Sebagaimana frasa paling dikenal di seluruh dunia, bahwa waktu adalah uang. Mungkin sebab itulah kegiatan LDKS ini seakan tak memberi waktu luang untuk sekadar bermalas-malasan. Rasanya bahkan untuk mengeluh saja tidak sempat. Selesai sarapan, seluruh peserta LDKS kembali digiring ke lapangan untuk melakukan senam bersama. Setelah itu pun mereka tetap tidak mendapatkan istirahat yang diidam-idamkan, melainkan harus mengikuti kegiatan outbond yang jelas akan membuat sekujur tubuh nampak seperti sehabis berperang di kubangan lumpur.
Kini semuanya sedang berbaris dan mendengarkan arahan dari Bayu soal bagaimana mereka harus melewati rintangan-rintangan outbond. “Pertama kalian lewat sini, itu ada rintangan pake ban nah itu kalian lewatin. Baru nanti setelah itu kalian jalan tengkurep ya, masuk ke tali-tali itu. Kalo udah, tunggu temennya, baru nanti kalian gandengan dan jalan nih muterin area yang penuh lumpur itu. Baru nanti kalian nyebrangin kali dan balik lagi ke tempat ini. Paham ya? Nggak usah buru-buru, yang penting hati-hati aja. Di sana udah ada kakak-kakaknya yang nunggu, jadi nggak perlu khawatir. Buat ketua kelompok, temen-temennya jangan lupa dijaga!”
“Ya Allah demi apa sih harus nyebrangg?? Kalo yang lagi halangan gimana, Kak?” tanya Dinda pelan pada Haris yang berada tepat di belakangnya.
“Hah, kamu lagi halangan?”
“Iyaaa,” balas Dinda. “Bilang aja nanti sama kakaknya pas di sungai, siapa tau disuruh muter. Tahun lalu sih disuruh muter aja jadi nggak nyebrang,” sahut Haris.
Tak berselang lama setelah keduanya berhenti bicara, Gia yang sudah kembali sehat itu bergabung kembali dengan kelompoknya. Gadis itu menelusup masuk ke dalam kelompoknya dari belakang agar tidak menarik perhatian. “Dindaa,” panggilnya berbisik.
Sementara yang dipanggil itu menoleh cepat dan membelalakkan matanya kaget. “Heeeeh, udah sehat lu beneran?” tanya Dinda. Kemudian Dinda mundur untuk memberi Gia tempat duduk, termasuk pula Haris yang mengerti situasi.
Gia hanya mengangguk menjawab pertanyaan Dinda dan segera mendudukkan dirinya. “Kenapa sih lo kemaren? Kedinginan?” tanya Dinda. Gia mengangguk lagi, “Iyaa, aku emang nggak kuat dingin. Semalem tuh dingin banget parah deh!”
“Iya anjrit muka lu pucet banget, Gi, semalem! Siapa tuh ya yang bilang kemaren, ada yang panik lo kesurupan. Soalnya katanya pas nunggu di tempat pertama itu, ada tiga orang yang kesurupan,” balas Dinda.
“Hah iya?”
“Iyaa, tapi alhamdulilah kalo lo nggak kesurupan. Tapi lo beneran udah nggak pa-pa, nih? Kalo nggak kuat mendingan nggak usah sumpah!” ucap Dinda perhatian. Takut-takut Gia masih lemas dan malah akan membahayakan dirinya sendiri.
“Nggak kok, udah nggak pa-pa. Udah minum teh manis anget, minum tolak angin, udah pake minyak angin. Udah lengkap sekarang udah anget,” balas Gia seraya terkekeh. Dinda balas tertawa, “Nggak sekalian lu pake minyak telon terus dibedong? Bayi banget kocak!”
Gia tak tersinggung, gadis itu balas bercanda. “Nggak ah, kalo kedinginan minta peluk Dinda aja.”
“Demi Allah,” balas Dinda tiba-tiba serius. Hingga membuat Gia sedikit terkejut dan takut. Apakah ucapannya membuat Dinda tersinggung? Atau terganggu? Namun segala pikiran buruknya sirna ketika Dinda justru membentangkan tangannya lebar-lebar, “sini sumpah!!! Dari awal gue liat lo tuh ya gue sebenernya udah gemes banget sama lo, Gi, anjir! Nanti selesai LDKS pokoknya kita harus foto!!!!”
Di belakang Dinda, Haris yang menyimak percakapan itu diam-diam pun menghela napas lega. Sebab mengetahui Gia baik-baik saja. Diam-diam pula, Haris berterima kasih pada Dinda yang mewakili seluruh isi hatinya. Meski tak ada yang tahu, sedikit rasa isi menjadi bumbu paling dominan dalam relung hatinya saat ini, terutama ketika Gia menyetujui untuk berfoto bersama Dinda. Tentu saja Haris tak menyuarakannya, hanya saja ia menjadikan rumput-rumput liar di hadapannya sebagai pelampiasan.
Kegiatannya terhenti ketika Bayu kembali membuka suara. Pria itu memberi instruksi pada kelompok 1 setelah mendapatkan konfirmasi bahwa semua panitia sudah siap di tempatnya melalui pesan suara lewat HT yang dipegangnya. “Kelompok 1, berdiri!
“Boleh jalan. Inget ya, nggak usah buru-buru, yang penting hati-hati!” ucap Bayu lagi.
“Makasih, Kak. Permisi,” pamit Dhimas sopan diikuti oleh seluruh anggota yang lain.
Outbond menjadi kegiatan yang paling menyenangkan dari banyaknya rangkaian acara LDKS. Terlihat dari raut-raut wajah bahagia yang tercetak jelas di masing-masing anggota meski kaus dan celana yang dikenakan kini penuh noda tanah.
Terpeleset, terciprat lumpur, tertusuk rerumputan tajam makin lama makin menjadi hal yang bersahabat. Namun bukannya marah, hal-hal itu justru menjadi sumber gelak tawa yang mengudara pagi itu.
“Dinda lu majuan sih buset kali lu panjang banget!” Alfi mengucap protes ketika mendapati wajahnya begitu dekat dengan telapak kaki Dinda ketika mereka harus tengkurap dan merayap melewati terowongan tali yang mengikat tiang kecil. “Ya, gimana sih, Fi? Lo kenapa jalannya nggak nunggu gue agak jauhan dikit?”
“Si Gia merayap cepet banget ya, cicak lu, Gi?” tanya Dhimas yang sudah berhasil lewat. “AH nggak mau sebut-sebut cicakk, geli banget ih, Kak Dhim!”
“Heh, heh, tengkurep tengkurep! Nggak ada nungging-nungging!” tegur Yuna pada Dinda yang tengkurap dengan postur yang tidak rata lantaran kaki-kakinya yang jenjang. “SUUUSAH KAKK! KAKI SAYA KEPANJANGAN!”
“Itu Haris bisaaa!” balas Yuna tak mau kalah. Sementara itu Haris hanya tertawa, “Bisa dari mane ini rasanya kagak jalan-jalan!”
“Dhim lo nggak mau narik gue apa, Dhim dari situ? Biar langsung settt gitu meluncur,” keluh Haris.
“AYO RIS SEMANGAT YAH ILAHH LEMAH BENER!” ejek Yuna. Wajah Haris yang penuh corengan tanah itu sontak menoleh pada Yuna, “Cobain sini!”
“Nggak ah, udah pernah dua tahun lalu!” balas Yuna seraya terkekeh.
Tiba giliran Alwan. Dengan tubuh kekarnya itu ia dengan mudah melewati rintangan itu dengan mudah. Alwan bergerak bagaikan seorang tentara yang sudah terlatih, membuat banyak pasang mata menatapnya kagum. “Nahh ini baru nih, calon tentara!” canda Vio. “Siapa namanya nih? Alwan ya? Mau jadi tentara, Wan?”
“Enggak, Kakk!” balasnya seraya tertawa.
“Nggak mau jadi tentara tapi badannya jadi banget, yak?” sahut Vio lagi. “Keker, gitu.”
Setelah semuanya berhasil melalui rintangan kedua itu, kini tiba mereka harus bergandengan tangan untuk melewati labirin kecil sebatas betis yang penuh lumpur. Seakan anak kecil yang baru belajar jalan, mereka banyak sekali terjatuh. Terutama Haris yang seringkali terseret oleh Dhimas. Begitu pula Dinda yang malah beradu mulut dengan Alfi yang kerap kali menjadi alasannya terjatuh berkali-kali. Sementara Gia, Haris tak terlalu mengkhawatirkannya sebab gadis itu aman dalam penjagaan Alwan. Meskipun tak bisa dipungkiri, Haris jengkel bertubi-tubi lantaran harus melihat tangan kekar Alwan menggengam milik Gia begitu erat.
“DHIM YA ALLAHHH, LU KALO MAU JATOH JANGAN NGAJAK-NGAJAK GUE KENAPA SIH?!” Haris berujar emosi ketika Dhimas yang berada di belakangnya itu terjatuh untuk kesekian kali. Membuatnya turut terjengkang ke belakang dan terduduk kembali di atas lumpur yang basah.
“LICIN RISSS YA TUHANN!”
“YA GUE TAU! Makanya lu pelan-pelan ajaaaa!”
Belum sempat Haris bangun dari jatuhnya, Alfi turut terpeleset hingga menimpanya. “EH EH DIN DIN PEGANGIN GUE DIN!!”
BUGH
“Innalillahi..” ucap Haris pasrah ketika bokong Alfi menabrak wajahnya.
“KAK MAAP KAK SUMPAH!” ucap Alfi panik saat mengetahui orang yang ia timpa adalah Haris. Haris hanya diam dan menyemburkan lumpur yang tak sengaja masuk ke dalam mulutnya. Sekon berikutnya ia menyeka wajahnya yang entah masih berbentuk atau tidak. “Balik-balik kalo gue diare gue nggak heran sih. Minuman gue lumpur di sini bukan es teh manis,” ucapnya yang kemudian mengundang gelak tawa semua orang yang mendengarnya.
“Jalan ngiterin ginian aja jatoh mulu, PADA PAMIT EMAK LU GA SIH KE SINI?” ucap Haris jengkel, namun setelahnya tertawa geli mengingat kebodohan kelompoknya sendiri yang terjatuh berkali-kali.
“Iya dah, gue udah salim emak gue belom ye? Masalahnya kita jalan di tempat biasa aja dari kemaren jatoh mulu,” balas Dhimas.
“PERMASALAHANNYA ADA DI ALFI KAK!! Lu mau punya adek apa gimana sih, Fi? Ini kita tuh gandengan berempat!! Gue, lu, Kak Haris, Kak Dhimas! LO JATOH KITA SEMUA RUNTUH FI!!!!!” ucap Dinda kesal.
“Iya kayaknya Alfi dah yang nggak direstuin emaknya,” balas Haris. “Yang bener, Fi, ah elah! Ini muka gue udah nggak menampakkan warna asli kulit gue nih!”
Mendengar Haris bicara, Gia sontak menoleh. Pemuda itu masih terduduk, seakan pasrah dan malah memainkan lumpur yang kemudian ia corengkan pada wajah Dhimas. Sudut bibirnya berkedut menahan senyuman, lucu ketika melihat Haris bermain-main dan menunjukkan sisi remajanya. Ada rasa yang menggelitik dalam relungnya saat melihat Haris memamerkan senyum lebar dan tawa renyahnya pada dunia. Tetap menjadi pemandangan paling indah bagi Gia meskipun kini wajah Haris terlihat seperti sedang memakai masker lumpur. It's something you don't see everyday, batin Gia.
“Kak, ini boleh nggak diterusin nggak sih? Dah lah kita nongkrong sini aja,” ucap Haris bercanda.
“Nggak bisa, Ris! KITA KELOMPOK SATU ADALAH KELOMPOK PANTANG MENYERAH!!!! Bangun, ayo bangun! PANJANG UMUR PERJUANGAN!!” Dhimas mulai meracau tidak jelas, yang justru membuat gelak tawa di antara mereka semakin keras.
“Gue capek banget sumpah dah, jalan belom ada selangkah aja kayaknya udah jatoh lagi jatoh lagi subhanallah!” keluh Haris sebelum akhirnya dipaksa untuk berdiri oleh Dhimas. “Jangan jatoh lagi, Fi! Ntar geger otak gue ditimpa badan lu!” ucap Haris lagi.
“ALFI PALING BELAKANG AJA KAKK! BEBAN KELUARGA EMANG DIA!” balas Dinda kesal.
“INI PADA BENCI AMAT SAMA SAYA KAYAKNYA?!” ucap Alfi, yang kemudian hanya mendapat respons tawa dari teman-temannya sebelum akhirnya kembali bergerak, berjuang untuk melalui rintangan itu.
Setelah berbagai rintangan dilewati, tiba saatnya untuk rintangan terakhir yang menjadi puncak kegiatan outbond. Mereka harus menyebrangi kali kecil yang sudah dilengkapi tali sebagai pengaman untuk menyebrang.
“Ini dalem nggak, Kak?” tanya Alwan pada Haris.
“Enggak terlalu. Hati-hati aja soalnya licin,” balas Haris. “Lumpur semua bawahnya. Pegangan talinya yang kuat.”
Alwan hanya mengangguk, setelahnya ia kembali menghadap ke arah depan sembari menunggu giliran untuk menyebrangi kali di hadapannya. Dhimas sebagai yang paling depan memberi contoh, pria itu menyebur dan mulai berjalan perlahan seraya berpegangan pada tali tambang yang membentang.
Sesaat sebelum Alwan bergerak, Dinda membuka suara. “Kak, maaf mau tanya. Kalo yang lagi halangan gimana ya? Nyebur juga?”
“Oh, lagi halangan ya? Diannn, ini lagi halangan gimana?” tanya seorang kakak kelasnya yang menjaga di pinggir kali.
“Mana yang lagi halangan?” tanya Dian, seorang kakak kelas perempuan berambut keriting yang diikat rendah.
“Saya, Kak,” ucap Dinda. “Saya juga, Kak,” Gia turut berbicara.
“Udah dua orang aja? Yuk ikut saya, muter aja jangan nyebur,” ucap Dian. Setelahnya Gia dan Dinda pun keluar barisan dan membuntuti Dian yang memimpin jalan untuk mengitari kali.
“Daaah, hati-hati yaaa!” canda Dhimas.
“Hati-hati yaa jalannya, licin. Apalagi kalian abis kena lumpur. Tadi kakak-kakaknya bawa air bolak-balik soalnya,” ucap Dian.
“Ngangkut air ke mana, Kak?” tanya Dinda.
“Ke lapangan api unggun itu. Nanti ada fun games buat satu angkatan. Ikutan yaaa nanti! Seru loh!” balas Dian.
“Eh ini kalian sekelas?” tanya Dian lagi. Dalam hati, Gia dan Dinda bersyukur sebab yang mengantar mereka mengitari kali adalah kakak kelas yang ramah sehingga tak tercipta suasana canggung di antara ketiganya.
“Enggak, Kak. Beda kelas, baru ketemu pas kumpul buat kelompok aja,” balas Gia.
“Ohh, bagus dehh. Jadi meluas kan yaa temennya,” balas Dian yang hanya mendapat anggukan dari Gia. Mereka pun terus berjalan, sesekali berhenti untuk melihat dan menertawai mereka yang mendapat giliran menyebrangi kali. Dhimas yang terpeleset saat ingin naik ke pinggir, Alfi yang terlelap karena terpeleset di tengah-tengah kali—beruntung berhasil diselamatkan oleh kakak kelas yang turut menyebur di sana, membuat wajahnya penuh dengan lumpur kecoklatan.
“WAHAHAHAH MASKER FII, MASKERAN BIAR TAMBAH GANTENG,” ejek Dhimas dari pinggir. Padahal, kondisinya pun tak jauh berbeda sebab ketika sampai pinggir pun mereka kembali dicoreng lumpur tepat di wajah. Sebagai tanda absen, katanya.
“Kalo ngeliatin ginian tuh kocak-kocak banget asli,” ucap Dian. “Dulu begini juga, Kak?” tanya Gia.
“Iyaaa. Dulu malah kita lebih parah lagi, soalnya kan di tempat TNI gitu. Tahun ini nggak bisa di sana tapi kita sengaja cari lokasi yang emang ada kalinya,” balas Dian.
“Kakak juga dulu nyebur dong?” tanya Dinda.
“IYA, ih mana dulu tuh kalinya lebih dalem dari ini deh kayaknya. Ya nggak tau sih, saya kan emang pendek ya,” jawab Dian lagi. Setelahnya mereka hanya terkekeh.
“Dah, yuk, lanjut lagi!” ajak Dian. “Awas hati-hati jalannya! Banyak ranting, takut kena kaki. Kalian lagi nyeker gitu soalnya.”
Bagaikan pucuk dicinta ulam pun tiba, belum kering rasanya liur Dian sehabis berbicara, Gia terpeleset hingga jatuh terduduk. Bahkan mata kaki kanannya itu tergores ranting dan mengeluarkan darah. Tak ada yang Gia lakukan selain meringis menahan sakit yang ia rasakan pada pinggang dan kakinya. Saat itu juga, perkataan Haris kembali menggaungi telinganya. Pemikiran Dhimas pun menjadi pemikirannya saat ini, udah izin Mama belum sih? Kenapa celaka terus deh..
“GI! YA ALLAH!” Dinda berteriak panik. “Gi, bisa bangun nggak??”
“Sakit banget, Din,” balas Gia seraya meringis. Gadis itu bahkan ingin menangis saat itu juga.
“Duhh, iya iya. Bangun pelan-pelan, yuk,” ujar Dinda lagi. Gadis itu—dengan bantuan Dian, kini membantu Gia untuk berdiri.
“Bisa jalan nggak?” tanya Dian. “B-bisa, Kak.”
Bohong, ucapan Gia sama sekali tak terealisasi. Gadis itu kembali mengaduh kesakitan bahkan ketika kakinya belum berhasil menyelesaikan satu langkah.
“Udah udah, nggak usah dipaksa. Tunggu sini sebentar saya panggilin anak cowoknya biar digendong aja ke aula. Kalo kamu maksa jalan takutnya malah makin sakit,” ucap Dian. “Tolong jagain dulu sebentar temennya, ya!”
“Iya, Kak,” balas Dinda mengangguk. Setelahnya gadis itu memegangi Gia agar gadis itu tak terjatuh. Bahkan Dinda membersihkan dedaunan basah yang menempel pada celana Gia.
“Duh, Gi, baru juga sembuh lo udah ada lagi aja perkaranya. Sakit banget ya? Bentar yaaa, duh!”
“Duh, nggak tau juga, Din,” balasnya. “Gia kenapa sih, Gi, ngerepotin orang terus?” ucapnya pada diri sendiri.
Tentu saja ia pun tak ingin merepotkan orang lain. Namun entah semesta begitu membencinya atau bagaimana, setiap kali ada acara seperti ini, Gia seringkali terkena masalah yang berujung harus menerima bantuan orang lain. Rasanya pun Gia sudah banyak sekali berhutang budi pada orang lain.
Tak berselang lama, Dian kembali.
“Siapa yang jatoh?” tanyanya. Suara bariton milik seseorang yang datang bersama Dian itu membuat Dinda dan Gia sontak menengadah. “Ini si Gia, Kak.”
Berbeda dengan Dinda yang bereaksi santai, Gia justru tak berkutik di tempatnya. Pun dengan Haris, seseorang yang harus membatalkan niatnya menyeberangi kali lantaran dipaksa Dian untuk ikut mengitar sebab salah seorang anggota kelompoknya terluka di seberang sana.
Cepat-cepat Haris menepis lamunannya agar tak berlama-lama larut dalam tatapan Gia. Setelahnya ia berdehem, “Nggak bisa jalan?”
“Nggak bisa, Kak. Tadi udah dicoba tapi sakit kakinya, soalnya tadi kepelesetnya duduk gitu, Kak.” Lagi-lagi Dinda bertindak seakan juru bicara Gia yang masih tak bersuara.
“Gendong aja, Ris. Kuat nggak?” tanya Dian.
“Kuat, lahhh, orang kemaren Gia pingsan juga Kak Haris yang gotong!” ucap Dinda. Haris memalingkan wajah salah tingkah. Terkutuk lah Dinda dan mulutnya yang diciptakan tanpa rem itu.
“Oh gitu? Ya udah gendong aja, Ris. bawa ke aula,” titah Dian. Haris hanya mengangguk tanpa banyak bicara. Setelahnya ia berjongkok membelakangi Gia, “Naik!”
Gia masih akan diam tak berkutik jika Dinda tak mendorongnya pelan untuk berpegangan pada kedua bahu Haris.
“Maaf pegang-pegang ya, Gi,” ucap Haris ketika Gia sudah berada di punggungnya. Sementara Gia hanya mengangguk kaku. Haris benar-benar membuatnya kikuk saat itu.
“Ini kenapa sih pada kayak canggung banget? Kalian berdua ada apa-apa ya?” tanya Dian.
Haris berdecak pelan, “Ngarang!”
Pria itu berusaha bersikap biasa, sebab Dian memang dikenal sebagai orang yang suka membuat hal-hal kecil menjadi heboh. Bahkan kakak kelasnya itu me dapat julukan Heri alias, heboh sendiri. Kalau soal gosip, Dian juaranya. Pernah suatu ketika Haris tidak sengaja memegang bahu Gina guna menahan gadis itu agar tidak terjatuh. Dan kejadian itu terjadi di depan mata Dian. Alhasil, Haris dan Gina menjadi bahan ledekan dalam lingkup OSIS selama berbulan-bulan.
“Kalo abis ini saya jadi bulan-bulanan lagi pas rapat, awas ya, Kak Dian!”
“YEHHHH PARAH LU! Itu kan anggota kelompok lo juga, Ris! Tanggung jawab lu lah! Emosiann!”
Haris tak menjawab lagi. Ia memilih untuk bangkit berdiri dengan Gia yang kini sudah berada di punggungnya. Berada di punggung Haris yang super tinggi itu membuat Gia turut merasakan menjadi raksasa. Gadis itu tak henti-hentinya melirik ke bawah, menikmati pemandangan yang biasanya Haris dapat saksikan dari jarak yang setinggi ini.
Haris otomatis membenarkan posisi Gia sebelum akhirnya berjalan, membuat Gia sontak memeluk bahu Haris lebih erat. Haris menahan napasnya sendiri, berharap detak jantungnya itu tak terdengar sampai pada telinga Gia.
“Bawa ke mana nih?” tanyanya pada Dian.
“Aula aja.”
“Emang nggak pa-pa nanti kaki saya kotor gini masuk aula?” tanya Haris.
“Oh iya ya, ya udah bawa ke depan aja. Nanti minta tolong panggil medisnya ke depan. Ada angkatan gue juga kok di aula situ, gue harus nganterin Dinda nih. Nggak bisa ditinggal sendirian, lo sama dia nggak pa-pa?”
“Aman,” balas Haris singkat. Dian mengangguk, “Oke, tolong ya, Ris! Thank youu!“
“Jangan kepeleset juga Dinda, kalo lo nanti gue geret aja nggak mau gendong!” ucap Haris.
“YEEEEEEEEE!! BAE BAE GIA DIA MODUS!!!!”
Setelahnya mereka berpisah sebab harus berjalan ke arah berlawanan. Berbeda dengan Dian dan Dinda yang kembali berbincang selama di perjalanan, Haris dan Gia justru kompak menutup mulut. Tak ada dari keduanya yang berbicara.
Entah memanfaatkan kesempatan atau berhati-hati, Haris berjalan dengan langkah super pelan. Membuat Gia gelisah sendiri, ia benar-benar tak tahu harus berbuat apa. Ingin sekali ia menggerakan bibirnya untuk mengucapkan terima kasih sebab Haris mau menolongnya. Namun pada akhirnya, niat itu kembali ia urungkan.
Hingga Haris memulai percakapan. “Kenapa bisa jatoh?”
“Hah? Oh—kepeleset, Kak.”
“Terus ini kenapa berdarah?” tanyanya lagi.
“Kena ranting..”
“Oh,” balasnya singkat. Kemudian hening kembali menyelimuti. Jarak dari tempat Gia terjatuh ke aula tidak sejauh itu. Namun entah mengapa durasi perjalanan ini terasa sangat lama.
Gia memilih memalingkan wajah ketimbang harus menyandarkan dagunya pada pundak kanan Haris. Gia berusaha sangat keras menyembunyikan semburat kemerahan yang menghiasi pipinya meski Haris pun tak dapat melihatnya. Namun gadis itu kembali menoleh ketika Haris kembali buka suara.
“Maaf ya.”
“Maaf kenapa, Kak?”
“Baju saya kotor, baju kamu juga pasti ikutan kotor.”
Gia tersenyum tipis di balik punggung Haris, “Nggak pa-pa.”
“Maaf juga ya, Kak. Jadi ngerepotin.”
Seolah menular, senyum Gia kini berpindah pada wajah Haris meski masing-masing tak dapat melihat raut wajah satu sama lain. Selang beberapa sekon, Haris membalas dengan ucapan yang sama.
“Nggak pa-pa.”
Setelahnya tak ada yang bicara. Baik Haris maupun Gia sama-sama sibuk menyembunyikan wajah yang kian bersemu. Jutaan kupu-kupu itu kembali setelah pergi sekian lama.
Meskipun belum resmi diperbaiki, Haris dan Gia merasakan bahagia yang sama dalam relung masing-masing sebab pada akhirnya punya kesempatan untuk kembali bertegur sapa. Meskipun harus lewat jalur yang tidak diinginkan seperti ini.
Kini Haris percaya bahwa segala sesuatu pasti ada hikmahnya. Termasuk terlukanya kaki Gia hari ini.
Sepertinya mulai hari ini, Haris tak lagi mampu melakukan pergerakan dalam diam.
Diam-diam Haris berharap dalam hatinya. Bahwa setelah ini, semoga pukul 06.15 pagi di depan gerbang sekolah itu sama indahnya seperti dulu. Sebab ia yang selama ini diam-diam mengawasi dan menjaga dari jauh itu, telah terungkap identitasnya.