Senam

Tebaklah siapa yang sibuk bermain balon tiup setelah bagian pemanasan senam dilakukan? Jauzan Narendra adalah jawabannya. Haris hanya bisa geleng-geleng kepala melihat kelakuan Ojan yang kini sibuk meniupkan balon tiup hingga menjadi seukuran yang diinginkannya. Pemuda itu nampak serius dengan pekerjaannya, meniup balon seraya memperkirakan ukuran maksimalnya agar tidak langsung meletus.

“Bagi dong, Jan,” ucap Dhimas. Sama gabut-nya dengan Ojan karena saat ini senam belum kembali dimulai akibat sound system sedang memiliki kendala. Maka lapangan penuh dengan orang yang duduk-duduk dan bersantai.

“Masih ada nggak, Jan?” tanya Haris pada akhirnya.

“Yeuh, mau juga kan lu?” sahut Ojan. Setelahnya ia merogoh saku dan mengeluarkan sisa balon tiup yang ia miliki. “Nih tadi gue bawa delapan, sorong dua.”

Kemudian semuanya kecuali Damar, mulai meniupkan balon tiupnya masing-masing. “Lu beneran nggak mau nih, Dam?” tanya Ojan sekali lagi. Pemuda yang sepertinya sedang dalam suasana hati yang tidak baik itu hanya menggeleng.

“Yah!” seru Dhimas tiba-tiba. “Pecah anjrit bolong, bagi lagi donggggg! Punya Damar deh buat gue atu,” ucapnya lagi. Setelahnya Ojan hanya berdecak dan memberikannya kepada Dhimas setengah ikhlas.

“Ikhlas nggak nih?” tanya Dhimas. “Iye iye ikhlas.”

“Kalo nggak ikhlas nggak usah, nanti gue bisulan lagi,” balas Dhimas lagi.

“Ya udah siniin!”

Dhimas menggeleng, “Enggak deh, nggak pa-pa gue bisulan. Emak gue tau obatnya.”

“Semprul!”

“Si Haris anteng banget ngemut-ngemut balon tiup. Jangan dicemilin ege, Ris!” ucap Ojan. Haris terkekeh, “Ini gue mau niup nggak bisa-bisa. Gembel nihh balon tiupnya, beli di mana sih lu? Kw ya ini?”

“Beli di warung Mak Edeh, gue disuruh beli gula sama emak gue terus kembalinya gue beliin ini,” balas Ojan. Setelahnya ia berdecak, “Yang gembel bukan balonnya tapi elu-nya, Ris! Kurang rapet ini mana bisa ditiup dongo!”

“Weee punya gue jadi dong—JANGAN ISENG, JANGAN ISENG! Maen meletus meletusin aja lu gue letusin pala lu!” ucap Dhimas yang dengan penjagaan penuh berusaha melindungi balon tiupnya yang baru saja jadi.

“Astaga, Dhim.. ini cuma balon tiup, nggak se-berharga itu..” balas Ojan dramatis yang kemudian mendapat tertawaan dari Haris.

“Eh kok punya gue segini doang sihhhhh?? Diskriminasi, nih!” protes Haris.

Dhimas tertawa melihat Haris yang membanding-bandingkan balon tiupnya yang memang terlihat paling kecil dibandingkan yang lain. “Makanya baca doa dulu,” balasnya.

Kesal, Haris akhirnya memilih menghancurkan balon tiupnya dan memulainya dari awal. Beruntung, kesempatannya yang kedua menghasilkan sesuatu yang lebih baik. Balonnya jauh lebih besar dibanding yang sebelumnya. Haris kini tersenyum puas dan ikut menerbang-nerbangkan balonnya di udara selayaknya Dhimas dan Ojan.

“Eh eh kasian ya temen kita yang itu nggak punya balon,” bisik Ojan pada Haris dan Dhimas, merujuk pada Damar yang sedari tadi hanya melipat kedua tangannya di depan dada.

“Iya kasian yah, nggak punya temen ih. Temen siapa sih itu? Nggak asik banget mukanya ditekuk dari tadi,” Dhimas menimpali.

“Nggak usah ngomongin orang, bisa?” ucap Damar galak.

“Setan lu pindah ke Damar, Ris?” tanya Ojan. Haris hanya terkekeh, “Lu nggak diem abis ini dipatok lu!”

“Kan ada lu sang pawang kobra,” sahut Dhimas. Ojan mengangguk setuju, “sssrrrrr lllll~~”

Ketiganya kemudian tertawa terbahak-bahak melihat Ojan yang menirukan gerakan ular dengan tangannya. Setelahnya Haris geregetan sendiri dan kemudian menarik pelan celana Ojan turun, “Heuuuh bisa aja anak Pak Jarwo!”

“ANJ— SARU BECANDA LU!!” balas Ojan panik, beruntung ia dapat menahan celananya sendiri sehingga tidak melorot. Di sebelahnya, Dhimas dan Haris tertawa semakin kencang.

“Mau liat apa sih, Ris? Nggak perlu narik-narik gitu ngomong aja ntar gue kasih liat,” balas Ojan seraya tertawa.

“GELI!” balas Haris.

Tak lama kemudian terdengar suara mikrofon dari depan, ketiganya refleks menoleh. Rupanya sound system yang tadi memiliki kendala itu sudah kembali bisa digunakan. Artinya senam akan dilanjutkan.

“Eh udah mau mulai lagi senamnya ini balon gue sayang banget nih,” keluh Ojan.

“Lecekin aja udah, buang!” balas Haris.

“Iya udah, buang aja. Mau lo apain emang? Pajang?” Dhimas menimpali.

Ojan mengerucutkan bibir, “Nggak seru, ege!”

“Terus mau dipain?” tanya Haris.

Sekon berikutnya Ojan hanya diam, kemudian bibirnya komat-kamit seakan membacakan mantra ke arah balon tiup miliknya. Dhimas dan Haris pun ikut diam dan menanti tindakan Ojan selanjutnya. Dan akhirnya..

PLAK!

Ojan meledakkan balon tiupnya tepat di wajah Damar yang sedari tadi hanya melamun dan memasang wajah garangnya. Sementara yang ditimpukkan balon tiup terkejut setengah mati.

“INNALILLAHI! OJANNN!!” seru Damar.

“BIAR KELUAR SETANNYA LOH DAM!!!!”

“NGGAK GITU!”


Bukan Petantang-Petenteng jika tidak membuat keributan. Kali ini, ulahnya sumbunya adalah Ojan. Lagu yang pertama kali diputar setelah sound system diperbaiki adalah Gemu Famire. Senam yang familiar bagi kalangan anak sekolahan sebab sering diputar, bagaikan lagu wajib setiap kali agenda senam diadakan. Awalnya berjalan mulus, hingga sang mood maker, Jauzan Narendra mulai meramaikannya dengan sorakan-sorakannya yang kemudian berubah menjadi pengaruh nyeleneh bagi satu angkatan.

Putar ke kiri e

NGIIHA,” seru Ojan. Teman-temannya yang lain mulai menahan tawanya, mereka semua tahu ini tidak akan berjalan sesuai perkiraan.

NOONA MANIS PUTARLAH KE KIRI, KE KIRI, KE KIRI,” Ojan bersenandung mengikuti lirik lagu. “KE KIRI, DAN KE KIRI, KE KIRI, KE KIRI, KE KIRI, KE KIRI, KE KIRI,

“UDAH, MONYET! NGGAK UDAH UDAH KE KIRI MULU INI SEBELAH GUE GAWANG LU NGGAK LIAT?!” omel Haris yang sejujurnya juga mengikuti gerakan ngaco milik Ojan.

“Iya ini mau kanan, tuh SEKARANG KAAANAN EEEE, NOONA MANIS PUTARLAH KE KANAN, KE KANAN, KE KANAN, KE KANAN, DAN KE KANAN, KE KANAN KE KANAN AJA TERUS LU MASUK KAMAR MANDI.

Aksinya terus dijalankan hingga lagu berakhir. Dhimas yang paling lelah. Pada detik di mana lagu berhenti, Dhimas langsung mendudukkan dirinya di lapangan. Ia pun sejujurnya bingung, entah lelahnya ini karena terlalu bersemangat mengikuti senam atau terlalu lelah tertawa akibat ulah Ojan.

Detik berganti menit, lagu-lagu yang diputar pun berganti seiring senam semakin seru. Sorakan-sorakan dari siswa-siswi semakin ramai bahkan tanpa perlu dipimpin oleh Ojan yang sedari tadi sudah menjadikan dunia ini seakan miliknya.

Seperti saat ia berduet dengan Aghniya ketika lagu senam yang diputar adalah lagu Sambalado milik Ayu Ting-Ting. Ojan dan Aghniya bahkan tak lagi memperhatikan gerakan senam dan mengikutinya. Malahan, keduanya seakan membuat koreo sendiri dan bertingkah seakan-akan sedang berada di konser sendiri.

SAMBALA SAMBALA BALA SAMBALADOW MULUT BERGETAR, LIDAH BERGOYANG TRRRRRRRR LLLLL

SAMBALA SAMBALA BALA SAMBALADO, TERASA PEDAS, TERASA PAAANAS! CINTAMU SEPERTI SAMBAAALADO OW OW

*“AMPE BAWAH JAN, AMPE BAWAAHHH!!” seru Aghniya mendukung Ojan goyang ngebor dengan sepenuh hati.*

“Ngumpet, Ni, ngumpet ada Pak asep!” ucap Ojan, kemudian keduanya bersembunyi di balik tubuh jangkung Haris dan berpura-pura mengikuti kembali gerakan senam dengan wajah memerah akibat menahan tawa yang hampir meledak.

“ANJRIT LAGUNYA ENAK-ENAK BANGET! Ini playlist gue semua apa ya?” Ojan bermonolog sebab sedari tadi lagu senam yang diputar adalah senam koplo dan dangdut yang memang cukup sering ia dengarkan dan perdengarkan kepada seluruh penduduk kelasnya juga ketiga temannya. Bagaikan miliki energi yang diisi daya penuh, Ojan kini kembali bersemangat setelah mendengar intro lagu Talak Tilu.

“Ayo, Ris semangat, Ris. Ini untuk menyambut kedatangan elu!” Ojan masih tak menyerah mempengaruhi teman-temannya untuk ikut berjoget bersamanya.

Ma-ma-ma-ma-ma-ma-mau makan, mau minum bikin sendiri

“ISSSSAIK, LAGU GALAU GUE NIH! Cuci baju-celana, nyetrika pun sendiri ~~*” Ojan mulai bernyanyi seraya membiarkan tubuhnya bergoyang mengikuti irama sekaligus gerakan senam yang dicontohkan.

Apalagi bila tanggal tua mendekati

Aku bagai bujangan yang tak punya istri

“Bang Damar dari pada mukanya ditekuk mending sawer aye, Bangggg,” Ojan mulai meledek Damar. Setelahnya Damar hanya membalasnya dengan senyum tipis, kapok mendiami Ojan setelah wajahnya kena tampar balon tiup.

“Sawer pake gopek-an, Dam,” Dhimas menimpali disela gerakannya.

“Sakit ege, itu mah disambit namanya,” ucap Haris.

“Nggak masalah, lah, Ojan ini—eh sst sst! Pak Asep!” Dhimas auto diam dan berlagak serius saat melihat Pak Asep mulai menyelip di antara barisan guna menangkap basah dan menegur siswa yang tidak mengikuti gerakan senam dengan benar.

Tepat saatnya bagi Haris, Dhimas, dan Damar untuk kembali diam dan berhenti bicara. Namun sial bagi Jauzan mood maker Narendra, yang kala itu justru begitu semangat bernyanyi dan menciptakan koreonya sendiri.

Bisa talak tilu, talak tiluUUUUUUUUU~~ IHIY!! DEMEN NIH GUE BEGINI NIH! ACA ACA NEHI NEH—

Ucapannya terhenti ketika merasakan dirinya ditarik ke depan oleh seseorang. Ojan sempat terpaku dan kebingungan, namun detik berikutnya ia menyadari bahwa yang menariknya adalah Pak Asep. “Eh, Pak, Pak! Saya senam di barisan aja, Pakkk!!!”

“Nggak ada! Kamu dari tadi joget nggak karuan di barisan, mending kamu di depan aja sini pimpin teman-teman yang lain!” balas Pak Asep.

“YA ALLAH, PAKK! Tadi Dhimas sama Haris juga loh?! Kok saya doang sihh?” protes Ojan.

“Udah sini kamu di depan! Bapak liatnya kamu doang yang bercanda!”

“PAK SAYA DI BARISAN AJA PAK, SAYA MOHON INI MAH! WEH TOLONGIN DONG LU NGGAK SETIA KAWAN BANGET?!”

Kala itu, Dhimas, Damar, dan Haris hanya tertawa terbahak-bahak sembari melambaikan tangan pada Ojan yang masih terus digeret ke depan oleh Pak Asep. Ketiganya yakin setelah ini Ojan pasti akan ngambek, namun mereka tak ambil pusing. Sebab itu tak akan berlangsung lama, Ojan akan langsung kembali pada suasana hati yang baik ketika diiming-imingi traktiran.

Setelah lelah tertawa, Haris menghela napasnya. Ia pun melanjutkan mengikuti gerakan senam di sebelah Dhimas akibat Ojan harus ke depan. Sesekali tawa Haris meluncur melihat Ojan yang meskipun sudah dipajang di depan, gerakannya masih suka dibuat main-main akibat kekesalannya digeret ke depan oleh Pak Asep.

Namun hari itu Haris bersyukur, kembalinya ia ke sekolah dimulai dengan cerita yang dapat dikenang dengan baik. Memang benar kata orang-orang, it's good to be back.