanya sekarang, Haris bahkan dapat merasakan darahnya berdesir hebat mengalir menuju kedua tangannya. Seakan memberinya kekuatan penuh untuk kembali merusak wajah Gio dengan pukulan-pukulannya.

Haris masih menatap Gio dengan tatapan yang sama sekali tak menunjukkan keramahan. Tatapannya begitu tajam hingga rasanya dapat membunuh siapapun yang bersirobok dengan netra kelam milik Haris kala itu.

“Cari cewek lain aja, Kak. Pacaran sama Gia mah nggak bakal puas. Itu cewek kalo dipeluk juga nggak bakal ada rasanya,” balas Gio.

“Bajingan!” umpat Haris, cengkeraman tangannya di kerah Gio semakin mengencang. Membuat Gio semakin tercekik. Setelahnya Haris kembali termakan emosi, pria itu meninju Gio untuk yang ketiga kalinya. Kali ini yang paling parah, pukulan Haris mengenai batang hidung Gio. Menyebabkan darah segar mengalir dari sana.

Persetan dengan segalanya, Haris benar-benar termakan emosi hingga melupakan dirinya dan segala konsekuensi yang akan menimpanya. Gio kini kembali tersungkur. Secepat kilat Haris menindih perut Gio dengan lututnya, mencegahnya untuk bangun. Diangkatnya kepalan tangannya tinggi-tinggi, bersiap untuk melayangkan pukulan mematikan yang mewakili semua amarahnya.

Namun, belum sempat tangannya bergerak lebih jauh, sebuah suara membuatnya tersentak.

“ASTAGA, KAK HARIS!”

Haris menoleh, di hadapannya, Gia muncul dengan raut wajah penuh ketakutan dan kekhawatiran. Gadis itu berlari tergopoh-gopoh ke arahnya dan Gio. Detik itu, baru-lah kesadarannya kembali. Kemudian pandangannya kembali terarah pada Gio yang kini memiliki wajah penuh luka. Pupil Haris melebar, setelahnya sontak ia menjauhi Gio yang tak henti-hentinya meringis memegangi hidungnya yang terus mengeluarkan darah.

Tak lama, Dhimas dan Ojan turut meneriaki namanya. Kedua temannya itu sama terkejutnya dengan Gia, tak ada yang menyangka Haris bisa kelepasan hingga melakukan hal sejauh ini. “RIS, ANJING LO NGAPAIN?!” ujar Ojan panik. “LO MUKULIN GIO?” tanyanya lagi.

Haris hanya diam. Kepalanya menunduk dalam-dalam seraya sesekali netranya memandangi Gia yang dengan hati-hati membantu Gio berdiri. Ah, andai gadis itu tahu betapa pantasnya Gio mendapatkan semua luka di wajahnya, bahkan lebih dari itu.

Di sebelahnya Ojan pun turut kesal, “Jawab, anjing! Kita nggak pernah lari dari masalah, Ris! Lo yang mukulin Gio sampe kayak gini?”

Ragu, Haris merasakan seluruh tubuhnya kaku. Terlebih ketika menjumpai mata Gia yang penuh air mata itu kini tertuju kepadanya. Benar kata Ojan, mereka selalu diajarkan untuk tidak lari dari masalah. Mereka diajarkan untuk selalu bertanggung jawab, bahkan keempatnya berjanji akan selalu begitu. Namun dalam lubuk hatinya Haris mengaku tidak siap, Haris tau, setelah sebuah kejujuran berhasil ia lepaskan, Gia pasti akan menjauhinya.

Haris kembali menunduk, memutus kontak mata dengan milik Gia yang sedari tadi menunggu jawaban. Setelahnya ia mengangguk.

Tak ada yang ia lakukan, Haris hanya memejamkan matanya seiring helaan napas kecewa terdengar dari Dhimas dan Ojan. Setelahnya Dhimas memukul bahu Haris keras, “Lo mau bikin mati anak orang?! Pake otak lo, Ris!”

Dhimas menghela napasnya sekali lagi, “Ris, gue nggak tau apa yang bikin lo kayak gini. Tapi lo tetep salah, nggak seharusnya lo kayak gini.”

Sekon berikutnya, Dhimas dan Ojan beranjak dari tempatnya. Kedua temannya itu memilih untuk menolong Gio, membopongnya ke UKS. Meninggalkan Haris yang masih terpaku di tempatnya.

Gia bergegas keluar setelah membaca pesan Alwan yang menyatakan bahwa pria itu sudah sampai (lagi) di depan rumahnya. Setelah tadi mengantarnya pulang, Alwan kembali untuk mengantarkan buku catatan Sosiologi milik Gia yang ia pinjam. Terpaksa, sebab ada tugas yang harus dikerjakan dan dikumpulkan esok hari.

Gadis itu celingak-celinguk, mencari keberadaan Alwan di depan pagar rumahnya. Setelahnya menengok ke sebelah kanan lantaran mendengar suara klakson dan deru mesin motor yang masih menyala. Saat itu, Gia terdiam kaku.

Pernahkah melihat teman sekelas laki-laki yang setiap hari mengenakan seragam sekolah yang sama, lalu kemudian melihatnya dengan baju bebas untuk pertama kalinya? Ada yang berbeda di sana. Di lubuk hatinya, Gia menyatakan bahwa Alwan mempesona malam itu. Pemuda itu muncul di hadapannya dengan celana olahraga panjang dan kaus hitam berlengan pendek yang menampilkan otot-otot lengannya. Kaus hitam yang membingkai bahu kekarnya jauh lebih baik daripada seragam sekolah.

“Gi!” panggilnya. Gadis itu tersentak, kemudian segera menghampiri Alwan dengan senyum yang ramah.

“Nih bukunya,” ucap Alwan.

Sebelah tangan Gia meraih buku catatan bersampul cokelat yang diberikan Alwan, kemudian membuka lembarannya. Matanya ia sapukan pada setiap baris tulisan yang merupakan hasil karyanya, mengecek sampai mana tugasnya terakhir kali ia kerjakan.

Setelahnya gadis itu kembali melihat ke arah Alwan, “Kamu udah selesai ngerjainnya? Ini nggak pa-pa kalo aku ambil lagi?”

“Udah, udah semua kok. Makasih banyak yaa, maaf banget tadi gue lupa bawa ke sekolah. Gue baru inget besok ada Sosiologi, gue pikir pelajarannya masih lusa.”

“Iyaa, sama aku juga baru inget gara-gara tadi Zahra nanyain,” balas Gia. “Makasih ya, Alwan! Maaf jadi ngerepotin harus balik lagi ke sini.”

Pria itu menggeleng dengan senyuman tipis seakan permintaan Gia bukan masalah besar. “Santai, Gi.”

“Hmm, kamu mau langsung pulang?” tanya Gia. Sejujurnya gadis itu canggung. Dalam hatinya, Gia merasa tidak enak hati jika langsung menyuruh Alwan pulang sebab Alwan harus kembali menempuh jarak dari rumahnya untuk sampai ke sini. Namun, ia pun tidak bisa mengajaknya masuk sebab Gia adalah satu-satunya orang yang sedang berada di rumah saat itu. Rasanya tidak etis jika mengajak Alwan masuk malam-malam begini.

Belum sempat sebuah kata meluncur dari bibir Alwan, suara deru motor yang lebih berisik menginterupsi percakapan keduanya. Kedua remaja itu menoleh ke arah yang sama, kemudian sama-sama menyipitkan matanya lantaran sinar lampu depan motor yang begitu menyilaukan.

Sang tamu tak diundang itu akhirnya mematikan mesin. Membuat Alwan dan Gia tak perlu lagi menghindari pancaran sinar lampu yang begitu terang itu. Sepersekian detik, Gia terkejut. Rupanya tamu tak diundang itu adalah Gio. Seorang Giovanno Sadewa, yang jika semua orang tahu hadir di rumahnya malam ini, maka akan membuat keributan dan kehebohan dalam sekejap.

“Gio? Kamu ngapain?” tanya Gia. Di sebelahnya, Alwan memasang ekspresi sama bingungnya dengan Gia.

Sementara yang menjadi pusat perhatian itu tersenyum miring, “Hai, Gi! Gue nggak ganggu, kan?”

Percayalah, saat itu Gia tak tahu harus menjawab apa. Bukankah tidak sopan bertamu ke rumah orang lain secara tiba-tiba tanpa mengabari sang penghuni rumah? Apalagi sekarang Gia sedang menerima tamu, yang benar-benar ia undang sebelumnya.

“Ehm, gimana ya? Aku juga lagi ada temenku sih ini. Kamu ada perlu apa?” tanya Gia. Masih berusaha menyamarkan ketidaksukaannya akan kehadiran Gio melalui setiap tutur katanya.

Seraya menampilkan wajah sombongnya, Gio dengan bangga mengangkat sebuah bingkisan berisi kue bolu yang memang terlihat menggiurkan. “Ini, titipan dari Mama.”

“Kok Mama kamu bisa nitipin buat aku? Kamu tau rumahku juga dari mana deh?” tanya Gia bertubi-tubi.

“Gue cerita kita satu sekolah lagi. Kalo soal rumah lo, gue nggak pernah lupa dari dulu,” balas Gio. “By the way, ini siapa, Gi?” tanyanya seraya menunjuk Alwan.

Sopan, meskipun jengkel setengah mati, Alwan menjulurkan tangan kanannya. “Alwan, temen sekelasnya Gia.”

Gio tak membalas, pria itu hanya mengangguk-angguk dengan tatapan yang begitu jelas merendahkan Alwan. Sikapnya seolah-olah ia akan menderita gatal-gatal jika tangan mulus terawatnya itu bersentuhan dengan tangan penuh urat milik Alwan.

Dengan kesal kemudian Alwan menarik kembali tangannya yang sengaja diabaikan oleh lawan bicaranya. Dalam hati ia mengumpat, ia bersumpah bahwa badan mungil Gio bisa remuk seketika jika Anggia tidak ada di sebelahnya saat itu.

“Oh, temen sekelas. Thankfully he's not your boyfriend ya, Gi? You're lowering your standard deh, kalo sama dia,” balas Gio.

Tak hanya Alwan, Gia pun tersinggung mendengarnya. “Maksud kamu apa ya? Kamu dateng ke sini mau buat keributan, kah?”

Gio terkekeh, “No offense, Anggi. Gue kan cuma berpendapat.”

Pendapat lu sampah banget, bajingan. Laki-laki mulutnya lemes amat, batin Alwan.

Sebelum mendengar lebih jauh perdebatan antara Gio dan Gia, dan sebelum batas kesabarannya dihabiskan oleh Gio yang terus-menerus merendahkannya secara terang-terangan, Alwan memilih untuk pamit.

“Gi, gue balik ya? Takutnya kemaleman buat ngerjain tugasnya. Makasih sekali lagi pinjeman bukunya,” ucap Alwan.

Gia menoleh cepat, kemudian mengangguk meski ragu. “Gitu ya? Ya udah, hati-hati ya, Alwan! Aku yang makasih kamu mau repot-repot balik lagi ke sini.”

Alwan hanya mengangguk cepat, setelahnya ia membunyikan klakson sebagai tanda perpisahan sebelum akhirnya melajukan motornya menjauh dari rumah Gia.

Sekarang hanya tersisa Gio dan Gia yang menatap Alwan yang kian menghilang dari pandangannya. Gadis itu mendesah kecewa dalam hatinya, bukan Alwan yang ia harapkan untuk pergi saat itu. Melainkan Gio. Namun, malah Gio yang kini tersisa di hadapannya.

“Kamu cuma mau nitipin ini doang, kan? Aku terima ya, makasih banyak,” ucap Gia, berniat mengambil bingkisan yang dibawakan Gio. Namun Gio mencegahnya.

“Eits, nanti dulu kali? Emangnya lo nggak mau ngobrol sama gue? Gue nggak ditawarin masuk nih? Kok lo gitu sih sama sahabat lama lo?”

Sahabat, katanya? Gia mendecih dalam hati. Keduanya memang dekat sewaktu masih di Sekolah Dasar. Namun, selalu bersama bukan berarti Gio selalu memperlakukannya dengan baik, kan? Gia kecil mungkin menganggap Gio yang dulu sebagai pangeran dengan kuda putih. Baik hati, Sempurna, dikagumi setiap mata yang memandangnya. Tetapi Gio tak pernah sekalipun memandangnya sebagai seorang putri kerajaan yang selalu digambarkan sebagai sandingannya.

Tak jarang Gio memarahi Gia sebab selalu berada di dekatnya hingga tercipta rumor bahwa mereka adalah sepasang kekasih. Tak jarang Gio menghina fisik Gia, mengatainya gemuk, pendek, jelek. Bahkan tak jarang Gio berkata bahwa dirinya malu mempunyai teman seperti Gia. Satu-satunya alasan Gia menganggap pemuda itu baik adalah karena mamanya.

Mama Gio memang selalu menganggapnya sebagai anak sendiri, setiap pagi ketika melihat rambut Gia masih terurai karena tak sempat dikuncir lantaran kebiasaannya bangun siang, Mama Gio akan selalu menata rambutnya dengan rapi. Kepang satu, kuncir dua, cepol kanan-kiri, apapun yang membuat Gia-setidaknya-lebih percaya diri. Sebab setelahnya, Mama Gio akan memberikan usapan lembut di wajahnya seraya mengatakan bahwa Gia adalah anak perempuan paling cantik yang pernah hadir di hadapannya.

“Maaf ya, Gio. Bukannya aku nggak mau, tapi sekarang rumahku lagi nggak ada siapa-siapa. Nggak etis rasanya kalo aku nerima kamu masuk, apalagi ini udah malem. Aku juga ada tugas yang harus dikerjain, bukan rencanaku untuk ngobrol sama kamu malem ini. Lain kali, kalo mau bertamu coba komunikasikan dulu ya?” balas Gia lugas. Halus, namun cukup tegas.

“Lagipula kamu bukannya seleb gitu ya? Bukannya harusnya kamu ngerti kalo apa-apa itu harus dikomunikasikan dulu? Nggak bisa langsung dadakan, kan?” ujarnya lagi. “Aku yakin kamu pasti nggak suka kalo jadwalmu dirusak karena event dadakan. Sama, aku juga. Kedatangan kamu kan tanpa undangan aku, tanpa permintaan aku. Jadi, aku berhak nolak kamu. Maaf ya, sekali lagi. Aku nggak bisa ngajak kamu ngobrol lama-lama, aku harus masuk. Ini udah jam delapan, mending kamu pulang juga. Besok kita masih ada kewajiban untuk sekolah.” Setelahnya Gia beranjak masuk.

Gio mendecih terang-terangan, “Lo kalo nggak suka gue dateng ke sini, ngomong!”

Seketika Gia membalikkan badan, kembali menatap Gio. Kali ini sorot matanya terlihat lebih jelas memancarkan ketidaksukaannya. “Iya, aku nggak suka kamu dateng ke sini. Nggak ada ngomong dulu, nggak ada izin dulu, terus tiba-tiba kamu dateng ke sini kemudian ngerendahin temen aku. Satu hal yang harus kamu tau, Gio, kamu nggak sopan!”

Gio mendelik tidak suka, “Heh, denger ya! Satu hal yang harus lo tau juga, Gia, lo belagu! Lo pikir lo sehebat apa sampe bisa ngusir gue? Sampe bisa sok-sokan nolak gue? Lo pikir gue nggak tau lo ngasih cokelat pemberian gue ke temen lo itu?”

Gia terdiam, cukup terkejut dengan penuturan Gio yang tiba-tiba meledak-ledak dan kasar. “Ngaca, Gi! Lo nggak ada bedanya sama lo waktu SD. Lo pikir sekarang lo udah cantik? Enggak! Lo sama aja, dan lo nggak secantik yang lo bayangin. Lo pikir ada yang mau sama lo, Gi? Gue mau deketin lo aja udah keitung baik banget. Harusnya lo bersyukur bisa gue sapa, bisa gue datengin ke rumah lo begini. Tapi emang dari dulu lo sama aja—”

Gio menggantung kalimatnya. Sekon berikutnya pemuda itu mendekatkan bibirnya ke telinga Gia. Membisikkan kata-kata yang membuat hati gadis itu terasa seperti ditimpa batu besar yang turut membuat harga dirinya jatuh.

Nggak tau diri,” bisik Gio.

Setelahnya Gia terpaku. Gadis itu bahkan mengabaikan Gio yang meletakkan bingkisannya asal, kemudian berlalu. Malam itu Gia tahu hanya raga Gio yang pergi. Namun rasanya pemuda itu turut membawa pergi seluruh kepercayaan dirinya yang telah Gia pupuk sendiri selama bertahun-tahun.

Agung memarkirkan vespa biru kesayangannya di halaman rumah dengan repot sendiri lantaran pria itu harus membuka gerbangnya sendiri sebab keponakan satu-satunya itu nampak tertidur pulas dengan kepala yang bersandar pada kursi kayu panjang di teras rumah. Tangannya menjuntai lemas, membuat ponselnya bahkan terlepas dan tergeletak di lantai. Mungkin itu sebabnya ketika Agung meneleponnya, gadis itu tidak menjawab

Dengan sebelah tangannya Agung menepuk-nepuk pipi Gia perlahan. Iseng, sesekali ia mencolok-colok pipi Gia dengan telunjuk panjangnya. Gadis itu menggeliat sebelum akhirnya mengerjapkan matanya. “Bangun, Gi! Ngapain dah lu tidur di sini?” ucap Agung.

Gia mengusak kedua matanya, setelahnya gadis itu berusaha keras untuk membuka mata dan menatap ke arah om-nya yang baru pulang. Dengan suara parau, Gia menjawab pertanyaan Agung. “Kan mati lampu, gelap ah Gia takut sendirian di dalem!”

“Belom nyala juga dari tadi? Udah tau kenapa belom?” tanya Agung.

“Barusan Bu RT telepon PLN, katanya ada perbaikan dari sananya. Cuma nggak tau nih, mati lampunya sampe jam berapa. Gia ngantuk banget, Om!”

“Yah, bakalan lama nih kalo begini. Ya udah ayo masuk, ada lilin nggak di dalem?” tanya Agung.

“Ini lilin, udah Gia bawa-bawa dari tadi tapi nggak punya korek!”

Agung sontak tertawa melihat kelakuan keponakannya, “Ngapain lu bawa-bawa doang, dasar Digimon!”

Gia menggerutu mendengar panggilan masa kecilnya yang kembali disebut-sebut oleh Agung. Om-nya itu memanggilnya Digimon sebab semasa kecilnya Gia selalu memiliki badan berisi dengan pipi yang bulat menggemaskan. Dari sanalah panggilan itu berasal, awalnya Agung memanggil Gia dengan sebutan 'Gimon' alias Gia montok. Namun seiring gadis itu bertambah dewasa dengan kelakuannya yang beringasan—suka sekali menggigit tangan Agung semenjak tumbuh gigi, maka Agung memanggilnya Digimon. Monster kecil dari anime Jepang, yang menurut Agung, sangat cocok untuk menggambarkan Gia waktu itu.

“Ya orang nggak ada korek!”

“Ya pinjem ke tetangga, lah! Makanya bergaul! Semprul!” ejek Agung. “Mana sini lilinnya!”

Dengan segera Gia menyerahkan sebatang lilin putih beserta piring kecil yang ia bawa guna menjadi tatakan lilin pada Agung. Setelahnya Agung dengan mudah menyalakan lilin dengan korek api yang ia simpan di saku celana.

“Ya udah ayo masuk!” titah Agung.

“Di luar aja emang kenapa sih, Om? Panas tau di dalem. Sini aja dulu sampe nyala deh, itu tetangga yang lain juga masih pada di luar.”

Agung tersenyum jahil, matanya yang belo itu membuat ejekannya semakin jelas terlihat sebab bentuk matanya sangat mendukung wajahnya untuk menjadi ekspresif. “Tuh kaan, udah gue duga, Gi lo pasti mau mejeng! Lagi naksir siapa sih? Anaknya Pak RT ya?”

Gia memasang wajah galaknya, “APAAN SIHHHHHH, NGARANG!”

“Ih gue bilangin ah sama Pak RT, 'PAK ERTEEE SALAMIN SAMA MAS YUDI!' gitu ya?”

“OM AGUNG IH! Nanti kedengeran orang malu ih!”

“Kenapa malu? Beneran ya naksir si Yudi? Ih gue bilangin mama lo ya? Biar dijodohin sekalian, nggak perlu PDKT PDKT gituuu,” ucap Agung.

“ENGGAK IH! Siapa juga yang naksir Mas Yudi?!” balasnya seraya memukul lengan Agung. Sementara yang mendapat perilaku kekerasan tanpa tenaga itu hanya terkikik geli.

Setelahnya Agung memilih duduk di sebelah Gia, tak lupa pria itu meletakkan lilin yang kini menjadi satu-satunya sumber penerangan di antara keduanya itu di atas meja.

“Gia udah makan?” tanya Agung.

“Belom, tadi Gia mau keluar beli makan cuma males. Terus tiba-tiba mati lampu, ya udah deh lupa.”

Tanpa membalas perkataan Gia, pria itu langsung mengeluarkan sebungkus nasi goreng dari tasnya yang sempat ia beli saat perjalanan pulang. Agung tahu pasti, keponakannya itu pasti belum makan malam sebab menurutnya, Gia adalah orang yang paling enggan mengisi perutnya sendiri. Seringkali Agung pun bingung, sebab sewaktu kecil mulut gadis itu tak henti-hentinya mengunyah makanan. Namun seiring memasuki kelas 5 SD, Gia mendadak mulai susah makan. Porsi makannya menjadi sedikit dan berbanding terbalik dengan porsi makannya sewaktu kecil. Bahkan setiap hari gadis itu hanya makan satu kali jika Agung tidak memaksanya untuk makan malam.

“Makan dulu nih, nanti kalo nggak abis buat Om,” ucap Agung.

Gadis itu hanya menggeleng, “Nggak ah, Gia nggak laper.”

“Emang udah makan berapa kali?” tanya Agung.

“Sekali, tadi di sekolah doang makan bekel Gia.”

Pria yang lebih tua itu otomatis berdecak, “Kalo gitu makan lagi lah, badan lu udah ceking begitu masih aja kagak mau makan. Mau jadi setipis apa lau?”

“Ih, nggak mau nanti gembul,” balas Gia.

“Apa sih?! Gembul apanya? Ini badan lu dihempas angin juga melayang, Gi. Udah sini makan, berdua deh sama Om. Makan dulu nih, kalo udah kenyang kan tidurnya enak.”

Pada akhirnya Gia menyerah. Gadis itu ikut memakan nasi goreng yang dibawakan Agung sebab cara Agung memakannya berhasil membuat seleranya tergugah. Meskipun tetap saja, porsi yang gadis itu makan tidak mencapai setengahnya.

Setelah selesai makan, Gia memilih bersandar di kursi sambil terus mengunyah sisa makanan di mulutnya.

“Seret, nih,” ucap Agung kode meminta diambilkan air minum. Berkali-kali ia berdeham berharap Gia akan bangkit dan segera membawakannya segelas air.

Namun gadis ifu hanya diam dan justru membalas, “Sama. Om nggak sekalian beli minum sih.”

Mendadak Agung mengubah ekspresinya menjadi semakin jengkel, “Semprul! Orang udah bilang aus mah ambilin minum gitu. Kagak ada makasih makasihnya lu, Gi!”

“Apa sih, Om?”

“Ambilin minum dong, cantik!”

“Ih nggak mau ah gelap, serem!”

“Ya ilahhhhh,” keluh Agung. “Sereman juga emak lu, Gi. Udah sana buruan tolong ambilin air. Kering banget nih tenggorokan udah kayak di padang pasir.”

Gia mendelik, “Lebaaaay!”

Agung hanya terkekeh menjawab perkataan Gia. Setelahnya ia kembali menitahkan gadis itu untuk mengambilkan air minum untuk keduanya. “Buru, Gi. Tolong ambilin air!”

“Gelaaaap, Om Aguuuung!”

“Ini pake lilin sana bawa masuk, pake hp lu noh ada senternya kan?” ucap Agung. Namun Gia masih enggan, gadis itu benar-benar ngeri jika harus masuk ke dalam rumahnya yang gelap sendirian.

“Astagaa, ini bawa lilin. Uji nyali sana gih, nggak bakal ada apa-apa, Gi. Lu di rumah sendiri aja takut gimana di hutan lu?” ucap Agung lagi. Kali ini pria itu berhasil membuat hati Gia tergerak untuk melaksanakan permintaan Agung. Sebab perkataan Agung ada benarnya, sebentar lagi Gia akan mengikuti kegiatan LDKS. Gadis itu mengetahuinya melalui bocoran dari Zahra yang memang dekat dengan Aghniya, kakak kelas mereka. Bukankah itu artinya ia perlu melatih mentalnya?

Dengan sebuah decakan dan raut wajah terpaksa tapi penasaran ingin mencoba, Gia akhirnya bangkit. “Ya udah, sini lilinnya!”

Setelahnya gadis itu masuk ke dalam rumah dan berusaha mencapai dapur. Satu menit, tiga menit, masih aman. Agung pun sejujurnya ketar-ketir, namun segala pikiran buruknya segera ia tepis. Hampir lima menit, baru saja Agung ingin menghela napas lega, tiba-tiba—

“OM AGUNGGGGGGGG!!!!!!”

“OM AGUNG CEPETAN TOLONGIN GIAAAAAAAAA!!!! OM AGUNGGGGGGGG!!!”

Panik, Agung melesat menyusul Gia. Akalnya tak lagi dapat berpikir dengan baik, detak jantungnya yang mendadak terpacu akibat suara melengking Gia itu membuatnya masuk ke dalam rumah tanpa penerangan apapun. Membuat tubuhnya terbentur entah ujung meja atau kursi.

“KENAPA GI? KENAPAA??? ADA YANG LUKA? KEPENTOK? JATOH? KENAPA SIH? ADA YANG KORSLET?!” tanyanya ikut panik.

“ADA TIKUUUUUSSSS!!!!! ITU DI TONG SAMPAH SUMPAH GELIIIIIIIIIIIII!!!!” Gia membalas dengan kehebohan yang sama. Gadis itu kini bahkan berjongkok di atas meja makan dengan sebelah tangan memegang lilin dan sebelahnya lagi memeluk lututnya sendiri.

“LUUUUU!!! GUE KIRA KAKI LU PATAH, KELINGKING LU KEPELETAK APA GIMANA, NGGAK TAUNYA CUMA TIKUS DOANG!” kesal Agung. Pasalnya teriakan Gia berhasil membuat jantungnya nyaris copot. Sejahil apapun Agung kepada keponakannya, sesering apapun Agung mengatai Gia dan mengajaknya ribut, kehilangan Gia atau melihatnya celaka adalah sesuatu yang sama sekali tidak ingin ia alami.

“Ihhh, ilangin dulu tikusnya, Om! Itu lagi makan apaan nggak tau di tempat sampah. Tadi dia nabrak kaki Gia sumpah HUEEEEEEE GELI BANGET KALO INGET LAGI!” Gia mulai merengek, Agung mengetahui gadis itu menangis meskipun tak dapat melihat ekspresinya dengan jelas di tengah kegelapan.

“Ya Allah, ada tikus doang aja teriakan lu kayak digrebek serdadu Belanda tau nggak?! Jantung gue ilang, Gi! Kebangetan banget lu!”

“MAAAAAAAF! ABIS TIKUSNYA NGAGETIN!” balas Gia disela tangisannya. Tanpa membalas lagi, Agung meninggalkan Gia yang masih setia dengan posisinya di atas meja makan. Dengan sedikit pertarungan sengit, Agung berhasil mengusir tikus yang membuat kehebohan malam itu. Setelahnya ia kembali beralih pada Gia.

“Turun nggak lu?! Ini meja buat makan, bukan buat merasakan sikil lu ya, Anggia!” ucap Agung.

Gia menggeleng gemetar, “Nggak mau! Nanti ada tikus lagi aaaa nggak mau! Gia nggak pake sendal loh, Om! Nanti kalo ditabrak tikus lagi gimana aaaaaaaa nggak mau! Pokoknya nggak mau!”

“Ya udah gue tinggal,” balas Agung. Pria itu kemudian berbalik, berniat meninggalkan Gia di sana.

“IH OM AGUNG JANGAN TINGGALIN GIA DONG?!”

“YA TURUN BURUAN?! Orang tikusnya udah gue buang?!”

“NGGAK MAU TURUN!”

“YA UDAH LU DIEM AJA DI SINI!”

“YA NGGAK MAU?!”

“REPOT BANGET SIH WANITA?!” Agung mulai frustrasi. “Ya udah terus apa mau lu, ha?”

“Gendong..”

“Nyusahin.”

“GENDONG!”

“GIMANA CARANYA?! Udah bangkotan masih minta gendong!”

“GENDONG BELAKANG!”

“Nyusahin.” balas Agung.

“IH BILANGIN PAPA NIH! Biar nanti Om Agung nggak dibawain oleh-oleh kalo Papa pulang!” Gia membalas sengit.

“Kayak bapak lu bakal pulang aja!”

“HEH SEMBARANGAN!”

Agung kemudian tertawa. Secercah ide jahil muncul di kepalanya yang memang hanya terisi seribu satu cara mengusili seorang Anggia Kalila. “Mau gendong?”

“Mau!”

“Bilang dulu gue ganteng,” balas Agung dengan senyuman lebar khasnya.

“Ogah!”

“Ya udah. Dadah, Giaa! Nginep aja di sini sama tikus.”

“IHHHH—OM AGUNGG OM-KU YANG PALING GANTENG SEDUNIA!!”

“Sedunia doang?”

Gia mendelik sebelum membalas perkataan Agung, “Emang mau semana lagi?”

“Sejagat raya ini gitu,” balas Agung.

“NGELUNJAK BANGET!”

Setelahnya Agung hanya tertawa terbahak-bahak. Kemudian pria itu merendah, membiarkan punggungnya sejajar dengan Gia. “Buru naik,” ucap Agung.

Tanpa basa-basi lagi, Gia melompat ke punggung Agung. Membuat pria itu mengaduh kesakitan dan kembali mengejek Gia dengan mengatakan punggungnya bagaikan ditimpa beras tiga ton. Lebay, namun setidaknya itulah alasan Gia bisa tertawa sebanyak-banyaknya di rumah.

Agung adalah alasan gadis itu tidak kesepian di rumah mengingat mamanya yang begitu sibuk dengan karirnya dan papanya yang berada jauh dari rumah.

Malam itu keduanya terus bergurau hingga sama-sama kelelahan dan memilih bersandar pada satu sama lain. Kemudian terlelap hingga lampu kembali menyala entah pukul berapa.

Yang jelas, Agung menjaga Gia dengan sangat baik. Memberinya perlindungan penuh sebab gadis itu bersikeras untuk tidur di luar hingga lampu menyala. Sejujurnya sejak tadi, Gia sama sekali tak tahu apa yang harus ia lakukan. Gemetar, keringat dingin, panik, gadis itu ketakutan.

Ketika setiap anak di lingkungannya memiliki seseorang untuk dituju setiap kali gelap yang menyeramkan itu datang, Gia masih harus memikirkan ke mana ia harus melangkah. Karenanya, keberadaan Agung adalah yang paling ia syukuri di dunia. Because at the end of day, he's the only one that she had.