raranotruru

Gia berkali-kali menggosokkan seraya meniup-niup kedua telapak tangannya, berharap akan mendapatkan sedikit kehangatan untuk tubuhnya yang masih kedinginan meski sudah dibalut dengan kaus lengan panjang serta jaket berbahan tebal. Gia memang tak pernah kuat dingin, gadis itu bisa menggigil. Sayangnya, tak ada pengecualian untuk siapapun malam ini. Semua harus mengikuti instruksi untuk berbaris kembali di lapangan yang sebelumnya mereka pijaki untuk acara api unggun.

Dengan kelopak mata yang masih berat lantaran hanya mendapat jam tidur super singkat, mereka semua bersiap untuk melaksanakan acara yang menjadi buah bibir paling beken dari masa ke masa. Alias, jurit malam.

Gia menjadi urutan keempat dari barisannya, tepat di belakang Dinda. Sementara Dhimas memimpin barisan, setelahnya Alwan, kemudian Alfi mengikuti. Sementara Haris yang paling tinggi memilih untuk berbaris di paling belakang, terpaksa. Sebab sebagai kakak pembimbing, tak mungkin ia berada di tengah. mereka harus melindungi adik-adik kelasnya. Maka pilihannya hanya dua, kepala atau buntut. Dan Haris tahu ia tak akan pernah sanggup menjadi orang yang paling depan membelah jalanan 'hutan' yang gelap.

“Kelompok satu udah siap ya?” tanya Bayu, yang memang ditugaskan untuk menjadi orang pertama yang memberi tahu jalan masuk menuju hutan.

“Siap, Kak.” Dhimas menjadi perwakilan kelompok untuk menjawab pertanyaan Bayu. Setelahnya Bayu pun mengalakan pemantik api dan menyalakan lilin yang sedari tadi dibawa oleh Dhimas.

“Ini lilinnya jangan sampai mati ya, kalo bisa dijaga sampe pos terakhir. Saling pegangan sama bahu temannya, jangan sampe terlepas, jangan tertinggal! Paham ya?” ucap Bayu yang hanya ditanggapi dengan anggukan dalam diam. “Ya udah, silakan jalan. Dari sini lurus aja, nanti belok kiri. Letak pos satunya di sana.”

Namun, alih-alih langsung berjalan, Alwan justru mengacungkan tangannya. Sebab sesuai instruksi Haris dan Dhimas, mereka tidak boleh lupa menanyakan clue untuk setiap pos yang akan didatangi. “Maaf, Kak, izin bertanya. Clue untuk pos pertama apa ya?” tanya Alwan.

Bayu menipiskan bibir, cukup takjub dengan Alwan yang tidak main asal menurut. “Cerdas! Simak baik-baik clue-nya ya! Untuk pos satu itu, cahaya kehidupan. Dah, silakan jalan!”

“Terima kasih, Kak!”

Setelah mendapat perbekalan cukup, 'kereta' kelompok 1 itu berjalan perlahan. Dhimas di paling depan menutupi lilin dengan sebelah tangannya yang tidak memegang piring kecil sebagai alas lilin, menjaganya agar tidak mati di tengah jalan. “Jangan ada yang bengong, ya! Fokus! Kalo ada yang sakit jangan sungkan bilang. Jangan maksain diri sendiri!” celoteh Dhimas. Pria itu memang paling rewel akan keselamatan para anggota kelompoknya. Entah sudah berapa kali Dhimas mengatakan hal itu.

Terdapat lima pos tersebar di dalam hutan, terdiri dari 4 pos utama dan 1 pos untuk ice breaking. Pos Agama, Kepemimpinan, Manajemen Waktu, Ice Breaking, dan yang paling ditakuti dan disimpan pada paling terakhir, Mental.

Pos pertama, dihuni oleh kakak-kakak berperawakan alim. Terlihat dari personelnya yang mayoritas anak-anak rohis. Yang perempuan mengenakan kerudung menutupi dada, yang lelaki mengenakan celana cingkrang lengkap dengan peci. Sementara di sisi lain pun terdapat perwakilan dari ekskul rokris dan rohkat. Sudah jelas pos pertama adalah Pos Agama. Pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan di sana sederhana, seperti menyebutkan Rukun Islam, Rukun Iman, dan lain-lain. Namun rupanya hal ini jauh lebih sulit untuk anak-anak yang baru masuk SMA ketimbang anak-anak yang baru masuk madrasah. Rupanya seiring bertambah dewasa, banyak sekali perkara kecil pasal agama yang luntur dari ingatan.

Membuat sindiran-sindiran kakak kelas yang super menohok itu kembali terlontar. “Udah SMA nggak apal Rukun Islam sama Rukun Iman? Kalian ini agamanya apa sih? Malu sama anak TK! Balik aja TK sana!”

Beruntung di sana ada Gia dan Alfi yang masih mengingat jelas Rukun Islam dan Rukun Iman. Membuat kelompoknya terselamatkan dari hukuman tidak mendapatkan clue dan memakan petai mentah.

Berhasil lolos dari pos pertama, kelompok 1 melanjutkan perjalanan menuju pos kedua. Seseorang yang Haris kenali, seorang ketua MPK berdiri di sana. Sudah jelas lagi, Kepemimpinan adalah nama pos ini. Pertanyaan-pertanyaan pada pos ini jelas dibabat habis oleh Alwan yang berambisi menjadi anggota OSIS, dibantu sedikit oleh Haris untuk menyempurnakan jawabannya. Pun Gia yang membaca diktat betul-betul. Meski dengan rasa takut yang sedikit mendominasi beserta suaranya yang bergetar akibat menahan dingin yang semakin menusuk kulitnya, Gia menjawab sedikit-sedikit ketika ada pertanyaan mengenai materi yang ada pada diktat. Perbedaan pemimpin dan bos, pembahasan mengenai Planning, Organizing, Controling, Actuating, dan sifat-sifat yang harus dimiliki seorang pemimpin menjadi pembahasan selama di pos kedua.

Sejauh ini berjalan lancar, kelompok 1 masih berjaya. Lilin masih menyala, tidak—atau belum mendapat hukuman atau amarah dari para kakak kelas, atribut pun masih lengkap. Maka dengan sedikit lebih tenang dari ketika pertama kali melangkahkan kaki ke dalam hutan, kelompok 1 kembali melangkah menuju pos ketiga. Manajemen waktu.

Tidak begitu banyak drama di sana, kakak-kakak yang mengisi pos Manajemen Waktu memang selalu yang terbaik dari tahun ke tahun. Entahlah hal ini direncanakan atau tidak, Haris dan Dhimas pun tak tahu kenapa. Manajemen Waktu menjadi pos paling lancar mereka lalui ketimbang pos-pos sebelumnya.

Masuklah pada pos keempat, Ice Breaking. Di sana, mereka disambut begitu meriah. “WEH WEHHH MASIH NYALA LILINYA! TEPUK TANGAN DONGGG!!”

“Kelompok berapa nih?” tanya seorang kakak kelas yang Gia tak tahu namanya.

“Satu, Kak,” balas Dhimas.

“Oh, masih pertama ya. Ini ngapain nih bawa-bawa lilin? Ada yang ulang tahun?”

Alwan menggeleng, “Nggak ada, Kak. Ini buat penerangan aja selama di jalan.”

“Oh gituu, ya udah duduk sini duduk. Jangan lebar-lebar, kita bukan mau liwetan! Yang nggak muat ke belakang.”

Dicontohkan oleh Dhimas, mereka semua duduk lesehan menghadap para kakak kelas yang asik sendiri. Makan snack, bercanda, berebut minum, dan lain-lain. Haris yang peka dan aware terhadap hal-hal seperti ini pun otomatis mengangkat tangannya. “Maaf, Kak sebelumnya, boleh izin tegur kakak-kakak yang lain untuk ikut duduk di sini? Supaya jangan asik sendiri,” ucap Haris.

“Oh? Boleh, boleh. Tuhh, Kakk! Denger nggak? Jangan asik sendiri katanya. Gabung sini sama adik-adik manis,” ucap salah seorang yang sedari awal duduk bersama dengan kelompok 1.

“Hoooo, iya iya maaf yahhh. Siapa tadi yang ngomong? Haris? Iye maap ye, Ris!”

Haris hanya mengangguk, setelahnya memilih diam dan membiarkan adik-adik kelasnya aktif berbicara. Sebab dirinya sudah terlalu banyak berargumen ketika rapat rutin. Dalam keanggotaan OSIS, Haris memang dikenal paling bawel karena paling sering mengkritik dan tak segan-segan menyuarakan ketika dirinya tidak setuju. Tentunya disertai dengan alasannya yang selalu logis.

Sesuai namanya, Pos Ice Breaking adalah tempat untuk rileks sejenak. Mereka bebas duduk dengan posisi senyaman mungkin, bebas menyuarakan siapa kakak-kakak yang galak, bebas bercanda, bahkan mereka ditawarkan makanan ringan yang sempat dijadikan rebutan para kakak kelas sebelum ditegur Haris.

Semuanya berjalan aman hingga salah seorang kakak kelas itu menyadari sesuatu. “Kamu kenapa? Sakit?”

Rentetan kalimat itu otomatis membuat anggota yang lain menoleh pada sumber suara. Haris terdiam kaku ketika mengetahui yang menjadi sasaran pertanyaan adalah Gia. Tubuhnya yang sedari tadi duduk sedikit bungkuk itu kini menegak lantaran secuil kekhawatiran menelusup masuk memenuhi relungnya.

“Serius, sakit nggak? Muka kamu pucet banget, loh! Itu bibirnya juga udah nggak ada merah-merahnya.”

“Pusing nggak, Gi? Kalo pusing bilang aja,” tanya Dhimas. Gia hanya menggeleng pelan, “Enggak, Kak. Nggak pa-pa, kok!”

“Bener?” tanya Dhimas lagi. “Kalo pusing bilang ya!”

Gia hanya mengangguk. Sementara tanpa sepengetahuannya, tatapan Haris masih tak lepas darinya. Meski dalam gelap, Haris dapat menangkap jelas wajah Gia yang memucat. Pula gelagatnya yang menunjukkan bahwa gadis itu kedinginan. Namun tetap tak ada yang ia lakukan selain mengawasi Gia dari jauh.

Tak terasa sudah habis waktunya untuk berdiam diri di pos keempat. Kelompok 1 akhirnya diperintahkan untuk lanjut menuju pos terakhir. Sesaat sebelum langkahnya menjauh, Haris merasakan seseorang menepuk bahunya. Membuatnya nyaris mengumpat lantaran terkejut, takut-takut yang menepuknya itu bukanlah sejenis dengannya.

“Kaget, kenapa, Kak?” tanya Haris. “Adek kelas lu liatin tuh yang tadi, ngeri pingsan.”

“Iya, Kak.”

Sekon berikutnya Haris pun menyusul kelompoknya yang entah mengapa kini berjalan dengan urutan mengacak. “Eh, baris lagi dong, guys!” seru Dhimas. Membuat semuanya kembali membentuk barisan seperti semula.

Kala itu, Haris yang berada di paling belakang menangkap Gia berjalan melambat. Gadis itu bahkan sedikit berada di luar jalur, membuat Haris mau tak mau meraih kedua bahu Gia untuk menyeretnya kembali ke barisan.

Perlahan tapi pasti, mereka kini tiba pada pos terakhir. Namun langkah Gia kembali melambat, bahkan terhenti. Alhasil, Haris yang berjalan tepat di belakangnya turut menghentikan langkahnya. Seraya mengerutkan dahi, Haris memandangi Gia yang kini memeluk erat dirinya sendiri.

“Gi?” panggil Haris. Alih-alih menjawab, Gia hanya diam dan semakin mengeratkan pelukan pada tubuhnya yang kian menggigil. “Gi?” panggil Haris lagi.

Panik, ketakutan, dan khawatir berlebihan, Haris memposisikan dirinya di hadapan Gia. Seraya sedikit membungkuk dengan kedua tangan yang mencengkeram bahu Gia pelan, Haris menanyakan keadaannya. “Kenapa?”

“Dingin, Kak..”

Sayangnya, suara Gia terlampau pelan untuk Haris dengar. Maka ia mendekatkan telinganya dengan bibir Gia, “Kenapa?”

“D-Dingin.”

“Heh, kenapa itu? Cepet baris sini, lelet!” ucap Vio, salah satu personel utama Pos Mental. Haris sontak menoleh, “Nggak enak badan, Kak. Dari pos sebelumnya juga udah pucet,” balas Haris.

Raut wajah khawatir Haris seakan menular kepada Vio. Pemuda itu menyugar rambutnya frustrasi dan segera memanggil Yuna untuk membantu Haris mengatasi kondisi Gia. Seraya tergopoh-gopoh, Yuna menghampiri Haris dan Gia yang kini terpisah dari barisan.

“Kenapa, Ris?” tanya Yuna.

“Kedinginan,” jawab Haris. “Kayaknya nggak kuat dingin. Ini menggigil badannya.”

“Pusing nggak, Anggia?” tanya Yuna. Lagi-lagi tak ada jawaban. Baru saja Yuna ingin memanggil tim medis melalui HT yang ia bawa, tubuh Gia ambruk seketika. Beruntung sejak awal Haris sudah memperkirakan hal ini akan terjadi, maka ia dengan cekatan menangkap tubuh Gia sebelum bersentuhan dengan tanah.

“Ris, nunggu medis kelamaan, Ris! Keburu makin parah ni anak orang. Gotong aja deh, kuat nggak lo?” ucap Yuna panik, perempuan itu bahkan melupakan untuk berbicara sopan.

Tak banyak bicara, Haris mengangguk menyetujui. “Tunggu,” ucap Haris. Kemudian seakan ingin menunjukkan kepeduliannya terhadap sang adik kelas, Haris membaringkan tubuh Gia sementara. Kemudian secepat kilat melepas almet OSIS kebanggaannya dan menjadikannya selimut untuk tubuh mungil Gia, menyisakan kaus celup ikat abal-abal berlengan pendek yang dibuat seragam dengan teman satu angkatannya.

Kemudian dengan hati-hati, pria itu membopong Gia dengan mudah. “Ayo, ke mana jalannya?”

Sebagai seorang wanita yang melihat tingkah Haris yang benar-benar gentle, Yuna mendadak gugup. Ia bahkan menelan ludah sebelum menjawab pertanyaan Haris. Setelah tersadar, barulah Yuna menunjukkan jalannya. “S-sini.”

“Vio, izin ya!” ucap Yuna. Setelah dibalas anggukan oleh Vio, yang Haris dan Yuna lakukan selanjutnya adalah bergegas membawa Gia kembali ke aula.

“Heh, liat sini semua! Jangan norak! Temennya sakit bukannya ditolongin malah diliatin doang!” ujar Vio.

Dhimas menghela napasnya, dalam hati ia berdecak. Haris benar-benar harus berterima kasih pada Gia sebab gadis itu menyelamatkan Haris menjauh, meninggalkan Dhimas dan sisa kelompok 1 yang lain dengan siksaan pada pos terakhir yang bahkan memiliki clue 'Kerajaan Setan'.


“Baringin sini aja, Ris!” ucap Yuna. “Jagain bentar, gue panggil medis dulu!”

“Gue aja, Kak,” balas Haris. Setelah membaringkan Gia pada sebuah karpet yang digelar di aula untuk alas tidur, Haris melanglang buana untuk mencari divisi medis.

Selang sekitar tiga menit, seorang divisi medis perempuan bertanda nama Mutia pada rompi PMR-nya datang menghampiri Yuna dengan tas berisi obat-obatan. “Kenapa, Yun? Pusing?” tanyanya. Yuna menggeleng, “Nggak tau, Mut. Tadi nyampe pos gue langsung pingsan. Kata Haris emang udah pucet dari pos sebelumnya.”

“Harisnya mana, Mut?” tanya Yuna lagi ketika menyadari Haris belum kembali. “Nggak tau juga, tadi gue disuruh duluan,” balas Mutia, yang kemudian mengoleskan minyak angin pada kedua pelipis Gia.

Panjang umur, yang dibicarakan akhirnya tiba. Haris berjalan dengan langkah lebar dengan tangan kanan yang menjinjing asal jaket tebal miliknya. Kemudian Haris ikut duduk di sebelah Yuna.

“Ini kenapa, Ris?”

“Kedinginan,” balas Haris singkat. Setelahnya ia menukar almet OSIS-nya yang menjadi selimut darurat untuk Gia dengan jaket yang ia bawa. “Kayaknya emang nggak kuat dingin, Kak. Soalnya tadi sempet menggigil juga,” lanjutnya.

“Ohh, ya udah ya udah. Sepatunya buka dulu deh, tolong balurin minyak kayu putih dulu ya telapak kakinya! Gue ambilin selimut deh,” ucap Mutia. Kemudian meninggalkan Haris dan Yuna yang dengan segera melakukan instruksi Mutia.

“Kakinya aja dingin banget, buset!” ujar Yuna saat pertama kali menyentuh telapak kaki Gia. Haris hanya diam, fokus membalurkan minyak kayu putih pada telapak kaki kanan Gia. Sesekali ia mencengkramnya pelan, berharap akan menyalurkan sedikit kehangatan di sana.

“Lo kok tadi nggak takut, Ris jalan keluar dari hutan sendirian?” tanya Yuna. “Nggak nangis lagi kayak tahun lalu?”

Haris terkekeh, “Kan berdua sama lo, Kak! Bertiga deng, sama Gia.”

“Lo lagian aneh-aneh, Kak. Kenapa nggak di tempat tahun lalu aja sih? Tempat TNI? Ini di kaki gunung gini dingin banget tau. Kasian lu anak orang pada kedinginan,” ujar Haris.

“Salahin Vio lahh! Tapi katanya sih tempat TNI yang tahun lalu itu udah penuhh di-booking orang. Kalo mau kita harus ngundur acaranya, tapi kalo diundur tuh sekolahnya nggak mau,” jelas Yuna.

“Gue ngeri Gia kesurupan sumpah. Untung sakit doang, nggak untung juga sih. Tapi, mending lah daripada kesurupan. Gue mau bawanya juga gimana ya kalo kesurupan,” celoteh Haris lagi.

“Iya anjir! Gue juga takut bawanya kalo kesurupan,” balas Yuna.

Percakapan keduanya terhenti setelah Mutia kembali membawa sehelai selimut dengan kedua tangannya. “Pakein lagi aja kaus kakinya,” titah Mutia yang langsung dilaksanakan oleh Haris dan Yuna. Setelahnya ia melebarkan selimut itu untuk membuat Gia lebih hangat. Membuat tubuhnya kini terbalut dengan jaket miliknya sendiri, jaket tebal Haris, dan sehelai selimut.

Penanganan selanjutnya diambil alih oleh Mutia, gadis itu kini mendekatkan minyak angin pada hidung Gia. Membiarkan gadis itu menghirupnya dan berharap gadis itu segera sadar.

Entah sudah berapa menit Haris habiskan untuk mengurus Gia hingga HT Yuna kembali berbunyi. Memperdengarkan suara Vio yang memang tertuju padanya.

“Yun, yuna?”

“Ya, ya?”

“Haris nanti suruh gabung sama kelompoknya lagi, ya! Di tempat terakhir buat kelompok-kelompok pada ngumpul. Kelompok satu udah keluar dari pos gue.”

“Oh gitu? Oke, oke. Ini Haris sama gue, kok! Nanti gue anter ke sana.”

“Sip, thank you!”

“Yooo!”

“Mut, gue tinggal ya!” pamit Yuna. Haris yang sudah tahu harus melakukan apa itu pun turut bangkit dan segera memakai kembali almetnya dan membuntuti Yuna yang akan mengantarkannya kembali bergabung dengan kelompoknya.

Tak masalah, Haris justru bersyukur dalam hati. Memang ia membutuhkan Dhimas untuk menenangkan jantungnya yang sedari tadi berdetak kencang. Takut. Sejujurnya Haris sangat takut sedari tadi. Kalau bukan karena Gia, ia pastikan kakinya itu tak akan sanggup melangkah hingga kembali ke aula.

Setelah menempuh perjalanan yang tidak jauh, Haris akhirnya kembali bergabung dengan kelompoknya. Dan tanpa sepengetahuannya, di sisi lain, Gia sudah kembali tersadar. Gadis itu sempat bingung lantaran terbangun di aula dengan selimut dan sebuah jaket yang menghangatkannya.

Terlebih, ketika ia menemukan sebuah bordiran inisial yang familiar dalam ingatannya pada salah satu sisi bawah pada bagian dalam jaket. Gia langsung tahu milik siapa jaket yang ada padanya dengan sekali tebakan. Sebab ia temukan bordiran yang sama dengan sapu tangan yang ia terima dari seseorang di sekolah lamanya.

Bordiran biru tua dengan font latin yang cantik nan rapi, mengukir dua huruf yang membuatnya menipiskan bibir mengukir sebuah senyuman.

M. H.

LDKS – Day 2 : The Saviour In Silence

Gia berkali-kali menggosokkan seraya meniup-niup kedua telapak tangannya, berharap akan mendapatkan sedikit kehangatan untuk tubuhnya yang masih kedinginan meski sudah dibalut dengan kaus lengan panjang serta jaket berbahan tebal. Gia memang tak pernah kuat dingin, gadis itu bisa menggigil. Sayangnya, tak ada pengecualian untuk siapapun malam ini. Semua harus mengikuti instruksi untuk berbaris kembali di lapangan yang sebelumnya mereka pijaki untuk acara api unggun.

Dengan kelopak mata yang masih berat lantaran hanya mendapat jam tidur super singkat, mereka semua bersiap untuk melaksanakan acara yang menjadi buah bibir paling beken dari masa ke masa. Alias, jurit malam.

Gia menjadi urutan keempat dari barisannya, tepat di belakang Dinda. Sementara Dhimas memimpin barisan, setelahnya Alwan, kemudian Alfi mengikuti. Sementara Haris yang paling tinggi memilih untuk berbaris di paling belakang, terpaksa. Sebab sebagai kakak pembimbing, tak mungkin ia berada di tengah. mereka harus melindungi adik-adik kelasnya. Maka pilihannya hanya dua, kepala atau buntut. Dan Haris tahu ia tak akan pernah sanggup menjadi orang yang paling depan membelah jalanan 'hutan' yang gelap.

“Kelompok satu udah siap ya?” tanya Bayu, yang memang ditugaskan untuk menjadi orang pertama yang memberi tahu jalan masuk menuju hutan.

“Siap, Kak.” Dhimas menjadi perwakilan kelompok untuk menjawab pertanyaan Bayu. Setelahnya Bayu pun mengalakan pemantik api dan menyalakan lilin yang sedari tadi dibawa oleh Dhimas.

“Ini lilinnya jangan sampai mati ya, kalo bisa dijaga sampe pos terakhir. Saling pegangan sama bahu temannya, jangan sampe terlepas, jangan tertinggal! Paham ya?” ucap Bayu yang hanya ditanggapi dengan anggukan dalam diam. “Ya udah, silakan jalan. Dari sini lurus aja, nanti belok kiri. Letak pos satunya di sana.”

Namun, alih-alih langsung berjalan, Alwan justru mengacungkan tangannya. Sebab sesuai instruksi Haris dan Dhimas, mereka tidak boleh lupa menanyakan clue untuk setiap pos yang akan didatangi. “Maaf, Kak, izin bertanya. Clue untuk pos pertama apa ya?” tanya Alwan.

Bayu menipiskan bibir, cukup takjub dengan Alwan yang tidak main asal menurut. “Cerdas! Simak baik-baik clue-nya ya! Untuk pos satu itu, cahaya kehidupan. Dah, silakan jalan!”

“Terima kasih, Kak!”

Setelah mendapat perbekalan cukup, 'kereta' kelompok 1 itu berjalan perlahan. Dhimas di paling depan menutupi lilin dengan sebelah tangannya yang tidak memegang piring kecil sebagai alas lilin, menjaganya agar tidak mati di tengah jalan. “Jangan ada yang bengong, ya! Fokus! Kalo ada yang sakit jangan sungkan bilang. Jangan maksain diri sendiri!” celoteh Dhimas. Pria itu memang paling rewel akan keselamatan para anggota kelompoknya. Entah sudah berapa kali Dhimas mengatakan hal itu.

Terdapat lima pos tersebar di dalam hutan, terdiri dari 4 pos utama dan 1 pos untuk ice breaking. Pos Agama, Kepemimpinan, Manajemen Waktu, Ice Breaking, dan yang paling ditakuti dan disimpan pada paling terakhir, Mental.

Pos pertama, dihuni oleh kakak-kakak berperawakan alim. Terlihat dari personelnya yang mayoritas anak-anak rohis. Yang perempuan mengenakan kerudung menutupi dada, yang lelaki mengenakan celana cingkrang lengkap dengan peci. Sementara di sisi lain pun terdapat perwakilan dari ekskul rokris dan rohkat. Sudah jelas pos pertama adalah Pos Agama. Pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan di sana sederhana, seperti menyebutkan Rukun Islam, Rukun Iman, dan lain-lain. Namun rupanya hal ini jauh lebih sulit untuk anak-anak yang baru masuk SMA ketimbang anak-anak yang baru masuk madrasah. Rupanya seiring bertambah dewasa, banyak sekali perkara kecil pasal agama yang luntur dari ingatan.

Membuat sindiran-sindiran kakak kelas yang super menohok itu kembali terlontar. “Udah SMA nggak apal Rukun Islam sama Rukun Iman? Kalian ini agamanya apa sih? Malu sama anak TK! Balik aja TK sana!”

Beruntung di sana ada Gia dan Alfi yang masih mengingat jelas Rukun Islam dan Rukun Iman. Membuat kelompoknya terselamatkan dari hukuman tidak mendapatkan clue dan memakan petai mentah.

Berhasil lolos dari pos pertama, kelompok 1 melanjutkan perjalanan menuju pos kedua. Seseorang yang Haris kenali, seorang ketua MPK berdiri di sana. Sudah jelas lagi, Kepemimpinan adalah nama pos ini. Pertanyaan-pertanyaan pada pos ini jelas dibabat habis oleh Alwan yang berambisi menjadi anggota OSIS, dibantu sedikit oleh Haris untuk menyempurnakan jawabannya. Pun Gia yang membaca diktat betul-betul. Meski dengan rasa takut yang sedikit mendominasi beserta suaranya yang bergetar akibat menahan dingin yang semakin menusuk kulitnya, Gia menjawab sedikit-sedikit ketika ada pertanyaan mengenai materi yang ada pada diktat. Perbedaan pemimpin dan bos, pembahasan mengenai Planning, Organizing, Controling, Actuating, dan sifat-sifat yang harus dimiliki seorang pemimpin menjadi pembahasan selama di pos kedua.

Sejauh ini berjalan lancar, kelompok 1 masih berjaya. Lilin masih menyala, tidak—atau belum mendapat hukuman atau amarah dari para kakak kelas, atribut pun masih lengkap. Maka dengan sedikit lebih tenang dari ketika pertama kali melangkahkan kaki ke dalam hutan, kelompok 1 kembali melangkah menuju pos ketiga. Manajemen waktu.

Tidak begitu banyak drama di sana, kakak-kakak yang mengisi pos Manajemen Waktu memang selalu yang terbaik dari tahun ke tahun. Entahlah hal ini direncanakan atau tidak, Haris dan Dhimas pun tak tahu kenapa. Manajemen Waktu menjadi pos paling lancar mereka lalui ketimbang pos-pos sebelumnya.

Masuklah pada pos keempat, Ice Breaking. Di sana, mereka disambut begitu meriah. “WEH WEHHH MASIH NYALA LILINYA! TEPUK TANGAN DONGGG!!”

“Kelompok berapa nih?” tanya seorang kakak kelas yang Gia tak tahu namanya.

“Satu, Kak,” balas Dhimas.

“Oh, masih pertama ya. Ini ngapain nih bawa-bawa lilin? Ada yang ulang tahun?”

Alwan menggeleng, “Nggak ada, Kak. Ini buat penerangan aja selama di jalan.”

“Oh gituu, ya udah duduk sini duduk. Jangan lebar-lebar, kita bukan mau liwetan! Yang nggak muat ke belakang.”

Dicontohkan oleh Dhimas, mereka semua duduk lesehan menghadap para kakak kelas yang asik sendiri. Makan snack, bercanda, berebut minum, dan lain-lain. Haris yang peka dan aware terhadap hal-hal seperti ini pun otomatis mengangkat tangannya. “Maaf, Kak sebelumnya, boleh izin tegur kakak-kakak yang lain untuk ikut duduk di sini? Supaya jangan asik sendiri,” ucap Haris.

“Oh? Boleh, boleh. Tuhh, Kakk! Denger nggak? Jangan asik sendiri katanya. Gabung sini sama adik-adik manis,” ucap salah seorang yang sedari awal duduk bersama dengan kelompok 1.

“Hoooo, iya iya maaf yahhh. Siapa tadi yang ngomong? Haris? Iye maap ye, Ris!”

Haris hanya mengangguk, setelahnya memilih diam dan membiarkan adik-adik kelasnya aktif berbicara. Sebab dirinya sudah terlalu banyak berargumen ketika rapat rutin. Dalam keanggotaan OSIS, Haris memang dikenal paling bawel karena paling sering mengkritik dan tak segan-segan menyuarakan ketika dirinya tidak setuju. Tentunya disertai dengan alasannya yang selalu logis.

Sesuai namanya, Pos Ice Breaking adalah tempat untuk rileks sejenak. Mereka bebas duduk dengan posisi senyaman mungkin, bebas menyuarakan siapa kakak-kakak yang galak, bebas bercanda, bahkan mereka ditawarkan makanan ringan yang sempat dijadikan rebutan para kakak kelas sebelum ditegur Haris.

Semuanya berjalan aman hingga salah seorang kakak kelas itu menyadari sesuatu. “Kamu kenapa? Sakit?”

Rentetan kalimat itu otomatis membuat anggota yang lain menoleh pada sumber suara. Haris terdiam kaku ketika mengetahui yang menjadi sasaran pertanyaan adalah Gia. Tubuhnya yang sedari tadi duduk sedikit bungkuk itu kini menegak lantaran secuil kekhawatiran menelusup masuk memenuhi relungnya.

“Serius, sakit nggak? Muka kamu pucet banget, loh! Itu bibirnya juga udah nggak ada merah-merahnya.”

“Pusing nggak, Gi? Kalo pusing bilang aja,” tanya Dhimas. Gia hanya menggeleng pelan, “Enggak, Kak. Nggak pa-pa, kok!”

“Bener?” tanya Dhimas lagi. “Kalo pusing bilang ya!”

Gia hanya mengangguk. Sementara tanpa sepengetahuannya, tatapan Haris masih tak lepas darinya. Meski dalam gelap, Haris dapat menangkap jelas wajah Gia yang memucat. Pula gelagatnya yang menunjukkan bahwa gadis itu kedinginan. Namun tetap tak ada yang ia lakukan selain mengawasi Gia dari jauh.

Tak terasa sudah habis waktunya untuk berdiam diri di pos keempat. Kelompok 1 akhirnya diperintahkan untuk lanjut menuju pos terakhir. Sesaat sebelum langkahnya menjauh, Haris merasakan seseorang menepuk bahunya. Membuatnya nyaris mengumpat lantaran terkejut, takut-takut yang menepuknya itu bukanlah sejenis dengannya.

“Kaget, kenapa, Kak?” tanya Haris. “Adek kelas lu liatin tuh yang tadi, ngeri pingsan.”

“Iya, Kak.”

Sekon berikutnya Haris pun menyusul kelompoknya yang entah mengapa kini berjalan dengan urutan mengacak. “Eh, baris lagi dong, guys!” seru Dhimas. Membuat semuanya kembali membentuk barisan seperti semula.

Kala itu, Haris yang berada di paling belakang menangkap Gia berjalan melambat. Gadis itu bahkan sedikit berada di luar jalur, membuat Haris mau tak mau meraih kedua bahu Gia untuk menyeretnya kembali ke barisan.

Perlahan tapi pasti, mereka kini tiba pada pos terakhir. Namun langkah Gia kembali melambat, bahkan terhenti. Alhasil, Haris yang berjalan tepat di belakangnya turut menghentikan langkahnya. Seraya mengerutkan dahi, Haris memandangi Gia yang kini memeluk erat dirinya sendiri.

“Gi?” panggil Haris. Alih-alih menjawab, Gia hanya diam dan semakin mengeratkan pelukan pada tubuhnya yang kian menggigil. “Gi?” panggil Haris lagi.

Panik, ketakutan, dan khawatir berlebihan, Haris memposisikan dirinya di hadapan Gia. Seraya sedikit membungkuk dengan kedua tangan yang mencengkeram bahu Gia pelan, Haris menanyakan keadaannya. “Kenapa?”

“Dingin, Kak..”

Sayangnya, suara Gia terlampau pelan untuk Haris dengar. Maka ia mendekatkan telinganya dengan bibir Gia, “Kenapa?”

“D-Dingin.”

“Heh, kenapa itu? Cepet baris sini, lelet!” ucap Vio, salah satu personel utama Pos Mental. Haris sontak menoleh, “Nggak enak badan, Kak. Dari pos sebelumnya juga udah pucet,” balas Haris.

Raut wajah khawatir Haris seakan menular kepada Vio. Pemuda itu menyugar rambutnya frustrasi dan segera memanggil Yuna untuk membantu Haris mengatasi kondisi Gia. Seraya tergopoh-gopoh, Yuna menghampiri Haris dan Gia yang kini terpisah dari barisan.

“Kenapa, Ris?” tanya Yuna.

“Kedinginan,” jawab Haris. “Kayaknya nggak kuat dingin. Ini menggigil badannya.”

“Pusing nggak, Anggia?” tanya Yuna. Lagi-lagi tak ada jawaban. Baru saja Yuna ingin memanggil tim medis melalui HT yang ia bawa, tubuh Gia ambruk seketika. Beruntung sejak awal Haris sudah memperkirakan hal ini akan terjadi, maka ia dengan cekatan menangkap tubuh Gia sebelum bersentuhan dengan tanah.

“Ris, nunggu medis kelamaan, Ris! Keburu makin parah ni anak orang. Gotong aja deh, kuat nggak lo?” ucap Yuna panik, perempuan itu bahkan melupakan untuk berbicara sopan.

Tak banyak bicara, Haris mengangguk menyetujui. “Tunggu,” ucap Haris. Kemudian seakan ingin menunjukkan kepeduliannya terhadap sang adik kelas, Haris membaringkan tubuh Gia sementara. Kemudian secepat kilat melepas almet OSIS kebanggaannya dan menjadikannya selimut untuk tubuh mungil Gia, menyisakan kaus celup ikat abal-abal berlengan pendek yang dibuat seragam dengan teman satu angkatannya.

Kemudian dengan hati-hati, pria itu membopong Gia dengan mudah. “Ayo, ke mana jalannya?”

Sebagai seorang wanita yang melihat tingkah Haris yang benar-benar gentle, Yuna mendadak gugup. Ia bahkan menelan ludah sebelum menjawab pertanyaan Haris. Setelah tersadar, barulah Yuna menunjukkan jalannya. “S-sini.”

“Vio, izin ya!” ucap Yuna. Setelah dibalas anggukan oleh Vio, yang Haris dan Yuna lakukan selanjutnya adalah bergegas membawa Gia kembali ke aula.

“Heh, liat sini semua! Jangan norak! Temennya sakit bukannya ditolongin malah diliatin doang!” ujar Vio.

Dhimas menghela napasnya, dalam hati ia berdecak. Haris benar-benar harus berterima kasih pada Gia sebab gadis itu menyelamatkan Haris menjauh, meninggalkan Dhimas dan sisa kelompok 1 yang lain dengan siksaan pada pos terakhir yang bahkan memiliki clue 'Kerajaan Setan'.


“Baringin sini aja, Ris!” ucap Yuna. “Jagain bentar, gue panggil medis dulu!”

“Gue aja, Kak,” balas Haris. Setelah membaringkan Gia pada sebuah karpet yang digelar di aula untuk alas tidur, Haris melanglang buana untuk mencari divisi medis.

Selang sekitar tiga menit, seorang divisi medis perempuan bertanda nama Mutia pada rompi PMR-nya datang menghampiri Yuna dengan tas berisi obat-obatan. “Kenapa, Yun? Pusing?” tanyanya. Yuna menggeleng, “Nggak tau, Mut. Tadi nyampe pos gue langsung pingsan. Kata Haris emang udah pucet dari pos sebelumnya.”

“Harisnya mana, Mut?” tanya Yuna lagi ketika menyadari Haris belum kembali. “Nggak tau juga, tadi gue disuruh duluan,” balas Mutia, yang kemudian mengoleskan minyak angin pada kedua pelipis Gia.

Panjang umur, yang dibicarakan akhirnya tiba. Haris berjalan dengan langkah lebar dengan tangan kanan yang menjinjing asal jaket tebal miliknya. Kemudian Haris ikut duduk di sebelah Yuna.

“Ini kenapa, Ris?”

“Kedinginan,” balas Haris singkat. Setelahnya ia menukar almet OSIS-nya yang menjadi selimut darurat untuk Gia dengan jaket yang ia bawa. “Kayaknya emang nggak kuat dingin, Kak. Soalnya tadi sempet menggigil juga,” lanjutnya.

“Ohh, ya udah ya udah. Sepatunya buka dulu deh, tolong balurin minyak kayu putih dulu ya telapak kakinya! Gue ambilin selimut deh,” ucap Mutia. Kemudian meninggalkan Haris dan Yuna yang dengan segera melakukan instruksi Mutia.

“Kakinya aja dingin banget, buset!” ujar Yuna saat pertama kali menyentuh telapak kaki Gia. Haris hanya diam, fokus membalurkan minyak kayu putih pada telapak kaki kanan Gia. Sesekali ia mencengkramnya pelan, berharap akan menyalurkan sedikit kehangatan di sana.

“Lo kok tadi nggak takut, Ris jalan keluar dari hutan sendirian?” tanya Yuna. “Nggak nangis lagi kayak tahun lalu?”

Haris terkekeh, “Kan berdua sama lo, Kak! Bertiga deng, sama Gia.”

“Lo lagian aneh-aneh, Kak. Kenapa nggak di tempat tahun lalu aja sih? Tempat TNI? Ini di kaki gunung gini dingin banget tau. Kasian lu anak orang pada kedinginan,” ujar Haris.

“Salahin Vio lahh! Tapi katanya sih tempat TNI yang tahun lalu itu udah penuhh di-booking orang. Kalo mau kita harus ngundur acaranya, tapi kalo diundur tuh sekolahnya nggak mau,” jelas Yuna.

“Gue ngeri Gia kesurupan sumpah. Untung sakit doang, nggak untung juga sih. Tapi, mending lah daripada kesurupan. Gue mau bawanya juga gimana ya kalo kesurupan,” celoteh Haris lagi.

“Iya anjir! Gue juga takut bawanya kalo kesurupan,” balas Yuna.

Percakapan keduanya terhenti setelah Mutia kembali membawa sehelai selimut dengan kedua tangannya. “Pakein lagi aja kaus kakinya,” titah Mutia yang langsung dilaksanakan oleh Haris dan Yuna. Setelahnya ia melebarkan selimut itu untuk membuat Gia lebih hangat. Membuat tubuhnya kini terbalut dengan jaket miliknya sendiri, jaket tebal Haris, dan sehelai selimut.

Penanganan selanjutnya diambil alih oleh Mutia, gadis itu kini mendekatkan minyak angin pada hidung Gia. Membiarkan gadis itu menghirupnya dan berharap gadis itu segera sadar.

Entah sudah berapa menit Haris habiskan untuk mengurus Gia hingga HT Yuna kembali berbunyi. Memperdengarkan suara Vio yang memang tertuju padanya.

“Yun, yuna?”

“Ya, ya?”

“Haris nanti suruh gabung sama kelompoknya lagi, ya! Di tempat terakhir buat kelompok-kelompok pada ngumpul. Kelompok satu udah keluar dari pos gue.”

“Oh gitu? Oke, oke. Ini Haris sama gue, kok! Nanti gue anter ke sana.”

“Sip, thank you!”

“Yooo!”

“Mut, gue tinggal ya!” pamit Yuna. Haris yang sudah tahu harus melakukan apa itu pun turut bangkit dan segera memakai kembali almetnya dan membuntuti Yuna yang akan mengantarkannya kembali bergabung dengan kelompoknya.

Tak masalah, Haris justru bersyukur dalam hati. Memang ia membutuhkan Dhimas untuk menenangkan jantungnya yang sedari tadi berdetak kencang. Takut. Sejujurnya Haris sangat takut sedari tadi. Kalau bukan karena Gia, ia pastikan kakinya itu tak akan sanggup melangkah hingga kembali ke aula.

Setelah menempuh perjalanan yang tidak jauh, Haris akhirnya kembali bergabung dengan kelompoknya. Dan tanpa sepengetahuannya, di sisi lain, Gia sudah kembali tersadar. Gadis itu sempat bingung lantaran terbangun di aula dengan selimut dan sebuah jaket yang menghangatkannya.

Terlebih, ketika ia menemukan sebuah bordiran inisial yang familiar dalam ingatannya pada salah satu sisi bawah pada bagian dalam jaket. Gia langsung tahu milik siapa jaket yang ada padanya dengan sekali tebakan. Sebab ia temukan bordiran yang sama dengan sapu tangan yang ia terima dari seseorang di sekolah lamanya.

Bordiran biru tua dengan font latin yang cantik nan rapi, mengukir dua huruf yang membuatnya menipiskan bibir mengukir sebuah senyuman.

M. H.

Gia tak pernah merasakan hari yang begitu panjang dan melelahkan, kecuali hari ini. Tanpa berbekal jam tangan maupun ponsel, gadis itu hanya bisa menerka-nerka pukul berapa sekarang. Setelah dibuka dengan apel pembuka bersama kepala sekolah sekaligus pelepasan, mereka berangkat menuju lokasi LDKS yang letaknya berada di salah satu kaki gunung. Gia tidak ingat betul, sebab surat izin yang diserahkan padanya itu langsung ia sampaikan kepada mama tanpa membaca isinya lebih dulu.

Tak ada yang lebih seru rupanya dibandingkan berangkat menggunakan tronton. Berbaur dengan kelompok lain, banyak kepala dengan banyak kepribadian. Gia banyak tertawa lantaran banyak anak lelaki dengan tingkah ajaib. Tubuh terpelanting ke sana dan ke mari, harus saling berpegangan ketika mobil bermanuver ke kanan dan ke kiri, kepala terbentur dengan jendela besi tronton, tertampar ranting pohon yang berhasil meloloskan diri ke jendela hingga mengenai wajah, menjadi plus minus menjadi penumpang di sebuah tronton.

Tapi Gia menikmatinya, belum tentu ia bisa menikmati fenomena semacam ini lagi pada masa yang akan datang, bukan? Beruntung ia mendapat kursi, terima kasih kepada Alwan yang selalu rela berkorban untuknya. Pria itu memilih lesehan bersama teman-teman lelakinya yang lain. Yang pada akhirnya kadang harus tertimpa tas carrier yang ditumpuk dan didempetkan di bagian pojok tronton ketika mobil itu dalam posisi menanjak.

Seolah hari penuh penderitaan, sesampainya di lokasi, mereka bahkan tak diizinkan untuk jalan biasa. Jalan jongkok adalah jawabannya. Dengan tas yang berisi beban entah berapa kilogram, mereka harus berjalan jongkok hingga mencapai aula. Banyak yang mengeluh, tentunya. Namun hanya akan dibalas, “Jangan manja! Jaman kita dulu lebih parah dari ini, kalian harusnya bersyukur!”

Setelah jalan jongkok, jangan harap akan mendapat apresiasi karena berhasil menahan beban dan melewati ujian paling awal. Sebab yang didapatkan malah ocehan sang ketua OSIS yang rupanya sudah menanti di aula. “Lelet banget! Jalan dari depan ke sini aja lama banget!

Ucapan Haris kini terngiang-ngiang di kepala, inilah ajangnya ketika kesalahan sekecil apapun akan dikejar hingga puas. Kalau bisa, jangan ada ujungnya. Inilah ajangnya ketika senior tidak pernah salah. Bahkan tertera pada peraturan yang dibuat saat itu juga. Bahwa satu, bahwa senior tidak pernah salah. Dua, ketika senior salah, maka kembali ke pasal pertama.

Beradu argumen perihal siapa yang pantas menerima hukuman antara kakak pembimbing yang tidak mengingatkan dengan benar atau adik kelas yang tidak mendengarkan aturan, diejek kakak kelas sebab rela membiarkan teman satu angkatan dihukum, berganti baju lima menit dengan ruangan seadanya dan manusia yang bejibun, Gia baru kali ini merasakannya. Panik, mau pulang, hanya itu yang bersemayam di pikirannya saat ini. Yang menguatkannya adalah ketika melihat wajah-wajah sahabat karibnya, Alwan dan Zahra yang sama sekali tak gentar bahkan ketika dibentak di depan wajah. Gia harus benar-benar belajar pada keduanya.

Setelah setengah jam yang berhasil menguras tenaga dan pikiran bahkan tanpa melakukan gerakan apapun, pada akhirnya penderitaan itu usai. Atau lebih tepatnya, ditunda untuk sementara. Kini mereka fokus duduk dengan barisan rapi memenuhi aula. Menghadap pada sebuah proyektor yang menampilkan materi dari berbagai sumber berbeda yang katanya juga alumni dan guru, Gia menyimak dan mencatat semua materi dengan baik. Memastikan tak ada satu kata pun yang terlewat. Takut-takut akan menjadi sebuah pop quiz pada suatu waktu.

Tak ada istirahat selain makan dan ibadah. Beruntung Gia sedang dalam masa datang bulan hari itu, sehingga ia bisa memiliki waktu santai walaupun hanya sekitar lima menit. Yaitu ketika yang lain melakukan ibadah wajibnya. Hari pertama rasanya penuh dengan penyampaian materi. Mulai dari materi leadership, manajemen waktu, kenakalan remaja, dan lain-lain yang sebenarnya cukup membuat kelopak mata Gia berat akibat kantuk namun berusaha ia lawan sekuat tenaga.

Sesekali gadis itu berdecak kagum pada mereka yang berani aktif, sebab dirinya sama sekali tidak memiliki kemampuan itu. Untuk tampil pada acara api unggun saja ia harus berkali-kali latihan di depan kaca, juga di depan Zahra dan Aghniya. Gia mengaku kalah ketika harus dengan spontan mengacungkan tangan dan mengajukan pertanyaan di hadapan banyak orang. Nyalinya tidak sebesar itu. Gia hanya bagian memberikan tepuk tangan pada Kak Dhimas, Kak Haris, Alwan, Zahra, bahkan Alfi yang mewakili kelompoknya.

Tak terasa, hari sudah gelap. Mereka baru saja menyelesaikan ibadah isya dan makan malam bersama. Kini semuanya masih menetap di tempat yang sama, tak ada yang bergerak sebelum disuruh mengingat itu hanya akan menimbulkan masalah baru.

“Udah selesai semua makannya?” tanya Yuna.

“Sudah, Kakk!”

“Oke, dibersihin sampahnya. Dirapiin, jangan sampe ada sebutir nasi pun yang ada di lantai ya! Masukin ke trash bag, jangan kalian yang bangun! Nanti kakaknya yang nyamperin, ngerti?”

“Ngerti, Kak!”

Selang beberapa menit, sampah-sampah bekas makanan itu selesai dibersihkan. “Ada yang mau nambah minum lagi nggak?” tanya Yuna. “Nggak pa-pa serius, ini bukan pertanyaan jebakan. Sini kalo mau maju, perwakilan aja. Ambilin buat temennya sekalian.”

“Kak, saya mau boleh nggak?” tanya Alwan. Berani sekali memang. Cocok menjadi anggota OSIS, pikir Gia. Yuna mengangguk, “Ya, sini!”

Setelahnya Yuna menyerahkan satu botol air mineral berukuran dua liter yang hanya terisi setengahnya. “Abisin, harus kebagian semua satu kelompok!”

“Makasih, Kak.”

“MINUMNYA NEMPELL!! Nggak ada jijik-jijik!” seru Vio dari depan. Membuat beberapa orang berjengit di tempatnya lantaran terkejut.

“Ini, yang cewek-cewek dulu aja,” ucap Alwan memberikan botol minum itu pada Dinda yang berada di sebelahnya. “Tapi tau diri ye, yang cowoknya sisain!”

Setelah selesai dengan urusan makan dan minum, kini mereka kembali duduk berbaris seperti saat mendengarkan materi. “Oke, udah pada makan semua?” Ucap Vio yang kini mengambil peran.

“Udah, Kak.”

“Kenyang?”

“Kenyang, Kak.”

Pemuda yang menjadi pusat perhatian dengan penampilannya yang paripurna itu menganggukkan kepala. Sembari kembali menggulung lengan almetnya hingga menampakkan lengannya yang entah bagaimana terlihat gagah itu, Vio kembali bersuara. “Sekarang kalian boleh balik lagi ke ruangan masing-masing, santai aja nggak usah buru-buru. Ambil jaketnya, terus balik lagi ke sini. Paham?”

“Paham, Kak!”

“Mulai dari kelompok satu dulu, yang paling deket pintu. Nggak usah lari, di luar gelap! Kalian nggak tau nanti nginjek apa, nanti luka, kami yang tanggung jawab. Kalo udah balik lagi jangan lupa lapor sama kakak pembimbingnya!” titahnya lagi.

Membutuhkan sekitar sepuluh menit hingga semuanya kembali berkumpul di aula. Vio pun mewajarkan, mungkin mereka semua butuh waktu untuk meluruskan punggung barang sejenak.

Sekarang, tiba saatnya untuk acara yang ditunggu-tunggu. Sebuah primadona dari setiap acara perkemahan, yaitu api unggun. Berkumpul di sebuah tanah lapang, mereka semua bergandengan tangan membentuk sebuah lingkaran besar mengelilingi gundukan kayu bakar yang disusun sedemikian rupa agar membentuk menyerupai gunung kecil. Tanpa memandang lelaki atau perempuan, kedua tangan yang saling bertaut erat seakan mewakilkan pertemanan yang juga semakin erat di antara mereka semua.

Di dalam lingkaran, Vio bersama temannya, Bayu, menjadi dua orang yang memandu acara. Keduanya berkeliling membawa senter dan mikrofon. “Mundur lagi mundur, lebarin lagi lingkarannya!”

“Kagak kelar-kelar ye perkara lingkaran doang,” keluh Dhimas pelan. “Lama-lama kayak mau maen orang miskin orang kayak nih gandengan begini.”

“Eh, Dinda. Kita gandengannya pake tangan aja ya jangan pake perasaan,” canda Dhimas lagi. Yang kemudian mendapat delikan geli dari Dinda. “DIHHH GELI BAT LU KAKKK!”

“Ya, kali aja, Din.”

Ketika semuanya siap, tanpa menunggu lama, acara pun dimulai. Sorakan paling riuh terdengar ketika api unggun mulai berkobar setelah berhasil dinyalakan. Terang, membara, hangat. Membuat wajah teman-temannya terlihat semakin rupawan lantaran semakin jelas terlihat.

Dengan orang-orang yang meskipun tak Gia kenali semuanya, mereka bertukar gelak tawa disaksikan rerumputan tajam beserta bulan dan bintangnya yang bersemayam di langit gelap, turut menyaksikan dalam diam kebahagiaan yang menguar di udara malam itu.

Sejauh ini api unggun menjadi bagian favorit Gia. Gadis itu merasa bahwa pada akhirnya, ia memiliki kenang-kenangan bernilai sejuta dolar. Yang mungkin tak akan dapat ia beli bahkan ketika hidupnya sudah mapan. Malam itu Gia memastikan, sampai ia tua nanti, momen kebersamaan bersama api unggun ini akan selamanya bersemayam dalam ingatannya.

Sebagai kakak kelas yang baik, rupanya kakak kelas dua belas tak hanya membebankan kewajiban menampilkan sesuatu kepada para adik kelasnya. Sebab mereka pun turut menampilkan pentas seni. Bayu yang memang terkenal dengan suaranya yang lembut memimpin keramaian untuk menyanyikan lagu-lagu tongkrongan.

Gia tak punya wawasan soal itu, namun gadis itu turut menikmati bersama semua temannya yang ikut melambaikan kedua tangannya di udara. Bayu seperti seorang superstar dengan sorotan lampu alami dari rembulan, dan semua orang yang ada di sana adalah penggemarnya yang mengaku nomor satu.

Yel-yel kelompok pun berguna pada akhirnya, sebab setiap kelompok ditunjuk secara acak untuk menampilkan yel-yelnya sebelum akhirnya membeberkan penampilan utama yang telah dipersiapkan. Beruntung, kelompok satu sudah mendapat arahan dan nasehat dari mentor paling hebat sejagat raya. Seorang Dhimas Wijaya yang pada akhirnya membuat mereka kompak saat menyanyikan yel-yel meskipun hanya berlatih dalam kurun waktu singkat.

“Okeee! Yel-yelnya mantep ya kelompok satu ya! Kita kasih tepuk tangan dongg!! Seru nih, kelompoknya! Rame banget ya. Nggak heran sih, itu kakak pembimbingnya juga emang yang paling rame di OSIS sebetulnya,” ucap Yuna. Kini perempuan itu berperan sebagai MC untuk pentas seni kecil-kecilan setelah Vio menyerahkan mikrofon padanya.

“Mantapp! Sekarang giliran kita tanya-tanya nih, sama kelompok satu. Mau nampilin apa malam ini?” tanya Yuna.

“Jawab, Dhim,” pinta Yuna.

“Beuhh, kelompok satu hari ini punya diva internasional! Siapa siapa sebut! Taylor Swift? Titi Dj? Krisdayanti? Beuhhhh, jauhhhh!” ucap Dhimas hiperbola. “Jauh lebih jago mereka maksudnya, ehe! Ya tapi jagoan kita nggak kalah jago nggak kalah keren. Ni calon Raisa masa depan nih, Kak, yekan! Solo performance, nih—”

“Banyak omong ih! Waktunya keburu abis lu lama banget!” potong Yuna. Sekon berikutnya terdengar gelak tawa dari para audiens yang hadir.

“YAYAYA MAAP! Ini langsung aja deh, perwakilan kita, ANGGIAAAA UHUUUUUYY! Eh tepuk tangan dong yailah!”

“Okeee, Anggia! Boleh langsung ke tengah aja ya, maaf banget nggak diwawancara. Waktunya diembat semua sama Dhimas tuh!” balas Yuna.

Dengan langkah ragu dan tangan gemetar dialiri keringat dingin, Gia berjalan maju. Mengambil tempat di dekat kumpulan para kakak kelas yang berada di tengah-tengah lingkaran, menjadi pusat perhatian kedua setelah api unggun.

“Gia mau nyanyi lagu apa?” tanya Vio. “Musiknya udah dikirim kan ya?”

Gia mengangguk kaku, “Udah, Kak. Lagunya itu—”

“Oh, ini nih ada. Okee, silakan. EH TEPUK TANGAN LAGI DONGG BUAT KELOMPOK SATU!”

Tepat setelah suara tepuk tangan mereda, instrumen lagu yang menjadi pilihan Anggia saat itu memenuhi pendengaran siapapun yang ada di sana. Termasuk Haris, yang diam-diam memperhatikan dari jauh.

HARIS'S POV

Gia dengan tubuhnya yang mungil itu keliatan makin mungil ketika berada di tengah-tengah lapangan. Bersanding dengan api unggun yang nyala dengan super-super berani seakan nggak rela ada yang menandingi, Gia nggak ada apa-apanya. Gue malah ngeri dia kecipratan serpihan api yang nyiprat-nyiprat karena kayaknya dia berdiri cukup dekat dengan api unggun.

Tapi yang nggak gue sangka, Gia yang mungil ini justru termasuk orang dengan mental yang—boleh juga. Meskipun jauh, gue bisa liat dengan jelas kalo Gia pucat. Wajar lah, siapa yang nggak mau ilang nyawanya kalo harus tampil sendirian di hadapan banyak orang?

Meskipun nggak bisa gue ucapkan dengan lantang, gue nggak bisa boong lagi kali gue—ikut merasakan bangga karena ngeliat Gia berdiri di sana sekarang.

Alunan musik yang cukup familiar mulai memasuki indera pendengaran gue. Cukup membuat gue dan Dhimas mikir keras sesaat karena ada sedikit perubahan pada musiknya. Tapi menurut gue Gia cerdas karena memilih tipe musik yang slow tapi juga nggak terlalu slow buat ditampilin pada acara api unggun kayak gini.

Gia mulai mendekatkan mikforon ke bibirnya, dalem hati gue ketar-ketir, semoga nggak kesetrum.

Dan saat Gia mengucapkan lirik pertamanya,

Everyone can see, there's a change in me

Gue.. merasa seakan dunia berhenti sementara, cuma buat gue dan Gia. Seakan semesta memaksa gue untuk merutuki kebodohan gue sendiri karena pernah bikin luka di hatinya pake ucapan gue sendiri. Silakan anggap gue hipokrit karena gue marah waktu Gio bikin Gia ancur pake kata-katanya disaat gue juga melalukan hal yang sama.

They all say i'm not the same kid i used to be..

“So do i, Anggi. So do i.”

It's my first love, what i'm dreaming of when i go to bed, when i lay my head upon my pillow, don't know what to do..

Sekon selanjutnya, raga dan pikiran gue rasanya nggak berada di ruang dan waktu yang sejalan. Entah kenapa rasanya sistem saraf pusat gue juga nggak berfungsi. Gue terpaku. Atau lebih tepatnya lagi.. gue.. terpana.

Gia emang cantik. Tapi gue nggak pernah tau kalo dengan berdiri di sebelah api unggun justru membuat dia beribu-ribu kali lipat lebih manis. Ini suasana yang sejujurnya—tai kucing. Gue bahkan nggak bisa nebak perasaan hangat yang menjalar di pipi gue ini asalnya dari api unggun atau dari hati gue yang udah nggak tertampung lagi.

Not to mention suaranya yang sopan masuk ke telinga dengan nada-nada yang dia eksekusi dengan baik. Sangat baik. Suara Gia, tanpa ngetuk pintu pun akan gue sambut dengan senang hati untuk memenuhi rungu gue.

Kedua mata gue masih berpusat di Gia, seakan-akan dunia gue berputar cuma buat dia. Seakan-akan keadaan berbalik, bahwa api unggun yang paling menarik perhatian itu nggak ada apa-apanya dibanding Gia.

Gia tuh nggak ngapa-ngapain, dia cuma menyelesaikan penampilannya. Tapi, bukan semesta kalo nggak suka bercanda. Bumi dan seisinya malam ini mendukung Gia sepenuhnya untuk bikin gue makin mampus. Semilir angin yang baru dateng tiba-tiba ikut berkontribusi, membuat anak rambut Gia yang berantakan di sisi wajahnya itu tertiup ke sembarang arah. Si mungil ini mau nggak mau menggerakan sebelah tangannya untuk nyelipin anak rambutnya ke telinga.

Gue mampus, resmi mampus malam ini. Merinding, tapi ada yang membuncah di dalam dada gue. Seakan siap meledak kalau-kalau nggak gue kendalikan dengan baik. Entah harus pake cara apa lagi gue mendeksripsikan indahnya Gia dan suaranya malam ini.

Gue nggak tau ini lagunya tertuju buat siapa. Entah buat gue atau buat orang lain yang lebih pantas memiliki hatinya Gia. Yang gue rasain sekarang adalah dunia menarik paksa gue kembali pada detik dan menit ketika gue menyadari bahwa gue punya perasaan untuk seorang Anggia Kalila Maheswari.

Ini klise. Tapi mungkin malam ini waktunya gue untuk buka mata selebar-lebarnya dan nggak sembunyi lagi di balik tembok tinggi bernamakan gengsi.

Malam ini gue mengaku, dan mengucap selantang-lantangnya dalam dada.

Kalau, sesuai lagunya,

I'm not the same kid i used to be, i found my first love. The one i'm dreaming of each time i go to bed.

Gia tak pernah merasakan hari yang begitu panjang dan melelahkan, kecuali hari ini. Tanpa berbekal jam tangan maupun ponsel, gadis itu hanya bisa menerka-nerka pukul berapa sekarang. Setelah dibuka dengan apel pembuka bersama kepala sekolah sekaligus pelepasan, mereka berangkat menuju lokasi LDKS yang letaknya berada di salah satu kaki gunung. Gia tidak ingat betul, sebab surat izin yang diserahkan padanya itu langsung ia sampaikan kepada mama tanpa membaca isinya lebih dulu.

Tak ada yang lebih seru rupanya dibandingkan berangkat menggunakan tronton. Berbaur dengan kelompok lain, banyak kepala dengan banyak kepribadian. Gia banyak tertawa lantaran banyak anak lelaki dengan tingkah ajaib. Tubuh terpelanting ke sana dan ke mari, harus saling berpegangan ketika mobil bermanuver ke kanan dan ke kiri, kepala terbentur dengan jendela besi tronton, tertampar ranting pohon yang berhasil meloloskan diri ke jendela hingga mengenai wajah, menjadi plus minus menjadi penumpang di sebuah tronton.

Tapi Gia menikmatinya, belum tentu ia bisa menikmati fenomena semacam ini lagi pada masa yang akan datang, bukan? Beruntung ia mendapat kursi, terima kasih kepada Alwan yang selalu rela berkorban untuknya. Pria itu memilih lesehan bersama teman-teman lelakinya yang lain. Yang pada akhirnya kadang harus tertimpa tas carrier yang ditumpuk dan didempetkan di bagian pojok tronton ketika mobil itu dalam posisi menanjak.

Seolah hari penuh penderitaan, sesampainya di lokasi, mereka bahkan tak diizinkan untuk jalan biasa. Jalan jongkok adalah jawabannya. Dengan tas yang berisi beban entah berapa kilogram, mereka harus berjalan jongkok hingga mencapai aula. Banyak yang mengeluh, tentunya. Namun hanya akan dibalas, “Jangan manja! Jaman kita dulu lebih parah dari ini, kalian harusnya bersyukur!”

Setelah jalan jongkok, jangan harap akan mendapat apresiasi karena berhasil menahan beban dan melewati ujian paling awal. Sebab yang didapatkan malah ocehan sang ketua OSIS yang rupanya sudah menanti di aula. “Lelet banget! Jalan dari depan ke sini aja lama banget!

Ucapan Haris kini terngiang-ngiang di kepala, inilah ajangnya ketika kesalahan sekecil apapun akan dikejar hingga puas. Kalau bisa, jangan ada ujungnya. Inilah ajangnya ketika senior tidak pernah salah. Bahkan tertera pada peraturan yang dibuat saat itu juga. Bahwa satu, bahwa senior tidak pernah salah. Dua, ketika senior salah, maka kembali ke pasal pertama.

Beradu argumen perihal siapa yang pantas menerima hukuman antara kakak pembimbing yang tidak mengingatkan dengan benar atau adik kelas yang tidak mendengarkan aturan, diejek kakak kelas sebab rela membiarkan teman satu angkatan dihukum, berganti baju lima menit dengan ruangan seadanya dan manusia yang bejibun, Gia baru kali ini merasakannya. Panik, mau pulang, hanya itu yang bersemayam di pikirannya saat ini. Yang menguatkannya adalah ketika melihat wajah-wajah sahabat karibnya, Alwan dan Zahra yang sama sekali tak gentar bahkan ketika dibentak di depan wajah. Gia harus benar-benar belajar pada keduanya.

Setelah setengah jam yang berhasil menguras tenaga dan pikiran bahkan tanpa melakukan gerakan apapun, pada akhirnya penderitaan itu usai. Atau lebih tepatnya, ditunda untuk sementara. Kini mereka fokus duduk dengan barisan rapi memenuhi aula. Menghadap pada sebuah proyektor yang menampilkan materi dari berbagai sumber berbeda yang katanya juga alumni dan guru, Gia menyimak dan mencatat semua materi dengan baik. Memastikan tak ada satu kata pun yang terlewat. Takut-takut akan menjadi sebuah pop quiz pada suatu waktu.

Tak ada istirahat selain makan dan ibadah. Beruntung Gia sedang dalam masa datang bulan hari itu, sehingga ia bisa memiliki waktu santai walaupun hanya sekitar lima menit. Yaitu ketika yang lain melakukan ibadah wajibnya. Hari pertama rasanya penuh dengan penyampaian materi. Mulai dari materi leadership, manajemen waktu, kenakalan remaja, dan lain-lain yang sebenarnya cukup membuat kelopak mata Gia berat akibat kantuk namun berusaha ia lawan sekuat tenaga.

Sesekali gadis itu berdecak kagum pada mereka yang berani aktif, sebab dirinya sama sekali tidak memiliki kemampuan itu. Untuk tampil pada acara api unggun saja ia harus berkali-kali latihan di depan kaca, juga di depan Zahra dan Aghniya. Gia mengaku kalah ketika harus dengan spontan mengacungkan tangan dan mengajukan pertanyaan di hadapan banyak orang. Nyalinya tidak sebesar itu. Gia hanya bagian memberikan tepuk tangan pada Kak Dhimas, Kak Haris, Alwan, Zahra, bahkan Alfi yang mewakili kelompoknya.

Tak terasa, hari sudah gelap. Mereka baru saja menyelesaikan ibadah isya dan makan malam bersama. Kini semuanya masih menetap di tempat yang sama, tak ada yang bergerak sebelum disuruh mengingat itu hanya akan menimbulkan masalah baru.

“Udah selesai semua makannya?” tanya Yuna.

“Sudah, Kakk!”

“Oke, dibersihin sampahnya. Dirapiin, jangan sampe ada sebutir nasi pun yang ada di lantai ya! Masukin ke trash bag, jangan kalian yang bangun! Nanti kakaknya yang nyamperin, ngerti?”

“Ngerti, Kak!”

Selang beberapa menit, sampah-sampah bekas makanan itu selesai dibersihkan. “Ada yang mau nambah minum lagi nggak?” tanya Yuna. “Nggak pa-pa serius, ini bukan pertanyaan jebakan. Sini kalo mau maju, perwakilan aja. Ambilin buat temennya sekalian.”

“Kak, saya mau boleh nggak?” tanya Alwan. Berani sekali memang. Cocok menjadi anggota OSIS, pikir Gia. Yuna mengangguk, “Ya, sini!”

Setelahnya Yuna menyerahkan satu botol air mineral berukuran dua liter yang hanya terisi setengahnya. “Abisin, harus kebagian semua satu kelompok!”

“Makasih, Kak.”

“MINUMNYA NEMPELL!! Nggak ada jijik-jijik!” seru Vio dari depan. Membuat beberapa orang berjengit di tempatnya lantaran terkejut.

“Ini, yang cewek-cewek dulu aja,” ucap Alwan memberikan botol minum itu pada Dinda yang berada di sebelahnya. “Tapi tau diri ye, yang cowoknya sisain!”

Setelah selesai dengan urusan makan dan minum, kini mereka kembali duduk berbaris seperti saat mendengarkan materi. “Oke, udah pada makan semua?” Ucap Vio yang kini mengambil peran.

“Udah, Kak.”

“Kenyang?”

“Kenyang, Kak.”

Pemuda yang menjadi pusat perhatian dengan penampilannya yang paripurna itu menganggukkan kepala. Sembari kembali menggulung lengan almetnya hingga menampakkan lengannya yang entah bagaimana terlihat gagah itu, Vio kembali bersuara. “Sekarang kalian boleh balik lagi ke ruangan masing-masing, santai aja nggak usah buru-buru. Ambil jaketnya, terus balik lagi ke sini. Paham?”

“Paham, Kak!”

“Mulai dari kelompok satu dulu, yang paling deket pintu. Nggak usah lari, di luar gelap! Kalian nggak tau nanti nginjek apa, nanti luka, kami yang tanggung jawab. Kalo udah balik lagi jangan lupa lapor sama kakak pembimbingnya!” titahnya lagi.

Membutuhkan sekitar sepuluh menit hingga semuanya kembali berkumpul di aula. Vio pun mewajarkan, mungkin mereka semua butuh waktu untuk meluruskan punggung barang sejenak.

Sekarang, tiba saatnya untuk acara yang ditunggu-tunggu. Sebuah primadona dari setiap acara perkemahan, yaitu api unggun. Berkumpul di sebuah tanah lapang, mereka semua bergandengan tangan membentuk sebuah lingkaran besar mengelilingi gundukan kayu bakar yang disusun sedemikian rupa agar membentuk menyerupai gunung kecil. Tanpa memandang lelaki atau perempuan, kedua tangan yang saling bertaut erat seakan mewakilkan pertemanan yang juga semakin erat di antara mereka semua.

Di dalam lingkaran, Vio bersama temannya, Bayu, menjadi dua orang yang memandu acara. Keduanya berkeliling membawa senter dan mikrofon. “Mundur lagi mundur, lebarin lagi lingkarannya!”

“Kagak kelar-kelar ye perkara lingkaran doang,” keluh Dhimas pelan. “Lama-lama kayak mau maen orang miskin orang kayak nih gandengan begini.”

“Eh, Dinda. Kita gandengannya pake tangan aja ya jangan pake perasaan,” canda Dhimas lagi. Yang kemudian mendapat delikan geli dari Dinda. “DIHHH GELI BAT LU KAKKK!”

“Ya, kali aja, Din.”

Ketika semuanya siap, tanpa menunggu lama, acara pun dimulai. Sorakan paling riuh terdengar ketika api unggun mulai berkobar setelah berhasil dinyalakan. Terang, membara, hangat. Membuat wajah teman-temannya terlihat semakin rupawan lantaran semakin jelas terlihat.

Dengan orang-orang yang meskipun tak Gia kenali semuanya, mereka bertukar gelak tawa disaksikan rerumputan tajam beserta bulan dan bintangnya yang bersemayam di langit gelap, turut menyaksikan dalam diam kebahagiaan yang menguar di udara malam itu.

Sejauh ini api unggun menjadi bagian favorit Gia. Gadis itu merasa bahwa pada akhirnya, ia memiliki kenang-kenangan bernilai sejuta dolar. Yang mungkin tak akan dapat ia beli bahkan ketika hidupnya sudah mapan. Malam itu Gia memastikan, sampai ia tua nanti, momen kebersamaan bersama api unggun ini akan selamanya bersemayam dalam ingatannya.

Sebagai kakak kelas yang baik, rupanya kakak kelas dua belas tak hanya membebankan kewajiban menampilkan sesuatu kepada para adik kelasnya. Sebab mereka pun turut menampilkan pentas seni. Bayu yang memang terkenal dengan suaranya yang lembut memimpin keramaian untuk menyanyikan lagu-lagu tongkrongan.

Gia tak punya wawasan soal itu, namun gadis itu turut menikmati bersama semua temannya yang ikut melambaikan kedua tangannya di udara. Bayu seperti seorang superstar dengan sorotan lampu alami dari rembulan, dan semua orang yang ada di sana adalah penggemarnya yang mengaku nomor satu.

Yel-yel kelompok pun berguna pada akhirnya, sebab setiap kelompok ditunjuk secara acak untuk menampilkan yel-yelnya sebelum akhirnya membeberkan penampilan utama yang telah dipersiapkan. Beruntung, kelompok satu sudah mendapat arahan dan nasehat dari mentor paling hebat sejagat raya. Seorang Dhimas Wijaya yang pada akhirnya membuat mereka kompak saat menyanyikan yel-yel meskipun hanya berlatih dalam kurun waktu singkat.

“Okeee! Yel-yelnya mantep ya kelompok satu ya! Kita kasih tepuk tangan dongg!! Seru nih, kelompoknya! Rame banget ya. Nggak heran sih, itu kakak pembimbingnya juga emang yang paling rame di OSIS sebetulnya,” ucap Yuna. Kini perempuan itu berperan sebagai MC untuk pentas seni kecil-kecilan setelah Vio menyerahkan mikrofon padanya.

“Mantapp! Sekarang giliran kita tanya-tanya nih, sama kelompok satu. Mau nampilin apa malam ini?” tanya Yuna.

“Jawab, Dhim,” pinta Yuna.

“Beuhh, kelompok satu hari ini punya diva internasional! Siapa siapa sebut! Taylor Swift? Titi Dj? Krisdayanti? Beuhhhh, jauhhhh!” ucap Dhimas hiperbola. “Jauh lebih jago mereka maksudnya, ehe! Ya tapi jagoan kita nggak kalah jago nggak kalah keren. Ni calon Raisa masa depan nih, Kak, yekan! Solo performance, nih—”

“Banyak omong ih! Waktunya keburu abis lu lama banget!” potong Yuna. Sekon berikutnya terdengar gelak tawa dari para audiens yang hadir.

“YAYAYA MAAP! Ini langsung aja deh, perwakilan kita, ANGGIAAAA UHUUUUUYY! Eh tepuk tangan dong yailah!”

“Okeee, Anggia! Boleh langsung ke tengah aja ya, maaf banget nggak diwawancara. Waktunya diembat semua sama Dhimas tuh!” balas Yuna.

Dengan langkah ragu dan tangan gemetar dialiri keringat dingin, Gia berjalan maju. Mengambil tempat di dekat kumpulan para kakak kelas yang berada di tengah-tengah lingkaran, menjadi pusat perhatian kedua setelah api unggun.

“Gia mau nyanyi lagu apa?” tanya Vio. “Musiknya udah dikirim kan ya?”

Gia mengangguk kaku, “Udah, Kak. Lagunya itu—”

“Oh, ini nih ada. Okee, silakan. EH TEPUK TANGAN LAGI DONGG BUAT KELOMPOK SATU!”

Tepat setelah suara tepuk tangan mereda, instrumen lagu yang menjadi pilihan Anggia saat itu memenuhi pendengaran siapapun yang ada di sana. Termasuk Haris, yang diam-diam memperhatikan dari jauh.

HARIS'S POV

Gia dengan tubuhnya yang mungil itu keliatan makin mungil ketika berada di tengah-tengah lapangan. Bersanding dengan api unggun yang nyala dengan super-super berani seakan nggak rela ada yang menandingi, Gia nggak ada apa-apanya. Gue malah ngeri dia kecipratan serpihan api yang nyiprat-nyiprat karena kayaknya dia berdiri cukup dekat dengan api unggun.

Tapi yang nggak gue sangka, Gia yang mungil ini justru termasuk orang dengan mental yang—boleh juga. Meskipun jauh, gue bisa liat dengan jelas kalo Gia pucat. Wajar lah, siapa yang nggak mau ilang nyawanya kalo harus tampil sendirian di hadapan banyak orang?

Meskipun nggak bisa gue ucapkan dengan lantang, gue nggak bisa boong lagi kali gue—ikut merasakan bangga karena ngeliat Gia berdiri di sana sekarang.

Alunan musik yang cukup familiar mulai memasuki indera pendengaran gue. Cukup membuat gue dan Dhimas mikir keras sesaat karena ada sedikit perubahan pada musiknya. Tapi menurut gue Gia cerdas karena memilih tipe musik yang slow tapi juga nggak terlalu slow buat ditampilin pada acara api unggun kayak gini.

Gia mulai mendekatkan mikforon ke bibirnya, dalem hati gue ketar-ketir, semoga nggak kesetrum.

Everyone can see, there's a change in me

Dan saat Gia mengucapkan lirik pertamanya,

Gue.. merasa seakan dunia berhenti sementara, cuma buat gue dan Gia. Seakan semesta memaksa gue untuk merutuki kebodohan gue sendiri karena pernah bikin luka di hatinya pake ucapan gue sendiri. Silakan anggap gue hipokrit karena gue marah waktu Gio bikin Gia ancur pake kata-katanya disaat gue juga melalukan hal yang sama.

They all say i'm not the same kid i used to be..

“So do i, Anggi. So do i.”

It's my first love, what i'm dreaming of when i go to bed, when i lay my head upon my pillow, don't know what to do..

Sekon selanjutnya, raga dan pikiran gue rasanya nggak berada di ruang dan waktu yang sejalan. Entah kenapa rasanya sistem saraf pusat gue juga nggak berfungsi. Gue terpaku. Atau lebih tepatnya lagi.. gue.. terpana.

Gia emang cantik. Tapi gue nggak pernah tau kalo dengan berdiri di sebelah api unggun justru membuat dia beribu-ribu kali lipat lebih manis. Ini suasana yang sejujurnya—tai kucing. Gue bahkan nggak bisa nebak perasaan hangat yang menjalar di pipi gue ini asalnya dari api unggun atau dari hati gue yang udah nggak tertampung lagi.

Not to mention suaranya yang sopan masuk ke telinga dengan nada-nada yang dia eksekusi dengan baik. Sangat baik. Suara Gia, tanpa ngetuk pintu pun akan gue sambut dengan senang hati untuk memenuhi rungu gue.

Kedua mata gue masih berpusat di Gia, seakan-akan dunia gue berputar cuma buat dia. Seakan-akan keadaan berbalik, bahwa api unggun yang paling menarik perhatian itu nggak ada apa-apanya dibanding Gia.

Gia tuh nggak ngapa-ngapain, dia cuma menyelesaikan penampilannya. Tapi, bukan semesta kalo nggak suka bercanda. Bumi dan seisinya malam ini mendukung Gia sepenuhnya untuk bikin gue makin mampus. Semilir angin yang baru dateng tiba-tiba ikut berkontribusi, membuat anak rambut Gia yang berantakan di sisi wajahnya itu tertiup ke sembarang arah. Si mungil ini mau nggak mau menggerakan sebelah tangannya untuk nyelipin anak rambutnya ke telinga.

Gue mampus, resmi mampus malam ini. Merinding, tapi ada yang membuncah di dalam dada gue. Seakan siap meledak kalau-kalau nggak gue kendalikan dengan baik. Entah harus pake cara apa lagi gue mendeksripsikan indahnya Gia dan suaranya malam ini.

Gue nggak tau ini lagunya tertuju buat siapa. Entah buat gue atau buat orang lain yang lebih pantas memiliki hatinya Gia. Yang gue rasain sekarang adalah dunia menarik paksa gue kembali pada detik dan menit ketika gue menyadari bahwa gue punya perasaan untuk seorang Anggia Kalila Maheswari.

Ini klise. Tapi mungkin malam ini waktunya gue untuk buka mata selebar-lebarnya dan nggak sembunyi lagi di balik tembok tinggi bernamakan gengsi.

Malam ini gue mengaku, dan mengucap selantang-lantangnya dalam dada.

Kalau, sesuai lagunya,

I'm not the same kid i used to be, i found my first love. The one i'm dreaming of each time i go to bed.

Hari ketiga, berbeda dari dua hari sebelumnya. Kali ini, koridor depan perpustakaan yang biasanya menjadi markas besar mereka melakukan diskusi kelompok dan bertempur dengan name tag ajaib yang tak kunjung bisa dipecahkan ukurannya selama dua hari berturut-turut itu sepi. Hanya ada Haris dan Dhimas yang menjaga tas-tas yang berjajar rapi ditinggalkan empunya. Seakan dibekali strategi perang yang mumpuni oleh dua panglima paling baik pilihan yang memegang kuasa, seluruh anggota kelompok 1 kini sudah tau harus melakukan apa tanpa harus diberi instruksi apapun lagi. Membuat Dhimas dan Haris diam-diam bangga, sebab keduanya mendapat anggota-anggota yang cerdas lagi cekatan. Bahkan umpatan-umpatan Haris sejak pertama kali melihat daftar nama anggota kelompok itu sirna, tergantikan oleh rasa syukur yang mendalam karena Vio menempatkannya pada kelompok yang bisa diajak kerja sama.

“Udah dapet cap semua name tag-nya?” tanya Haris peduli, memastikan tak ada satupun anggota kelompok bimbingannya yang tertinggal. Kompak, semuanya mengangguk. Membuat Haris mengangguk seraya tersenyum sangat tipis hingga hanya yang penglihatannya setajam elang yang dapat menyaksikannya.

“Coba di-list aja dulu apa yang udah, apa yang belom. Biar nanti ngerjain sisanya gampang,” usul Haris.

“Udah semua, Kak. Ini tinggal ditaliin aja name tag-nya sama pylox sendal,” balas Alfi.

“Ya udah, bagi lagi kayak kemarin. Yang pylox sendal dua orang aja,” sahut Haris.

“Ayo, Fi. Sama gue deh pylox sendal,” ajak Dinda. Membuat Dhimas berdecih pelan, “Bilang aja males ngurusin name tag lu Dinda!”

Sementara yang diajak bicara hanya cengegesan, “Hehe, tau aja, Kak Dhimas! Emang iya, pengennya main pylox. Seru, semprot-semprot.”

“Bawa koran nggak? Dialasin koran dulu, Dinda, baru dipilok biar nggak kena lapangan,” usul Haris.

“Iya, Kak. Itu katanya Gia bawa banyak,” balas Alfi. “Gi, mana Gi, koran?”

“Di tasku, Fi. Sebentar aku nulis name tag dulu nanti aku ambilin,” balas Gia dari jauh. Setelahnya Alfi hanya mengangguk dan mulai menjejerkan sandal-sandal yang dikumpulkan padanya pada awal pertemuan. Setelahnya ia memutuskan untuk membaginya, terpaksa harus dua kali kerja sebab lapak yang seadanya. Lahan kosong lain di lapangan pun sudah diambil alih oleh kelompok lain.

“Koranin dulu Dindaaa lu denger nggak sih Abang lu ngomong?” ucap Alfi pada Dinda yang sudah bersiap menyemprotkan pylox berwarna hijau kepada sandal-sandal yang entah milik siapa itu.

Dinda mendelik, “Siapa Abang gue?”

“Itu Kak Haris,” balasnya. “Sama-sama tinggi,” lanjut Alfi.

Haris yang mendengar itu, bukannya marah, melainkan ia tertawa kecil. Sepertinya kebersamaan mereka beberapa hari ini berhasil mencairkan sedikit gunung es yang selama ini Haris jadikan benteng pertahanan. “Makasih deh, Fi. Adek saya udah banyak,” balas Haris.

Alfi tertawa membalasnya. “Iye sih, Kak. Males juga punya adek kayak Dinda. Bawel!”

“Gue semprot nih muka lu, mau?! Biar ijo lu jadi Shrek sekalian!” balas Dinda kesal.

Selang beberapa menit, Alfi sudah dengan telaten menyemprotkan cairan pewarna hijau kepada sandal teman-temannya. Memastikan semuanya terbalut sempurna dengan warna hijau yang seragam. Agar kompak, atau lebih tepatnya agar tidak kena marah kakak-kakak kelas 12 yang menjadi panitia LDKS. Setelahnya ia mengipasi sandal-sandal itu agar catnya cepat mengering.

“Sini, Fi, gantian!” ucap Dinda. Gadis itu merebut pilok dari tangan Alfi untuk turut mengecat sandal-sandal yang sedari tadi ia pisahkan.

“Ini Kak Haris nontonin doang, dahh! Nggak ada niatan bantuin gitu, Kak?” tanya Dinda seraya mulai menyemprotkan pylox di tangannya.

“Nggak boleh, kalo ketauan saya milokin sendal kalian atau turun tangan bantuin kalian langsung pasti kita sekelompok kena hukuman di sana nanti. Saya kan pembimbing doang,” sahut Haris. Dinda dan Alfi kemudian hanya mengangguk mengerti. “Kemarin aja ada temen saya ditegur pas rapat karena ketauan gambarin pola name tag kelompoknya.”

“Demi apa, Kak? Dimarahin?” tanya Dinda. “Iya, dimarahin.”

“Ya udah jauh-jauh deh, Kak. Nanti kita dimarahin lagi,” ucap Alfi.

“Kalo saya nggak ada nanti dimarahin juga, soalnya nanti dikira nggak membimbing kalian, nggak ngawasin kalian,” sahut Haris lagi.

“APA SIH SERBA SALAH BANGET?!” Dinda berseru tidak terima.

Haris mengangguk, “Emang iya. Makanya kan saya bilang, jangan sampe buat kesalahan sekecil apapun. Kalo lagi era begini, pasti kesalahan kita dicari-cari.”

“Iya sih, hadehh. Heran deh, kok ada orang yang mau masuk OSIS,” keluh Dinda.

Di sisi lain, Dhimas sedang memimpin pasukannya untuk melatih yel-yel yang sudah mereka buat sebab mereka sudah selesai dengan urusan per-name tag-an.

“Mulai lagi, Wan!” titahnya. Kemudian sebagai ketua kelompok, Alwan memberi aba-aba untuk mulai menyanyikan yel-yel yang telah disepakati bersama. Sebuah yel-yel dengan nada lagu Anak Kambing Saya dengan lirik yang dimodifikasi menjadi pilihan mereka semua. Sebab nadanya mudah diingat dan liriknya pun cocok untuk dijadikan sebuah yel-yel kelompok.

“Eh lu gimana sih, lu yang bikin lirik lu yang lupa?” canda Dhimas ketika Alwan salah lirik. “Kelompok paling hebat dulu kann baru paling kompak?”

“IYA KAKK SALAH SALAH, maap,” balas Alwan. Pemuda itu kemudian mendapat protes dari anggotanya yang lain sebab karenanya mereka semua harus mengulang dari awal.

Mereka terus berlatih selama kurang lebih lima belas menit. Dengan Dhimas sebagai mentor yang tepat, ia terus mengoreksi dan memberi masukan agar semuanya menjadi selaras. Bahkan ia memberi sedikit koreografi agar kelompoknya tidak terlihat kaku saat menampilkan yel-yelnya. Bergerak ke kanan dan kiri, mengatur beat tepukan tangan, Dhimas bahkan menyontohkannya sendiri dengan gayanya yang luwes. Pemuda itu memang sudah tidak kenal malu.

“Nggak pa-pa, Wan. Kalo bisa harus serame mungkin. Mau suaranya sember, kek, mau fals, biarin aja. Yang penting rame terus heboh,” ucap Dhimas.

“OKE, ayo everybody kita berdiri semua,” titah Alwan. Kini mereka semua akan berlatih dengan menggunakan koreografi ala-ala yang dibuat Dhimas.

“Kanan duluuu baru kiri, inget ya!” ucap Alwan. “Oke, satu, dua, tiga!”

Mereka pun mulai bergerak sesuai irama. Meskipun belum sempurna, tetapi sudah jauh lebih baik. Dhimas di pinggir hanya tertawa sesekali melihat beberapa anggota kelompoknya bertubrukan satu sama lain lantaran bergerak ke arah berlawanan.

Sekitar tujuh menit, Alfi dan Dinda akhirnya bergabung. Meninggalkan Haris yang memilih untuk menjaga sandal-sandal mereka dan mengipasinya.

“Eh, ulang dong! Ikutan!” ucap Dinda.

“Eh, bentar. Itu sendal kurang satu, emang ada yang milok sendiri apa ada yang belom ngumpulin?” tanya Alfi.

Seketika Gia menepuk kepalanya sendiri, teringat bahwa ia belum mengumpulkan sandalnya pada Alfi untuk ikut dipilok. “FI PUNYAKU BELUM! LUPAA!”

“Yehh, Anggia!”

“Pylox-nya mana, Fi?” tanya Gia seraya bangkit untuk mengambil sandal jepit miliknya dari dalam tas. “Itu sama Kak Haris piloknya.”

“Hah?” balas Gia. Sekon berikutnya nyali Gia seakan ciut. Tidak berani melanjutkan langkahnya, yang ia lakukan hanyalah meremas sandalnya di depan dada.

“Sana, Gi. Minta aja,” Dhimas meyakinkan. Gia menoleh, “B-bentar, ya, Kak.”

“Iya, santai aja,” balas Dhimas. “Ayo yang lain lanjut lagi. Contohin dulu Alfi sama Dinda, mereka kan baru dateng jadi belom tau.”

Percakapan selanjutnya tak lagi terdengar jelas oleh kedua telinga Gia. Gadis itu berjalan dengan ragu, mendekat ke arah Haris yang kini sedang berjongkok seraya sedikit-sedikit menyemprotkan pilok pada bagian-bagian yang agak luntur.

“K-Kak, boleh pinjem piloknya nggak? Sendal saya belom di-pylox,” ucap Gia.

Haris tak langsung menjawab, namun Gia dapat melihat gerakan pemuda itu terhenti sesaat. Detik berikutnya Haris menoleh pelan, melirik Gia melalui ekor matanya. Membuat Gia mau tak mau menahan napasnya takut. “Taro situ aja dulu sendalnya,” ucap Haris pelan. Kemudian kembali melanjutkan aksinya yang tertunda seakan tak memedulikan Gia sama sekali.

“Hah, gimana, Kak?” tanya Gia. Namun tak ada jawaban. Entah tidak dengar atau pria di hadapannya ini sengaja menulikan telinganya. Alhasil, Gia memilih menyerah dan meletakkan sepasang sandal jepit miliknya di dekat Haris. Kemudian memilih pergi.

Sudah biasa, seharusnya ia tak perlu merasa kecewa lagi dan lagi, 'kan?

Gia melangkahkan kakinya kembali pada teman-teman sekelompoknya setelah berhasil mengendalikan ekspresi wajahnya. Gadis itu kembali berlatih yel-yel dengan suasana hati yang ia kondisikan untuk menjadi sebaik mungkin agar tidak merusak suasana.

Dan setelah latihan usai, mereka kembali duduk melingkar. Istirahat sejenak, dan Dhimas mengambil alih. “Gimana perlengkapannya? Dipastiin jangan sampe ada yang kelewat apalagi ketinggalan ya! Soalnya besok kan kita udah nggak kumpul lagi, nih. Ketemu lagi nanti hari Jumat, langsung LDKS.”

“Udah, Kak. Tadi udah ngumpulin senter sama lilin, baju udah ditanda tangan semua, terus name tag juga udah jadi semua. Sandal udah di-pylox semua, diktat juga udah megang semua. Pelengkapan kelompok semuanya udah,” balas Alwan.

Dhimas mengangguk-angguk, setelahnya mengacungkan kedua jempol ya sebagai tanda apresiasi pada Alwan yang bisa diandalkan sebagai ketua kelompok. “Ya udah, gue—” Dhimas mencari Haris, rupanya pemuda itu tak lagi ada di tempatnya sebelumya, sandal-sandal kelompoknya kini tak ada yang menjaga. Entah ke mana Haris pergi. “Gue mewakili Haris juga ya, mau bilang banyak-banyak makasih buat kalian semua karena selama tiga hari ini beneran bisa diandalkan dan cepet banget kerjanya. Makasih udah kompak dan seru banget, pesennya sama. Jangan lupa dijaga etikanya, sama nanti pas di sana harus lebih kompak dari ini ya?!”

“SIAP KAKKKK!!”

“Oke, makasih semuanya. Ini masih ada tiga puluh menit lagi sebelum jam lima, kalo mau latihan lagi silakan. Kalo mau istirahat silakan. Soalnya baru boleh balik jam lima sama kakaknya, dimaksimalin aja ya waktunya,” ucap Dhimas lagi. Kemudian pria itu bangkit untuk mencari Haris.

Sementara itu Gia duduk di sebelah Dinda dan Alfi seraya mengipasi dirinya sendiri. Rupanya berlatih yel-yel dengan koreografi cukup menguras tenaganya, terbukti dari banyaknya keringat jagung yang mengalir di pelipisnya saat ini. Koreografinya memang tak sesulit itu, namun pengulangan berkali-kali cukup membuatnya hilang tenaga.

“Gia udah di-pylox sendalnya?” tanya Alfi. Jika Alwan adalah ketua kelompok, maka Alfi cocok dijadikan sebagai wakil ketua meski jabatannya tidak resmi. Sebab Alfi kerap membantu Alwan dalam mengelola segala kebutuhan kelompok, tak jarang Alfi pun turut mengambil peran ketika Alwan tidak ada.

“Tadi sih aku taro aja di situ, soalnya tadi pas aku mau pinjem piloknya, kata Kak Haris suruh taro aja sendalnya,” balas Gia.

“DIH, NGACO LU GI! Kakak pembimbing kita nggak boleh bantuin apa-apaaa! Nanti mereka yang dimarahin!” balas Alfi panik. “Pylox sendiri! Gue juga tadi pylox sendiri sama Dinda!”

“HAH IYA? Ya ampunn, aku nggak tau,” sahut Gia ikutan panik.

“Coba coba liat dulu, Gi! Takutnya belom di-pylox-in, soalnya bener kata Alfi. Kak Haris sendiri yang bilang emang kakak pembimbing itu nggak boleh bantuin secara langsung. Lo gituin sendiri aja. Pylox-nya juga tadi masih banyak, kok. Ada di situ deket sendal-sendal,” balas Dinda, dengan intonasi yang jauh lebih santai ketimbang Alfi.

Gia kemudian mengangguk, sesaat kemudian ia kembali bangkit dan buru-buru menghampiri lokasi di mana sandal kelompoknya berjajar untuk dikeringkan. Kedua matanya celingak-celinguk mencari sepasang miliknya.

Setelahnya gadis itu melirik ke tempat di mana ia meninggalkannya terakhir kali. Ada. Sandalnya ada di sana. Lengkap sepasang dengan warna yang berubah hijau, hijau yang sama dengan milik teman-temannya. Gia mengangkat sebelah alisnya terkejut, secuil hatinya mulai membuat dugaan perihal siapa pelakunya meski hanya ada satu tersangka yang bisa dijadikan jawaban.

Di sebelahnya, berdiri sebuah kaleng pylox yang tidak terlalu tinggi, sudah tak berisi. Digeletakkan di sana seakan-akan tanpa pemilik. Atau, seakan-akan seseorang yang terakhir kali memegangnya ingin meninggalkan jejak akan aksinya.

Gia memandangi sandalnya yang terbalut warna hijau mengkilat dengan sempurna, tanpa cela, tanpa ada bagian putih yang tersisa. Seseorang yang mewarnai sandalnya melakukannya dengan sangat baik, dan Gia berterima kasih untuk itu.

“Udah di-pylox, Gi?” tanya Alfi yang tiba-tiba menghampirinya.

“Udah, nih.”

“Lah, cepet amat keringnya?” balas Alfi bingung. Pasalnya jika Gia baru saja menyemprotkan warna pada sandalnya, tidak seharusnya sandal gadis itu sama keringnya dengan yang lain.

“Bukan aku yang warnain, pas aku ke sini udah begini,” balas Gia.

“Lah? Diwarnain Kak Haris?” tanya Alfi. Pada akhirnya tersebut juga nama yang menjadi satu-satunya tersangka.

Gia terdiam sejenak. Setelahnya menggendikkan bahu, “Nggak tau.”

Kemudian Gia pun memutuskan untuk kembali bergabung dengan kelompoknya. Tak lama kemudian Dhimas pun kembali, dengan Haris yang berjalan mendahuluinya. Diam-diam, tanpa sepengetahuan Haris, Dhimas menggelengkan kepala seraya menghela napasnya.

“Heran.. heran.. punya temen kok gengsian banget.”

Hari ketiga, berbeda dari dua hari sebelumnya. Kali ini, koridor depan perpustakaan yang biasanya menjadi markas besar mereka melakukan diskusi kelompok dan bertempur dengan name tag ajaib yang tak kunjung bisa dipecahkan ukurannya selama dua hari berturut-turut itu sepi. Hanya ada Haris dan Dhimas yang menjaga tas-tas yang berjajar rapi ditinggalkan empunya. Seakan dibekali strategi perang yang mumpuni oleh dua panglima paling baik pilihan yang memegang kuasa, seluruh anggota kelompok 1 kini sudah tau harus melakukan apa tanpa harus diberi instruksi apapun lagi. Membuat Dhimas dan Haris diam-diam bangga, sebab keduanya mendapat anggota-anggota yang cerdas lagi cekatan. Bahkan umpatan-umpatan Haris sejak pertama kali melihat daftar nama anggota kelompok itu sirna, tergantikan oleh rasa syukur yang mendalam karena Vio menempatkannya pada kelompok yang bisa diajak kerja sama.

“Udah dapet cap semua name tag-nya?” tanya Haris peduli, memastikan tak ada satupun anggota kelompok bimbingannya yang tertinggal. Kompak, semuanya mengangguk. Membuat Haris mengangguk seraya tersenyum sangat tipis hingga hanya yang penglihatannya setajam elang yang dapat menyaksikannya.

“Coba di-list aja dulu apa yang udah, apa yang belom. Biar nanti ngerjain sisanya gampang,” usul Haris.

“Udah semua, Kak. Ini tinggal ditaliin aja name tag-nya sama pylox sendal,” balas Alfi.

“Ya udah, bagi lagi kayak kemarin. Yang pylox sendal dua orang aja,” sahut Haris.

“Ayo, Fi. Sama gue deh pylox sendal,” ajak Dinda. Membuat Dhimas berdecih pelan, “Bilang aja males ngurusin name tag lu Dinda!”

Sementara yang diajak bicara hanya cengegesan, “Hehe, tau aja, Kak Dhimas! Emang iya, pengennya main pylox. Seru, semprot-semprot.”

“Bawa koran nggak? Dialasin koran dulu, Dinda, baru dipilok biar nggak kena lapangan,” usul Haris.

“Iya, Kak. Itu katanya Gia bawa banyak,” balas Alfi. “Gi, mana Gi, koran?”

“Di tasku, Fi. Sebentar aku nulis name tag dulu nanti aku ambilin,” balas Gia dari jauh. Setelahnya Alfi hanya mengangguk dan mulai menjejerkan sandal-sandal yang dikumpulkan padanya pada awal pertemuan. Setelahnya ia memutuskan untuk membaginya, terpaksa harus dua kali kerja sebab lapak yang seadanya. Lahan kosong lain di lapangan pun sudah diambil alih oleh kelompok lain.

“Koranin dulu Dindaaa lu denger nggak sih Abang lu ngomong?” ucap Alfi pada Dinda yang sudah bersiap menyemprotkan pylox berwarna hijau kepada sandal-sandal yang entah milik siapa itu.

Dinda mendelik, “Siapa Abang gue?”

“Itu Kak Haris,” balasnya. “Sama-sama tinggi,” lanjut Alfi.

Haris yang mendengar itu, bukannya marah, melainkan ia tertawa kecil. Sepertinya kebersamaan mereka beberapa hari ini berhasil mencairkan sedikit gunung es yang selama ini Haris jadikan benteng pertahanan. “Makasih deh, Fi. Adek saya udah banyak,” balas Haris.

Alfi tertawa membalasnya. “Iye sih, Kak. Males juga punya adek kayak Dinda. Bawel!”

“Gue semprot nih muka lu, mau?! Biar ijo lu jadi Shrek sekalian!” balas Dinda kesal.

Selang beberapa menit, Alfi sudah dengan telaten menyemprotkan cairan pewarna hijau kepada sandal teman-temannya. Memastikan semuanya terbalut sempurna dengan warna hijau yang seragam. Agar kompak, atau lebih tepatnya agar tidak kena marah kakak-kakak kelas 12 yang menjadi panitia LDKS. Setelahnya ia mengipasi sandal-sandal itu agar catnya cepat mengering.

“Sini, Fi, gantian!” ucap Dinda. Gadis itu merebut pilok dari tangan Alfi untuk turut mengecat sandal-sandal yang sedari tadi ia pisahkan.

“Ini Kak Haris nontonin doang, dahh! Nggak ada niatan bantuin gitu, Kak?” tanya Dinda seraya mulai menyemprotkan pylox di tangannya.

“Nggak boleh, kalo ketauan saya milokin sendal kalian atau turun tangan bantuin kalian langsung pasti kita sekelompok kena hukuman di sana nanti. Saya kan pembimbing doang,” sahut Haris. Dinda dan Alfi kemudian hanya mengangguk mengerti. “Kemarin aja ada temen saya ditegur pas rapat karena ketauan gambarin pola name tag kelompoknya.”

“Demi apa, Kak? Dimarahin?” tanya Dinda. “Iya, dimarahin.”

“Ya udah jauh-jauh deh, Kak. Nanti kita dimarahin lagi,” ucap Alfi.

“Kalo saya nggak ada nanti dimarahin juga, soalnya nanti dikira nggak membimbing kalian, nggak ngawasin kalian,” sahut Haris lagi.

“APA SIH SERBA SALAH BANGET?!” Dinda berseru tidak terima.

Haris mengangguk, “Emang iya. Makanya kan saya bilang, jangan sampe buat kesalahan sekecil apapun. Kalo lagi era begini, pasti kesalahan kita dicari-cari.”

“Iya sih, hadehh. Heran deh, kok ada orang yang mau masuk OSIS,” keluh Dinda.

Di sisi lain, Dhimas sedang memimpin pasukannya untuk melatih yel-yel yang sudah mereka buat sebab mereka sudah selesai dengan urusan per-name tag-an.

“Mulai lagi, Wan!” titahnya. Kemudian sebagai ketua kelompok, Alwan memberi aba-aba untuk mulai menyanyikan yel-yel yang telah disepakati bersama. Sebuah yel-yel dengan nada lagu Anak Kambing Saya dengan lirik yang dimodifikasi menjadi pilihan mereka semua. Sebab nadanya mudah diingat dan liriknya pun cocok untuk dijadikan sebuah yel-yel kelompok.

“Eh lu gimana sih, lu yang bikin lirik lu yang lupa?” canda Dhimas ketika Alwan salah lirik. “Kelompok paling hebat dulu kann baru paling kompak?”

“IYA KAKK SALAH SALAH, maap,” balas Alwan. Pemuda itu kemudian mendapat protes dari anggotanya yang lain sebab karenanya mereka semua harus mengulang dari awal.

Mereka terus berlatih selama kurang lebih lima belas menit. Dengan Dhimas sebagai mentor yang tepat, ia terus mengoreksi dan memberi masukan agar semuanya menjadi selaras. Bahkan ia memberi sedikit koreografi agar kelompoknya tidak terlihat kaku saat menampilkan yel-yelnya. Bergerak ke kanan dan kiri, mengatur beat tepukan tangan, Dhimas bahkan menyontohkannya sendiri dengan gayanya yang luwes. Pemuda itu memang sudah tidak kenal malu.

“Nggak pa-pa, Wan. Kalo bisa harus serame mungkin. Mau suaranya sember, kek, mau fals, biarin aja. Yang penting rame terus heboh,” ucap Dhimas.

“OKE, ayo everybody kita berdiri semua,” titah Alwan. Kini mereka semua akan berlatih dengan menggunakan koreografi ala-ala yang dibuat Dhimas.

“Kanan duluuu baru kiri, inget ya!” ucap Alwan. “Oke, satu, dua, tiga!”

Mereka pun mulai bergerak sesuai irama. Meskipun belum sempurna, tetapi sudah jauh lebih baik. Dhimas di pinggir hanya tertawa sesekali melihat beberapa anggota kelompoknya bertubrukan satu sama lain lantaran bergerak ke arah berlawanan.

Sekitar tujuh menit, Alfi dan Dinda akhirnya bergabung. Meninggalkan Haris yang memilih untuk menjaga sandal-sandal mereka dan mengipasinya.

“Eh, ulang dong! Ikutan!” ucap Dinda.

“Eh, bentar. Itu sendal kurang satu, emang ada yang milok sendiri apa ada yang belom ngumpulin?” tanya Alfi.

Seketika Gia menepuk kepalanya sendiri, teringat bahwa ia belum mengumpulkan sandalnya pada Alfi untuk ikut dipilok. “FI PUNYAKU BELUM! LUPAA!”

“Yehh, Anggia!”

“Pylox-nya mana, Fi?” tanya Gia seraya bangkit untuk mengambil sandal jepit miliknya dari dalam tas. “Itu sama Kak Haris piloknya.”

“Hah?” balas Gia. Sekon berikutnya nyali Gia seakan ciut. Tidak berani melanjutkan langkahnya, yang ia lakukan hanyalah meremas sandalnya di depan dada.

“Sana, Gi. Minta aja,” Dhimas meyakinkan. Gia menoleh, “B-bentar, ya, Kak.”

“Iya, santai aja,” balas Dhimas. “Ayo yang lain lanjut lagi. Contohin dulu Alfi sama Dinda, mereka kan baru dateng jadi belom tau.”

Percakapan selanjutnya tak lagi terdengar jelas oleh kedua telinga Gia. Gadis itu berjalan dengan ragu, mendekat ke arah Haris yang kini sedang berjongkok seraya sedikit-sedikit menyemprotkan pilok pada bagian-bagian yang agak luntur.

“K-Kak, boleh pinjem piloknya nggak? Sendal saya belom di-pylox,” ucap Gia.

Haris tak langsung menjawab, namun Gia dapat melihat gerakan pemuda itu terhenti sesaat. Detik berikutnya Haris menoleh pelan, melirik Gia melalui ekor matanya. Membuat Gia mau tak mau menahan napasnya takut. “Taro situ aja dulu sendalnya,” ucap Haris pelan. Kemudian kembali melanjutkan aksinya yang tertunda seakan tak memedulikan Gia sama sekali.

“Hah, gimana, Kak?” tanya Gia. Namun tak ada jawaban. Entah tidak dengar atau pria di hadapannya ini sengaja menulikan telinganya. Alhasil, Gia memilih menyerah dan meletakkan sepasang sandal jepit miliknya di dekat Haris. Kemudian memilih pergi.

Sudah biasa, seharusnya ia tak perlu merasa kecewa lagi dan lagi, 'kan?

Gia melangkahkan kakinya kembali pada teman-teman sekelompoknya setelah berhasil mengendalikan ekspresi wajahnya. Gadis itu kembali berlatih yel-yel dengan suasana hati yang ia kondisikan untuk menjadi sebaik mungkin agar tidak merusak suasana.

Dan setelah latihan usai, mereka kembali duduk melingkar. Istirahat sejenak, dan Dhimas mengambil alih. “Gimana perlengkapannya? Dipastiin jangan sampe ada yang kelewat apalagi ketinggalan ya! Soalnya besok kan kita udah nggak kumpul lagi, nih. Ketemu lagi nanti hari Jumat, langsung LDKS.”

“Udah, Kak. Tadi udah ngumpulin senter sama lilin, baju udah ditanda tangan semua, terus name tag juga udah jadi semua. Sandal udah di-pylox semua, diktat juga udah megang semua. Pelengkapan kelompok semuanya udah,” balas Alwan.

Dhimas mengangguk-angguk, setelahnya mengacungkan kedua jempol ya sebagai tanda apresiasi pada Alwan yang bisa diandalkan sebagai ketua kelompok. “Ya udah, gue—” Dhimas mencari Haris, rupanya pemuda itu tak lagi ada di tempatnya sebelumya, sandal-sandal kelompoknya kini tak ada yang menjaga. Entah ke mana Haris pergi. “Gue mewakili Haris juga ya, mau bilang banyak-banyak makasih buat kalian semua karena selama tiga hari ini beneran bisa diandalkan dan cepet banget kerjanya. Makasih udah kompak dan seru banget, pesennya sama. Jangan lupa dijaga etikanya, sama nanti pas di sana harus lebih kompak dari ini ya?!”

“SIAP KAKKKK!!”

“Oke, makasih semuanya. Ini masih ada tiga puluh menit lagi sebelum jam lima, kalo mau latihan lagi silakan. Kalo mau istirahat silakan. Soalnya baru boleh balik jam lima sama kakaknya, dimaksimalin aja ya waktunya,” ucap Dhimas lagi. Kemudian pria itu bangkit untuk mencari Haris.

Sementara itu Gia duduk di sebelah Dinda dan Alfi seraya mengipasi dirinya sendiri. Rupanya berlatih yel-yel dengan koreografi cukup menguras tenaganya, terbukti dari banyaknya keringat jagung yang mengalir di pelipisnya saat ini. Koreografinya memang tak sesulit itu, namun pengulangan berkali-kali cukup membuatnya hilang tenaga.

“Gia udah di-pylox sendalnya?” tanya Alfi. Jika Alwan adalah ketua kelompok, maka Alfi cocok dijadikan sebagai wakil ketua meski jabatannya tidak resmi. Sebab Alfi kerap membantu Alwan dalam mengelola segala kebutuhan kelompok, tak jarang Alfi pun turut mengambil peran ketika Alwan tidak ada.

“Tadi sih aku taro aja di situ, soalnya tadi pas aku mau pinjem piloknya, kata Kak Haris suruh taro aja sendalnya,” balas Gia.

“DIH, NGACO LU GI! Kakak pembimbing kita nggak boleh bantuin apa-apaaa! Nanti mereka yang dimarahin!” balas Alfi panik. “Pylox sendiri! Gue juga tadi pylox sendiri sama Dinda!”

“HAH IYA? Ya ampunn, aku nggak tau,” sahut Gia ikutan panik.

“Coba coba liat dulu, Gi! Takutnya belom di-pylox-in, soalnya bener kata Alfi. Kak Haris sendiri yang bilang emang kakak pembimbing itu nggak boleh bantuin secara langsung. Lo gituin sendiri aja. Pylox-nya juga tadi masih banyak, kok. Ada di situ deket sendal-sendal,” balas Dinda, dengan intonasi yang jauh lebih santai ketimbang Alfi.

Gia kemudian mengangguk, sesaat kemudian ia kembali bangkit dan buru-buru menghampiri lokasi di mana sandal kelompoknya berjajar untuk dikeringkan. Kedua matanya celingak-celinguk mencari sepasang miliknya.

Setelahnya gadis itu melirik ke tempat di mana ia meninggalkannya terakhir kali. Ada. Sandalnya ada di sana. Lengkap sepasang dengan warna yang berubah hijau, hijau yang sama dengan milik teman-temannya. Gia mengangkat sebelah alisnya terkejut, secuil hatinya mulai membuat dugaan perihal siapa pelakunya meski hanya ada satu tersangka yang bisa dijadikan jawaban.

Di sebelahnya, berdiri sebuah kaleng pylox yang tidak terlalu tinggi, sudah tak berisi. Digeletakkan di sana seakan-akan tanpa pemilik. Atau, seakan-akan seseorang yang terakhir kali memegangnya ingin meninggalkan jejak akan aksinya.

Gia memandangi sandalnya yang terbalut warna hijau mengkilat dengan sempurna, tanpa cela, tanpa ada bagian putih yang tersisa. Seseorang yang mewarnai sandalnya melakukannya dengan sangat baik, dan Gia berterima kasih untuk itu.

“Udah di-pylox, Gi?” tanya Alfi yang tiba-tiba menghampirinya.

“Udah, nih.”

“Lah, cepet amat keringnya?” balas Alfi bingung. Pasalnya jika Gia baru saja menyemprotkan warna pada sandalnya, tidak seharusnya sandal gadis itu sama keringnya dengan yang lain.

“Bukan aku yang warnain, pas aku ke sini udah begini,” balas Gia.

“Lah? Diwarnain Kak Haris?” tanya Alfi. Pada akhirnya tersebut juga nama yang menjadi satu-satunya tersangka.

Gia terdiam sejenak. Setelahnya menggendikkan bahu, “Nggak tau.”

Kemudian Gia pun memutuskan untuk kembali bergabung dengan kelompoknya. Tak lama kemudian Dhimas pun kembali, dengan Haris yang berjalan mendahuluinya. Diam-diam, tanpa sepengetahuan Haris, Dhimas menggelengkan kepala seraya menghela napasnya.

“Heran.. heran.. punya temen kok gengsian banget.”

Hari kedua, pada jam yang sama, seluruh anggota kelompok 1 kembali berkumpul. Pula pada tempat yang sama seperti hari kemarin. Kali ini sudah lebih baik sebab seluruh anggota mulai saling bercengkerama lantaran sudah familiar dengan wajah masing-masing. Sepertinya metode Haris memberikan waktu menghapal selama lima menit itu berjalan dengan sukses. Sebab tak hanya itu, kini pola duduk anggota kelompok 1 pun mulai mengacak. Yang sebelumnya duduk di sebelah seseorang yang mereka kenali, kini duduk di samping teman baru. Membuat Dhimas selaku salah satu pembimbing kelompok 1 itu tersenyum senang dan bangga akan hasil bimbingannya yang berjalan baik. Pun demikian dengan Haris, hanya saja pemuda itu menutupi ekspresinya rapat-rapat dalam wajah datar yang seakan tak ingin menunjukkan senyuman indahnya pada sembarang orang.

Termasuk di antaranya adalah Gia, yang kini tak lagi duduk di sebelah Alwan seperti kemarin. Kini gadis itu memilih bersosialisasi, Gia duduk di sebelah Dinda yang berasal dari kelas MIPA 3. Gadis dengan perawakan sangat tinggi untuk ukuran seorang perempuan, lebih tinggi dari Alwan dan menyaingi tinggi Haris. “Gia udah nemu baju?” tanya Dinda.

Gia menggeleng sebelum mengeluarkan suara dengan volume kecilnya itu, “Belum, Dinda. Kemarin baru bilang aja sama Mamaku, hari ini katanya mau dicariin. Nggak tau deh ada atau enggak. Semoga sih ada. Kamu udah?”

“Samaa, lagi dicariin, sih di pasar deket rumah. Semoga aja ada deh, gue males banget anjir wantex wantex. Ribet!”

Setelah Dinda membalas perkataannya, Gia tak lagi menjawab. Sebab Haris datang dengan langkahnya yang gagah dan lebar, membelah koridor dengan berani diikuti Dhimas di belakangnya. Pemuda itu kini mengambil alih perkumpulan dan menginstruksikan seluruh anggota kelompoknya untuk berhenti sejenak melakukan aktivitasnya. Bersebelahan dengan Dhimas, Haris duduk bersila seraya memegang buku tulis bersampul putih disertai logo OSIS yang menempel di bagian depan bukunya. Bersiap untuk membacakan informasi yang baru saja ia catat dari rapat yang baru saja ia datangi.

“Dengerin ya, saya nggak mau ngulang. Untuk name-tag, ukurannya ganti total. Kalian bisa langsung tanya ke meja yang di depan ruang OSIS, tanya sama kakak kelasnya ukurannya berapa. Yang sopan, barusan kita kena tegur karena kemarin banyak banget dari angkatan kalian yang nanya sama kakak kelasnya seenak jidat, nggak pake bahasa yang santun, nggak ada izinnya,” ucap Haris. “Sebisa mungkin, harus, malah, jaga etikanya. Kesalahan sekecil apapun yang kalian buat di sini, pasti bisa jadi masalah pas hari-H nanti. Ngerti, ya?”

“Ngerti, Kak.”

“Oke, saya lanjut ya. Kalian juga harus buat yel-yel kelompok. Sama tunjuk perwakilan kelompok untuk pentas seni buat api unggun. Bebas mau rame-rame, semuanya tampil atau beberapa orang doang, atau kalo ada yang berani sendiri silakan,” lanjut Haris.

“Ih itu harus banget tampil, Kak?” tanya Dinda. “Iya. Harus, wajib, kudu, fardu 'ain,” balas Dhimas yang kemudian membuat embusan napas malas terdengar dari berbagai penjuru.

“EH GIA AJA, KAKKK!” usul Alwan bersemangat. Pemuda berbadan tegap itu menunjuk Gia dengan wajah berbinar, seakan paling mengetahui potensi Gia yang tersembunyi. “Sumpah, Kak demi Allah suara Gia bagus banget! Waktu itu musikalisasi puisi sekelas bengong doang dengerin Gia nyanyi, Kak!” lanjut Alwan, masih dengan semangat membara yang enggan surut.

Sementara yang ditunjuk sedari tadi gelagapan, “ENGGAKKKKK!! NGGAK MAU! Kamu aja sana joget!! Kak Alwan aja, Kak. Alwan suka joget-joget di kelas sumpah nggak boong!”

“Dih, Kak, kalo Gia yang tampil dijamin seisi lapangan nanti cengok! SUARANYA MERDU BANGET KAK DEMI ALLAH! Semua orang harus denger suara lu, Gia!” balas Alwan lagi.

“YA SAMAA! Semua orang juga harus tau kamu bisa joget! Sumpah please jangan aku dong, Waaaaan. Nggak beraniii ditonton semuanyaaa,” Gia merengek.

Dhimas yang sedari tadi menyaksikan perdebatan keduanya kini mengambil peran. “Ya udah suit aja coba. Yang kalah mau nggak mau, suka nggak suka, harus tampil jadi perwakilan kelompok pas acara api unggun,” ucap Dhimas bijaksana.

“KOK GITU SIHHH, KADHIM?”

“Abisnya tunjuk-tunjukkan doang dari tadi nggak ada ujungnya? Udah cepetan suit. Sekali aja!” balas Dhimas.

Pada akhirnya Gia pasrah. Seraya mengerucutkan bibir, Gia mengangkat sebelah tangannya di udara. Bersiap mengeluarkan salah satu di antara gunting, batu, atau kertas untuk melawan Alwan.

Di hadapannya, Alwan melakukan peregangan bahu, berlagak seperti seorang petinju yang akan bertarung di tengah-tengah ring.

“Siap ya? Satu.. dua.. tiga!” Dhimas memberi aba-aba, membuat Alwan dan Gia mengeluarkan 'senjata'-nya tepat pada hitungan ketiga. Dhimas terperangah di tempatnya seiring helaan napas kecewa dan sorakan gembira terdengar secara bersamaan dari dua arah berbeda.

Kertas melawan batu. Alwan resmi menang tanpa adanya kecurangan sedikit pun. Itu artinya, Gia-lah yang harus menjadi perwakilan kelompok. “YES! Sumpah makasih banget, Kak Dhimas!!” sorak Alwan girang. Mengabaikan Gia yang masih tertunduk lesu di tempatnya. Di sisi lain, Dhimas hanya tertawa seraya menepuk-nepuk pundak Gia pelan, “Semangat ya, Gi!”

Pasrah, Gia akhirnya menerima nasib. Setelahnya Gia terus mengerucutkan bibir hingga Dhimas kembali bersuara. “Siapin lagunya ya, Gi. Nanti kirim ke gue aja,” ucap Dhimas yang hanya dijawab anggukan lesu oleh Gia.

“Udah, lanjut. Bagi tugas aja, ada yang buat name tag sama sisanya pikirin yel-yel kelompok,” celetuk Haris. “Siapa yang mau bikin name tag?”

“Yang bikin name tag jangan banyak-banyak. Banyakin ke yel-yel aja, butuh lebih banyak otak untuk mikirin itu sumpah dah!” usul Dhimas yang setelahnya disetujui Haris.

“Kak, saya, Gia, sama Dinda bikin name tag deh. Soalnya kemaren kita bertiga udah hampir nemu cara buat bentuknya, ukurannya juga udah nyaris betul. Jadi tinggal lanjutin aja,” ucap Alwan.

“Oh gitu?” balas Haris. Datar. Namun Dhimas dengan kemampuan 100% pekanya itu dapat menangkap dengan jelas ketidaksukaan yang menguar dari kalimat singkat Haris. Membuat pria itu setengah mati menahan tawanya agar tidak menyembur di hadapan banyak orang.

Rupanya tak hanya Dhimas yang menyadarinya, Dinda pun berpikiran sama. Adik kelasnya yang berdiri tepat di sebelah Gia itu tertawa, “Kak Haris nadanya nggak suka banget, Kak?”

Haris mengangkat sebelah alisnya terkejut, “Oh enggak, saya nanya. Ya udah, kalo emang maunya begitu. Mulai aja.”

“Ya udah, Ris. Lo pegang mereka, gue sama yang buat yel-yel ya? Lo kan juga jago tuh ngukur-ngukur. Gue lebih jago bersosialisasi,” ucap Dhimas, yang Haris tahu, menyiratkan ejekan dan kejahilan untuk Haris. Namun, sebelum Haris sempat mengeluarkan umpatannya, Dhimas melipir secepat kilat menuju perkumpulan anak-anak yang membuat yel-yel kelompok.

Alhasil, Haris dengan pasrah ikut duduk melingkar. Bersatu dengan Alwan, Dinda, dan.. Gia. Dapat Haris lihat dengan jelas bahwa Gia tengah gugup. Seseorang yang sudah lama tidak ia jumpai dan selalu ia nantikan untuk bertemu kembali itu terus menggigit-gigit bibir dan meneguk ludahnya sendiri. Berkali-kali pula Gia berusaha untuk mengalihkan perhatiannya dari Haris yang meski hanya duduk di sana, tetap 100% berhasil memikat hatinya. Namun Haris cuek, ia sama sekali tidak mempedulikan Gia di sana.

“Oke! Ayo, Wan. Kemaren punya siapa sih yang ukurannya hampir bener? Yang bedanya bener-bener dikiiiiiiiiit banget sama punya kakak-kakaknya yang di meja OSIS?” tanya Dinda.

“Punyaku!” jawab Gia. Setelahnya ia mengeluarkan kertas karton kuning yang sudah setengah mati ia bentuk menyerupai logo OSIS sesuai perintah para kakak kelas 12 yang akan menjadi panitia LDKS. “Tapi kemarin aku salah di lekukan bawah ininya, loh, Din. Susah banget.”

“Coba diameter atasnya kita lebarin kali ya? Mungkin punya lo kurang tuh karena dari atasnya ini udah kecil,” balas Dinda. Gia hanya mengangguk-angguk, setelahnya ia mengikat rambutnya dengan gaya messy bun agar tidak menggangu sebelum akhirnya memulai menggambar pola bersama Alwan dan Dinda.

Sekon berikut ketika ia ingin memulai menggambar pola, Gia berniat mengambil penggaris. Namun gadis yang sedari tadi menahan gugup itu teringat bahwa penggarisnya terakhir kali berada di tangan Alwan. “Wan! penggarisku mana?”

Alih-alih memberi jawaban sesuai, yang ditanya itu malah cengegesan seraya menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. “Hehe, patah..”

Kedua bola mata Gia membelalak, “LAGI?! Astagaaaa, penggarisnya Jara aja udah berapa patah sama kamu? Sekarang punyaku juga? Kamu.. Samsons apa gimana...”

Alwan masih cengegesan, cengirannya seakan mewakili kecerobohan dan perasaan merasa bersalahnya. “Punya Jara tiga biji patah sama gue, gila ya? Punya lu.. empat sama ini WAHAHAHAHAH!”

“DEMI LU WANNN??” ujar Dinda tidak percaya. “Gila lu—coba kurangin dikit tenaga lu, Wan.”

“Tau ya? Alwan sehari nggak matahin penggaris tuh kayaknya sengsara banget gitu,” balas Gia.

“Gue ganti, Gii, ya elah!”

“Ya.. diganti terus dipatahin lagi buat apa?” sahut Gia lagi.

Sasaran empuk untuk diledek, jawabannya itu membuat Dinda sontak memberi jawaban jahil. “Iya ya, Gi? Tapi ini yang dipatahin penggaris lo doang kan? Hati lo enggak, kan?”

Gia dan Alwan sontak mendongak. Termasuk Haris yang sedari tadi berusaha menulikan telinga. Namun ketiganya hanya diam tanpa merespons, sebab Dinda adalah satu-satunya orang yang tidak tahu sesuatu yang tersembunyi di antara ketiganya.

“Ngaco luu!” Alwan berinisiatif membalas, mengusir canggung jauh-jauh. Namun usahanya gagal ketika Dinda kembali membuka suara. “Tapi lo sama Gia cocok, kokk! Lucu gitu gemes, soalnya berantem-berantem kecil mulu. Jadian aja sumpah, gue dukung dah!”

Alwan menipiskan bibir, memang itu yang ia inginkan. Dulu. Sebelum akhirnya ia mengetahui lawannya, yakni seseorang yang kini duduk santai tepat di sebelahnya. Memantau mereka dengan raut wajah yang sulit diartikan. Alwan tahu, Haris pasti merasa gerah mendengar segala tutur Dinda yang menjodoh-jodohkan dirinya dengan Gia. Namun pemuda itu menutupinya dengan bermain ponsel. Entah mengetikkan pesan kepada siapa.

“Kak tuh Kak, Dinda becanda mulu, Kak!” Alwan mengadukan Dinda pada Haris, berusaha mencairkan suasana walaupun dalam hatinya pun ia ketar-ketir mengajak Haris bicara.

Pria itu menoleh, mengalihkan pandangannya dari layar gawai. Meleset dari dugaan Alwan, Haris justru tertawa kecil dengan senyuman tipis di ujung bibirnya. “Biarin aja, nanti kalo kerjaannya nggak kelar salahin Dinda. Dari tadi juga kan Kak Vio mondar-mandir, ngeliatin yang nggak kerja. Dinda fix banget dicatet, sih. Ditandain.”

“DEMI APA SIH KAKK? Kak lo dendam sama gue ya?”

“Banget, sih,” balas Haris. Bercanda namun jujur. Dinda berdecak sebal, dengan bola matanya yang diputar malas. “Kak Haris s-nya sensi. Liat aja tuh mukanya galak banget kayak mau makan orang.”

“Muka saya emang begini, Din! Masa mau diganti?” balas Haris.

“Tutupin deh, Kak. Pake emoji senyum lope-lope biar agak ramah dikit mukanya,” Dinda menjawab lagi.

“Lu ngajak ribut banget ege, Din. Hajar aja, Kak!” balas Alwan tanpa melihat ke arah Dinda. Alwan dan Gia fokus membuat name tag yang kini sudah hampir jadi.

“Liatin aja dulu, nanti kalo meleng baru kita selengkat,” balas Haris ikut bercanda. Segalak apapun kelihatannya, pemuda itu tetap ingin menjadi kakak pembimbing yang benar-benar bisa membantu adik-adik kelasnya tanpa membuat mereka merasa terintimidasi atau takut akan kehadirannya. Maka Haris menanggalkan sedikit sisi garangnya hari itu.

“Kak, ini name tag bentuknya ribet banget sih? Mau ditulisin apa deh?” tanya Dinda.

“Nanti kasih foto kamu, foto formal ya, pas foto gitu. Terus nama, kelompok, cita-cita, sama motto hidup. Cukup-cukupin aja lapaknya, tulisannya kecil-kecil nggak pa-pa,” jawab Haris. “Kalo bentuk name tag, emang dari tahun ke tahun susah banget sih. Jaman saya dulu bentuk bunga tujuh kelopak.”

“Serius, kak?” ucap Alwan tak percaya. Dengan santai Haris mengangguk seraya memutar-mutar ponsel miliknya yang ia pegang dengan tangan kanan. “Iya, susah banget itu. Ukuran kelopaknya semua harus sama, kan. Susahnya di situ. Kadang mencong-mencong. Dulu bikin itu abis berapa karton karena gagal terus.”

“Ribet yah.. lo kenapa masuk OSIS, Kak?” tanya Dinda. “Maksudnya emang pengen, apa dipaksa, apa gimana?”

“Iseng aja sebenernya. Eh, kepilih,” sahut Haris disertai kekehan khasnya. “Iseng lu bermanfaat ya, Kak? Perasaan gue iseng mah gigitin kuku, nyoret-nyoret meja, ngelopekin cat..”

Lagi, Haris hanya tertawa pelan menanggapinya. “Dinda mau OSIS?” tanyanya kemudian.

“Aduh. Up deh, Kak. Ngurusin beginian aja mager banget, nggak mau deh ikut LDKS lagi!”

“Kenapa? Seru tau,” balas Haris. Berusaha mendoktrin yang baik-baik agar semakin banyak pula yang mendaftar menjadi calon pengurus OSIS. Kenyataan pahitnya, silakan terjun sendiri untuk mengetahuinya.

“Nggak deh, makasih!” balas Dinda.

“Alwan mau OSIS?” tanya Haris. Alwan menjawabnya tanpa ragu. “Mau, Kak. Tapi bedanya OSIS sama MPK apa deh?”

“Sama aja sih, beda yang dianungi aja. Kalo OSIS naungin ekskul, kalo MPK naungin OSIS,” jawab Haris. “Kak Haris apa?” tanya Alwan.

“OSIS,” jawabnya.

“Itu milih sendiri, Kak?” tanya Alwan lagi, masih semangat mengulik informasi mengenai organisasi yang ingin ia ikuti.

“Dipilihin, sama BPH. Jadi pas nanti keterima jadi pengurus itu masih gabungan. Belom kebagi jadi OSIS atau MPK. Nah nanti setelah satu tahun kepengurusan, baru dibagi. Dibaginya berdasarkan kinerja juga sih, kalo udah satu tahun kan keliatan tuh siapa yang cocok di OSIS, siapa yang cocok di MPK.”

Alwan hanya mengangguk-angguk paham. Dalam hati ia berterimakasih kepada Haris yang tanpa keberatan menjawab semua pertanyaannya. Memang benar kata Gia, Haris tidak seburuk itu. Hanya saja penampilannya membuat semua orang mundur untuk mendekatinya.

Hening mengambil alih untuk sementara. Sebelum akhirnya Dinda, yang rupanya tak hanya menyaingi Haris perkara tinggi, melainkan juga dalam perkara mulut pedasnya yang jika bicara selalu tepat sasaran itu kembali bersuara. “Temen saya satu lagi nggak ditanya, Kak?”

Tak ada yang dapat membuat Haris tertohok seribu kali selain Dinda, adik kelasnya yang bahkan keberadaannya di sekolah ini baru ia kenali semenjak satu hari yang lalu. Di sebelahnya, Alwan pun otomatis mendongak. Termasuk pula Gia yang merasa dibicarakan.

Haris berusaha tenang, sesuatu yang ada- atau pernah ada di antara dirinya dan Gia tidak boleh menjadi rahasia umum hanya karena tindakannya yang mudah terbaca. Atau karena emosinya yang meledak akibat ejekan-ejekan receh dari orang lain. Maka Haris lagi-lagi menjadikannya sebuah candaan, “Nggak, ah. Lagi serius, jangan digangguin!” balasnya datar.

Yang tidak Haris tahu, seseorang menghela napas kecewa diam-diam. Yang tidak Haris tahu, ada seseorang yang justru mengharapkan kesibukannya diganggu. Sama seperti yang lain, Gia ingin berbicara tanpa henti. Gia juga ingin bercengkerama tanpa harus merasa takut atau canggung. Gia.. ingin Haris menganggap keberadaannya.

“Parah, Gi, Lo nggak dianggep!” ucap Dinda. Gia sontak mendongak, membuat kedua matanya tak sengaja bertemu dengan milik Haris yang rupanya juga menatapnya. Seakan tak ingin misi rahasianya ketahuan, Haris lebih dulu memutus kontak mata. Membuat semakin banyak elemen tanda tanya menerobos masuk pikiran Gia tanpa mengetuk pintu.

Masih marahkah, Haris padanya? Terganggukah Haris berada di satu tempat yang sama dengannya? Atau apakah Haris benar-benar membencinya? Gia memutuskan untuk mencari tahu. Maka gadis itu berpura-pura bertanya ada sang kakak pembimbing.

“Kak, ini nanti name tag-nya dipakein tali-”

Belum selesai. Belum selesai Gia bicara namun yang Haris lakukan adalah..

“Saya ke toilet sebentar ya? Buat aja dulu ya, Wan, nanti kalo udah langsung ke meja piket OSIS aja! Biar dicap kalo udah bener, terus temen-temen yang lain jadi bisa ngikutin ukurannya.”

Seiring Alwan mengangguk, Gia resmi membungkam dirinya sendiri. Gadis itu seakan bersumpah bahwa ia tak akan lagi mengajak Haris bicara. Sebab semuanya jelas sekarang, semuanya sudah usai pada hari di mana Haris menyuruhnya 'pergi'.

Gia mengerti sekarang. Haris benar-benar membencinya.

Empat belas orang adik kelas kini berkumpul di hadapan Dhimas dan Haris yang kali ini memiliki raut wajah bertolak belakang. Dhimas dengan sumringah yang menambah cerah wajahnya dan Haris dengan wajah datarnya yang membuat aura garang dalam dirinya semakin menguar.

Sesuai jadwal, hari ini merupakan hari pertama untuk diskusi kelompok guna membahas persiapan LDKS. Dan sesuai perjanjian yang dibuat atas usul Dhimas, mereka semua berkumpul saat genap pukul empat sore setelah melaksanakan ibadah wajib. Maka berkumpul lah mereka di koridor lowong tepat di depan perpustakaan, membuat lingkaran yang cukup besar semacam sekte yang dipimpin oleh Dhimas dan Haris.

“Mulai aja, Ris,” ucap Dhimas. Sementara yang diajak bicara menoleh gelagapan, “Kok gue? Lo aja sih!”

“Ya elah, buruan sih! Itu kelompok lain udah mulai kerja liat tuh!” balas Dhimas.

“Ya udah mulai, kenapa harus gue sih? Sama aja, ege, ribet lu!” sahut Haris jengkel. Setelahnya Dhimas terkekeh pelan. Kemudian sembari membenarkan posisinya, ia berdeham guna membuat suaranya terdengar jelas. Kalau bisa hingga ke ujung koridor.

“Oke, assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh, semuanya! Ini udah pada tau kan ya kita mau ngapain? Nah, hari ini sesuai jadwal kita mau diskusi kelompok buat LDKS,” Dhimas memulai obrolan. “Tapi kan kalo nggak kenal nggak sayang gitu ya, jadi kita kenalan dulu ya satu persatu!” lanjutnya.

“Mulai dari yang paling ganteng ya! Yaitu saya sendiri, makasih,” ucap Dhimas penuh percaya diri hingga menghasilkan decihan serta tawa halus yang meluncur dari para adik kelasnya. Ah, Dhimas dengan kehadirannya memang selalu menjadi penghidup suasana.

“Kenalin ya semuanya, gue? Gue lo aja ya, santai aja ya kita nggak usah formal-formal. Gue Dhimas, kelas 11 MIPA 2. Mungkin udah ada beberapa yang kenal ya? Nih kayak Alwan sama Gia karena kelasnya waktu MOS gue yang megang—”

“Udah, ege ini agendanya perkenalan bukan proklamasi!” potong Haris. “Oh? Oh iya hahaha. Maap maap! Ya udah lanjut lu kenalan, Ris!”

“Saya Haris 11 MIPA 1,” ujarnya singkat seakan kata-kata yang bisa diucapkannya itu hanya tersedia dalam jumlah terbatas.

“Lanjut ke—Alwan, deh! Nanti muter ke kanan ya!” ucap Dhimas.

Adik kelas yang memiliki tubuh bongsor dan paling besar di antara yang lain itu mengangguk, kemudian memulai pekenalan dirinya yang ia sampaikan dengan ramah dan ceria. “Hai, semuanya! Nama saya Alwan Anggara, biasa dipanggil Alwan dari kelas 10 MIPA 2.”

“Lanjut, Gia,” ujar Dhimas. Gia sedikit membulatkan matanya ketika mendengar suara Dhimas memasuki telinga. Setelahnya gadis itu meneguk ludah sebagai cara untuk mengumpulkan keberanian dalam dirinya untuk menghadapi banyak pasang mata yang menatap ke arahnya. Termasuk di antaranya, sepasang mata milik Haris yang sedari tadi ia perhatikan diam-diam.

“H-hai, saya Anggia Kalila Maheswari tapi biasa dipanggil Gia. Kelas 10 MIPA 2 juga,” ucap Gia. Berbeda dengan Alwan yang memperkenalkan dirinya dengan suara lantang, Gia memperkenalkan diri dengan suara yang bergetar.

“Oke, sebelahnya,” lanjut Dhimas.

“Nama saya Adinda Kirana dari kelas 10 MIPA 3. Oh, biasa dipanggil Dinda aja. Salam kenal.”

Perkenalan terus berlanjut hingga semua mendapat giliran berbicara. Setelahnya giliran Haris mengambil alih. Dengan suara baritonnya, pria itu memberi jeda selama lima menit untuk menghapal semua nama dari anggota kelompok 1. Agar saling mengenal, dan tidak kena cibiran serta omelan kakak-kakak kelas ketika sampai pada lokasi LDKS akibat melupakan nama anggota kelompok sendiri.

“Oke, udah lima menit ya. Udah apal belom sama temen-temennya?” tanya Haris. “Jangan sampe lupa!” lanjutnya.

“Kalian belom tau perlengkapan yang buat dibawa pas LDKS-nya ya?” tanya Haris lagi.

“Belom, Kak,” balas Alwan.

“Ini saya bagiin ya? Saya kirim ke siapa nih? Oh iya, tentuin ini dulu. Ketua kelompoknya,” ujar Haris.

“Siapa yang kira-kira sanggup atau cocok jadi ketua kelompok?” kini Dhimas kembali membuka suara.

“Alwan aja, Kak. Udah paling keren dia!” ucap Alfian, salah satu anggota kelompok 1 yang juga merupakan teman satu geng Alwan meskipun keduanya tidak satu kelas.

“Setuju, Kak,” ucap Dinda.

“Setuju juga, Kak,” Gia menimpali seraya tertawa, yang kemudian mendapat anggukan kepala dari sisa anggota kelompoknya.

“Ya udah, Alwan jadi ketua kelompok ya? Siap nggak?” tanya Dhimas. Setelahnya Alwan hanya menghela napas pasrah dan mengangguk, menerima nasibnya yang bisa dibilang, dijadikan tumbal oleh teman-temannya yang kebanyakan baru ia kenali hari itu.

“Ini perlengkapan LDKS-nya saya kirim ke Alwan ya,” ucap Haris. Setelahnya ia mengutak-atik ponselnya untuk mengirimkan foto daftar perlengkapan LDKS untuk kelas 10.

“Udah masuk, Wan?” tanya Haris.

“Udah, Kak. Makasih.”

Haris mengangguk sebelum menjawab, “Langsung disebar aja ke temen-temennya ya! Kalian bikin grup aja rame-rame, biar nggak bingung. Nggak usah ada saya sama Dhimas juga nggak pa-pa, nanti kalo mau tanya-tanya chat” aja. Chat Dhimas ya jangan saya. Dhimas lebih sering bales.”

“Iya sumpah Haris kalo bales chat seabad. Takutnya kalian nanya dia nggak bales, chat gue aja,” sahut Dhimas menambahkan.

Setelahnya Haris terkekeh, “Sekalian ngeramein hp Dhimas. Sepi soalnya nggak ada yang chat.”

“Belagu lu! Kan sekarang juga hp lo lagi sepi! Udah lama nggak chat-an sama yang itu, kan?” ejek Dhimas dengan senyuman miring.

Netra Haris terbelalak, sekon berikutnya sudut bibirnya berkedut menahan sebuah senyuman sebelum akhirnya mengumpat tanpa suara seraya mengangkat kepalan tangannya di udara seakan bersiap untuk meninju Dhimas, “Anying lu!

Sementara yang diancam hanya tertawa. Sekon berikutnya keduanya mengembalikan diri pada mode serius dan kembali pada agenda diskusi kelompok.

“Kak, ini kan ada name tag sama baju kuning, ini harus samaan satu kelompok?” tanya Dinda.

“Nah, pertanyaan bagus, Dinda! Name tag harus sama ya, formatnya sama satu angkatan. Kalo baju kuning nggak harus sama sih, cuma lebih baik sama,” sahut Dhimas.

“Ini kuningnya kuning apa, Kak?” tanya Alwan.

“Kuning ta—”

“Ngomong kuning tai gue gampar!” ancam Haris pada Dhimas yang belum sempat menyelesaikan kalimatnya. Dhimas kemudian cengegesan, begitu pula dengan para adik kelasnya yang sedari tadi sejujurnya terhibur dengan perdebatan kecil antara Dhimas dan Haris.

“Baju kuning warnanya nggak spesifik kok, kuning apa aja yang penting kuning. Yang cowok juga gitu ya, warna pink-nya nggak harus spesifik. Cuma, kalo kalian mau seragaman mending belinya barengan. Atau kalo misalnya warna kuning susah dicari, boleh beli kaus putih polos aja terus di-wantex rame-rame. Nanti kalo udah ada bajunya dibawa ya, soalnya harus minta tanda tangan kakak kelas 12-nya,” Haris menjelaskan serinci mungkin.

“Oh iya, sendal juga harus sama ya! Sendal jepit kalian harus sama. Itu warna apa? Ijo ya? Itu sama kayak baju, nggak harus spesifik warnanya, yang penting ijo. Beli aja sendal swallow yang di warung tuh, terus nanti dipilok rame-rame,” Dhimas menambahkan.

“Untuk hari ini, mending mulai bikin name tag, soalnya bentuknya susah banget. Bentuk logo OSIS gitu, tau kan? Nih yang di kantong baju,” ujar Haris seraya menunjukkan logo OSIS pada saku seragamnya. “Bikinnya pake kertas karton ya, warna kuning!” lanjutnya.

“Eh sama ini, ada diktat,” ucap Dhimas. Kemudian pria itu bangkit dan merogoh tas sekolahnya guna mengambil sesuatu yang nampak seperti sebuah kliping khas anak sekolahan yang sudah dijilid berwarna hijau. “Ini kalian fotokopi, setiap orang harus punya. Terus dijilid sesuai warna baju. Cewek kuning ya? Cowok pink. Depan belakang warnanya sama. Terus, ini dibaca! Soalnya buat pegangan materi kalian selama di sana nanti,” tambahnya.

“Bagi tugas deh, siapa yang mau beli karton sama jilid? Biar cepet bisa mulai ngerjain name tag-nya,” usul Haris.

“Saya sama Gia deh, Kak,” jawab Alwan. Membuat Haris otomatis membeku di tempatnya. Entah karena mendengar nama Gia disebut, atau karena mendengar nama Gia keluar dari mulut Alwan.

“Ya udah, sana, Gih! Jilidnya tinggal aja, Alwan. Bayar dulu, besok baru diambil. Takutnya kalo ditunggu kelamaan, nanti nggak keburu bikin name tag-nya,” balas Haris.

Setelahnya Alwan mengangguk dan bangkit berdiri. Pemuda yang ditunjuk sebagai ketua kelompok itu akhirnya mulai menggerakkan teman-temannya untuk mengumpulkan uang guna menjilid dan membeli karton untuk masing-masing anggota. Mata tajam Haris tak lepas dari Gia. Gadis itu tak banyak bicara, namun turut membantu Alwan melalui aksinya.

Dalam hati Haris berdecak kecewa. Lebih-lebih Dhimas yang kini memandangnya dengan perangai yang sangat-sangat meminta untuk ditinju. Bagaimana tidak? Sedari tadi Dhimas terus memandanginya dengan tatapan kasihan dan bibir yang terus berkedut menahan tawa.

Sesekali pula Dhimas menepuk-nepuk bahunya seraya mengatakan, “Sabar, yah! Cinta emang nggak selamanya indah, Brader!”

Haris memutar matanya malas. Terutama saat Gia berlari-lari kecil menyusul Alwan yang sudah lebih dulu berjalan ke parkiran. “Waaaaann! Tungguuiinnn!

Kemudian seiring matanya menangkap Alwan dan Gia berlalu meninggalkan gerbang sekolah, Haris memalingkan wajah. ia menyugestikan dirinya untuk tidak mempedulikan semua itu.

Haris menghela napasnya. Sepertinya hari ini tak akan ada waktu yang bisa ia curi untuk berbicara empat mata dengan Gia. Dan sepertinya, Haris harus menunggu lebih lama. Mungkin esok?

Empat belas orang adik kelas kini berkumpul di hadapan Dhimas dan Haris yang kali ini memiliki raut wajah bertolak belakang. Dhimas dengan sumringah yang menambah cerah wajahnya dan Haris dengan wajah datarnya yang membuat aura garang dalam dirinya semakin menguar.

Sesuai jadwal, hari ini merupakan hari pertama untuk diskusi kelompok guna membahas persiapan LDKS. Dan sesuai perjanjian yang dibuat atas usul Dhimas, mereka semua berkumpul saat genap pukul empat sore setelah melaksanakan ibadah wajib. Maka berkumpul lah mereka di koridor lowong tepat di depan perpustakaan, membuat lingkaran yang cukup besar semacam sekte yang dipimpin oleh Dhimas dan Haris.

“Mulai aja, Ris,” ucap Dhimas. Sementara yang diajak bicara menoleh gelagapan, “Kok gue? Lo aja sih!”

“Ya elah, buruan sih! Itu kelompok lain udah mulai kerja liat tuh!” balas Dhimas.

“Ya udah mulai, kenapa harus gue sih? Sama aja, ege, ribet lu!” sahut Haris jengkel. Setelahnya Dhimas terkekeh pelan. Kemudian sembari membenarkan posisinya, ia berdeham guna membuat suaranya terdengar jelas. Kalau bisa hingga ke ujung koridor.

“Oke, assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh, semuanya! Ini udah pada tau kan ya kita mau ngapain? Nah, hari ini sesuai jadwal kita mau diskusi kelompok buat LDKS,” Dhimas memulai obrolan. “Tapi kan kalo nggak kenal nggak sayang gitu ya, jadi kita kenalan dulu ya satu persatu!” lanjutnya.

“Mulai dari yang paling ganteng ya! Yaitu saya sendiri, makasih,” ucap Dhimas penuh percaya diri hingga menghasilkan decihan serta tawa halus yang meluncur dari para adik kelasnya. Ah, Dhimas dengan kehadirannya memang selalu menjadi penghidup suasana.

“Kenalin ya semuanya, gue? Gue lo aja ya, santai aja ya kita nggak usah formal-formal. Gue Dhimas, kelas 11 MIPA 2. Mungkin udah ada beberapa yang kenal ya? Nih kayak Alwan sama Gia karena kelasnya waktu MOS gue yang megang—”

“Udah, ege ini agendanya perkenalan bukan proklamasi!” potong Haris. “Oh? Oh iya hahaha. Maap maap! Ya udah lanjut lu kenalan, Ris!”

“Saya Haris 11 MIPA 1,” ujarnya singkat seakan kata-kata yang bisa diucapkannya itu hanya tersedia dalam jumlah terbatas.

“Lanjut ke—Alwan, deh! Nanti muter ke kanan ya!” ucap Dhimas.

Adik kelas yang memiliki tubuh bongsor dan paling besar di antara yang lain itu mengangguk, kemudian memulai pekenalan dirinya yang ia sampaikan dengan ramah dan ceria. “Hai, semuanya! Nama saya Alwan Anggara, biasa dipanggil Alwan dari kelas 10 MIPA 2.”

“Lanjut, Gia,” ujar Dhimas. Gia sedikit membulatkan matanya ketika mendengar suara Dhimas memasuki telinga. Setelahnya gadis itu meneguk ludah sebagai cara untuk mengumpulkan keberanian dalam dirinya untuk menghadapi banyak pasang mata yang menatap ke arahnya. Termasuk di antaranya, sepasang mata milik Haris yang sedari tadi ia perhatikan diam-diam.

“H-hai, saya Anggia Kalila Maheswari tapi biasa dipanggil Gia. Kelas 10 MIPA 2 juga,” ucap Gia. Berbeda dengan Alwan yang memperkenalkan dirinya dengan suara lantang, Gia memperkenalkan diri dengan suara yang bergetar.

“Oke, sebelahnya,” lanjut Dhimas.

“Nama saya Adinda Kirana dari kelas 10 MIPA 3. Oh, biasa dipanggil Dinda aja. Salam kenal.”

Perkenalan terus berlanjut hingga semua mendapat giliran berbicara. Setelahnya giliran Haris mengambil alih. Dengan suara baritonnya, pria itu memberi jeda selama lima menit untuk menghapal semua nama dari anggota kelompok 1. Agar saling mengenal, dan tidak kena cibiran serta omelan kakak-kakak kelas ketika sampai pada lokasi LDKS akibat melupakan nama anggota kelompok sendiri.

“Oke, udah lima menit ya. Udah apal belom sama temen-temennya?” tanya Haris. “Jangan sampe lupa!” lanjutnya.

“Kalian belom tau perlengkapan yang buat dibawa pas LDKS-nya ya?” tanya Haris lagi.

“Belom, Kak,” balas Alwan.

“Ini saya bagiin ya? Saya kirim ke siapa nih? Oh iya, tentuin ini dulu. Ketua kelompoknya,” ujar Haris.

“Siapa yang kira-kira sanggup atau cocok jadi ketua kelompok?” kini Dhimas kembali membuka suara.

“Alwan aja, Kak. Udah paling keren dia!” ucap Alfian, salah satu anggota kelompok 1 yang juga merupakan teman satu geng Alwan meskipun keduanya tidak satu kelas.

“Setuju, Kak,” ucap Dinda.

“Setuju juga, Kak,” Gia menimpali seraya tertawa.

“Ya udah, Alwan jadi ketua kelompok ya? Siap nggak?” tanya Dhimas. Setelahnya Alwan hanya menghela napas pasrah dan mengangguk, menerima nasibnya yang bisa dibilang, dijadikan tumbal oleh teman-temannya yang kebanyakan baru ia kenali hari itu.

“Ini perlengkapan LDKS-nya saya kirim ke Alwan ya,” ucap Haris. Setelahnya ia mengutak-atik ponselnya untuk mengirimkan foto daftar perlengkapan LDKS untuk kelas 10.

“Udah masuk, Wan?” tanya Haris.

“Udah, Kak. Makasih.”

Haris mengangguk sebelum menjawab, “Langsung disebar aja ke temen-temennya ya! Kalian bikin grup aja rame-rame, biar nggak bingung. Nggak usah ada saya sama Dhimas juga nggak pa-pa, nanti kalo mau tanya-tanya *chat” aja. Chat Dhimas ya jangan saya. Dhimas lebih sering bales.”

“Iya sumpah Haris kalo bales chat seabad. Takutnya kalian nanya dia nggak bales, chat gue aja,” sahut Dhimas menambahkan.

Setelahnya Haris terkekeh, “Sekalian ngeramein hp Dhimas. Sepi soalnya nggak ada yang chat.”

“Belagu lu! Kan sekarang juga hp lo lagi sepi! Udah lama nggak chat-an sama yang itu, kan?” ejek Dhimas dengan senyuman miring.

Netra Haris terbelalak, sekon berikutnya sudut bibirnya berkedut menahan sebuah senyuman sebelum akhirnya mengumpat tanpa suara seraya mengangkat kepalan tangannya di udara seakan bersiap untuk meninju Dhimas, “Anying lu!

Sementara yang diancam hanya tertawa. Sekon berikutnya keduanya mengembalikan diri pada mode serius dan kembali pada agenda diskusi kelompok.

“Kak, ini kan ada name tag sama baju kuning, ini harus samaan satu kelompok?” tanya Dinda.

“Nah, pertanyaan bagus, Dinda! Name tag harus sama ya, formatnya sama satu angkatan. Kalo baju kuning nggak harus sama sih, cuma lebih baik sama,” sahut Dhimas.

“Ini kuningnya kuning apa, Kak?” tanya Alwan.

“Kuning ta—”

“Ngomong kuning tai gue gampar!” ancam Haris pada Dhimas yang belum sempat menyelesaikan kalimatnya. Dhimas kemudian cengegesan, begitu pula dengan para adik kelasnya yang sedari tadi sejujurnya terhibur dengan perdebatan kecil antara Dhimas dan Haris.

“Baju kuning warnanya nggak spesifik kok, kuning apa aja yang penting kuning. Cuma, kalo kalian mau seragaman mending belinya barengan. Atau kalo misalnya warna kuning susah dicari, boleh beli kaus putih polos aja terus di-wantex rame-rame. Nanti kalo udah ada bajunya dibawa ya, soalnya harus minta tanda tangan kakak kelas 12-nya,” Haris menjelaskan serinci mungkin.

“Oh iya, sendal juga harus sama ya! Sendal jepit kalian harus sama. Itu warna apa? Ijo ya? Itu sama kayak baju, nggak harus spesifik warnanya, yang penting ijo. Beli aja sendal swallow yang di warung tuh, terus nanti dipilok rame-rame,” Dhimas menambahkan.

“Untuk hari ini, mending mulai bikin name tag, soalnya bentuknya susah banget. Bentuk logo OSIS gitu, tau kan? Nih yang di kantong baju,” ujar Haris seraya menunjukkan logo OSIS pada saku seragamnya. “Bikinnya pake kertas karton ya, warna kuning!” lanjutnya.

“Eh sama ini, ada diktat,” ucap Dhimas. Kemudian pria itu bangkit dan merogoh tas sekolahnya guna mengambil sesuatu yang nampak seperti sebuah kliping khas anak sekolahan yang sudah dijilid berwarna hijau. “Ini kalian fotokopi, setiap orang harus punya. Terus dijilid sesuai warna baju. Cewek kuning ya? Cowok pink. Depan belakang warnanya sama. Terus, ini dibaca! Soalnya buat pegangan materi kalian selama di sana nanti,” tambahnya.

“Bagi tugas deh, siapa yang mau beli karton sama jilid? Biar cepet bisa mulai ngerjain name tag-nya,” usul Haris.

“Saya sama Gia deh, Kak,” jawab Alwan. Membuat Haris otomatis membeku di tempatnya. Entah karena mendengar nama Gia disebut, atau karena mendengar nama Gia keluar dari mulut Alwan.

“Ya udah, sana, Gih! Jilidnya tinggal aja, Alwan. Bayar dulu, besok baru diambil. Takutnya kalo ditunggu kelamaan, nanti nggak keburu bikin name tag-nya,” balas Haris.

Setelahnya Alwan mengangguk dan bangkit berdiri. Pemuda yang ditunjuk sebagai ketua kelompok itu akhirnya mulai menggerakkan teman-temannya untuk mengumpulkan uang guna menjilid dan membeli karton untuk masing-masing anggota. Mata tajam Haris tak lepas dari Gia. Gadis itu tak banyak bicara, namun turut membantu Alwan melalui aksinya.

Dalam hati Haris berdecak kecewa. Lebih-lebih Dhimas yang kini memandangnya dengan perangai yang sangat-sangat meminta untuk ditinju. Bagaimana tidak? Sedari tadi Dhimas terus memandanginya dengan tatapan kasihan dan bibir yang terus berkedut menahan tawa.

Sesekali pula Dhimas menepuk-nepuk bahunya seraya mengatakan, “Sabar, yah! Cinta emang nggak selamanya indah, Brader!”

Haris memutar matanya malas. Terutama saat Gia berlari-lari kecil menyusul Alwan yang sudah lebih dulu berjalan ke parkiran. “Waaaaann! Tungguuiinnn!

Kemudian seiring matanya menangkap Alwan dan Gia berlalu meninggalkan gerbang sekolah, Haris memalingkan wajah. ia menyugestikan dirinya untuk tidak mempedulikan semua itu.

Haris menghela napasnya. Sepertinya hari ini tak akan ada waktu yang bisa ia curi untuk berbicara empat mata dengan Gia. Dan sepertinya, Haris harus menunggu lebih lama. Mungkin esok?

Tebaklah siapa yang sibuk bermain balon tiup setelah bagian pemanasan senam dilakukan? Jauzan Narendra adalah jawabannya. Haris hanya bisa geleng-geleng kepala melihat kelakuan Ojan yang kini sibuk meniupkan balon tiup hingga menjadi seukuran yang diinginkannya. Pemuda itu nampak serius dengan pekerjaannya, meniup balon seraya memperkirakan ukuran maksimalnya agar tidak langsung meletus.

“Bagi dong, Jan,” ucap Dhimas. Sama gabut-nya dengan Ojan karena saat ini senam belum kembali dimulai akibat sound system sedang memiliki kendala. Maka lapangan penuh dengan orang yang duduk-duduk dan bersantai.

“Masih ada nggak, Jan?” tanya Haris pada akhirnya.

“Yeuh, mau juga kan lu?” sahut Ojan. Setelahnya ia merogoh saku dan mengeluarkan sisa balon tiup yang ia miliki. “Nih tadi gue bawa delapan, sorong dua.”

Kemudian semuanya kecuali Damar, mulai meniupkan balon tiupnya masing-masing. “Lu beneran nggak mau nih, Dam?” tanya Ojan sekali lagi. Pemuda yang sepertinya sedang dalam suasana hati yang tidak baik itu hanya menggeleng.

“Yah!” seru Dhimas tiba-tiba. “Pecah anjrit bolong, bagi lagi donggggg! Punya Damar deh buat gue atu,” ucapnya lagi. Setelahnya Ojan hanya berdecak dan memberikannya kepada Dhimas setengah ikhlas.

“Ikhlas nggak nih?” tanya Dhimas. “Iye iye ikhlas.”

“Kalo nggak ikhlas nggak usah, nanti gue bisulan lagi,” balas Dhimas lagi.

“Ya udah siniin!”

Dhimas menggeleng, “Enggak deh, nggak pa-pa gue bisulan. Emak gue tau obatnya.”

“Semprul!”

“Si Haris anteng banget ngemut-ngemut balon tiup. Jangan dicemilin ege, Ris!” ucap Ojan. Haris terkekeh, “Ini gue mau niup nggak bisa-bisa. Gembel nihh balon tiupnya, beli di mana sih lu? Kw ya ini?”

“Beli di warung Mak Edeh, gue disuruh beli gula sama emak gue terus kembalinya gue beliin ini,” balas Ojan. Setelahnya ia berdecak, “Yang gembel bukan balonnya tapi elu-nya, Ris! Kurang rapet ini mana bisa ditiup dongo!”

“Weee punya gue jadi dong—JANGAN ISENG, JANGAN ISENG! Maen meletus meletusin aja lu gue letusin pala lu!” ucap Dhimas yang dengan penjagaan penuh berusaha melindungi balon tiupnya yang baru saja jadi.

“Astaga, Dhim.. ini cuma balon tiup, nggak se-berharga itu..” balas Ojan dramatis yang kemudian mendapat tertawaan dari Haris.

“Eh kok punya gue segini doang sihhhhh?? Diskriminasi, nih!” protes Haris.

Dhimas tertawa melihat Haris yang membanding-bandingkan balon tiupnya yang memang terlihat paling kecil dibandingkan yang lain. “Makanya baca doa dulu,” balasnya.

Kesal, Haris akhirnya memilih menghancurkan balon tiupnya dan memulainya dari awal. Beruntung, kesempatannya yang kedua menghasilkan sesuatu yang lebih baik. Balonnya jauh lebih besar dibanding yang sebelumnya. Haris kini tersenyum puas dan ikut menerbang-nerbangkan balonnya di udara selayaknya Dhimas dan Ojan.

“Eh eh kasian ya temen kita yang itu nggak punya balon,” bisik Ojan pada Haris dan Dhimas, merujuk pada Damar yang sedari tadi hanya melipat kedua tangannya di depan dada.

“Iya kasian yah, nggak punya temen ih. Temen siapa sih itu? Nggak asik banget mukanya ditekuk dari tadi,” Dhimas menimpali.

“Nggak usah ngomongin orang, bisa?” ucap Damar galak.

“Setan lu pindah ke Damar, Ris?” tanya Ojan. Haris hanya terkekeh, “Lu nggak diem abis ini dipatok lu!”

“Kan ada lu sang pawang kobra,” sahut Dhimas. Ojan mengangguk setuju, “sssrrrrr lllll~~”

Ketiganya kemudian tertawa terbahak-bahak melihat Ojan yang menirukan gerakan ular dengan tangannya. Setelahnya Haris geregetan sendiri dan kemudian menarik pelan celana Ojan turun, “Heuuuh bisa aja anak Pak Jarwo!”

“ANJ— SARU BECANDA LU!!” balas Ojan panik, beruntung ia dapat menahan celananya sendiri sehingga tidak melorot. Di sebelahnya, Dhimas dan Haris tertawa semakin kencang.

“Mau liat apa sih, Ris? Nggak perlu narik-narik gitu ngomong aja ntar gue kasih liat,” balas Ojan seraya tertawa.

“GELI!” balas Haris.

Tak lama kemudian terdengar suara mikrofon dari depan, ketiganya refleks menoleh. Rupanya sound system yang tadi memiliki kendala itu sudah kembali bisa digunakan. Artinya senam akan dilanjutkan.

“Eh udah mau mulai lagi senamnya ini balon gue sayang banget nih,” keluh Ojan.

“Lecekin aja udah, buang!” balas Haris.

“Iya udah, buang aja. Mau lo apain emang? Pajang?” Dhimas menimpali.

Ojan mengerucutkan bibir, “Nggak seru, ege!”

“Terus mau dipain?” tanya Haris.

Sekon berikutnya Ojan hanya diam, kemudian bibirnya komat-kamit seakan membacakan mantra ke arah balon tiup miliknya. Dhimas dan Haris pun ikut diam dan menanti tindakan Ojan selanjutnya. Dan akhirnya..

PLAK!

Ojan meledakkan balon tiupnya tepat di wajah Damar yang sedari tadi hanya melamun dan memasang wajah garangnya. Sementara yang ditimpukkan balon tiup terkejut setengah mati.

“INNALILLAHI! OJANNN!!” seru Damar.

“BIAR KELUAR SETANNYA LOH DAM!!!!”

“NGGAK GITU!”


Bukan Petantang-Petenteng jika tidak membuat keributan. Kali ini, ulahnya sumbunya adalah Ojan. Lagu yang pertama kali diputar setelah sound system diperbaiki adalah Gemu Famire. Senam yang familiar bagi kalangan anak sekolahan sebab sering diputar, bagaikan lagu wajib setiap kali agenda senam diadakan. Awalnya berjalan mulus, hingga sang mood maker, Jauzan Narendra mulai meramaikannya dengan sorakan-sorakannya yang kemudian berubah menjadi pengaruh nyeleneh bagi satu angkatan.

Putar ke kiri e

NGIIHA,” seru Ojan. Teman-temannya yang lain mulai menahan tawanya, mereka semua tahu ini tidak akan berjalan sesuai perkiraan.

NOONA MANIS PUTARLAH KE KIRI, KE KIRI, KE KIRI,” Ojan bersenandung mengikuti lirik lagu. “KE KIRI, DAN KE KIRI, KE KIRI, KE KIRI, KE KIRI, KE KIRI, KE KIRI,

“UDAH, MONYET! NGGAK UDAH UDAH KE KIRI MULU INI SEBELAH GUE GAWANG LU NGGAK LIAT?!” omel Haris yang sejujurnya juga mengikuti gerakan ngaco milik Ojan.

“Iya ini mau kanan, tuh SEKARANG KAAANAN EEEE, NOONA MANIS PUTARLAH KE KANAN, KE KANAN, KE KANAN, KE KANAN, DAN KE KANAN, KE KANAN KE KANAN AJA TERUS LU MASUK KAMAR MANDI.

Aksinya terus dijalankan hingga lagu berakhir. Dhimas yang paling lelah. Pada detik di mana lagu berhenti, Dhimas langsung mendudukkan dirinya di lapangan. Ia pun sejujurnya bingung, entah lelahnya ini karena terlalu bersemangat mengikuti senam atau terlalu lelah tertawa akibat ulah Ojan.

Detik berganti menit, lagu-lagu yang diputar pun berganti seiring senam semakin seru. Sorakan-sorakan dari siswa-siswi semakin ramai bahkan tanpa perlu dipimpin oleh Ojan yang sedari tadi sudah menjadikan dunia ini seakan miliknya.

Seperti saat ia berduet dengan Aghniya ketika lagu senam yang diputar adalah lagu Sambalado milik Ayu Ting-Ting. Ojan dan Aghniya bahkan tak lagi memperhatikan gerakan senam dan mengikutinya. Malahan, keduanya seakan membuat koreo sendiri dan bertingkah seakan-akan sedang berada di konser sendiri.

SAMBALA SAMBALA BALA SAMBALADOW MULUT BERGETAR, LIDAH BERGOYANG TRRRRRRRR LLLLL

SAMBALA SAMBALA BALA SAMBALADO, TERASA PEDAS, TERASA PAAANAS! CINTAMU SEPERTI SAMBAAALADO OW OW

*“AMPE BAWAH JAN, AMPE BAWAAHHH!!” seru Aghniya mendukung Ojan goyang ngebor dengan sepenuh hati.*

“Ngumpet, Ni, ngumpet ada Pak asep!” ucap Ojan, kemudian keduanya bersembunyi di balik tubuh jangkung Haris dan berpura-pura mengikuti kembali gerakan senam dengan wajah memerah akibat menahan tawa yang hampir meledak.

“ANJRIT LAGUNYA ENAK-ENAK BANGET! Ini playlist gue semua apa ya?” Ojan bermonolog sebab sedari tadi lagu senam yang diputar adalah senam koplo dan dangdut yang memang cukup sering ia dengarkan dan perdengarkan kepada seluruh penduduk kelasnya juga ketiga temannya. Bagaikan miliki energi yang diisi daya penuh, Ojan kini kembali bersemangat setelah mendengar intro lagu Talak Tilu.

“Ayo, Ris semangat, Ris. Ini untuk menyambut kedatangan elu!” Ojan masih tak menyerah mempengaruhi teman-temannya untuk ikut berjoget bersamanya.

Ma-ma-ma-ma-ma-ma-mau makan, mau minum bikin sendiri

“ISSSSAIK, LAGU GALAU GUE NIH! Cuci baju-celana, nyetrika pun sendiri ~~*” Ojan mulai bernyanyi seraya membiarkan tubuhnya bergoyang mengikuti irama sekaligus gerakan senam yang dicontohkan.

Apalagi bila tanggal tua mendekati

Aku bagai bujangan yang tak punya istri

“Bang Damar dari pada mukanya ditekuk mending sawer aye, Bangggg,” Ojan mulai meledek Damar. Setelahnya Damar hanya membalasnya dengan senyum tipis, kapok mendiami Ojan setelah wajahnya kena tampar balon tiup.

“Sawer pake gopek-an, Dam,” Dhimas menimpali disela gerakannya.

“Sakit ege, itu mah disambit namanya,” ucap Haris.

“Nggak masalah, lah, Ojan ini—eh sst sst! Pak Asep!” Dhimas auto diam dan berlagak serius saat melihat Pak Asep mulai menyelip di antara barisan guna menangkap basah dan menegur siswa yang tidak mengikuti gerakan senam dengan benar.

Tepat saatnya bagi Haris, Dhimas, dan Damar untuk kembali diam dan berhenti bicara. Namun sial bagi Jauzan mood maker Narendra, yang kala itu justru begitu semangat bernyanyi dan menciptakan koreonya sendiri.

Bisa talak tilu, talak tiluUUUUUUUUU~~ IHIY!! DEMEN NIH GUE BEGINI NIH! ACA ACA NEHI NEH—

Ucapannya terhenti ketika merasakan dirinya ditarik ke depan oleh seseorang. Ojan sempat terpaku dan kebingungan, namun detik berikutnya ia menyadari bahwa yang menariknya adalah Pak Asep. “Eh, Pak, Pak! Saya senam di barisan aja, Pakkk!!!”

“Nggak ada! Kamu dari tadi joget nggak karuan di barisan, mending kamu di depan aja sini pimpin teman-teman yang lain!” balas Pak Asep.

“YA ALLAH, PAKK! Tadi Dhimas sama Haris juga loh?! Kok saya doang sihh?” protes Ojan.

“Udah sini kamu di depan! Bapak liatnya kamu doang yang bercanda!”

“PAK SAYA DI BARISAN AJA PAK, SAYA MOHON INI MAH! WEH TOLONGIN DONG LU NGGAK SETIA KAWAN BANGET?!”

Kala itu, Dhimas, Damar, dan Haris hanya tertawa terbahak-bahak sembari melambaikan tangan pada Ojan yang masih terus digeret ke depan oleh Pak Asep. Ketiganya yakin setelah ini Ojan pasti akan ngambek, namun mereka tak ambil pusing. Sebab itu tak akan berlangsung lama, Ojan akan langsung kembali pada suasana hati yang baik ketika diiming-imingi traktiran.

Setelah lelah tertawa, Haris menghela napasnya. Ia pun melanjutkan mengikuti gerakan senam di sebelah Dhimas akibat Ojan harus ke depan. Sesekali tawa Haris meluncur melihat Ojan yang meskipun sudah dipajang di depan, gerakannya masih suka dibuat main-main akibat kekesalannya digeret ke depan oleh Pak Asep.

Namun hari itu Haris bersyukur, kembalinya ia ke sekolah dimulai dengan cerita yang dapat dikenang dengan baik. Memang benar kata orang-orang, it's good to be back.