Struck By The View
Haris menghirup udara pagi sepuasnya, pula menghirup kembali semangat-semangat baru yang selama ini ia tinggalkan entah di mana. Hari ini pemuda itu seakan terlahir kembali. Sebab setelah beberapa hari berpisah dengan sahabat-sahabat karibnya, kini Haris siap untuk bertemu kembali dengan ketiganya. Pun, Haris siap untuk balas dendam. Haris siap untuk membabat habis seluruh kesempatannya untuk kembali aktif di kelas, maupun di sekolah melalui organisasi yang ia jalani.
Di depan cermin, Haris memandangi refleksi dirinya berkali-kali. Rambut hitamnya disisir rapi, Haris membaginya menjadi belah pinggir agar tak menghalangi pandangannya sebab rambutnya sudah sedikit melebihi alis tebalnya. Membuat keningnya terekspos, namun justru membuatnya semakin menawan. Kedua lengan pendek kaus olahraganya sengaja ia gulung seakan mendeklarasikan bahwa dirinya adalah seorang jagoan. Begitu pun dengan celana olahraganya, Haris menggulungnya dengan rapi hingga sebatas betis.
Setelah merasa puas dengan penampilannya, Haris menyambar tas sekolahnya dan menyampirkannya asal di bahu kanannya. Pria itu kemudian turun ke bawah untuk menemui keluarganya.
“Ih udah sekolah, Kak?” tanya Hanum yang sudah rapi dan sedang menyantap sarapannya di meja makan. Haris mengangguk seraya berjalan menuju rak sepatu untuk memakai sepatunya.
“Mau bareng?” tawar Haris. Dengan semangat Hanum mengangguk dan meneguk habis segelas susu miliknya.
Haris terkekeh, “Buset dah, pelan-pelan aja kali. Gue juga belom mau berangkat.”
Hanum mendelik, “Kakak kebiasaan abisnya ninggalin aku mulu. Emang mau ngapain dulu?”
“Ya mau sarapan?” balas Haris.
“Oh, ya udah,” sahut Hanum. “Kak, aku bikinin bekel ya?”
Haris menoleh cepat, “Sakit perut nggak Kakak nanti makannya?”
“YA ENGGAK LAH?! Aku bikinin ya, please? Sekali seumur hidup!” balas Hanum lagi.
“Iya sekali seumur hidup soalnya abis itu gue nggak hidup lagi gara-gara lu, kan?”
“Dih? MAMAAA KAKAKNYA GITU!!!!” Hanum mulai mengadu.
“Apa sih, Kak? Adeknya diisengin mulu,” ucap Mama yang baru saja kembali dari kamar Haura, membawa gadis kecil itu dalam gendongannya.
“Lah, kalo nggak ngisengin Hanum, ngisengin siapa?” balas Haris seraya tertawa. “Ya udah iyaaa, bikinin bekel. Emang mau bikinin apa sih? Bisa masak juga mie sama telor doang lu, Num.”
“Mau bikin pizza, tapi dari roti. Aku bikinin bentuk kucing nanti ya biar cute. Sebagai penyemangat kakakku menjalani hari pertama sekolah, lagi,” ucap Hanum panjang lebar.
Haris hanya mengangguk-angguk, setelahnya membiarkan Hanum berkreasi. “Iya iya, buat aja buat. Keluarin aja gebrakan baru lo keluarin. EH TAPI JANGAN LUCU-LUCU, NUMM! NGGAK TEGA MAKANNYA NANTI!”
Setelah bermenit-menit menunggu Hanum menyiapkan bekal untuknya, Haris pada akhirnya melirik jam dinding rumahnya. Jarum panjang sudah menunjukkan pukul enam tepat, maka dengan segera Haris memanggil Hanum untuk bergegas. Keduanya harus berangkat sekarang mengingat Haris harus mengantar Hanum lebih dulu.
“Num? Udah belomm? Ayo berangkat udah jam enam!”
“IYAA INI UDAHHH,” balas Hanum yang berteriak dari dapur.
“Kakak tunggu depan yaa, manasin motor dulu!”
“YAAA!”
Tepat pukul 06.25, Haris sampai di sekolah. Pria itu jadi mendapat ledekan dari Pak Asep sebab nyaris datang terlambat. Namun Haris tak mempermasalahkan, toh dirinya masih tidak terlambat. Setelah menyalami gurunya dan sedikit bercengkrama, Haris bergegas melanjutkan langkahnya agar tidak bertabrakan dengan arus siswa-siswi yang kembali turun ke lapangan saat bel berbunyi untuk agenda senam bersama.
Haris membenarkan posisi ranselnya yang ia sampirkan di sebelah bahu, setelahnya memilih berjalan dengan kepala tegak. Mengabaikan bisikan-bisikan yang sampai pada pendengarannya, juga tatapan-tatapan terkejut yang dilayangkan ke arahnya. Haris mewajarkannya, pasti banyak keterkejutan ketika melihatnya kembali. Kasusnya tidak mungkin tidak terdengar hingga penjuru sekolah mengingat siapa lawannya.
Di sisi lain, dua orang gadis remaja menuruni tangga untuk menuju kantin. Pagi itu Zahra melupakan minumnya hingga ia meminta Gia untuk menemaninya membeli minum, keduanya memutuskan untuk membelinya sebelum bel masuk mengingat setelah senam nanti kantin pasti akan menjadi bagian sekolah yang diserbu oleh semua orang.
“Tungguin dong, Gi!” ucap Zahra.
“Cepetaan, orang udah mau bel juga! Nanti keburu disuruh ke lapangan tauu, dikunci nanti pintu kantinnya,” balas Gia seraya menoleh pada Zahra yang tertinggal di belakangnya. Namun temannya itu tetap tidak mempercepat langkahnya. Sebaliknya, Zahra malah menghentikan langkahnya pada satu anak tangga dan memilih berdecak, “Orang tadi diajak ngobrol Alwan dulu.”
Sontak Gia pun ikut menghentikan langkahnya, gadis itu menatap Zahra jahil, “OW OW OWWWWWWW!! Ngobrolin aaaapa tiiii pagi-pagi?”
Zahra membalasnya dengan tatapan garang, “Gue gatak lo ya?!”
Setelahnya Gia hanya tertawa geli dan buru-buru melanjutkan langkahnya. Namun, karena tidak memperhatikan sekitarnya, Gia tak menyadari bahwa ada seseorang yang juga terburu-buru untuk menaiki tangga. Alhasil, keduanya bertubrukan dengan cukup keras.
Sebagai siswa tahun pertama, Gia inisiatif meminta maaf meskipun tulang pipinya terasa sakit sebab menabrak seseorang di hadapannya. “Aduh! Astaga, maaf Kak! Nggak senga—”
Gia mendongak guna mengetahui sosok di hadapannya, takut-takut orang tersebut marah dan justru membuatnya terkena masalah pada pagi hari. Namun seiring netranya menangkap seseorang di depannya, Gia menegang di tempatnya.
Matanya membulat dan pikirannya seakan meninggalkan tubuhnya. Seseorang yang bertabrakan dengannya pagi itu adalah Haris, yang rupanya sudah lebih dulu menatapnya dengan tatapan terkejut yang sama dengan milik Gia. Entah apa yang Gia rasakan saat itu, yang jelas semuanya bercampur aduk. Seakan ada rindu yang menyeruak, ada lega yang bersemayam, bahagia, namun juga sedih pada saat yang bersamaan. Jika saja hubungan keduanya baik saat terakhir kali bertemu, Gia memastikan dirinya sudah berseru kegirangan secara terang-terangan.
Alhasil baik Gia maupun Haris, keduanya sama-sama terpaku. Seakan-akan terdistraksi oleh pemandangan yang baru dijumpai lagi setelah sekian lama. Gia masih memusatkan pandangannya pada Haris. Entah matanya sudah menjadi bias lantaran dibutakan oleh perasaannya sendiri, atau memang penampilan Haris begitu sempurna hari ini. Gia terpana melihat Haris dengan baju olahraga yang pemuda itu atur sedemikian rupa. Entah berniat atau tidak, Haris selalu tampak menawan ditambah gaya rambutnya yang sedikit berbeda dari biasanya, juga gestur Haris yang selalu—keren.
Di depan Gia, Haris hanya terdiam. Haris memang sudah menyiapkan amunisi untuk kembali ke sekolah. Perlengkapan sekolah, penampilannya sendiri, semangat untuk sekolah, Haris mempersiapkan semuanya. Namun nampaknya ia melupakan satu hal, Haris lupa persiapan untuk bertemu dengan Anggia. Tak punya pertahanan, Haris akhirnya hanya diam tanpa melakukan apapun. Sejujurnya Haris ingin segera pergi, namun langkahnya tertahan sebab jauh di lubuk hatinya, Haris tak lagi dapat membohongi dirinya sendiri bahwa ia merindukan gadis yang kini berdiri di hadapannya.
Bertemu di pagi hari seharusnya adalah hal biasa mengingat hal itu memang rutinitas Haris dan Gia setiap hari. Namun kali ini rasanya berbeda. Rasanya seperti serba salah. Keduanya saling merindukan tetapi juga saling mengerti bahwa mereka tak lagi dapat bercengkrama seperti dulu. Pada akhirnya tak ada kata yang dapat meluncur dari bibir masing-masing.
Haris mencengkeram erat sebelah tali ranselnya yang sedari tadi ia sampirkan di bahu kanannya. Berharap ada sedikit keberanian untuk mengeluarkan suaranya. Mungkin untuk sekadar menyapa, menerima maaf dari Gia, atau syukur-syukur, Haris bisa meminta maaf juga. Namun sayangnya, nihil.
Keduanya bertahan pada posisi yang sama, hingga sama-sama tersadarkan oleh suara nyaring bel sekolah yang pada akhirnya berbunyi. Detik itu, Haris dan Gia sama-sama memutus kontak mata. Setelahnya Haris memilih melanjutkan langkahnya melewati Gia yang masih terdiam kaku, hanya bisa menahan napasnya ketika Haris berjalan melaluinya.
Sekon berikutnya Gia menghela napas, dengan pelupuk mata yang sudah dipenuhi air mata yang menggenang. Setelah Haris menghilang di balik tangga menuju lantai dua, Zahra baru berani menghampiri Gia setelah sedari tadi ikut menghentikan langkahnya.
Dengan senyum jahil dan wajah berseri, Zahra membisikkan sesuatu di telinga Gia. Belum mengetahui bahwa temannya itu sudah sangat siap menangis.
“Lu makan tuh OW OW OW!”
Sekon berikutnya, Gia berjongkok dan mulai menangis keras. Tangisnya tak lagi dapat ia bendung, membuat Zahra jadi panik sendiri.
“EH JANGAN NANGIS DI SINI ANJIR, GI! YA ALLAH IYA IYA MAAPPPP MAAP NGGAK GUE LEDEKIN LAGI ENGGAK!!!”