raranotruru

“AAY JANGAN! Duhh, jangan yaa, Cantik! Ini ada listriknya, tangan Aay masih basah nanti kesetrum gimana?”

Itulah yang pertama kali didengar Aghniya ketika gadis itu sampai di depan pintu rumah seseorang yang menjabat sebagai kekasihnya setelah sekian lama. Yudhistira Damar, pemuda yang digadang-gadang sempurna itu rupanya memiliki kelemahan juga. Bergelut dengan Aay, adalah salah satunya.

Aghniya tak bisa menahan sudut bibirnya agar tak mengembang kala melihat raut wajah frustrasi tercetak jelas di wajah tirus Damar. Sesekali lesung pipinya terlihat—bukan karena tersenyum, melainkan karena Damar memincingkan bibir guna memikirkan cara apalagi yang harus ia lakukan supaya Aay tenang.

Mazaya, atau yang lebih akrab disapa Aay, gadis kecil berusia tiga tahun yang merupakan anak dari Tante Rahma. Salah satu tetangga Damar yang sangat dekat dengan keluarganya. Sewaktu Damar kecil, Tante Rahma pun sering membantu ibu untuk menjaganya. Itulah yang membuat ibu tak segan mengiyakan permintaannya Tante Rahma untuk menjaga Aay, buah hati satu-satunya.

Di keluarganya, Aay bagaikan permata. Dijaga mati-matian sebab sang ibu pernah sulit mendapat keturunan. Kemudian yang mahakuasa memberi hadiah kepada keluarga kecil Tante Rahma pada usia pernikahannya yang ke-3. Lahirlah seorang Mazaya, bidadari kecil yang kehadirannya menghangatkan hati siapapun yang melihat. Termasuk Damar—setidaknya sebelum gadis itu berumur tiga tahun.

Puas melihat Damar kesulitan mengejar Aay ke segala penjuru, Aghniya akhirnya mengetuk pintu. Gadis itu mengucap salam dengan suara agak keras, membuat Damar yang sedang berlutut dan Aay yang sedang cemberut itu menoleh ke arahnya. Aay yang tiba-tiba sumringah melihatnya, dan Damar yang tiba-tiba merebahkan diri di lantai dengan helaan napas lega membuat Aghniya tak bisa menahan tawanya.

“Kakaaaaakkk!!” seru Aay seraya berlari dengan langkahnya yang kecil. Kedua tangannya direntangkan sebisanya, bersiap memeluk Aghniya. Inisiatif, Aghniya balas merentangkan tangannya dan lekas membawa Aay ke dalam pelukannya sebelum akhirnya menggendong gadis cilik itu.

“Haaaaii!” balas Aghniya. “Aay udah mam?” tanyanya kemudian, basa-basi.

“Udah lah, lo kan tau gue dicolok garpu,” balas Damar keki, masih dalam posisinya menempelkan punggung kekarnya di lantai.

“Kakaak, Mash Damarnya nakal,” adu Aay. Memantik ketidakterimaan dalam dada Damar. Pria itu bahkan bangkit dari posisinya, “Kok jadi aku yang nakal? Emang aku ngapain?”

Aay menenggelamkan wajahnya di ceruk leher Aghniya, kedua tangannya ia gunakan untuk memeluk leher jenjang sang 'kakak perempuan'. “Aay tadi dimasukin kardus sama Mas Damar tau, Kak! Katanya mau dibuang pake kapal laut biar Aay nggak di sini lagi,” ucapnya sedih.

Damar terkejut untuk sesaat, sekon berikutnya pemuda itu pun terkikik geli. “Abis tadi Aay juga nakal, tangan Mas Damar tadi diapain coba? Dicolok garpu kan? Terus Mas Damar dipukul pake mangkok Aay, nakal kan?”

Aay menoleh defensif, “Tadi kan gara-gara Mas Damar iseng! Mangkok Aay digeser-geser! Terus tadi nakut-nakutin Aay ada tikus ya Aay gebuk!”

“Ooh gituuu,” ucap Aghniya. Menyerobot kesempatan bagi Damar untuk kembali membalas. Aghniya bahkan mengisyaratkan Damar untuk berhenti melalui bola matanya yang membesar. Membuat Damar mau tak mau kembali merapatkan bibir.

“Iyaa, udah yaa? Jangan gitu lagi, oke? Maaf yaa, maafin Mas Damar ya?” ucap Aghniya lembut seraya mengusap punggung Aay yang masih erat memeluknya. Namun Aay menggeleng, menolak keras memaafkan Damar. Sepertinya gadis itu membaca kebencian yang dipancarkan Damar terhadapnya. Maka ia pun memilih untuk mengibarkan balik bendera perang bagi Damar.

“Ay, Mas Damar kan temennya Aay tauu. Kalo Mamanya Aay pergi kan Mas Damar yang jagain Aay. Iyakan?” tanya Aghniya lembut. Aay terdiam cukup lama, hingga akhirnya mengangguk meski ragu-ragu.

“Nah, iya. Berarti Mas Damar itu temennya Aay, loh! Nah, kalo sama temen, kita nggak boleh musuhan, Ay. Kalo temennya buat salah, bikin Aay kesel, bikin Aay sedih, dimaafin ya?” ucapnya lagi.

Damar semakin percaya Aghniya adalah seorang peri yang menyamar. Gadis itu dengan kata-katanya memang selalu ajaib. Bahkan anak kecil yang menurut Damar memiliki kadar brutal sangat tinggi bisa menurut bagaikan tersihir oleh kalimat yang dikeluarkan kekasihnya itu. Damar tersenyum dalam hati. Menikmati hangat yang menelusup diam-diam mengisi celah antar relungnya. Terlebih ketika Aghniya kini mendekat ke arahnya, turut berlutut di hadapannya dengan Aay yang masih berada dalam dekapannya.

“Tuh, Mas Damarnya mau minta maaf,” ucapnya. Kemudian dengan senyum tipis, Damar mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan dengan tangan mungil milik Aay.

“Maaf ya, Aay,” ujar Damar. Sembari cemberut, Aay membalas jabatan tangan Damar. Kemudian ia mengangguk setelahnya.

Namun tak selesai sampai di situ, Aghniya rupanya masih memberi Aay pelajaran. “Tadi kan Mas Damar bilang katanya Aay ngapain ya? Nyolok Mas Damar pake garpu, mukul kepalanya Mas Damar, iya ya?”

Aay menatap Aghniya sesaat, netranya berubah berkaca-kaca. Sempat Damar menangkap raut wajah ketakutan menguar dari Aay, namun sirna setelah Aghniya menggeleng seraya tersenyum dan berucap seraya mengelus surai halus Aay. “Nggak apa-apa, ngerti kok kalo Aay marah. Nggak suka digangguin, dijailin. Tapi nggak boleh kayak tadi lagi ya? Nanti Mas Damarnya sakit gimana? Besok-besok, nanti-nanti, kalo Aay nggak suka digangguin Aay harus bilangnya baik-baik ya? Mas Damar pasti ngerti, kok. Okee?”

Aay yang masih mendongak menatap Aghniya itu kemudian mengangguk. Membuat Aghniya tergelak lantaran gemas. Sekon berikutnya, perempuan yang lebih dewasa itu menangkup wajah Aay. Masih dengan tutur kata yang lembut, berbeda dengan biasanya, Aghniya kembali bicara. “Berarti Aay harus minta maaf juga nggak ke Mas Damar? Kan tadi udah mukul sama nyolok garpu,” ucapnya.

Lagi-lagi Aay mengangguk. Aay kemudian menoleh ke arah Damar yang juga menatapnya dengan sebelah alis terangkat. Detik berikutnya, suaranya yang imut itu terdengar. “Maaf ya, Mas,” ucap Aay. Dijulurkannya tangan mungil itu kembali ke hadapan Damar.

“Iyaa, nggak apa-apa Aay.” Damar dengan senang hati menyambut uluran tangan Aay. Diterimanya pula permintaan maaf Aay dengan senyuman tertahan lantaran gemas yang masih gengsi untuk ia akui. Bagaimana tidak gemas? Berjabat tangan dengan Aay sama saja menggenggam seluruh kepalan tangannya. Membuat Damar tak punya pilihan selain harus menggigit jari agar tak menghabisi Aay dengan cubitan gemasnya.

“Ay,” panggil Damar. Gadis kecil yang kini sudah kembali memamerkan tawa riangnya sebab digelitik oleh Aghniya itu menoleh ke arahnya. “Jalan-jalan sama Mas Damar mau nggak?”

Aay terdiam. Bibirnya dimajukan, menjadi perwakilan sang empunya yang sedang berpikir menimang jawaban. Cukup lama, hingga gadis itu akhirnya merespon ucapan Damar.

Aay menggeleng keras, “Nggak mau, ah! Mas Damar kepalanya BAU!”

Tatapan yang kini nanar itu diarahkan pada seseorang yang selalu didambakan untuk berjumpa oleh empunya. Satria, pria itu kini menggantikan Azriel untuk menjaga Yasmine yang masih ingin 'beristirahat' lebih lama. Di luar, menunggu dengan gundah yang sama besarnya dengan miliknya, turut serta Wilona, Haikal, dan juga Elzan. Ketiganya pun ingin tahu kabar Yasmine, namun memprioritaskan Satria yang memang menaruh hati pada adik Azriel satu-satunya itu.

Pria dengan kemeja berlengan pendek hijau yang sengaja ia jadikan luaran atas kaus hitamnya itu meletakkan tangannya di tepi kasur sembari sesekali memundur-mundurkan kedua tangannya. Takut-takut akan menyentuh milik Yasmine yang terkulai lemas meskipun ia benar-benar ingin menggenggam tangan Yasmine. Akhirnya setelah perdebatan panjang dengan batinnya sendiri, Satria mendekatkan jemarinya pada buku jari telunjuk Yasmine. Hanya berani mengelusnya perlahan.

Sebelah tangannya kembali ia tarik untuk menopang dagunya sendiri, sementara punggungnya merosot bungkuk. Lemas seakan tanpa tulang, berbanding terbalik dengan Satria biasanya yang selalu berdiri tegak layaknya seorang pangeran yang ditatar untuk selalu memiliki postur tubuh yang baik.

“Yas,” panggilnya. Matanya mengikuti ke mana jarinya berada, memperhatikan gerakan jemarinya sendiri yang mengelus sendi-sendi jari jemari Yasmine. “Kangen,” sambungnya.

“Kekhawatiran gue sama Bang Jiel selama di sana, sama, Yas. Lo adalah alesan kami nggak betah di sana. Setiap hari gue ngeliatin Bang Jiel, dia—” Satria menggantung ucapannya. “Gue tau sorot matanya, pikirannya Bang Jiel selalu terpusat ke lo, Yas.”

“Gue juga..” lirihnya kemudian.

Sekon berikutnya ia mengulum senyum yang dipaksakan, menepis segala penyebab air matanya menerobos tiba-tiba. Ia berusaha menguatkan diri sebab benaknya mengingatkan, pasti Yasmine tak ingin dirinya bersedih. Narsis, tapi boleh juga usahanya untuk menguatkan diri.

Seperti orang yang memiliki perubahan suasana hati cepat, senyumnya seketika luntur. Berganti dengan ekspresi wajah meratapi dirinya sendiri. “Padahal gue udah susun banyak-banyak rencana buat ngajak lo jalan-jalan tau, Yas,” getir Satria.

“Gue dikasih tau cafe lucu sama Bang Adam, dulu dia sering ke sana sama mantannya. Jadi gue berencana ngajak lo ke sana juga. Terus, kita bisa naik MRT biar lo bisa merasa kita lagi menjalankan sebuah petualangan. Gue juga mau ngajak lo ke Kebun Raya Bogor biar lo bisa merasa kayak Alice in Wonderland yang lagi berkelana.” Satria tak henti-hentinya meracau. Kemudian entah segenap keberanian dari mana, ia menggenggam jemari Yasmine.

“Lo.. capek banget ya, Yas?” tanya Satria yang ia sendiri tahu tak akan mendapat jawaban. Pria itu mengembuskan napas, “Gue jadi mikir, selama ini gue minta lo bertahan. Gue berdoa supaya lo tetap sehat dan hidup. Jatohnya gue egois nggak ya, Yas? Padahal gue nggak pernah tau rasanya jadi lo, gue nggak ngerti gimana beratnya hari-hari lo, gue nggak pernah tau gimana usaha lo menjalani satu hari penuh. Tapi gue tetep asik aja minta sama Tuhan supaya lo nggak ninggalin gue. Jatohnya egois nggak ya, Yas?”

Lagi-lagi terdengar helaan napas dari Satria. Netranya kini beralih pada wajah tirus Yasmine, menatapnya tulus dengan binar berkilauan di bola matanya. Entah mewakili cintanya atau lelaki itu justru berkilat menahan tangis. “Yas,” panggilnya. Suaranya bahkan bergetar sekarang.

“Semua orang taunya gue bercanda. Mungkin satu dunia menganggap begitu..” lagi-lagi Satria menggantung ucapannya. “But i love you, i really do.”

Air matanya menetes ketika bibirnya berhasil meloloskan kalimatnya hingga selesai. Satria segera mengusapnya dan berusaha mengembalikan perasaannya pada keadaan netral agar tak menjadi pertanyaan teman-temannya yang menunggu di luar. “Gue.. pamit dulu ya, Yas. Nggak enak sama yang lain, mereka juga mau ketemu lo,” ucapnya. Seulas senyuman tipis dilayangkan kepada yang dicinta meski Yasmine tak membalas. Satria tidak keberatan, ia kemudian menggenggam pelan tangan Yasmine dengan sedikit meremasnya pelan. Sebagai terakhir kali sebelum ia benar-benar melenggang keluar ruang rawat yang terisi banyak alat untuk menyokong kesehatan Yasmine agar kembali pulih.

Satria menutup pintu sebelum akhirnya berbalik, berniat menghadap teman-temannya. Namun alih-alih Haikal, Elzan, dan Wilona, yang ia temukan justru adalah ayah Yasmine yang baru saja datang. Membuat wajahnya menampilkan ekspresi bingung dan terkejut yang seakan berbalapan.

“Eh, ada Satria,” sapa ayah. Mau tak mau Satria tersenyum dan menepis bingungnya jauh-jauh. Sebagai anak yang tahu sopan santun, Satria kemudian meraih tangan ayah untuk kemudian ia kecup sebagai tanda hormat. “Iya, Om. Baru dateng?”

Ayah mengangguk, setelahnya celingak-celinguk, “Kamu sendirian? Azriel mana?”

“Enggak, Om. Tadi sama temen-temen yang lain, mereka juga mau jenguk Yasmine. Cuma nggak tau nih, pada ke mana. Bang Azriel tadi pulang dulu, saya yang suruh. Soalnya kayaknya udah lesu banget, Om, biar istirahat dulu aja yang enak di rumah,” jelas Satria panjang lebar. Ayah hanya membalasnya dengan anggukan paham disertai senyuman puas. Mungkin sedikit berbahagia melihat ada seorang lain yang rela untuk bisa diandalkan.

“Terima kasih banyak ya, Satria,” ucap ayah.

Satria mengibaskan tangannya di depan wajah, mengisyaratkan apa yang ia lakukan bukanlah apa-apa. Toh, ia juga bukan sehabis menyelamatkan dunia. “Nggak perlu makasih, Om. Gimanapun juga saya, sama Yasmine, sama Bang Jiel berteman cukup baik. Jadi selama saya bisa bantu, saya pasti bantu,” pungkasnya.

Tak ada jawaban dari ayah, membuat Satria berinisiatif membukakan pintu. Menawarkan pria paruh baya di hadapannya menengok sang anak. “Om mau masuk?”

Ayah mengangguk cepat, lupa akan niatnya. “Iya, Om masuk dulu ya?”

“Iya, iya, Om. Silakan,” ujar Satria. Kemudian ia membukakan jalan untuk ayah dengan menyingkir dari hadapan pintu. Setelah dengan decakan penuh sebal ia menyusuri koridor rumah sakit dengan langkahnya yang menggebu-gebu. Kesal sebab teman-temannya benar-benar meninggalkannya tanpa kabar.


“Yas? Adek?”

Ayah bergumam seraya mengerjapkan bola matanya tak percaya. Melihat putrinya menatap balik ke arahnya. Namun seseorang di seberangnya, Yasmine, jauh lebih terkejut mendapati sang ayah memasuki ruangan. Kemudian apa tadi? Apakah telinganya berfungsi dengan baik? Ayahnya memanggilnya apa tadi?

“Adek?” ulang Yasmine lirih. Alih-alih memberi jawaban, ayah justru mempercepat langkahnya menghampiri Yasmine. Meraih kedua bahunya, ayah menatapnya penuh binar. Tatapan yang tak pernah sampai pada Yasmine selama ini. Seakan tak berhenti membuat Yasmine merasa seperti sedang bermimpi, ayah turut membelai halus surai hitamnya yang terasa lengket sebab entah berapa hari tak ia cuci.

Yasmine hanya terdiam kaku, menatap sang ayah dengan matanya yang berkaca-kaca. Namun tangisnya masih tertahan dengan baik, mungkin terhalang benaknya yang masih berusaha mencerna semuanya dengan baik. Apakah sekarang ia terbangun dan memasuki sebuah realitas dunia yang lain di mana dirinya adalah anak kesayangan ayah?

Arah pandang Yasmine mengikuti ayah yang kini menarik kursi mendekat ke arah tempat tidurnya. Menimbulkan bunyi decitan yang mengilukan telinga sebab gesekan kursi besi dengan lantai. Yasmine yang kini bersandar dengan bantal yang sempat ia tinggikan dengan segenap usaha dan tenaganya yang belum sepenuhnya pulih itu kini berhadapan dengan lelaki yang selama ini ia kenali sebagai ayahnya.

Ayah berdeham ketika sudah duduk dengan nyaman. Sesaat sesudahnya ekspresi ayah berubah. Menampakkan jelas sorot matanya yang meredup, kilatan bahagia yang tadinya terpancar kini tersingkir. Tergantikan dengan pancaran kecewa, sedih, marah—hancur.

“Adek—pipinya masih sakit?” tanya ayah.

Yasmine nyaris bergidik merasakan canggungnya berbicara dengan ayah yang kini mengeluarkan tutur lembut. Tak ada hardikan, tak ada sorot mata yang seakan menyambarkan petir pada sekujur tubuh Yasmine, tak ada tangan yang senantiasa melayang di udara bersiap untuk menamparnya habis-habisan karena masalah kecil sekalipun. Namun Yasmine hanya menggeleng kecil. Membuat Ayah sudut bibir ayah tertarik perlahan seiring sang empunya mengangguk kaku.

Telunjuk ayah diarahkan pada sudut bibirnya sendiri. Membuat Yasmine menelisik lebih dalam, ada area kebiruan khas orang yang sehabis ditinju preman. Luka lebam dari mana itu?

Jawabannya segera ia temukan ketika sang ayah kemudian tertawa seraya mengelus wajahnya yang terluka. “Tamparan Ayah ke Adek waktu itu udah dibales Mas Jiel, tenang aja,” ucap ayah. Masih dengan setia memamerkan senyum yang tak pernah menjadi hadiah bagi Yasmine sejak kecil.

“Ayah minta maaf, Adek.”

Senyum ayah sirna. Entah berapa banyak topeng yang ayah kenakan hari ini, Yasmine menerka-nerka sendiri mengingat betapa cepat perubahan ekspresi ayah di hadapannya saat ini. Ayah seperti mesin undian tiket yang biasa ia mainkan dengan Azriel. Yang ketika dijalankan akan memutar acak berapa banyak tiket yang akan mereka dapatkan. Bedanya, ayah adalah mesin undian ekspresi yang ketika dijalankan akan memutar acak ekspresi apa yang akan ditampilkan pada sekon selanjutnya.

“Ayah minta maaf,” ulangnya. Seakan ingin membuktikan pada siapapun yang melihat bahwa ayah benar-benar tulus mengucapkannya. Terutama pada Yasmine yang kini masih terpaku dan enggan membuka suaranya.

“Banyak waktu yang terbuang, Ayah nggak bisa beli lagi dengan harga tawaran setinggi apapun. Ayah akan sangat mengerti kalo Adek marah, atau gantian benci Ayah,” tukas ayah. Kini Yasmine tak punya pilihan untuk mendengarkan dengan baik dan tidak memotong. Sebagaimana pesan bunda yang selalu berkumandang di telinganya sejak kecil. “Ayah benar-benar minta maaf, Yasmine. Mewakili semua orang di keluarga Ayah yang selalu menganggap Yasmine nggak ada di dunia ini, yang selalu menganggap Yasmine jauh di bawah dan pantas diinjak. Eyang Putri, semua adik-adik Ayah beserta suami atau isterinya. Semua. Ayah minta maaf atas nama diri Ayah sendiri dan mereka semua, keluarga besar Ayah,” lanjut ayah.

“Maaf dari kecil Ayah selalu mengalihkan pandangan Ayah dari Adek dan cuma fokus sama Mas Jiel.” Terlihat raut wajah yang memancarkan ragu untuk menyambung kalimatnya sendiri.

“Bukan karena Adek nggak bersinar, justru karena Adek adalah anak Ayah yang paling bersinar. Sinar Adek selalu paling terang, tapi kebencian dan dendam Ayah yang terlalu ganas—gelap, sampai-sampai sinar Adek selalu tertolak sama Ayah,” pungkas ayah kemudian.

Yasmine masih diam. Namun tak bisa ditampik bahwa hatinya yang sudah hancur berkeping-keping itu terasa seperti kembali pulih. Seakan digantikan dengan yang paling baru. Bahkan lebih kokoh dari sebelumnya.

“Ayah sudah bicara dengan keluarga besar yang lain. Bahwa ini waktunya perubahan. Kita nggak bisa terus-terusan menghidupkan tradisi keluarga yang mencelakakan anggotanya sendiri. Bukan cuma Adek, tapi semua. Ya—tapi jelas Adek yang paling menderita. Ayah minta maaf karena Adek harus ngalamin semua ini karena pemikiran keluarga Ayah yang—bodoh,” ujar ayah. Sudut bibir Yasmine berkedut melihat ayah yang kini menunduk. Jelas terlihat bahwa ayah merasa bersalah hingga menusuk relungnya sendiri. Yasmine membatin, ia paham rasanya.

Yasmine tebak, saat ini mungkin terputar di dalam benak ayah suara-suaranya sendiri yang menggema di kepala. Selayaknya kaset rusak yang terus memutar pertanyaan yang semakin menenggelamkan dirinya ke dasar penjara paling gelap dalam dirinya sendiri. Terkurung dengan kekecewaan terhadap diri sendiri. Dikutuk oleh rasa bersalah teramat dalam. Ayah macam apa dirinya? Pantaskah ia disebut sebagai seorang ayah?

Bagaimana bisa seorang pemimpin dalam keluarga membiarkan salah satu anggotanya tertinggal sangat jauh hingga tak pernah merasakan rangkulan hangat bernama keluarga?

Tidak becus! Harusnya Yasmine memiliki ayah yang lebih baik!

“Yayas anak Ayah. Dari dulu begitu. Kalau Yayas mau tau, Ayah yang kasih nama Yasmine dulu. Ayah siapkan dari jauh-jauh hari, siap menyambut Yasmine dan Yazid datang ke bumi. Ayah dulu senang bukan kepalang, begitu juga Eyang Putri dan Eyang Kakung. Tapi itulah manusia, terlalu senang berharap terlalu tinggi sampai lupa kalau tetap Tuhan yang punya kuasa. Akhirnya luput dari rasa syukur dan menikmati kekecewaan yang mendalam, sampai nyaman dengan dendam dan kebencian akan takdir yang sudah ditulis dengan sangat baik oleh yang mahakuasa,” tukas ayah.

“Yasmine Arthawidya Cantika, putri Ayah satu-satunya. Mulai sekarang Yasmine nggak boleh menghindar. Ini!” ucap ayah menyodorkan sebelah telapak tangannya yang ia buka lebar-lebar di hadapan Yasmine. “Ini, gandeng tangan Ayah kalau Yasmine takut nggak diterima. Karena, Dek, sekarang kalau mereka nggak mau nerima kamu, kita akan pulang sama-sama. Kalau mereka masih mau bertahan pada adat kolotnya, kita pulang sama-sama. Adek nggak perlu lari lagi sendirian. Tapi kita pulang sebagai anggota keluarga yang sama-sama nggak diterima.”

“Yasmine anak Ayah, sama kayak Mas Jiel. Ayah bangga sama Adek, Ayah nggak benci sama Adek. Ayah—sayang sama Adek. Sama besarnya dengan cinta yang selama ini dihujankan di atas kepala Mas Jiel. Sama.” Menyingkirkan semua pertahanan kokohnya, ayah membiarkan dirinya runtuh di hadapan sang putri. Air matanya luruh membasahi pipi, beserta isakan pilu. Membuat Yasmine mau tak mau ikut kehilangan pertahanan. Wajah datar yang sedari tadi ia pajang kuat-kuat akhirnya lengser juga dari hadapan ayah. Yasmine turut menangis. Ucapan ayah membuatnya kalah telak.

“Ayah,” panggilnya. Yasmine menggeleng pelan, “Yayas nggak akan benci Ayah. Karena akan lebih banyak waktu yang harus Ayah bayar nantinya. Cukup hari ini Ayah melihat ke arah Yayas, menganggap Yayas juga bagian dari anggota keluarga Ayah, anak Ayah. Itu—udah lebih dari cukup untuk membayar semuanya. Terima kasih, Ayah. Yayas lega sekarang.”

Andai Yasmine tahu, bahwa sang ayah jauh lebih merasa lega. Seakan sesuatu yang membuat paru-parunya terasa sempit sejak beberapa hari lalu hilang seketika. Seakan seluruh beban di dunia ini lenyap tak bersisa. Bahagia bukan kepalang, ayah menarik Yasmine ke dalam dekapan pertamanya setelah bertahun-tahun. Dekapan hangat yang selama ini selalu menjadi angan bagi putri satu-satunya di rumah. Setelah belasan tahun hidup di dunia, hari ini akhirnya Yasmine merasakan bersandar di dada paling hangat di dunia. Hanya dalam hitungan sekon, pelukan ayah menjadi tempat paling nyaman dalam hidup Yasmine. Mengalahkan Azriel dan bunda.

Bukan lagi Azriel, bukan lagi Eyang Kakung, apa lagi Satria. Hari itu Yasmine tidak peduli catatan waktu, ayah otomatis menjadi cinta pertamanya meskipun terlambat bertahun-tahun.

Yasmine anak Ayah, sama kayak Mas Jiel. Ayah bangga sama Adek, Ayah nggak benci sama Adek. Ayah—sayang sama Adek. Sama besarnya dengan cinta yang selama ini dihujankan di atas kepala Mas Jiel. Sama.

Kalimat itu terus menggema di kepalanya. Yasmine tersenyum disela tangisannya mendengar kalimat yang ia selalu nantikan. Mendengar kalimat yang selama ini terasa seperti legenda yang rasanya bahkan tidak memiliki kemungkinan untuk terwujud. Kalimat itu terus menggema di kepalanya, dan tentu Yasmine akan selalu membiarkannya begitu. Yasmine akan membiarkan kalimat itu terus menggema di kepala, memantul pada setiap bagian tulang oksipital. Mendekam selamanya di sana, bahwa hari ini ketika kedua matanya kembali terbuka, mata ayah pun terbuka sama lebarnya.

Yasmine kasat mata. Ayah akhirnya melihat ke arahnya. Terbuka. Mata ayah sudah terbuka. Semoga selamanya begitu.

Sebuah lekukan simpul terpatri di wajahnya ketika dua netranya menangkap ransel yang ia kenali lantaran sering menyelundupkan snack cokelat ke dalamnya setiap pagi. Sengaja, Haris kemudian meletakkan miliknya di sebelah ransel yang tersandar di kursi panjang tempat semua anggota basket mengumpulkan ranselnya.

Hari ini adalah hari pertama ia kembali mengikuti kegiatan ekskul setelah sekian lama. Penyebab wajahnya berseri semenjak bel sekolah berbunyi, sebab akhirnya ia bisa bercengkerama kembali dengan yang didamba.

Sesaat kemudian ia memasukkan seragamnya yang sudah berganti dengan kostum basket ke dalam tas. Posenya yang membelakangi lapangan membuat seseorang dengan mudah menyerangnya dari belakang.

“ANJING, DINGIN BANGSAT!” umpat Haris seraya bereaksi cepat menangkap pelaku yang menempelkan es batu tepat di tengkuknya. Matanya menangkap Ojan dan Dhimas yang asyik tertawa dengan tampang watados-nya. “Abis ibadah udah mengumpat lagi aja lo, Ris, Ris. Banyak-banyak minta ampun sama yang Mahakuasa,” balas Ojan.

“Jorok lu! Es batu bekas emut nggak tuh?” omel Haris.

“Iya bekas emut Ojan, katanya biar lo nurut sama dia jadi ditempelin,” sahut Dhimas.

Haris membelalak, “DEMI?”

“Kagak lah, anjrit! Es batu bekas es teh tapi,” balas Ojan. Setelahnya Haris hanya berdecak sebal seraya melepas sepatunya. Melihat itu, Ojan segera mencegah aksi Haris.

“Eh lu ganti baju nggak ngajak-ngajak gue, Ris! Nggak setia kawan lo!” tuduh Ojan. “Males ngajak lo, ngeri diintipin,” jawabnya dengan wajah yang masih jelas tersinggung akibat ulah jahil Ojan dan Dhimas beberapa sekon yang lalu.

“Iihh sembarangan! Yey kira kita cowok apaan?” sengit Ojan dengan nada dan gestur yang dibuat gemulai. Membuat gelak tawa di sekitarnya menguar.

“Ya udah, lah! Gue ganti baju dulu. Titip tas gue, Ris. Ada pusaka emak gue tuh,” ujar Ojan.

“Apaan pusaka emak lo?” tanya Dhimas penasaran.

Bukan Jauzan Narendra jika tak ada jawaban nyeleneh yang keluar dari mulutnya barang sekali. Mengingat kata Damar, dunia justru baik-baik saja jika Ojan tetap pada jalurnya yang selalu nyeleneh.

Pria berbahu lebar itu terkekeh sebelum menjawab, “Tupperware.”

Tawa Dhimas dan Haris kembali menyembur. “SI BANGSATTTTTTT! GUE KIRA APAAN!” balas Dhimas.

Ojan berdecak seraya mengerucutkan bibir, manyun. “Ck! Lo nggak tau sih, Dhim. Ini nyawa terakhir gue nih,” balas Ojan seraya menunjukkan botol minum miliknya. “Gue udah ngilangin lima tau, kata emak gue kalo ini ilang gue bakal dicoret dari kartu keluarga.”

Helaan napas terdengar dari Ojan, “Dah lah, cukup mendengarkan kisah sedih keluarga gue. Gue mau ganti baju dulu.”

“Kita justru bahagia sih kalo lo dicoret dari kartu keluarga lo,” canda Haris. “Seluruh dunia berbahagia pasti,” timpal Dhimas.

“SSSSSSSSAITONIROJIM NI EMANG MAKHLUK DUA!”


Seperginya Ojan untuk berganti baju, Dhimas pamit untuk pulang sebab ia tak ada kegiatan. Menyisakan Haris yang kini duduk sendirian seraya memainkan ponselnya. Menggulirkan layar ke atas, berselancar dengan gawai memandangi timeline aplikasi burung biru guna membunuh waktu. Sesekali ia terkikik geli lantaran menemukan video-video lucu yang seliweran di beranda akun miliknya.

“Ya Allah dongo banget,” ujarnya bermonolog, mengomentari video seorang anak kecil yang kepalanya tersangkut di pipa. Haris masih terkikik geli hingga tak menyadari seseorang sudah mengisi tempat di sebelahnya.

“Kakak, permisi..”

Haris sontak menoleh. Sesaat ia terdiam ketika netranya menangkap seorang yang sedari tadi ia tunggu. Sekon berikutnya ia mengerjapkan mata, kemudian menggeser tubuhnya agar gadis itu dapat meraih ranselnya yang sempat terhalang tubuh tegapnya. “Oh, iya iya silakan,” balas Haris.

“Kok belom ganti baju?” tanya Haris lagi. Tepat setelah itu, Gia yang masih berseragam lengkap itu kemudian mengeluarkan kaus dan celana basketnya dari dalam tas. “Ini mau ganti baju, tadi abis kerja kelompok dulu bikin video,” balasnya.

“Ohh gitu. Video apa?”

“Ngejelasin bentuk-bentuk bakteri gitu, tapi dibentuk beneran pake lilin,” balas Gia. “Seru deh, Kak main main lilin.”

“Iya iya, ganti baju dulu nanti keburu mulai,” balas Haris seraya terkekeh. “Nanti kita ngobrol lagi,” sambungnya. Sementara yang diajak bicara hanya menyunggingkan senyum sebelum akhirnya pergi untuk berganti pakaian.

Selang delapan menit, Gia kembali dengan setelan kaus dan celana basket. Wajahnya terlihat lebih segar, sepertinya gadis itu memang sengaja mencuci muka untuk menghilangkan raut lesu sehabis belajar selama enam jam lebih. Sementara kedua tangannya melakukan skill multitasking ala wanita yang dapat memegang beberapa barang hanya dengan dua tangan. Tangannya penuh dengan setelan seragam, dasi, ikat pinggang, serta sabun cuci muka. Belum lagi, dari kejauhan Haris melihat seorang teman Gia mengembalikan buku catatannya yang tertinggal saat kerja kelompok tadi. Namun gadis itu tetap menghampirinya dengan gelagat santai, menepis semua dugaan Haris yang menyatakan bahwa Gia kerepotan.

“Masih belom mulai, Kak?” tanya Gia. Kemudian mulai melipat seragamnya dengan rapi sebelum memasukkannya ke dalam tas bersama dengan perlengkapannya yang lain.

Haris menggeleng, “Belom, Kak Vio juga belom ada dari tadi.”

Gia hanya ber-oh-ria menanggapi Haris. Setelahnya ia mengambil tempat tepat di sebelah Haris dan mulai memakai sepatunya dengan benar. Selesai dengan sepatunya, Gia mematung sesaat kala mendapati Haris menyodorkan sebungkus biskuit cokelat di hadapannya.

Sebelah alis Gia terangkat, namun perkataan Haris membuatnya langsung paham maksud pemuda itu. “Kan tadi pagi belum,” ucap Haris membuat Gia lantas menerima pemberiannya dengan sukacita.

“Makasih loh, Kak,” ucap Gia riang. “Sama-sama,” balas Haris. “Tapi mejret, Gi. Lupa tadi tasnya dipake tidur sama Ojan.

Gadis dengan rambut hitam panjang yang terkuncir rapi itu kemudian memperhatikan beng-beng di tangannya dengan seksama. Memang tidak terlihat seperti bentuk yang seharusnya. Biskuit cokelat berbungkus merah yang diberikan Haris itu terlihat gepeng pada beberapa sisi. Namun Gia tak mempermasalahkan, gadis itu justru tertawa tatkala menyadari bentuk beng-beng yang gepeng. “Ahahaha iya, nggak apa-apa. Nanti dimakan juga sama aja ancur,” balas Gia.

Haris tersenyum menanggapi. “Tadi kerja kelompok sama siapa? Zahra?” tanyanya. Berusaha tetap menciptakan obrolan di antara keduanya. Sudah lama tak bertemu, lama tak memiliki momen bersama, membuat Haris tak ingin membuang kesempatan sia-sia. Bahkan kalau bisa, Haris akan menahan setiap jam, menit, dan detik agar berhenti bergulir supaya dirinya bisa bertahan lebih lama dengan Gia.

“Iya sama Zahra. Sama ada satu lagi namanya Wili,” balas Gia. Tanpa Haris sadari bahkan gadis itu sudah memakan beng-beng pemberiannya sembari menatap kosong ke lapangan.

“Curiga nggak, Kak, kalo Wili sama Jara tuh jodoh?” celetuk Gia. Haris mengerutkan dahi, “Kenapa emang?”

“Mereka sering banget tau satu kelompok. Ya, absennya emang deketan sih. Tapi kalo diacak nih, disuruh ngitung gitu misalnya. TETEP AJA MEREKA SATU KELOMPOK,” balas Gia lagi. Kali ini ceritanya lebih menggebu-gebu. Membuat sudut bibir Haris berkedut, mati-matian harus menahan gemas dalam diam.

“Kebetulan aja kali,” balas Haris.

“Lah, masa kebetulan berkali-kali sih, Kak? Kata saya mereka beneran jodoh,” balas Gia sengit. Kukuh dengan pendiriannya.

“Lah, kita juga sering ketemu di situasi yang sama. Kamu nggak curiga kita beneran jodoh juga?” balas Haris.

Telak. Ini kekalahan telak bagi Gia. Selain berhasil salah tingkah akibat detak jantungnya yang tiba-tiba meledak mendengar balasan Haris, Gia pun tak punya argumen lagi untuk membalas perkataan Haris. Gia lupa bahwa yang diajak bicara adalah salah satu anggota OSIS yang paling sering diandalkan sang ketua. Pasti pemikirannya jauh lebih kritis dibandingkan dirinya.

Kunyahannya berhenti, Gia mengalihkan pandangannya ke sembarang arah. Menghindari tatapan Haris yang tak luput darinya. Beruntung, selagi memikirkan strategi melarikan diri, pluit tanda kumpul bagi para anggota basket berbunyi. Gia kemudian memanfaatkan kesempatan itu untuk segera kabur. Buru-buru gadis itu membuang bungkusan beng-beng yang sudah tak berisi dan segera berlari ke lapangan. Meninggalkan Haris yang masih setia di tempatnya, memandangi Gia dari kejauhan dengan sebuah senyuman tertahan. Setelahnya ia terkekeh gemas dan akhirnya bangkit untuk bergabung dengan rekan ekskulnya yang lain.


“Gue abisin ya, Ris?”

“Iya abisin aja,” balas Haris dengan napas terengah-engah. Mengizinkan temannya untuk menghabiskan minumnya sebab ia tahu mereka sama lelahnya. Haris baru saja selesai bermain, pemuda itu berhasil menyelesaikan dua babak dengan membawa kemenangan bagi timnya.

Haris memilih untuk meluruskan kakinya di pinggir lapangan seraya mengipasi tubuhnya yang dicucuri keringat. Wajahnya bahkan sudah semerah kepiting rebus lantaran kelelahan. Kali ini adalah giliran Ojan bermain. Vio sebagai ketua ekskul memang sengaja memisahkan Haris dan Ojan yang memang sudah terlalu sering bersama. Agar keduanya beradaptasi dengan anggota yang lain, katanya.

Sebagai teman yang baik, Haris menyoraki Ojan ketika temannya itu memasuki lapangan. Kemudian mengacungkan dua jempol yang mengarah ke bawah sebagai tanda dukungannya. “Cupuuuu, cupuuuu!” ejek Haris, tertuju pada Ojan.

“CELANA LU KEBALIK EGEEE! ITU JAITANNYA DI LUAR GUOBLOK BANGET!” teriak Haris dari pinggir lapangan. Ojan tak menjawab, sebagai gantinya ia meletakkan tangannya di dekat telinga. Mengisyaratkan Haris agar mengulang perkataannya. “CELANA LU KEBALIK!”

Ojan menunduk untuk memeriksa kebenarannya, benar saja. Celananya memang terbalik dengan jahitan yang nampak jelas di luar. Namun, pertandingan akan segera dimulai. Artinya ia tak akan punya waktu untuk membenarkan celananya.

“DAH LAH RIS INI EMANG FASHION!” balas Ojan berteriak dari dalam lapangan seraya berkacak pinggang. Cuek dengan situasi celana terbalik yang ia alami. Toh, ia pun pernah mengalami yang lebih parah, alias ketika celana seragamnya harus robek sangat lebar hingga menampakkan seluruh bagian pahanya akibat main kuda reot. Setelahnya keduanya hanya terkekeh dengan Haris yang turut menggelengkan kepalanya. Walaupun sudah biasa, tetap saja tak habis pikir dengan kelakuan temannya.

Setelah sibuk menertawakan Ojan dengan segala tingkahnya di tengah lapangan, Haris kembali menyadari seseorang berjalan di dekat ring dengan langkah santai. Matanya membelalak sesaat, “Anggia kenapa sih suka banget lewat-lewat di pinggir lapangan kalo ada yang main basket? Kalo kegebok pingsan, Gi!”

Sementara yang diajak bicara hanya cengegesan, “Kan lagi ke sanaaa orang-orangnya, Kak!”

“Ya tetep aja!” balas Haris lagi. “Dari mana sih?”

“Beli mimi,” balas Gia seraya mengangkat botol plastik yang baru saja ia beli dari pedagang di depan sekolah.

“Kakak udah main?” tanya Gia lagi. Gadis itu kemudian mendudukkan diri di tempat kosong sebelah Haris.

“Udah, baru kelar. Kamu tadi duluan ya mainnya?”

“Iya, pertama banget tadi main,” jawab Gia seraya menyugar anak rambutnya yang berjatuhan membingkai wajahnya. Masih tersisa semburat merah pada kedua pipi marshmellow-nya sebagai sisa-sisa lelahnya, menambah kesan manis dari seorang Anggia Kalila Maheswari. Haris terpaku sesaat, seakan-akan otaknya mendapat serangan tanpa peringatan. Benaknya kini sibuk menampar dirinya sendiri agar tidak tertangkap basah oleh orang lain karena memandangi wajah Gia yang menurutnya tanpa cela.

Segala puji bagi Tuhan yang mahabaik. Mungkin sudah terlalu banyak manusia di muka bumi hingga sang pemilik bumi kemudian mengirimkan satu dari sekian banyak bidadari-Nya hingga Haris dapat menemukan salah satunya dengan mudah di depan mata.

“Kakak kok mainnya nggak bareng sama Kak Ojan? Tumben?” Gia kembali bersuara.

“Iya, dipisah sama Kak Vio. Udah keseringan bareng katanya.”

“Oohh. Tapi kalo Kak Ojan yang main rame banget ya, Kak kayaknya?”

Haris terkekeh sesaat sebelum akhirnya mengangguk menjawab pertanyaan Gia. “Dari dulu. Dari SMP setiap dia nongol di lapangan pasti selalu rame. Soalnya emang aneh aja orangnya, urat malunya udah putus juga sih,” sahut Haris.

“Oh, Kakak satu SMP sama Kak Ojan?” Gia bertanya dengan nada terkejut yang alami.

“Iya, mana sekelas mulu dari kelas tujuh. Rame banget udah,” balas Haris lagi.

“Bosen nggak, Kak temenan udah lama gitu?”

“Ini kamu wawancarain saya?” canda Haris. Gia tergelak, “Iya ini lagi siaran langsung, cepet jawab, Kak! Ditungguin pemirsa di rumah.”

Gadis itu kemudian mengangkat sikunya seakan-akan siku kanannya adalah sebuah kamera yang merekam jawaban wawancara Haris. Pria di hadapannya itu tertawa hingga memamerkan deretan giginya yang rapi. Sekon berikutnya kemudian ia menjawab, “Bosen sih enggak, cuma hampir gila aja. Bayangin malem-malem lagi santai di rumah, tiba-tiba Ojan minta tolong karena nyangsang di genteng rumahnya sendiri.”

“Nyangsang gimana, Kakk?”

“Dia suka nongkrong di genteng emang, tapi bapaknya suka bawa masuk tangganya diem-diem. Jadi dia nggak bisa turun,” jawab Haris.

Seakan menular, kini tawa Haris berpindah pada Gia. “Dari dulu, orang-orang sebenernya nggak ada yang mau temenan sama Ojan karena dia emang nggak jelas. Padahal sebenernya rugi banget kalo nggak kenal dia,” Haris berujar lagi.

Hening, Gia pun tak membalas lagi ucapan Haris. Ada sebagian hatinya yang tersentuh melihat seseorang yang begitu tulus membicarakan perihal seorang teman dengan mata berbinar. Membuat senyuman tipis terbentuk di sudut bibirnya tanpa ia sadari.

Setelahnya keduanya tak banyak bicara. Melainkan sama-sama sibuk menonton dan menyoraki Ojan di lapangan. Mendukung selebrasinya setiap kali timnya berhasil mencetak gol meskipun bukan merupakan hasil kontribusinya. Kata Ojan, Kalo bintang betulannya nggak mau bersinar, biar gue yang ambil alih.

“Lawak banget emang ni orang. Yang susah-susah ngegolin siapa yang selebrasi dia mulu,” ucap Haris seraya terkekeh. Pelan, namun rupanya cukup keras untuk sampai ke telinga Gia yang masih tak beranjak duduk di sebelahnya.

Gadis itu sontak menoleh dan menimpali, “IYA IHH MANA NYEBELIN BANGET SELEBRASINYA LAGI!”

Selepas itu, keduanya tak lagi bicara. Melainkan sama-sama fokus menonton pertandingan tim Ojan yang semakin sengit. Kali ini, Gia lebih banyak bicara. Gadis itu sudah seperti komentator pertandingan olahraga dengan jam terbang tinggi hingga selalu memiliki reaksi untuk setiap kejadian di lapangan.

“Ih curanggg! Masa dihalangin gitu emang boleh, Kak?”

“EH—ihhh kenapa sih mainnya emosi banget!?”

“Ih keren!”

“KAK OJAN KAMU KEREN BANGET AKU NGEFANS!!”

“Kak Vio jago banget deh..”

“Ih kenapa dia jatoh sendiri gitu? Aneh!”

Di sebelahnya, Haris terus memandangi Gia diam-diam. Menelisik setiap inci wajah gadis itu dari arah samping, sesekali sudut bibirnya berkedut ketika menangkap ekspresi Gia yang berubah-ubah seiring gadis itu mengomentari pertandingan.

Tiba-tiba Haris teringat dengan percakapannya bersama Dhimas kemarin. Perihal perasaan yang harus ia nyatakan entah kapan. Membuat Haris kembali bergelut dengan benaknya sendiri. Membiarkan isi pikirannya bertarung melawan satu sama lain, membiarkan kalimat paling natural—sebagaimana yang direncanakan—untuk pada akhirnya keluar jadi pemenang dan diucapkan bibirnya untuk mewakili perasaannya.

Suara Dhimas seakan menggema di kepalanya. Wejangan-wejangan Dhimas yang mengatakan untuk tidak menyatakan perasaannya secara dadakan dan mengagetkan itu seakan rekaman yang diputar berulang-ulang dalam indra pendengaran Haris.

Manusia berencana, tetapi tetap Tuhan yang menentukan hasil akhirnya. Dan hari ini, Tuhan menyatakan bahwa rencana yang sudah Haris susun bersama Dhimas, gagal total.

Fokus Haris terpecah begitu saja seiring Gia membiarkan tawanya memecah. Menampilkan raut wajah paling cantik yang berhasil membuat hatinya terpaut setelah sekian lama berdebu. Helaian-helaian rambut yang berjatuhan membingkai wajah, suara tawa renyah yang entah bagaimana caranya membuat hatinya menghangat, hingga netra teduh yang kini menyipit seindah bulan sabit, membuat jantung seorang Haris berdegup kencang. Suaranya bahkan tak hanya memenuhi relungnya, namun juga sampai pada kedua telinganya sendiri.

Membuat Haris rasanya ingin menyatakan pada dunia bahwa—

“Saya suka sama kamu, Anggia.”

Karena terlalu banyak bercanda, akhirnya Ojan harus mengalah pada banyak orang yang pada akhirnya menyerobot antrean wudunya untuk salat Zuhur saat istirahat kedua di sekolah. Bagaimana tidak? Alih-alih buru-buru mengambil wudu, Ojan malah sibuk menertawakan celananya yang tak kunjung tergulung lantaran terlalu longgar di bagian betis. Asal digulung, turun lagi. Digulung lagi, turun lagi. Kalau digulung lagi? Ya turun lagi. Membuatnya tak ayal menyemburkan tawa hingga susah berhenti.

Ojan akhirnya melipir dari antrean. Toh, ia pun sudah menerima banyak protes dari banyak massa di belakangnya. Toh, kalaupun ia teruskan mengambil wudu dan melaksanakan ibadah, pasti tak akan khusyu karena salatnya akan batal bahkan saat niatnya belum selesai dibaca. Namun bukan Ojan namanya jika kalah dengan keadaan. Masa cuma gara-gara celana terlalu longgar untuk digulung, dia menyerah begitu saja? Tentu tidak. Tidak akan.

Meninggalkan teman-temannya yang lanjut berwudu, Ojan menyelinap ke kantin. Setelahnya ia kembali dengan kedua sisi celana yang sudah tergulung—pada akhirnya. Ojan lantas memamerkan keberhasilannya pada Haris, Damar, dan Dhimas yang baru saja selesai wudu—hendak memasuki masjid untuk ikut salat berjamaah.

Guys, liat dong! Akhirnya celana gue bisa digulung!”

Ketiganya menoleh pada sumber suara. Tone suara dan intonasinya yang familiar membuat mereka tak perlu lagi menebak milik siapa suara itu. Keheningan serta raut-raut wajah bingung mendominasi selama sepersekian detik. Dan ketika sekon berganti, ketiganya tergelak bersamaan. Penyebabnya, tak lain adalah celana panjang Ojan yang kini sudah tergulung—lebih tepatnya dipaksa diangkat sebatas betis dan kemudian diikat pinggirannya oleh karet gelang merah yang termasyhur di kalangan penikmat nasi bungkus. Membuat dua buah kunciran model ekor kuda kecil kini menghiasi sisi kanan dan kiri kakinya. Kemudian dengan bangga Ojan berjalan seakan-akan dirinya adalah model yang membelah runway dengan pesonanya.

“Weh itu bulu kaki lu meronta-ronta minta dibebaskan!” ujar Dhimas seraya tertawa. Menunjuk bulu-bulu kaki Ojan yang terhimpit oleh celananya yang 'dikuncir'. Sementara yang diajak bicara hanya tertawa seraya dengan bangga tetap berkacak pinggang, memamerkan hasil karyanya yang revolusioner.

“Udah sana wudu, abis itu salat buruan. Nanti keburu bel! Jangan bercanda lagi ya!” titah Damar pada akhirnya. Kemudian mengajak Haris dan Dhimas untuk buru-buru masuk karena tanda mulai salat sudah dikumandangkan.

Haris membanting pelan sepatunya di depan koridor masjid. Menarik sedikit celananya, Haris kemudian duduk di atas lantai masjid yang digadang-gadang terasa sesejuk ketika melihat wajahnya yang masih basah terbasuh air wudu. Pemuda itu tak langsung memakai sepatunya, melainkan ia memilih untuk mengecek ponselnya sementara sembari menunggu Damar dan Dhimas yang belum selesai. Tiba-tiba, seseorang duduk di sebelahnya. Membuat Haris menoleh sepintas.

Rupanya Alwan, pria berbadan tambun yang tingginya nyaris setara dengan Haris itu menunduk hormat kepada sang kakak kelas sebelum memakai sepatunya. Melihat itu, Haris pun membalas sapaan Alwan dan memilih untuk memasukkan ponselnya ke dalam saku celana.

“Sendirian, Kak?” tanya Alwan. Haris tahu itu hanya basa-basi, namun mengingat ia memiliki suatu hal yang harus dibicarakan dengan Alwan, maka ia membalasnya dengan baik.

“Enggak, yang lain masih di dalem,” balas Haris, berusaha terdengar ramah. “Wan, saya mau nanya boleh nggak?” tanya Haris to the point. Ia tahu waktu pertemuannya dengan Alwan sangat singkat, maka ia memaksimalkan yang ada.

Pria bernama belakang Anggara itu terlihat bingung, namun pada akhirnya mengangguk juga. “Tanya apa, Kak?”

Haris menatap Alwan lurus, setelahnya ia mengerjapkan matanya ragu. Namun ia tetap pada pendiriannya, memaksimalkan waktu yang ada. “Yang laporin Gio waktu itu ke BK—kamu?” tanyanya.

Mengerti ke mana arah pembicaraan Haris, Alwan menghentikan aktivitasnya sejenak. Pandangannya kini ia fokuskan pada Haris yang nampak mengajaknya bicara serius. “Iya, Kak. Kenapa emangnya? Ada masalah lagi?”

Haris menggeleng cepat, “Oh, enggak. Nggak ada masalah kok, nanya aja. Soalnya saya kan diskors, jadi nggak tau apa-apa. Tiba-tiba pas balik lagi ke sekolah katanya Gio dikeluarin, terus katanya ada yang laporin dia ke BK. Jadi, penasaran aja.”

“Oh, iya, Kak. Itu saya yang laporin,” balas Alwan lagi. Sebenarnya, Haris ingin bertanya alasannya. Tetapi niatnya seakan maju-mundur di kepala. Setiap kali Haris ingin utarakan, ucapannya itu seakan tertelan kembali ke dalam tenggorokan.

Menyadari gelagat Haris yang tak biasa, Alwan mendahului niat Haris. “Masih ada yang mau ditanyain, Kak?”

Haris sontak menoleh, setelahnya ia terkekeh pelan. Malu, sebab rupanya niatnya terbaca dengan gamblang oleh lawan bicaranya. “Enggak kok, nggak ada. Cuma mau nanyain itu aja,” balasnya. “Sama—makasih banyak ya, Alwan. Meskipun saya nggak tau yang kamu lakuin itu ada kaitannya sama saya atau enggak, tapi yang jelas tindakan kamu itu sangat membantu untuk nyelesain kasus saya sama Gio. Jadi, makasih banyak,” ucap Haris lagi. Tulus dari dalam hati. Melupakan semua persaingan yang ia ciptakan sendiri antara dirinya dan Alwan, Haris benar-benar berterima kasih.

Di hadapannya, kini Alwan tersenyum seakan yang ia lakukan bukanlah apa-apa. Pemuda itu mengibaskan tangannya di depan wajah, “Ah, enggak, Kak. Saya bantu ngelurusin aja masalah Kakak karena waktu kejadian kebetulan saya ada di sana. Mungkin Kakak nggak sadar karena saya emang ada di seberang jalan, tapi saya denger semuanya. Saya liat semuanya. Sayang aja rasanya kalo saya tau yang sebenernya tapi diem aja dan ngebiarin fitnah yang menang.”

Haris tak pernah merasa kalah sebelumnya. Haris tak pernah merasa nyalinya ciut sebelumnya. Hingga hari ini, duduk di hadapannya seseorang yang lebih muda darinya. Namun soal isi kepala dan keberanian, keduanya sebanding. Bahkan Haris merasakan ada setitik nyali yang mengkerut di dalam dirinya. Malu, Haris malu akan kesombongannya sendiri. Masih pantaskah ia mengelu-elukan namanya sebagai satu-satunya yang pantas untuk memenangkan hati Gia sekarang? Sebab rasanya gadis itu sudah berada di tangan penjagaan yang tepat. Jauh lebih tepat dibanding dirinya.

“Gantian saya yang nanya, boleh, Kak?” tanya Alwan.

“Iya, boleh, tanya aja.”

“Kalo saya nggak salah tebak, kayaknya kita berdua—suka sama orang yang sama deh, Kak,” balas Alwan.

Skak mat!

Haris mendadak terjebak antara harus berpura-pura bingung atau benar-benar bingung. Alhasil, alis tebalnya bertaut. Dan belum sempat Haris bertanya, lagi-lagi Alwan mendahului niatnya.

“Kak Haris suka sama Gia, ya, kan?” ucap Alwan memastikan. Sementara Haris hanya diam, bibirnya terasa seperti dibungkam dengan perekat paling ampuh. Alwan benar-benar membombardir dirinya habis-habisan.

“Dari cara Kakak ngeliat dia, ngelindungin dia dari jauh, atau diem-diem kayak waktu kejadian sama Gio dan LDKS—saya tau kalo orang yang kita suka, itu sama. Saya yakin semua orang juga tau. Cuma mereka nggak berani ngeledekinnya aja,” Alwan bicara lagi. Gelagatnya santai, menunjukkan bahwa ia sama sekali tak takut ataupun merasa canggung.

Sementara Haris terdiam, Alwan lanjut memakai sepatunya. Setelah selesai, ia menghentak-hentakkan kakinya pelan untuk memastikan sepatunya sudah nyaman terpakai di kakinya. Setelahnya Alwan menengadah, kembali menatap Haris yang masih berusaha mencerna ucapan Alwan beberapa sekon yang lalu.

“Maju aja, Kak. Saya udah lama kepikiran untuk mundur, kok.”

Kedua alis tebal Haris bertaut, “Kenapa?”

Sudut bibir Alwan berkedut seiring pemuda itu mengendikkan bahu. “Mungkin karena saya tau yang Kakak nggak tau?” ucapnya, lalu ia beranjak pergi. Meninggalkan Haris dengan segala hal yang masih gamang, berenang di kepala.

Kalau begini, bukankah artinya ia baru saja mendapat sebuah lampu hijau? Bukankah harusnya ia merasa senang sebab ia bisa dengan leluasa bergerak melancarkan serangannya?

Bukan. Bukan ini yang ia mau. Bukan lampu hijau secara cuma-cuma dari lawannya yang menyerah begitu saja yang Haris mau. Bagaimanapun juga, ia ingin persaingan yang adil. Tanpa ada seseorang yang harus terpukul mundur tanpa alasan yang jelas.

“Alwan!” panggilnya.

Adik kelasnya itu kembali menoleh, beruntung langkahnya belum jauh. “Ya, Kak?”

“Kalo kita emang beneran suka sama orang yang sama, bukannya harusnya kita saingan secara adil? Kenapa kamu mundur tiba-tiba?” ucap Haris.

Alwan tersenyum simpul, setelahnya ia mengangguk pelan. “Udah kok, Kak. Kita udah bersaing secara adil. Kakak jangan ge-er, saya mundur juga bukan untuk alesan ngalah sama Kakak kok, tapi karena udah waktunya aja. Saya mundur karena kekalahan saya udah terlihat jelas di depan mata,” ucapnya.

“Jangan lupain yang saya bilang, Kak. Saya tau sesuatu yang Kakak nggak tau,” sambungnya lagi. Kali ini disertai cengiran yang justru membuat Haris semakin bingung.

“Semangat ya, Kak! Saya dukung pokoknya,” ucap Alwan. Setelahnya tubuh tegapnya itu menghilang di balik tembok, meninggalkan Haris bergelut dengan benaknya sendiri hingga Dhimas datang menepuk bahunya. Membuat Haris mau tak mau berjengit dan melotot saat mengetahui sang pelaku.

Sementara yang dipelototi hanya mengeluarkan raut wajah tanpa dosa. Tersenyum tanpa rasa bersalah. “Bengaaang, bengong! Mikirin apa sih, Pak Haji?” canda Dhimas.

Haris berdecak sebelum akhirnya menggeleng, “Kagak. Nanti, dah! Lo harus jadi konsultan gue lagi hari ini!”

“Widiiih, ada apaan nih?” tanya Dhimas seraya mulai mengembalikkan bentuk kaus kakinya seperti semula ketika akan ia kenakan.

Terbilang cukup lama hingga Dhimas mendapat jawaban dari pertanyaannya. Sebab Haris terdiam beberapa sekon. Mungkin masih berusaha mencerna situasi. Mungkin hati dan otaknya masih bergelut satu sama lain, menentukan pemenang antara akal sehat atau egonya.

Satu sapaan dari mulut Dhimas membuat Haris kembali pada realita. Pria yang digadang-gadang sebagai dokter cinta di siklus pertemanannya itu pun mengulang kembali pertanyaannya. “Ada apaan sih, Ris? Lo jangan bikin gue penasaran dong, dosa lu!”

Haris pun menoleh. Ia menggeleng pelan seraya mengerucutkan bibir.

“Lampu ijo, Dhim,” jawab Haris kemudian.

“Lampu ijo,” ucapnya lagi, dengan nada yang lebih pasti.

Pukul enam pagi, Haris berdiri tepat di depan cermin yang tergantung di salah satu dinding kamar bercat biru tua miliknya. Tangan kanannya asik menyisirkan rambut sementara tangan kirinya turut merapikan agar penampilannya semakin sempurna. Setelahnya ia menyambar ponselnya yang masih tersambung dengan pengisi daya sejak semalam.

Drrt.. drrtt

Getaran ponsel miliknya yang tak lama kemudian membuat sebuah notifikasi pop up muncul di layar membuat kedua alisnya bertaut. Haris menggerakkan ibu jarinya guna membuka notifikasi yang berasal dari Gia. Yang membuat kedua alisnya bertaut adalah fakta bahwa ini masih terlalu pagi untuknya menerima notifikasi dari gadis itu.

Gia Kakak, absenn

Kening Haris semakin mengernyit. Pagi banget? batinnya.

Namun pemuda yang kini hampir siap dengan penampilannya itu tetap mengetikkan balasan. Setelahnya, tanpa menunggu balasan Gia, Haris menyambar tasnya asal sambil memasukkan ponselnya ke dalam saku celana.

Haris melangkahkan kakinya perlahan menuruni satu persatu anak tangga. Lalu berhenti tepat di depan meja makan. Ia menarik kursi, meletakkan tas hitamnya di atas kursi yang selalu tak berpenghuni lantaran kurangnya satu anggota keluarga untuk set meja makan lima orang. Setelahnya ia menunjuk hidangan telur dadar setengah matang mirip yang biasa mereka beli dari restoran cepat saji, “Ini punya siapa, nih?”

“PUNYA HANUMM, JANGAN DIMAKAN!!” balas Hanum yang terdengar posesif dari arah dapur. Haris menoleh kepada gadis yang baru saja mengamankan sarapan paginya itu. Rupanya ia sedang membuat susu sebagai pelengkap sarapannya. Haris tak marah, pria itu terkekeh sebelum akhirnya menggelengkan kepalanya.

“Kamu mau, Kak? Mama bikinin ya?” ucap Mama yang baru saja tiba di sebelahnya. Wanita itu kemudian menyuruh Haura duduk di kursi yang berada di depan Haris untuk ikut sarapan.

“Nggak usah, Ma. Haris berangkat aja, gampang nanti sarapan di sekolah,” balasnya.

“Bener, nih?” tanya Mama memastikan. Haris hanya memberikan anggukan singkat untuk meyakinkan sang ibu. Setelahnya Mama tersenyum simpul seraya mengangguk, “Ya udah. Tapi jangan lupa sarapan ya!”

Pemuda itu lagi-lagi hanya mengangguk, kemudian mengambil tangan sang ibu untuk diciumnya. Meminta restu agar harinya berjalan dengan lancar. Tak lupa ia mengucap salam perpisahan kepada kedua adiknya yang akhirnya dibalas dengan ucapan-ucapan penuh cinta yang selalu membuat dadanya membuncah di pagi hari. Rasanya tak ada yang lebih berharga dan menenangkan dari ucapan 'hati-hati di jalan' dari manusia-manusia favoritnya yang setiap pagi mampir ke dalam rungunya.

Haris tersenyum senang ketika ia berjalan menuju rak sepatu. Ia mengambil sepatu miliknya dan memakainya. Setelah penampilannya lengkap, Haris bangkit berdiri. Tak lupa menepuk-nepuk sedikit bagian belakang celana putihnya agar tidak kotor.

Haris mengucap pamit sekali lagi. Dan sebelum ia benar-benar pergi, Haris mengambilkan sepatu Hanum yang masih bertengger di rak sepatu keluarganya. Kemudian meletakkannya di lantai dengan posisi sepatu menghadap pintu agar Hanum tinggal memakainya saat sudah selesai sarapan nanti. Selalu, Haris selalu menunjukkan perhatiannya melalui aksinya.


Sesampainya di sekolah, Haris memarkirkan motor di parkiran belakang. Jalanan cukup ramai pagi ini, membuatnya baru sampai di sekolah pukul 06.15 pagi. Alasan yang sangat mendukung bagi Haris untuk tidak menaruh tasnya di kelas terlebih dulu, melainkan ia harus segera stand by dan menjalankan tugasnya untuk piket pagi. Maka Haris memilih untuk menghampiri pos satpam dan menitipkan tasnya di sana. Toh, ia pun sudah berkawan baik dengan semua satpam sekolah.

“Babeh, nitip tas sebentar ya. Mau piket dulu udah kesiangan,” ucap Haris, menyerahkan ransel hitamnya setelah mengeluarkan almet OSIS dari dalamnya.

“Oh, iye taro aje situ, Ris,” balas Babeh, satpam paling tua di antara tiga satpam sekolah.

“Makasih, Beh!” balas Haris.

“Eh, tadi ada yang nitip makanan buat lu, tuh!” ucap Babeh lagi. Pria paruh baya dengan badan tambun nan bugarnya itu berkata seraya mengatur lalu lintas di depan sekolah agar tidak terjadi kemacetan lantaran banyak orang tua yang berhenti di di depan sekolah untuk mengantar anak-anaknya.

Kening Haris berkerut, “Makanan? Buat saya beneran? Salah kali, Beh?”

Babeh berdecak, “Kagakk. Orang bener buat elu. M. Haris IPA 1 die pesennye! Emang ada lagi nama Haris di kelas lu?”

“Kagak ada, sih!” balasnya. “Dari siapa, Beh?” tanya Haris lagi.

“Ada deh, itu lu liat aja sendiri, Ris. Tuh di deket plastik putih tuh. Ada bungkusan mika, ah itu ada label kuningnya. Baca aja dah!” sahut Babeh. Setelahnya Haris tak lagi bertanya apapun sebab Babeh sibuk membukakan pagar untuk mobil kepala sekolah yang baru saja datang.

Maka Haris mengurungkan niatnya untuk langsung bergabung dengan petugas piket OSIS pagi itu, ia memilih untuk mengecek makanan yang dititipkan untuknya di pos satpam terlebih dulu.

Tak berselang lama, Haris menemukan bungkusan mika yang dimaksudkan Babeh sebelumnya. Di dalamnya tersaji empat buah roti bakar cokelat berbentuk segitiga, menu sarapan yang cocok untuk perutnya yang masih kosong pagi itu. Haris tersenyum simpul, rupanya ada untungnya ia tidak sarapan di rumah.

Tangan kanannya bergerak mencabut post it kuning yang tertempel di sana. Kemudian matanya memindai setiap huruf yang berbaris merangkai sebuah kalimat singkat di atas kertas kuning itu. Kedua alisnya semakin bertaut, rupanya sang pengirim tak menuliskan namanya terang-terangan. Hanya tertera sebuah keterangan bahwa roti ini berasal dari seseorang dengan nama samaran “06.14”.

Namun bukan Haris jika menyerah begitu saja. Otaknya terus berputar memikirkan sebuah jawaban, ia memikirkan setiap orang dan besar kemungkinannya untuk mengirimkan Haris sarapan pagi secara diam-diam. Pun, ia berusaha memikirkan jawaban dari satu-satunya clue yang tertera di sana. Bagaimana bisa seseorang menyamarkan namanya dengan sebuah jam? Atau—angka? Atau apakah ini maksudnya adalah sebuah waktu yang hanya mereka berdua yang tahu?

“Bukan lah, kalo ini Gia yang ngirim pasti jamnya bukan 06.14 tapi 06.15, kan? Biasanya dia absen jam segitu,” Haris bermonolog.

“06.14? Apaan dah?” gumam Haris lagi, masih memandangi kertas kuning kecil di tangannya.

Selang beberapa lama, matanya kembali berbinar. Elemen-elemen lampu bohlam beserta simbol cinta rasanya mengudara mengitari Haris dan sekujur tubuhnya. Haris mengetahui siapa pengirimnya.

Sekon berikutnya tak sama lagi, Haris merasakan pipinya pegal lantaran harus menahan senyuman miliknya yang kian memberontak untuk semakin mengembang. Membuat sudut bibirnya berkedut berkali-kali.

Ia kemudian menampar-nampar pelan pipinya sendiri, berusaha mengingatkan diri akan tanggung jawab yang harus ia emban pagi itu. “Fokus, Ris, fokus!”

Haris bergabung dengan rekan OSIS-nya untuk melaksanakan tugas setelah memasukkan post it kuning yang berhasil membuatnya tersenyum dan berdebar tidak karuan pagi itu ke dalam saku almetnya. Menyimpannya di sana untuk waktu yang lama, sebagaimana ia menyimpan cerita pagi ini dalam memorinya untuk waktu yang lama.

“What goes around comes around :)”

— 06.14

Seperti biasa, Haris berdiri di depan gerbang untuk melaksanakan tugasnya. Mencari mangsa untuk diserahkan kepada Pak Asep untuk diberikan poin atau hanya teguran—jika Pak Asep masih menoleransinya. Gerbang sekolah masih sepi, rasanya masih terlalu pagi untuk meramaikan sekolah yang tak pernah menjadi tempat favorit para remaja seusia Haris pada umumnya.

Bicara soal Haris, pemuda itu kembali memasukkan ponselnya ke dalam saku almet biru setelah membaca pesan yang terakhir Gia kirimkan. Kemudian selayaknya remaja pada umumnya, Haris pun mati-matian menahan sudut bibirnya yang berkedut mewakilkan perasaan menggelitik yang ia rasakan dalam sanubari. Namun, bagaimanapun juga, gelagat orang jatuh cinta memang tak bisa disembunyikan rapat-rapat. Sampai-sampai Dhimas yang berdiri di sebelah Haris itu menangkap raut wajah Haris yang pancarkan bahagia lebih dari biasanya.

“Seger amat,” kata Dhimas.

“Apaan?”

“Muke lu, kayak bayi baru kelar mandi. Kurang cemongnya aja!” balas Dhimas lagi. Dalam mengejek persoalan Haris dan Gia, Dhimas juara satunya.

“Mana si Dedek?” canda Dhimas.

“Yeh, monyet!” umpat Haris seraya tertawa. Paham akan siapa yang dimaksud sahabatnya itu. “Lagi di jalan,” balas Haris. Pada akhirnya menjawab pula pertanyaan Dhimas yang menjengkelkan.

“JIAKH HAHAHAHAH!” seru Dhimas. “Pantesan beda gitu ya aura lo hari ini. Kayak—lebih ramaah, banyak senyumnya, aih aihh!”

“Diem ah! Jangan ganggu!” canda Haris. “Songong bet lauuu!” balas Dhimas seraya menonjok pelan bahu Haris.

“Eh tapi, gue penasaran lo minta maafnya gimana. Gimana sih?” tanya Dhimas.

“Udah gue bilang nggak bakal gue ceritain ke lo semua, nyet! Rame doang yang ada, puyeng!” balas Haris seraya tertawa.

Setelahnya Dhimas tak membalas. Lagipula, ia pun tak benar-benar menanyakan Haris. Dhimas hanya senang memancing teman-temannya untuk kemudian diejek habis-habisan. Haris mengetahuinya, maka ia berhati-hati dan memilih untuk menyimpan ceritanya rapat-rapat. Cukup Tuhan, dirinya, dan Gia yang tahu. Biarlah hal itu menjadi cerita yang berharga untuknya dan Gia.

Omong-omong soal Gia, gadis itu sudah tiba di sekolah. Haris melihatnya dari kejauhan, Gia baru saja turun dari motor dengan sangat hati-hati sebab kakinya yang terluka. Gadis mungil itu tiba dengan penampilan yang agak berbeda dari biasanya. Dan Haris mengetahuinya.

Biasanya Gia akan tiba di sekolah dengan gaya rambut yang sama. Entah diikat dengan gaya pony tail atau dibiarkan tergerai begitu saja dengan ikat rambut yang dijadikan gelang pada tangan kanannya. Namun hari ini, Gia memilih untuk menata rambutnya dengan gaya half updo yang membuat penampilannya tetap rapi meski masih ada sebagian rambut yang tergerai. Entah penglihatan Haris yang bias atau memang fakta, Gia terlihat jauh lebih cantik dari biasanya.

Haris memantau diam-diam Gia yang mulai melangkah menuju gerbang. Jalannya sedikit pincang, disebabkan luka di kakinya yang belum sembuh sempurna. Gadis itu bahkan datang ke sekolah tanpa mengenakan sepatu, melainkan mengunakan sandal jepit lantaran kakinya yang masih diperban. Membuat Haris turut meringis setiap kali melihat Gia harus kesulitan berjalan.

Tak lama, Gadis itu pun tiba di hadapan Yuna yang baru saja kembali dari urusannya. Gia berhenti sejenak untuk membiarkan kakak kelasnya memeriksa atributnya.

“Ihh, itu kakinya yang kemarin luka ya?” tanya Yuna.

“Iya, Kak. Izin pake sendal ya?” balas Gia.

“Wuidihhh, jagoan dari mana nih pake sendal?” canda Dhimas. Gia menoleh ketika mendengar perkataan Dhimas yang merujuk padanya.

“Itu gara-gara yang jatoh kemaren ya, Gi? Kok bisa sih sampe luka gitu?” tanya Dhimas lagi.

“Iya, Kak. Kepeleset, terus kena ranting gitu makanya luka, panjang banget lagi lukanya. Kemaren juga darahnya banyak banget,” balas Gia.

Dhimas bergidik ngeri, “Duhhhileh, bae-bae deh lo jalan. Awas keinjek orang kaki lu!”

“Iyaaaa, makasih Kadhimm! Duluan yaa!”

Sekon berikutnya Gia pun kembali melangkah untuk menuju kelas. Tentu saja ia tak boleh menyia-nyiakan waktu sebab kecepatan jalannya yang melambat. Kalau tidak bergerak sekarang, dipastikan Gia akan tiba di kelas saat bel masuk berbunyi.

Tak lupa Gia menyapa Haris singkat melalui anggukan kepala yang dibalas dengan cara yang sama oleh Haris. Gia menangkap kakak kelasnya itu tersenyum tipis ke arahnya, membuat Gia turut mengulum senyuman kecil—yang kemudian mengembang semakin lebar ketika keduanya sudah tak saling berpapasan.

Kalau Gia bisa berjalan seraya melompat kecil, maka ia akan segera merealisasikannya. Gadis itu tak pernah tahu bahwa hanya berpapasan dengan seseorang yang membuatnya jatuh dan suka akan begitu membahagiakan. Rasanya teori Senin pagi yang suram itu runtuh seketika saat ia menjumpai seseorang yang selalu gagah setiap kali almet biru itu tersemat padanya. Seseorang yang dapat membuatnya menyukai setiap kenangan perihal sekolah melalui pertemuan yang terjadi bahkan tanpa ada sepatah kata pun yang terucap.

06.15 pagi setelah sekian lama, musim semi seakan tiba hanya untuk Haris dan Gia. Pun, terbukanya gerbang pagi itu seakan menjadi pembuka jalan untuk cerita yang nyaris usai.

Sebab pada 06.15 pagi hari itu, setelah sekian lama, keduanya kembali bertemu dan menyapa dalam waktu yang dicuri untuk berdua.

Haris menoleh, arah pandangnya mengikuti sejauh mana Gia sudah berjalan. Kegiatannya tak berlangsung lama, sebab Haris harus kembali mengawasi siswa yang datang. Maka ia memutus kontak mata, kembali mengalihkan pandangannya sebelum akhirnya menunduk dan menghela napasnya.

Kemudian dengan senyuman tertahan, Haris kembali bicara dengan suara yang nyaris tak terdengar.

It's been a long time. Nice to see you again, Anggi!”

Seperti biasa, Haris berdiri di depan gerbang untuk melaksanakan tugasnya. Mencari mangsa untuk diserahkan kepada Pak Asep untuk diberikan poin atau hanya teguran—jika Pak Asep masih menoleransinya. Gerbang sekolah masih sepi, rasanya masih terlalu pagi untuk meramaikan sekolah yang tak pernah menjadi tempat favorit para remaja seusia Haris pada umumnya.

Bicara soal Haris, pemuda itu kembali memasukkan ponselnya ke dalam saku almet biru setelah membaca pesan yang terakhir Gia kirimkan. Kemudian selayaknya remaja pada umumnya, Haris pun mati-matian menahan sudut bibirnya yang berkedut mewakilkan perasaan menggelitik yang ia rasakan dalam sanubari. Namun, bagaimanapun juga, gelagat orang jatuh cinta memang tak bisa disembunyikan rapat-rapat. Sampai-sampai Dhimas yang berdiri di sebelah Haris itu menangkap raut wajah Haris yang pancarkan bahagia lebih dari biasanya.

“Seger amat,” kata Dhimas.

“Apaan?”

“Muke lu, kayak bayi baru kelar mandi. Kurang cemongnya aja!” balas Dhimas lagi. Dalam mengejek persoalan Haris dan Gia, Dhimas juara satunya.

“Mana si Dedek?” canda Dhimas.

“Yeh, monyet!” umpat Haris seraya tertawa. Paham akan siapa yang dimaksud sahabatnya itu. “Lagi di jalan,” balas Haris. Pada akhirnya menjawab pula pertanyaan Dhimas yang menjengkelkan.

“JIAKH HAHAHAHAH!” seru Dhimas. “Pantesan beda gitu ya aura lo hari ini. Kayak—lebih ramaah, banyak senyumnya, aih aihh!”

“Diem ah! Jangan ganggu!” canda Haris. “Songong bet lauuu!” balas Dhimas seraya menonjok pelan bahu Haris.

“Eh tapi, gue penasaran lo minta maafnya gimana. Gimana sih?” tanya Dhimas.

“Udah gue bilang nggak bakal gue ceritain ke lo semua, nyet! Rame doang yang ada, puyeng!” balas Haris seraya tertawa.

Setelahnya Dhimas tak membalas. Lagipula, ia pun tak benar-benar menanyakan Haris. Dhimas hanya senang memancing teman-temannya untuk kemudian diejek habis-habisan. Haris mengetahuinya, maka ia berhati-hati dan memilih untuk menyimpan ceritanya rapat-rapat. Cukup Tuhan, dirinya, dan Gia yang tahu. Biarlah hal itu menjadi cerita yang berharga untuknya dan Gia.

Omong-omong soal Gia, gadis itu sudah tiba di sekolah. Haris melihatnya dari kejauhan, Gia baru saja turun dari motor dengan sangat hati-hati sebab kakinya yang terluka. Gadis mungil itu tiba dengan penampilan yang agak berbeda dari biasanya. Dan Haris mengetahuinya.

Biasanya Gia akan tiba di sekolah dengan gaya rambut yang sama. Entah diikat dengan gaya pony tail atau dibiarkan tergerai begitu saja dengan ikat rambut yang dijadikan gelang pada tangan kanannya. Namun hari ini, Gia memilih untuk menata rambutnya dengan gaya half updo yang membuat penampilannya tetap rapi meski masih ada sebagian rambut yang tergerai. Entah penglihatan Haris yang bias atau memang fakta, Gia terlihat jauh lebih cantik dari biasanya.

Haris memantau diam-diam Gia yang mulai melangkah menuju gerbang. Jalannya sedikit pincang, disebabkan luka di kakinya yang belum sembuh sempurna. Gadis itu bahkan datang ke sekolah tanpa mengenakan sepatu, melainkan mengunakan sandal jepit lantaran kakinya yang masih diperban. Membuat Haris turut meringis setiap kali melihat Gia harus kesulitan berjalan.

Tak lama, Gadis itu pun tiba di hadapan Yuna yang baru saja kembali dari urusannya. Gia berhenti sejenak untuk membiarkan kakak kelasnya memeriksa atributnya.

“Ihh, itu kakinya yang kemarin luka ya?” tanya Yuna.

“Iya, Kak. Izin pake sendal ya?” balas Gia.

“Wuidihhh, jagoan dari mana nih pake sendal?” canda Dhimas. Gia menoleh ketika mendengar perkataan Dhimas yang merujuk padanya.

“Itu gara-gara yang jatoh kemaren ya, Gi? Kok bisa sih sampe luka gitu?” tanya Dhimas lagi.

“Iya, Kak. Kepeleset, terus kena ranting gitu makanya luka, panjang banget lagi lukanya. Kemaren juga darahnya banyak banget,” balas Gia.

Dhimas bergidik ngeri, “Duhhhileh, bae-bae deh lo jalan. Awas keinjek orang kaki lu!”

“Iyaaaa, makasih Kadhimm! Duluan yaa!”

Sekon berikutnya Gia pun kembali melangkah untuk menuju kelas. Tentu saja ia tak boleh menyia-nyiakan waktu sebab kecepatan jalannya yang melambat. Kalau tidak bergerak sekarang, dipastikan Gia akan tiba di kelas saat bel masuk berbunyi.

Tak lupa Gia menyapa Haris singkat melalui anggukan kepala yang dibalas dengan cara yang sama oleh Haris. Gia menangkap kakak kelasnya itu tersenyum tipis ke arahnya, membuat Gia turut mengulum senyuman kecil—yang kemudian mengembang semakin lebar ketika keduanya sudah tak saling berpapasan.

Kalau Gia bisa berjalan seraya melompat kecil, maka ia akan segera merealisasikannya. Gadis itu tak pernah tahu bahwa hanya berpapasan dengan seseorang yang membuatnya jatuh dan suka akan begitu membahagiakan. Rasanya teori Senin pagi yang suram itu runtuh seketika saat ia menjumpai seseorang yang selalu gagah setiap kali almet biru itu tersemat padanya. Seseorang yang dapat membuatnya menyukai setiap kenangan perihal sekolah melalui pertemuan yang terjadi bahkan tanpa ada sepatah kata pun yang terucap.

06.15 pagi setelah sekian lama, musim semi seakan tiba hanya untuk Haris dan Gia. Pun, terbukanya gerbang pagi itu seakan menjadi pembuka jalan untuk cerita yang nyaris usai.

Sebab pada 06.15 pagi hari itu, setelah sekian lama, keduanya kembali bertemu dan menyapa dalam waktu yang dicuri untuk berdua.

Haris menoleh, arah pandangnya mengikuti sejauh mana Gia sudah berjalan. Kegiatannya tak berlangsung lama, sebab Haris harus kembali mengawasi siswa yang datang. Maka ia memutus kontak mata, kembali mengalihkan pandangannya sebelum akhirnya menunduk dan menghela napasnya.

It's been a long time. Nice to see you again, Anggi!” ucapnya dengan suara yang nyaris tak terdengar.

Haris memasukkan baju-baju kotornya kembali ke dalam tas setelah ia satukan dalam sebuah kantong plastik besar. Di sebelahnya, Dhimas pun merapikan barang-barangnya. Keduanya memastikan tak ada yang tertinggal sebab seluruh rangkaian acara LDKS sudah selesai dan mereka akan segera kembali pulang.

Haris dan Dhimas sudah siap dengan seragam pramuka lengkapnya. Dress code untuk pulang kali ini adalah seragam pramuka sebab mereka diharuskan untuk mengikuti apel penutupan terlebih dulu sebelum pada akhirnya kembali ke sekolah.

“Udah kelar belom?” tanya Dhimas pada Haris yang menunjukkan gelagat sibuk mencari sesuatu. Dhimas mengerutkan alisnya, “Ada yang lupa?”

“Jaket,” balas Haris.

“Jaket apaan?”

“Gue dibawain jaket sama emak gue, tapi kok nggak ada ya?” tanya Haris.

“Jaket lo yang mana?”

“Yang biasa gue pake,” balas Haris lagi. Ia masih sibuk mencari. Membongkar kembali seluruh isi tasnya untuk mencari jaketnya yang kini 'menghilang'. Haris bahkan membuka kembali plastik baju-baju kotor, takut-takut jaketnya tercampur di sana. Tak mudah menyerah, Haris bahkan kembali mengecek setiap bilik kamar mandi untuk mencari jaketnya.

“Ada nggak?” tanya Dhimas.

“Kagak ada,” balasnya. “Duh, di mana ya, anjrit! Itu jaket enak banget dipakenya lagi. Sedih nih gue kalo ilang!”

Dhimas terkekeh, “Coba inget-inget lagi. Beneran kebawa apa enggak?”

“Kayaknya kebawaa, kayaknya gue liat jaket itu di sini. Tapi di mana ya? Kita kan juga nggak pake jaket, masa ilang? Gue keluarin buat apaan juga?” balas Haris lagi.

“Yehh, mana gue tau. Jaket jaket elu!” sahut Dhimas. “Ya udah, nanti tanya aja kakak panitianya. Siapa tau ada yang nemu. Sekarang baris dulu aja, udah dipanggilin tuh dari tadi! Nanti kita ketinggalan apel, ketinggalan balik. Mau nginep lagi lu di sini?”

Alhasil, Haris hanya menghela napas pasrah dan memilih untuk mengikuti perkataan Dhimas. Meski dalam pikirannya ia masih menelaah di mana terakhir kali ia menjumpai jaket kesayangannya itu. Namun nihil, ia tak menemukan ingatan apapun mengenai jaketnya. Seakan ingatannya dalam jangka waktu tertentu terhapus begitu saja.

Kini keduanya sudah bergabung kembali dengan para adik kelas bimbingannya di aula. Kali ini barisan didasarkan kepada yang paling tinggi. Mau tak mau Haris berdiri di paling depan. Di belakangnya adalah Dinda dengan tinggi yang tak jauh berbeda.

Apel penutupan tidak berlangsung lama. Berterima kasih lah pada wakil kepala sekolah yang berpidato tak cukup lama. Setelahnya mereka digiring untuk masuk ke tronton, sesuai dengan pembagian yang sama seperti ketika berangkat.

Entah semesta turut andil dalam penyatuan kembali Gia dan Haris atau bagaimana, yang jelas, keduanya duduk berhadapan sekarang. Namun rupanya interaksi tipis-tipis saat Haris menolongnya itu masih tak cukup untuk menghilangkan kecanggungan di antara keduanya. Masih saja saling membuang muka dan memilih untuk menghindari tatapan masing-masing.

Gia duduk di antara Dinda dan Alfi, seakan-akan gadis itu adalah penengah di antara keduanya yang memang sering ribut. Semetara di seberang, Haris duduk di sebelah Dhimas. Sebelah kiri pemuda itu masih kosong hingga.. Gina yang entah bagaimana caranya bisa masuk ke tronton yang sama dengannya itu menduduki kursi kosong di sebelah Haris.

“Gue sini ya, Ris,” ucap Gina. Haris memandanginya dengan tatapan menghakimi. “Kok lo di sini?”

“Tronton gue penuh, jadi disuruh di sini,” balas Gina. Haris masih menatap Gina bingung, terlebih ketika gadis itu datang tanpa membawa apapun. “Tas lo mana?”

“Di tronton gue. Guenya doang disuruh di sini soalnya di sana nggak muat lagi karena penuh tas. Gue juga nggak tau tuh gimana caranya bisa begitu,” balas Gina.

Setelahnya Haris hanya mengangguk dan tak lagi membalas perkataan Gina. Ia menyugar rambutnya dan memilih untuk mengobrol dengan Dhimas yang berada di sebelahnya. Berusaha tidak memedulikan Gina sama sekali.

Namun rasanya gadis itu tak habis akal untuk mendekatkan dirinya dengan Haris. Terlebih saat mengetahui Gia ada di hadapannya. Dengan santainya, Gina menyandarkan kepalanya pada pundak Haris. Membuat Haris berjengit, “Ngapain sih, Naaaa? Ganggu banget dah lo!”

“Numpang, Riss, ya elah! Ngantuk gue.”

“Belom juga jalan udah ngantuk!” balas Haris lagi. Namun ia pun terpaksa membiarkan Gina merebahkan kepala di atas pundaknya. Sebab bagaimanapun juga, Gina adalah perempuan. Dan gadis itu terpisah dari kelompoknya, mungkin di mobil ini Gina hanya kenal Haris. Maka Haris mengizinkan Gina menggunakan pundaknya sebagai bantalnya selama perjalanan. Sebagai seorang lelaki, Haris pun memastikan agar Gina tak terbentur saat tidur.

Tanpa sengaja, tatapannya bersirobok dengan Gia yang memang duduk berseberangan dengannya. Haris sempat terpaku sesaat sebelum Gia akhirnya lebih dulu memutus kontak mata di antara keduanya. Saat itu, entah mengapa Haris menangkap sesuatu yang lain dari gelagat Gia. Gadis itu nampak—kecewa, entah benar atau tidak, tetapi Haris menangkapnya dengan jelas. Gia bahkan terus memalingkan wajahnya ketika Haris tetap memusatkan pandangannya pada adik kelasnya itu. Seakan benar-benar tak ingin menyaksikan kedekatannya dengan Gina yang saat ini tertidur lelap di bahunya.

Detik itu, Haris pun turut memalingkan wajah sebelum akhirnya menghela napas pelan seraya merutuki dirinya sendiri. Mungkin harapannya akan hubungan yang kembali membaik dengan Gia harus kembali gugur. Entahlah, Haris tak ingin terlalu pusing memikirkannya. Ia pun merebahkan kepalanya di atas kepala Dhimas yang bersandar pada bahu kanannya. Membunuh waktu hingga sampai kembali untuk pulang.


“Perlengkapannya di ambil semua dulu, nih! Hp, dompet, terus senter, jangan sampe ada yang lupa ngambil ya!” ujar Vio.

Setelah menempuh perjalanan kurang lebih sekitar tiga jam, mereka semua kini sampai kembali di sekolah. Di sana, Vio sebagai ketua OSIS mengambil alih untuk kegiatan pengembalian barang-barang milik para peserta sebagai bentuk tanggung jawabnya.

Setelah perlengkapan dan barang-barang berharga yang dititipkan itu berhasil menemukan pemiliknya, semua siswa dipersilakan untuk pulang ke rumah masing-masing.

“EH KITA FOTO DULU DONGGG!! JANGAN PULANG DULU!” seru Dinda. Dengan gencar ia mengumpulkan seluruh anggota kelompoknya untuk berfoto bersama di tengah lapangan. Setelahnya mereka pun berkumpul tanpa minat. Sebab sejujurnya sudah sangat lelah dan hal yang ingin segera dilakukan hanyalah pulang ke rumah. Bagaimana tidak? Mereka semua jelas kelelahan, maka bertemu dengan kasur empuk di rumah pasti rasanya bagaikan surga dunia.

Selang dua menit, Dinda berhasil mengumpulkan anggota kelompoknya. Bahkan ia sudah mengumpulkan mereka ke dalam satu formasi yang patut untuk difoto. Setelahnya ia sibuk mencari orang untuk dimintai tolong menjadi fotografer, beruntung Zahra lewat. Maka jadilah gadis itu yang menjadi fotografer grup paling heboh ini.

Puas berfoto, Dinda pun asyik mengecek setiap foto yang dipotret oleh tangan-tangan Zahra. Tak lupa ia berterima kasih, tentunya. “E makasi yak, Jaraa!”

“Kirim, Din! Jangan lu keep sendiri fotonya. Ada muka gue itu, ntar lo diem-diem melet gue lagi,” canda Dhimas.

“IYE IYE YAILAH! Siapa yang mau melet lu siapaaa?! Yang ada gue santet lo, Kak!”

Dhimas hanya terkekeh, “Dah, dah! Pada balik, gih, istirahat! Makasih yaa semuaa atas kerja samanya!”

“Ini abis ini Kak Haris kalo disapa masih sombong nggak nih?” tanya Alfi.

Haris tertawa pelan, “Mana ada lu, Fi, ngarang!”

“Sapa aja emang kenapa?” tanya Haris. “Muka lo serem banget, Kak, mana ada yang berani nyapa dah!” balas Dinda.

“Ya sapa aja nggak pa-pa. Belom tentu gue bales tapi,” sahut Haris lagi. “Nggak, lah. Bercanda. Kalo kenal dan kalo denger pasti gue bales.”

“Ya udah balik dah lu pada, ntar dicariin emak lu,” ujar Dhimas. Setelahnya mereka semua berpamitan dan mulai bergerak menuju arah terpisah, pulang ke rumah masing-masing.

Hingga menyisakan Dhimas dan Haris yang berjalan beriringan menuju gerbang. “Asik banget nih ye, LDKS. Tujuan Kak Vio membangun kebersamaan agaknya berhasil ya? Nempel bat lu sama Gia,” ejek Dhimas.

“Mata lu!”

“Yehh, demen kan lo nolongin Gia? Gimana gimana, pas gendong Gia ngobrol nggak?” tanya Dhimas lagi. Haris hanya melirik tidak suka, menyembunyikan perasaan menggelitik dalam dadanya. Haris bersumpah, ia ingin sekali menonjok wajah Dhimas yang saat ini menampilkan perangai mengejek.

“Berisik banget lo! Balik sana!” usir Haris. Sementara Dhimas hanya tertawa semakin keras.

“Lo dijemput emak lo?” tanya Dhimas setelah tawanya berhasil reda. Haris hanya mengangguk dengan kedua alis bertautan menahan terik matahari.

“Ya udah, gue duluan yak! Bae bae lu, sekolah udah sepi ntar disamperin demit!”

“NYETTT PERGI LO!” umpat Haris.

Benar juga, sekolah sudah sepi. Kakak-kakak panitia pasti akan berdiam di ruang OSIS sebab akan melakukan evaluasi. Sementara para peserta LDKS hampir semua sudah pulang. Bahkan Haris menjadi satu-satunya orang yang menunggu di depan gerbang saat itu. Bangsat Dhimas gue ditinggalin, batinnya.

Haris memilih mengeluarkan ponselnya, banyak pesan masuk dari Hanum rupanya. Adiknya itu mengirimkan banyak foto Haura yang menangis ketika mengetahui Haris tidak pulang ke rumah. Sekon berikutnya ia menekan tombol panggilan guna mengabari sang ibu bahwa ia sudah siap untuk dijemput. Sengaja, Haris memang memilih tidak membawa motor. Bawaannya yang banyak itu membuatnya malas untuk pulang sendiri.

“Ma? Haris udah sampe di sekolah yaa!”

”.....”

“Haris depan gerbang. Okeee, see you!

Tepat setelah Haris memutus panggilannya dengan Mama, seseorang memanggilnya dengan suara lembut.

“Kak?”

Haris menoleh santai—tidak sampai ketika pemuda itu mengetahui siapa yang memanggilnya.

“Ya?” balasnya seraya membalikkan badannya agar sepenuhnya menghadap pada Gia, seseorang yang berdiri di hadapannya sekarang.

Gia menunduk, memainkan jemarinya sendiri. Membuat Haris mengerutkan alisnya, menerka apa yang ingin gadis itu bicarakan. Sekon berikutnya, Gia menengadah, menatap wajah Haris jauh lebih tinggi darinya. “Boleh ngomong sebentar, nggak?”

Haris tak langsung menjawab, pria itu hanya diam memandangi Gia bingung sebelum akhirnya menjawab pertanyaannya. “Boleh.”

“Mau duduk nggak? Biar nggak berat kamu gendong-gendong tas,” ucap Haris lagi. Namun Gia menggeleng dan mengatakan bahwa ia tak masalah jika harus berbicara sambil berdiri. Toh, gadis itu tak akan memakan waktu Haris banyak-banyak. Setelahnya pun Haris hanya mengangguk menyetujui.

“Mau ngomong apa?” tanya Haris.

Gia menelan ludah sebelum memulai pembicaraan. Mengumpulkan segenap keberanian untuk bicara empat mata dengan seseorang yang—paling dominan mengisi bagian hatinya.

“Kakak yang—bawa saya ke aula waktu saya pingsan pas jurit malem, ya?” tanya Gia.

Haris mengulas senyum simpul di sudut bibirnya, “Keliatannya gimana?”

“Keliatannya— iya.”

“Tau dari mana?”

Gia tak membalas. Gadis itu memilih untuk mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya. Sebuah jaket berwarna biru dengan kedua lengan berwarna putih gading yang sangat Haris kenali.

Gia menyodorkannya pada Haris. “Ini punya Kak Haris, kan?” tanyanya. Ia mengulum bibir sebelum lanjut bicara. “Ada bordiran inisial di bagian dalem jaketnya. Bordirannya—sama kayak sapu tangan yang Kakak kasih waktu kita ketemu di sekolah Hanum.”

Haris hanya diam dan merutuki kebodohannya sendiri. Bisa-bisanya ia melupakan tindakannya sendiri. Padahal malam itu Haris-lah yang berinisiatif mengambil jaket dari dalam tasnya untuk menjadi selimut untuk Gia. Namun rasanya ia terlalu panik dan khawatir hingga otaknya itu tak dapat merekam dengan jelas apa yang terjadi saat itu.

“Ini punya Kakak, kan?” tanya Gia lagi. Haris meneguk ludahnya sendiri guna mengusir canggung, barulah setelahnya ia mengangguk. “Iya. Punya saya.”

Gia menghela napas lega seraya tersenyum tipis, setelahnya ia menyerahkan jaket Haris pada pemiliknya. Sementara Haris, pemuda itu menerimanya dengan sebelah tangan kanannya sebelum akhirnya ia jinjing asal-asalan. Membuat Gia menahan napasnya, Haris dengan gestur alaminya, tentu saja tak pernah gagal untuk mengambil alih seluruh perhatiannya.

“Kak,” panggil Gia lagi. Haris tak membalas, ia hanya mengangkat sebelah alisnya sebagai bentuk responsnya terhadap panggilan Gia. “Makasih banyak udah nolongin saya selama di sana. Maaf banget karena ngerepotin Kak Haris terus.”

Haris mengerjapkan matanya berkali-kali mendengar nada bicara Gia yang kian merendah. Tidak, bukan ini yang ia inginkan. Toh, Haris sejujurnya dengan sangat senang hati menolong Gia. Kapanpun gadis itu membutuhkannya. Gia tak pernah merepotkan baginya. Sama sekali tidak merepotkan.

“Udah, Kak. Mau ngomong itu aja, kok,” ucap Gia. “Makasih banyak sekali lagi, Kak Haris. Saya—duluan ya?”

“Gia,” panggil Haris. Membatalkan niat Gia untuk melangkah menjauhinya. Gadis itu menoleh tanpa suara, hanya menatapnya bingung. Menunggu kelanjutan bicara dari Haris yang memanggilnya.

“Saya—boleh gantian ngomong?” tanya Haris. Kini giliran Gia yang termangu. Beberapa detik setelahnya, Gia mengangguk. Kemudian dengan dadanya yang bergemuruh akibat jantungnya sendiri, Gia menanti Haris mengeluarkan kalimat selanjutnya.

Haris menunduk menatap sepatunya sendiri seraya lagi-lagi meneguk liurnya sendiri. Dan setelahnya..

“Maaf.”

Satu kata, namun berhasil membuat Gia mengerti ke mana arah pembicaraan mereka.

“Maaf soal yang waktu itu, Gi. Saya minta maaf karena udah kasar sama kamu, Gia. Perkataan saya pasti nyakitin perasaan kamu banget waktu itu, tapi sejujurnya saya nggak bermaksud begitu, kok. Tapi ya, tetep nggak bisa dibenarkan,” lanjut Haris.

Detik itu, Gia benar-benar tak tahu harus berbuat apa. Permintaan maaf Haris yang sederhana namun terdengar tulus di telinganya itu resmi membuatnya terdiam. Hingga suara berat lelaki di hadapannya kembali menyadarkannya.

“Saya bener-bener minta maaf, Anggia. Saya pastiin kejadian waktu itu nggak akan terulang lagi.”

Gia terdiam sesaat, kemudian gadis itu tersenyum tipis meski ia sudah ingin menangis saat itu juga. “Nggak pa-pa, Kak. Salah saya juga karena nggak tau situasi. Makasih udah ngejelasin semuanya, Kak Haris. Saya—lega dengernya kalo ternyata Kakak nggak bermaksud kayak gitu,” ucap Gia seraya tersenyum. Haris tahu Gia jujur saat ini, sebab ia dapat dengan jelas menangkap raut lega yang tercetak di wajah cantiknya—yang sudah lama luput dari penglihatannya. Namun hal itu justru meningkatkan rasa bersalahnya. Haris jadi membayangkan betapa terlukanya Gia akibat ucapannya hingga gadis itu benar-benar merasa lega kala Haris mengatakan bahwa ia tidak benar-benar bermaksud mengatakannya.

Setelahnya hening menguasai keduanya. Baik Haris maupun Gia, keduanya sama-sama salah tingkah. Jika ada Dhimas di tengah-tengah keduanya sekarang, maka pria itu akan bergerak selayaknya Dewa Cinta yang akan segera mendorong keduanya agar kembali menghadap satu sama lain dan langsung saja mengutarakan perasaan masing-masing. Sayangnya Dhimas sudah lebih dulu pulang, maka apa yang akan terjadi sekarang, sepenuhnya bergantung pada Haris dan Gia.

“Gia kakinya masih sakit nggak?

“Hm? Oh, udah nggak terlalu, Kak. Udah diperban juga, jadi aman,” balasnya seraya menggoyang-goyangkan kakinya yang terbalut perban. Sejak terluka tadi, Gia memang tak lagi mengenakan sepatunya. Gadis itu mengenakan sandalnya hingga acara selesai.

Haris mengangguk-angguk. “Hati-hati jalannya, takut kesenggol-senggol nanti berdarah lagi.”

“Iya.”

Hening kembali mengisi, membuat Haris kembali berpikir keras harus mencari topik apa lagi. Beruntung, Gia kembali bersuara.

“Kak Haris,” panggilnya lagi.

“Ya?”

“B-boleh absen lagi, kan?”

Tak ada yang bisa Haris lakukan selain membiarkan sudut bibirnya berkedut menahan senyuman. Semakin bagus jika tawanya tak meluncur di hadapan Gia yang kini menatapnya polos. “Iya, boleh, Gia.”

Tepat setelah Haris menjawab, Gia tersenyum senang. Kedua matanya melengkung sempurna menyerupai bulan sabit, Gia tak pernah gagal untuk memikat Haris untuk jatuh lebih dalam lagi.

“Kamu kok belom pulang?” tanya Haris. Memilih untuk mencari topik pembicaraan lain agar keduanya tak lagi perlu bersikap kikuk di depan satu sama lain.

“Ini mau pulang. Itu ojolnya udah di depan jalan sana,” balas Gia. Ah, baru saja Haris ingin mengajaknya berbicara lebih lama. Sebagai balasan atas waktu yang hilang selama hubungan keduanya tak baik. Namun rupanya ia harus mengurungkan niatnya, membuatnya diam-diam mendesah kecewa.

“Oh, oke.”

“Duluan ya, Kak!” pamit Gia. Haris mengangguk seraya memegangi tengkuknya sebagai respons dari ucapan Gia. Setelahnya ia membiarkan gadis itu berlalu pergi.

“Gia,” panggilnya tiba-tiba. Membuat perempuan yang baru saja berjalan beberapa langkah itu kembali menoleh.

“Ya, Kak?”

Haris diam seraya menahan senyumannya agar tidak mengembang semakin lebar. Setelahnya ia menggeleng. “Enggak, hati-hati pulangnya, Gia.”

“Iyaa, Kak Haris juga yaa!” balasnya. Setelahnya Gia pun kembali berbalik dan melanjutkan langkahnya. Namun entah karena tidak rela gadis itu pergi atau bagaimana, Haris kembali memanggilnya.

“Gia!”

Gia kembali menoleh, “Kenapa, Kak?”

Namun pemuda itu kembali menggeleng, “Enggak, kamu mirip mama saya.”

Sontak, Gia mengerutkan keningnya bingung. Sekon berikutnya gadis itu tertawa, “Masa? Yahh, tapi Kak Haris nggak mirip papa saya.”

Haris kembali menahan senyumnya, “Nggak pa-pa, Gia. Hati-hati pulangnya ya!”

“Iyaaa, Kak Haris juga yaa!” balasnya seraya terkekeh.

“Gia!”

“Kenapa lagi, Kaaak? Kenapa manggilin saya terus gitu?”

“Saya suka nama kamu soalnya,” balas Haris seraya terkekeh. Membuat Gia pun ikut tertawa di tempatnya.

Gia masih mempertahankan senyumnya bahkan setelah tawanya mereda. Setelahnya gadis itu tak membalas ucapan Haris. Melainkan memilih untuk menyudahi pertemuan mereka hari itu. Dilambaikan tangannya halus pada pemuda yang berdiri beberapa langkah darinya.

“Pulang dulu ya, Kak. Sampai ketemu hari Senin?”

Haris membalasnya dengan anggukan kecil seraya tersenyum tipis. “Sampai ketemu hari Senin, Anggia!”

Sebagaimana frasa paling dikenal di seluruh dunia, bahwa waktu adalah uang. Mungkin sebab itulah kegiatan LDKS ini seakan tak memberi waktu luang untuk sekadar bermalas-malasan. Rasanya bahkan untuk mengeluh saja tidak sempat. Selesai sarapan, seluruh peserta LDKS kembali digiring ke lapangan untuk melakukan senam bersama. Setelah itu pun mereka tetap tidak mendapatkan istirahat yang diidam-idamkan, melainkan harus mengikuti kegiatan outbond yang jelas akan membuat sekujur tubuh nampak seperti sehabis berperang di kubangan lumpur.

Kini semuanya sedang berbaris dan mendengarkan arahan dari Bayu soal bagaimana mereka harus melewati rintangan-rintangan outbond. “Pertama kalian lewat sini, itu ada rintangan pake ban nah itu kalian lewatin. Baru nanti setelah itu kalian jalan tengkurep ya, masuk ke tali-tali itu. Kalo udah, tunggu temennya, baru nanti kalian gandengan dan jalan nih muterin area yang penuh lumpur itu. Baru nanti kalian nyebrangin kali dan balik lagi ke tempat ini. Paham ya? Nggak usah buru-buru, yang penting hati-hati aja. Di sana udah ada kakak-kakaknya yang nunggu, jadi nggak perlu khawatir. Buat ketua kelompok, temen-temennya jangan lupa dijaga!”

“Ya Allah demi apa sih harus nyebrangg?? Kalo yang lagi halangan gimana, Kak?” tanya Dinda pelan pada Haris yang berada tepat di belakangnya.

“Hah, kamu lagi halangan?”

“Iyaaa,” balas Dinda. “Bilang aja nanti sama kakaknya pas di sungai, siapa tau disuruh muter. Tahun lalu sih disuruh muter aja jadi nggak nyebrang,” sahut Haris.

Tak berselang lama setelah keduanya berhenti bicara, Gia yang sudah kembali sehat itu bergabung kembali dengan kelompoknya. Gadis itu menelusup masuk ke dalam kelompoknya dari belakang agar tidak menarik perhatian. “Dindaa,” panggilnya berbisik.

Sementara yang dipanggil itu menoleh cepat dan membelalakkan matanya kaget. “Heeeeh, udah sehat lu beneran?” tanya Dinda. Kemudian Dinda mundur untuk memberi Gia tempat duduk, termasuk pula Haris yang mengerti situasi.

Gia hanya mengangguk menjawab pertanyaan Dinda dan segera mendudukkan dirinya. “Kenapa sih lo kemaren? Kedinginan?” tanya Dinda. Gia mengangguk lagi, “Iyaa, aku emang nggak kuat dingin. Semalem tuh dingin banget parah deh!”

“Iya anjrit muka lu pucet banget, Gi, semalem! Siapa tuh ya yang bilang kemaren, ada yang panik lo kesurupan. Soalnya katanya pas nunggu di tempat pertama itu, ada tiga orang yang kesurupan,” balas Dinda.

“Hah iya?”

“Iyaa, tapi alhamdulilah kalo lo nggak kesurupan. Tapi lo beneran udah nggak pa-pa, nih? Kalo nggak kuat mendingan nggak usah sumpah!” ucap Dinda perhatian. Takut-takut Gia masih lemas dan malah akan membahayakan dirinya sendiri.

“Nggak kok, udah nggak pa-pa. Udah minum teh manis anget, minum tolak angin, udah pake minyak angin. Udah lengkap sekarang udah anget,” balas Gia seraya terkekeh. Dinda balas tertawa, “Nggak sekalian lu pake minyak telon terus dibedong? Bayi banget kocak!”

Gia tak tersinggung, gadis itu balas bercanda. “Nggak ah, kalo kedinginan minta peluk Dinda aja.”

“Demi Allah,” balas Dinda tiba-tiba serius. Hingga membuat Gia sedikit terkejut dan takut. Apakah ucapannya membuat Dinda tersinggung? Atau terganggu? Namun segala pikiran buruknya sirna ketika Dinda justru membentangkan tangannya lebar-lebar, “sini sumpah!!! Dari awal gue liat lo tuh ya gue sebenernya udah gemes banget sama lo, Gi, anjir! Nanti selesai LDKS pokoknya kita harus foto!!!!”

Di belakang Dinda, Haris yang menyimak percakapan itu diam-diam pun menghela napas lega. Sebab mengetahui Gia baik-baik saja. Diam-diam pula, Haris berterima kasih pada Dinda yang mewakili seluruh isi hatinya. Meski tak ada yang tahu, sedikit rasa isi menjadi bumbu paling dominan dalam relung hatinya saat ini, terutama ketika Gia menyetujui untuk berfoto bersama Dinda. Tentu saja Haris tak menyuarakannya, hanya saja ia menjadikan rumput-rumput liar di hadapannya sebagai pelampiasan.

Kegiatannya terhenti ketika Bayu kembali membuka suara. Pria itu memberi instruksi pada kelompok 1 setelah mendapatkan konfirmasi bahwa semua panitia sudah siap di tempatnya melalui pesan suara lewat HT yang dipegangnya. “Kelompok 1, berdiri!

“Boleh jalan. Inget ya, nggak usah buru-buru, yang penting hati-hati!” ucap Bayu lagi.

“Makasih, Kak. Permisi,” pamit Dhimas sopan diikuti oleh seluruh anggota yang lain.

Outbond menjadi kegiatan yang paling menyenangkan dari banyaknya rangkaian acara LDKS. Terlihat dari raut-raut wajah bahagia yang tercetak jelas di masing-masing anggota meski kaus dan celana yang dikenakan kini penuh noda tanah.

Terpeleset, terciprat lumpur, tertusuk rerumputan tajam makin lama makin menjadi hal yang bersahabat. Namun bukannya marah, hal-hal itu justru menjadi sumber gelak tawa yang mengudara pagi itu.

“Dinda lu majuan sih buset kali lu panjang banget!” Alfi mengucap protes ketika mendapati wajahnya begitu dekat dengan telapak kaki Dinda ketika mereka harus tengkurap dan merayap melewati terowongan tali yang mengikat tiang kecil. “Ya, gimana sih, Fi? Lo kenapa jalannya nggak nunggu gue agak jauhan dikit?”

“Si Gia merayap cepet banget ya, cicak lu, Gi?” tanya Dhimas yang sudah berhasil lewat. “AH nggak mau sebut-sebut cicakk, geli banget ih, Kak Dhim!”

“Heh, heh, tengkurep tengkurep! Nggak ada nungging-nungging!” tegur Yuna pada Dinda yang tengkurap dengan postur yang tidak rata lantaran kaki-kakinya yang jenjang. “SUUUSAH KAKK! KAKI SAYA KEPANJANGAN!”

“Itu Haris bisaaa!” balas Yuna tak mau kalah. Sementara itu Haris hanya tertawa, “Bisa dari mane ini rasanya kagak jalan-jalan!”

“Dhim lo nggak mau narik gue apa, Dhim dari situ? Biar langsung settt gitu meluncur,” keluh Haris.

“AYO RIS SEMANGAT YAH ILAHH LEMAH BENER!” ejek Yuna. Wajah Haris yang penuh corengan tanah itu sontak menoleh pada Yuna, “Cobain sini!”

“Nggak ah, udah pernah dua tahun lalu!” balas Yuna seraya terkekeh.

Tiba giliran Alwan. Dengan tubuh kekarnya itu ia dengan mudah melewati rintangan itu dengan mudah. Alwan bergerak bagaikan seorang tentara yang sudah terlatih, membuat banyak pasang mata menatapnya kagum. “Nahh ini baru nih, calon tentara!” canda Vio. “Siapa namanya nih? Alwan ya? Mau jadi tentara, Wan?”

“Enggak, Kakk!” balasnya seraya tertawa.

“Nggak mau jadi tentara tapi badannya jadi banget, yak?” sahut Vio lagi. “Keker, gitu.”

Setelah semuanya berhasil melalui rintangan kedua itu, kini tiba mereka harus bergandengan tangan untuk melewati labirin kecil sebatas betis yang penuh lumpur. Seakan anak kecil yang baru belajar jalan, mereka banyak sekali terjatuh. Terutama Haris yang seringkali terseret oleh Dhimas. Begitu pula Dinda yang malah beradu mulut dengan Alfi yang kerap kali menjadi alasannya terjatuh berkali-kali. Sementara Gia, Haris tak terlalu mengkhawatirkannya sebab gadis itu aman dalam penjagaan Alwan. Meskipun tak bisa dipungkiri, Haris jengkel bertubi-tubi lantaran harus melihat tangan kekar Alwan menggengam milik Gia begitu erat.

“DHIM YA ALLAHHH, LU KALO MAU JATOH JANGAN NGAJAK-NGAJAK GUE KENAPA SIH?!” Haris berujar emosi ketika Dhimas yang berada di belakangnya itu terjatuh untuk kesekian kali. Membuatnya turut terjengkang ke belakang dan terduduk kembali di atas lumpur yang basah.

“LICIN RISSS YA TUHANN!”

“YA GUE TAU! Makanya lu pelan-pelan ajaaaa!”

Belum sempat Haris bangun dari jatuhnya, Alfi turut terpeleset hingga menimpanya. “EH EH DIN DIN PEGANGIN GUE DIN!!”

BUGH

“Innalillahi..” ucap Haris pasrah ketika bokong Alfi menabrak wajahnya.

“KAK MAAP KAK SUMPAH!” ucap Alfi panik saat mengetahui orang yang ia timpa adalah Haris. Haris hanya diam dan menyemburkan lumpur yang tak sengaja masuk ke dalam mulutnya. Sekon berikutnya ia menyeka wajahnya yang entah masih berbentuk atau tidak. “Balik-balik kalo gue diare gue nggak heran sih. Minuman gue lumpur di sini bukan es teh manis,” ucapnya yang kemudian mengundang gelak tawa semua orang yang mendengarnya.

“Jalan ngiterin ginian aja jatoh mulu, PADA PAMIT EMAK LU GA SIH KE SINI?” ucap Haris jengkel, namun setelahnya tertawa geli mengingat kebodohan kelompoknya sendiri yang terjatuh berkali-kali.

“Iya dah, gue udah salim emak gue belom ye? Masalahnya kita jalan di tempat biasa aja dari kemaren jatoh mulu,” balas Dhimas.

“PERMASALAHANNYA ADA DI ALFI KAK!! Lu mau punya adek apa gimana sih, Fi? Ini kita tuh gandengan berempat!! Gue, lu, Kak Haris, Kak Dhimas! LO JATOH KITA SEMUA RUNTUH FI!!!!!” ucap Dinda kesal.

“Iya kayaknya Alfi dah yang nggak direstuin emaknya,” balas Haris. “Yang bener, Fi, ah elah! Ini muka gue udah nggak menampakkan warna asli kulit gue nih!”

Mendengar Haris bicara, Gia sontak menoleh. Pemuda itu masih terduduk, seakan pasrah dan malah memainkan lumpur yang kemudian ia corengkan pada wajah Dhimas. Sudut bibirnya berkedut menahan senyuman, lucu ketika melihat Haris bermain-main dan menunjukkan sisi remajanya. Ada rasa yang menggelitik dalam relungnya saat melihat Haris memamerkan senyum lebar dan tawa renyahnya pada dunia. Tetap menjadi pemandangan paling indah bagi Gia meskipun kini wajah Haris terlihat seperti sedang memakai masker lumpur. It's something you don't see everyday, batin Gia.

“Kak, ini boleh nggak diterusin nggak sih? Dah lah kita nongkrong sini aja,” ucap Haris bercanda.

“Nggak bisa, Ris! KITA KELOMPOK SATU ADALAH KELOMPOK PANTANG MENYERAH!!!! Bangun, ayo bangun! PANJANG UMUR PERJUANGAN!!” Dhimas mulai meracau tidak jelas, yang justru membuat gelak tawa di antara mereka semakin keras.

“Gue capek banget sumpah dah, jalan belom ada selangkah aja kayaknya udah jatoh lagi jatoh lagi subhanallah!” keluh Haris sebelum akhirnya dipaksa untuk berdiri oleh Dhimas. “Jangan jatoh lagi, Fi! Ntar geger otak gue ditimpa badan lu!” ucap Haris lagi.

“ALFI PALING BELAKANG AJA KAKK! BEBAN KELUARGA EMANG DIA!” balas Dinda kesal.

“INI PADA BENCI AMAT SAMA SAYA KAYAKNYA?!” ucap Alfi, yang kemudian hanya mendapat respons tawa dari teman-temannya sebelum akhirnya kembali bergerak, berjuang untuk melalui rintangan itu.

Setelah berbagai rintangan dilewati, tiba saatnya untuk rintangan terakhir yang menjadi puncak kegiatan outbond. Mereka harus menyebrangi kali kecil yang sudah dilengkapi tali sebagai pengaman untuk menyebrang.

“Ini dalem nggak, Kak?” tanya Alwan pada Haris.

“Enggak terlalu. Hati-hati aja soalnya licin,” balas Haris. “Lumpur semua bawahnya. Pegangan talinya yang kuat.”

Alwan hanya mengangguk, setelahnya ia kembali menghadap ke arah depan sembari menunggu giliran untuk menyebrangi kali di hadapannya. Dhimas sebagai yang paling depan memberi contoh, pria itu menyebur dan mulai berjalan perlahan seraya berpegangan pada tali tambang yang membentang.

Sesaat sebelum Alwan bergerak, Dinda membuka suara. “Kak, maaf mau tanya. Kalo yang lagi halangan gimana ya? Nyebur juga?”

“Oh, lagi halangan ya? Diannn, ini lagi halangan gimana?” tanya seorang kakak kelasnya yang menjaga di pinggir kali.

“Mana yang lagi halangan?” tanya Dian, seorang kakak kelas perempuan berambut keriting yang diikat rendah.

“Saya, Kak,” ucap Dinda. “Saya juga, Kak,” Gia turut berbicara.

“Udah dua orang aja? Yuk ikut saya, muter aja jangan nyebur,” ucap Dian. Setelahnya Gia dan Dinda pun keluar barisan dan membuntuti Dian yang memimpin jalan untuk mengitari kali.

“Daaah, hati-hati yaaa!” canda Dhimas.

“Hati-hati yaa jalannya, licin. Apalagi kalian abis kena lumpur. Tadi kakak-kakaknya bawa air bolak-balik soalnya,” ucap Dian.

“Ngangkut air ke mana, Kak?” tanya Dinda.

“Ke lapangan api unggun itu. Nanti ada fun games buat satu angkatan. Ikutan yaaa nanti! Seru loh!” balas Dian.

“Eh ini kalian sekelas?” tanya Dian lagi. Dalam hati, Gia dan Dinda bersyukur sebab yang mengantar mereka mengitari kali adalah kakak kelas yang ramah sehingga tak tercipta suasana canggung di antara ketiganya.

“Enggak, Kak. Beda kelas, baru ketemu pas kumpul buat kelompok aja,” balas Gia.

“Ohh, bagus dehh. Jadi meluas kan yaa temennya,” balas Dian yang hanya mendapat anggukan dari Gia. Mereka pun terus berjalan, sesekali berhenti untuk melihat dan menertawai mereka yang mendapat giliran menyebrangi kali. Dhimas yang terpeleset saat ingin naik ke pinggir, Alfi yang terlelap karena terpeleset di tengah-tengah kali—beruntung berhasil diselamatkan oleh kakak kelas yang turut menyebur di sana, membuat wajahnya penuh dengan lumpur kecoklatan.

WAHAHAHAH MASKER FII, MASKERAN BIAR TAMBAH GANTENG,” ejek Dhimas dari pinggir. Padahal, kondisinya pun tak jauh berbeda sebab ketika sampai pinggir pun mereka kembali dicoreng lumpur tepat di wajah. Sebagai tanda absen, katanya.

“Kalo ngeliatin ginian tuh kocak-kocak banget asli,” ucap Dian. “Dulu begini juga, Kak?” tanya Gia.

“Iyaaa. Dulu malah kita lebih parah lagi, soalnya kan di tempat TNI gitu. Tahun ini nggak bisa di sana tapi kita sengaja cari lokasi yang emang ada kalinya,” balas Dian.

“Kakak juga dulu nyebur dong?” tanya Dinda.

“IYA, ih mana dulu tuh kalinya lebih dalem dari ini deh kayaknya. Ya nggak tau sih, saya kan emang pendek ya,” jawab Dian lagi. Setelahnya mereka hanya terkekeh.

“Dah, yuk, lanjut lagi!” ajak Dian. “Awas hati-hati jalannya! Banyak ranting, takut kena kaki. Kalian lagi nyeker gitu soalnya.”

Bagaikan pucuk dicinta ulam pun tiba, belum kering rasanya liur Dian sehabis berbicara, Gia terpeleset hingga jatuh terduduk. Bahkan mata kaki kanannya itu tergores ranting dan mengeluarkan darah. Tak ada yang Gia lakukan selain meringis menahan sakit yang ia rasakan pada pinggang dan kakinya. Saat itu juga, perkataan Haris kembali menggaungi telinganya. Pemikiran Dhimas pun menjadi pemikirannya saat ini, udah izin Mama belum sih? Kenapa celaka terus deh..

“GI! YA ALLAH!” Dinda berteriak panik. “Gi, bisa bangun nggak??”

“Sakit banget, Din,” balas Gia seraya meringis. Gadis itu bahkan ingin menangis saat itu juga.

“Duhh, iya iya. Bangun pelan-pelan, yuk,” ujar Dinda lagi. Gadis itu—dengan bantuan Dian, kini membantu Gia untuk berdiri.

“Bisa jalan nggak?” tanya Dian. “B-bisa, Kak.”

Bohong, ucapan Gia sama sekali tak terealisasi. Gadis itu kembali mengaduh kesakitan bahkan ketika kakinya belum berhasil menyelesaikan satu langkah.

“Udah udah, nggak usah dipaksa. Tunggu sini sebentar saya panggilin anak cowoknya biar digendong aja ke aula. Kalo kamu maksa jalan takutnya malah makin sakit,” ucap Dian. “Tolong jagain dulu sebentar temennya, ya!”

“Iya, Kak,” balas Dinda mengangguk. Setelahnya gadis itu memegangi Gia agar gadis itu tak terjatuh. Bahkan Dinda membersihkan dedaunan basah yang menempel pada celana Gia.

“Duh, Gi, baru juga sembuh lo udah ada lagi aja perkaranya. Sakit banget ya? Bentar yaaa, duh!”

“Duh, nggak tau juga, Din,” balasnya. “Gia kenapa sih, Gi, ngerepotin orang terus?” ucapnya pada diri sendiri.

Tentu saja ia pun tak ingin merepotkan orang lain. Namun entah semesta begitu membencinya atau bagaimana, setiap kali ada acara seperti ini, Gia seringkali terkena masalah yang berujung harus menerima bantuan orang lain. Rasanya pun Gia sudah banyak sekali berhutang budi pada orang lain.

Tak berselang lama, Dian kembali.

“Siapa yang jatoh?” tanyanya. Suara bariton milik seseorang yang datang bersama Dian itu membuat Dinda dan Gia sontak menengadah. “Ini si Gia, Kak.”

Berbeda dengan Dinda yang bereaksi santai, Gia justru tak berkutik di tempatnya. Pun dengan Haris, seseorang yang harus membatalkan niatnya menyeberangi kali lantaran dipaksa Dian untuk ikut mengitar sebab salah seorang anggota kelompoknya terluka di seberang sana.

Cepat-cepat Haris menepis lamunannya agar tak berlama-lama larut dalam tatapan Gia. Setelahnya ia berdehem, “Nggak bisa jalan?”

“Nggak bisa, Kak. Tadi udah dicoba tapi sakit kakinya, soalnya tadi kepelesetnya duduk gitu, Kak.” Lagi-lagi Dinda bertindak seakan juru bicara Gia yang masih tak bersuara.

“Gendong aja, Ris. Kuat nggak?” tanya Dian.

“Kuat, lahhh, orang kemaren Gia pingsan juga Kak Haris yang gotong!” ucap Dinda. Haris memalingkan wajah salah tingkah. Terkutuk lah Dinda dan mulutnya yang diciptakan tanpa rem itu.

“Oh gitu? Ya udah gendong aja, Ris. bawa ke aula,” titah Dian. Haris hanya mengangguk tanpa banyak bicara. Setelahnya ia berjongkok membelakangi Gia, “Naik!”

Gia masih akan diam tak berkutik jika Dinda tak mendorongnya pelan untuk berpegangan pada kedua bahu Haris.

“Maaf pegang-pegang ya, Gi,” ucap Haris ketika Gia sudah berada di punggungnya. Sementara Gia hanya mengangguk kaku. Haris benar-benar membuatnya kikuk saat itu.

“Ini kenapa sih pada kayak canggung banget? Kalian berdua ada apa-apa ya?” tanya Dian.

Haris berdecak pelan, “Ngarang!”

Pria itu berusaha bersikap biasa, sebab Dian memang dikenal sebagai orang yang suka membuat hal-hal kecil menjadi heboh. Bahkan kakak kelasnya itu me dapat julukan Heri alias, heboh sendiri. Kalau soal gosip, Dian juaranya. Pernah suatu ketika Haris tidak sengaja memegang bahu Gina guna menahan gadis itu agar tidak terjatuh. Dan kejadian itu terjadi di depan mata Dian. Alhasil, Haris dan Gina menjadi bahan ledekan dalam lingkup OSIS selama berbulan-bulan.

“Kalo abis ini saya jadi bulan-bulanan lagi pas rapat, awas ya, Kak Dian!”

“YEHHHH PARAH LU! Itu kan anggota kelompok lo juga, Ris! Tanggung jawab lu lah! Emosiann!”

Haris tak menjawab lagi. Ia memilih untuk bangkit berdiri dengan Gia yang kini sudah berada di punggungnya. Berada di punggung Haris yang super tinggi itu membuat Gia turut merasakan menjadi raksasa. Gadis itu tak henti-hentinya melirik ke bawah, menikmati pemandangan yang biasanya Haris dapat saksikan dari jarak yang setinggi ini.

Haris otomatis membenarkan posisi Gia sebelum akhirnya berjalan, membuat Gia sontak memeluk bahu Haris lebih erat. Haris menahan napasnya sendiri, berharap detak jantungnya itu tak terdengar sampai pada telinga Gia.

“Bawa ke mana nih?” tanyanya pada Dian.

“Aula aja.”

“Emang nggak pa-pa nanti kaki saya kotor gini masuk aula?” tanya Haris.

“Oh iya ya, ya udah bawa ke depan aja. Nanti minta tolong panggil medisnya ke depan. Ada angkatan gue juga kok di aula situ, gue harus nganterin Dinda nih. Nggak bisa ditinggal sendirian, lo sama dia nggak pa-pa?”

“Aman,” balas Haris singkat. Dian mengangguk, “Oke, tolong ya, Ris! Thank youu!

“Jangan kepeleset juga Dinda, kalo lo nanti gue geret aja nggak mau gendong!” ucap Haris.

“YEEEEEEEEE!! BAE BAE GIA DIA MODUS!!!!”

Setelahnya mereka berpisah sebab harus berjalan ke arah berlawanan. Berbeda dengan Dian dan Dinda yang kembali berbincang selama di perjalanan, Haris dan Gia justru kompak menutup mulut. Tak ada dari keduanya yang berbicara.

Entah memanfaatkan kesempatan atau berhati-hati, Haris berjalan dengan langkah super pelan. Membuat Gia gelisah sendiri, ia benar-benar tak tahu harus berbuat apa. Ingin sekali ia menggerakan bibirnya untuk mengucapkan terima kasih sebab Haris mau menolongnya. Namun pada akhirnya, niat itu kembali ia urungkan.

Hingga Haris memulai percakapan. “Kenapa bisa jatoh?”

“Hah? Oh—kepeleset, Kak.”

“Terus ini kenapa berdarah?” tanyanya lagi.

“Kena ranting..”

“Oh,” balasnya singkat. Kemudian hening kembali menyelimuti. Jarak dari tempat Gia terjatuh ke aula tidak sejauh itu. Namun entah mengapa durasi perjalanan ini terasa sangat lama.

Gia memilih memalingkan wajah ketimbang harus menyandarkan dagunya pada pundak kanan Haris. Gia berusaha sangat keras menyembunyikan semburat kemerahan yang menghiasi pipinya meski Haris pun tak dapat melihatnya. Namun gadis itu kembali menoleh ketika Haris kembali buka suara.

“Maaf ya.”

“Maaf kenapa, Kak?”

“Baju saya kotor, baju kamu juga pasti ikutan kotor.”

Gia tersenyum tipis di balik punggung Haris, “Nggak pa-pa.”

“Maaf juga ya, Kak. Jadi ngerepotin.”

Seolah menular, senyum Gia kini berpindah pada wajah Haris meski masing-masing tak dapat melihat raut wajah satu sama lain. Selang beberapa sekon, Haris membalas dengan ucapan yang sama.

“Nggak pa-pa.”

Setelahnya tak ada yang bicara. Baik Haris maupun Gia sama-sama sibuk menyembunyikan wajah yang kian bersemu. Jutaan kupu-kupu itu kembali setelah pergi sekian lama.

Meskipun belum resmi diperbaiki, Haris dan Gia merasakan bahagia yang sama dalam relung masing-masing sebab pada akhirnya punya kesempatan untuk kembali bertegur sapa. Meskipun harus lewat jalur yang tidak diinginkan seperti ini.

Kini Haris percaya bahwa segala sesuatu pasti ada hikmahnya. Termasuk terlukanya kaki Gia hari ini.

Sepertinya mulai hari ini, Haris tak lagi mampu melakukan pergerakan dalam diam.

Diam-diam Haris berharap dalam hatinya. Bahwa setelah ini, semoga pukul 06.15 pagi di depan gerbang sekolah itu sama indahnya seperti dulu. Sebab ia yang selama ini diam-diam mengawasi dan menjaga dari jauh itu, telah terungkap identitasnya.

Gia berkali-kali menggosokkan seraya meniup-niup kedua telapak tangannya, berharap akan mendapatkan sedikit kehangatan untuk tubuhnya yang masih kedinginan meski sudah dibalut dengan kaus lengan panjang serta jaket berbahan tebal. Gia memang tak pernah kuat dingin, gadis itu bisa menggigil. Sayangnya, tak ada pengecualian untuk siapapun malam ini. Semua harus mengikuti instruksi untuk berbaris kembali di lapangan yang sebelumnya mereka pijaki untuk acara api unggun.

Dengan kelopak mata yang masih berat lantaran hanya mendapat jam tidur super singkat, mereka semua bersiap untuk melaksanakan acara yang menjadi buah bibir paling beken dari masa ke masa. Alias, jurit malam.

Gia menjadi urutan keempat dari barisannya, tepat di belakang Dinda. Sementara Dhimas memimpin barisan, setelahnya Alwan, kemudian Alfi mengikuti. Sementara Haris yang paling tinggi memilih untuk berbaris di paling belakang, terpaksa. Sebab sebagai kakak pembimbing, tak mungkin ia berada di tengah. mereka harus melindungi adik-adik kelasnya. Maka pilihannya hanya dua, kepala atau buntut. Dan Haris tahu ia tak akan pernah sanggup menjadi orang yang paling depan membelah jalanan 'hutan' yang gelap.

“Kelompok satu udah siap ya?” tanya Bayu, yang memang ditugaskan untuk menjadi orang pertama yang memberi tahu jalan masuk menuju hutan.

“Siap, Kak.” Dhimas menjadi perwakilan kelompok untuk menjawab pertanyaan Bayu. Setelahnya Bayu pun mengalakan pemantik api dan menyalakan lilin yang sedari tadi dibawa oleh Dhimas.

“Ini lilinnya jangan sampai mati ya, kalo bisa dijaga sampe pos terakhir. Saling pegangan sama bahu temannya, jangan sampe terlepas, jangan tertinggal! Paham ya?” ucap Bayu yang hanya ditanggapi dengan anggukan dalam diam. “Ya udah, silakan jalan. Dari sini lurus aja, nanti belok kiri. Letak pos satunya di sana.”

Namun, alih-alih langsung berjalan, Alwan justru mengacungkan tangannya. Sebab sesuai instruksi Haris dan Dhimas, mereka tidak boleh lupa menanyakan clue untuk setiap pos yang akan didatangi. “Maaf, Kak, izin bertanya. Clue untuk pos pertama apa ya?” tanya Alwan.

Bayu menipiskan bibir, cukup takjub dengan Alwan yang tidak main asal menurut. “Cerdas! Simak baik-baik clue-nya ya! Untuk pos satu itu, cahaya kehidupan. Dah, silakan jalan!”

“Terima kasih, Kak!”

Setelah mendapat perbekalan cukup, 'kereta' kelompok 1 itu berjalan perlahan. Dhimas di paling depan menutupi lilin dengan sebelah tangannya yang tidak memegang piring kecil sebagai alas lilin, menjaganya agar tidak mati di tengah jalan. “Jangan ada yang bengong, ya! Fokus! Kalo ada yang sakit jangan sungkan bilang. Jangan maksain diri sendiri!” celoteh Dhimas. Pria itu memang paling rewel akan keselamatan para anggota kelompoknya. Entah sudah berapa kali Dhimas mengatakan hal itu.

Terdapat lima pos tersebar di dalam hutan, terdiri dari 4 pos utama dan 1 pos untuk ice breaking. Pos Agama, Kepemimpinan, Manajemen Waktu, Ice Breaking, dan yang paling ditakuti dan disimpan pada paling terakhir, Mental.

Pos pertama, dihuni oleh kakak-kakak berperawakan alim. Terlihat dari personelnya yang mayoritas anak-anak rohis. Yang perempuan mengenakan kerudung menutupi dada, yang lelaki mengenakan celana cingkrang lengkap dengan peci. Sementara di sisi lain pun terdapat perwakilan dari ekskul rokris dan rohkat. Sudah jelas pos pertama adalah Pos Agama. Pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan di sana sederhana, seperti menyebutkan Rukun Islam, Rukun Iman, dan lain-lain. Namun rupanya hal ini jauh lebih sulit untuk anak-anak yang baru masuk SMA ketimbang anak-anak yang baru masuk madrasah. Rupanya seiring bertambah dewasa, banyak sekali perkara kecil pasal agama yang luntur dari ingatan.

Membuat sindiran-sindiran kakak kelas yang super menohok itu kembali terlontar. “Udah SMA nggak apal Rukun Islam sama Rukun Iman? Kalian ini agamanya apa sih? Malu sama anak TK! Balik aja TK sana!”

Beruntung di sana ada Gia dan Alfi yang masih mengingat jelas Rukun Islam dan Rukun Iman. Membuat kelompoknya terselamatkan dari hukuman tidak mendapatkan clue dan memakan petai mentah.

Berhasil lolos dari pos pertama, kelompok 1 melanjutkan perjalanan menuju pos kedua. Seseorang yang Haris kenali, seorang ketua MPK berdiri di sana. Sudah jelas lagi, Kepemimpinan adalah nama pos ini. Pertanyaan-pertanyaan pada pos ini jelas dibabat habis oleh Alwan yang berambisi menjadi anggota OSIS, dibantu sedikit oleh Haris untuk menyempurnakan jawabannya. Pun Gia yang membaca diktat betul-betul. Meski dengan rasa takut yang sedikit mendominasi beserta suaranya yang bergetar akibat menahan dingin yang semakin menusuk kulitnya, Gia menjawab sedikit-sedikit ketika ada pertanyaan mengenai materi yang ada pada diktat. Perbedaan pemimpin dan bos, pembahasan mengenai Planning, Organizing, Controling, Actuating, dan sifat-sifat yang harus dimiliki seorang pemimpin menjadi pembahasan selama di pos kedua.

Sejauh ini berjalan lancar, kelompok 1 masih berjaya. Lilin masih menyala, tidak—atau belum mendapat hukuman atau amarah dari para kakak kelas, atribut pun masih lengkap. Maka dengan sedikit lebih tenang dari ketika pertama kali melangkahkan kaki ke dalam hutan, kelompok 1 kembali melangkah menuju pos ketiga. Manajemen waktu.

Tidak begitu banyak drama di sana, kakak-kakak yang mengisi pos Manajemen Waktu memang selalu yang terbaik dari tahun ke tahun. Entahlah hal ini direncanakan atau tidak, Haris dan Dhimas pun tak tahu kenapa. Manajemen Waktu menjadi pos paling lancar mereka lalui ketimbang pos-pos sebelumnya.

Masuklah pada pos keempat, Ice Breaking. Di sana, mereka disambut begitu meriah. “WEH WEHHH MASIH NYALA LILINYA! TEPUK TANGAN DONGGG!!”

“Kelompok berapa nih?” tanya seorang kakak kelas yang Gia tak tahu namanya.

“Satu, Kak,” balas Dhimas.

“Oh, masih pertama ya. Ini ngapain nih bawa-bawa lilin? Ada yang ulang tahun?”

Alwan menggeleng, “Nggak ada, Kak. Ini buat penerangan aja selama di jalan.”

“Oh gituu, ya udah duduk sini duduk. Jangan lebar-lebar, kita bukan mau liwetan! Yang nggak muat ke belakang.”

Dicontohkan oleh Dhimas, mereka semua duduk lesehan menghadap para kakak kelas yang asik sendiri. Makan snack, bercanda, berebut minum, dan lain-lain. Haris yang peka dan aware terhadap hal-hal seperti ini pun otomatis mengangkat tangannya. “Maaf, Kak sebelumnya, boleh izin tegur kakak-kakak yang lain untuk ikut duduk di sini? Supaya jangan asik sendiri,” ucap Haris.

“Oh? Boleh, boleh. Tuhh, Kakk! Denger nggak? Jangan asik sendiri katanya. Gabung sini sama adik-adik manis,” ucap salah seorang yang sedari awal duduk bersama dengan kelompok 1.

“Hoooo, iya iya maaf yahhh. Siapa tadi yang ngomong? Haris? Iye maap ye, Ris!”

Haris hanya mengangguk, setelahnya memilih diam dan membiarkan adik-adik kelasnya aktif berbicara. Sebab dirinya sudah terlalu banyak berargumen ketika rapat rutin. Dalam keanggotaan OSIS, Haris memang dikenal paling bawel karena paling sering mengkritik dan tak segan-segan menyuarakan ketika dirinya tidak setuju. Tentunya disertai dengan alasannya yang selalu logis.

Sesuai namanya, Pos Ice Breaking adalah tempat untuk rileks sejenak. Mereka bebas duduk dengan posisi senyaman mungkin, bebas menyuarakan siapa kakak-kakak yang galak, bebas bercanda, bahkan mereka ditawarkan makanan ringan yang sempat dijadikan rebutan para kakak kelas sebelum ditegur Haris.

Semuanya berjalan aman hingga salah seorang kakak kelas itu menyadari sesuatu. “Kamu kenapa? Sakit?”

Rentetan kalimat itu otomatis membuat anggota yang lain menoleh pada sumber suara. Haris terdiam kaku ketika mengetahui yang menjadi sasaran pertanyaan adalah Gia. Tubuhnya yang sedari tadi duduk sedikit bungkuk itu kini menegak lantaran secuil kekhawatiran menelusup masuk memenuhi relungnya.

“Serius, sakit nggak? Muka kamu pucet banget, loh! Itu bibirnya juga udah nggak ada merah-merahnya.”

“Pusing nggak, Gi? Kalo pusing bilang aja,” tanya Dhimas. Gia hanya menggeleng pelan, “Enggak, Kak. Nggak pa-pa, kok!”

“Bener?” tanya Dhimas lagi. “Kalo pusing bilang ya!”

Gia hanya mengangguk. Sementara tanpa sepengetahuannya, tatapan Haris masih tak lepas darinya. Meski dalam gelap, Haris dapat menangkap jelas wajah Gia yang memucat. Pula gelagatnya yang menunjukkan bahwa gadis itu kedinginan. Namun tetap tak ada yang ia lakukan selain mengawasi Gia dari jauh.

Tak terasa sudah habis waktunya untuk berdiam diri di pos keempat. Kelompok 1 akhirnya diperintahkan untuk lanjut menuju pos terakhir. Sesaat sebelum langkahnya menjauh, Haris merasakan seseorang menepuk bahunya. Membuatnya nyaris mengumpat lantaran terkejut, takut-takut yang menepuknya itu bukanlah sejenis dengannya.

“Kaget, kenapa, Kak?” tanya Haris. “Adek kelas lu liatin tuh yang tadi, ngeri pingsan.”

“Iya, Kak.”

Sekon berikutnya Haris pun menyusul kelompoknya yang entah mengapa kini berjalan dengan urutan mengacak. “Eh, baris lagi dong, guys!” seru Dhimas. Membuat semuanya kembali membentuk barisan seperti semula.

Kala itu, Haris yang berada di paling belakang menangkap Gia berjalan melambat. Gadis itu bahkan sedikit berada di luar jalur, membuat Haris mau tak mau meraih kedua bahu Gia untuk menyeretnya kembali ke barisan.

Perlahan tapi pasti, mereka kini tiba pada pos terakhir. Namun langkah Gia kembali melambat, bahkan terhenti. Alhasil, Haris yang berjalan tepat di belakangnya turut menghentikan langkahnya. Seraya mengerutkan dahi, Haris memandangi Gia yang kini memeluk erat dirinya sendiri.

“Gi?” panggil Haris. Alih-alih menjawab, Gia hanya diam dan semakin mengeratkan pelukan pada tubuhnya yang kian menggigil. “Gi?” panggil Haris lagi.

Panik, ketakutan, dan khawatir berlebihan, Haris memposisikan dirinya di hadapan Gia. Seraya sedikit membungkuk dengan kedua tangan yang mencengkeram bahu Gia pelan, Haris menanyakan keadaannya. “Kenapa?”

“Dingin, Kak..”

Sayangnya, suara Gia terlampau pelan untuk Haris dengar. Maka ia mendekatkan telinganya dengan bibir Gia, “Kenapa?”

“D-Dingin.”

“Heh, kenapa itu? Cepet baris sini, lelet!” ucap Vio, salah satu personel utama Pos Mental. Haris sontak menoleh, “Nggak enak badan, Kak. Dari pos sebelumnya juga udah pucet,” balas Haris.

Raut wajah khawatir Haris seakan menular kepada Vio. Pemuda itu menyugar rambutnya frustrasi dan segera memanggil Yuna untuk membantu Haris mengatasi kondisi Gia. Seraya tergopoh-gopoh, Yuna menghampiri Haris dan Gia yang kini terpisah dari barisan.

“Kenapa, Ris?” tanya Yuna.

“Kedinginan,” jawab Haris. “Kayaknya nggak kuat dingin. Ini menggigil badannya.”

“Pusing nggak, Anggia?” tanya Yuna. Lagi-lagi tak ada jawaban. Baru saja Yuna ingin memanggil tim medis melalui HT yang ia bawa, tubuh Gia ambruk seketika. Beruntung sejak awal Haris sudah memperkirakan hal ini akan terjadi, maka ia dengan cekatan menangkap tubuh Gia sebelum bersentuhan dengan tanah.

“Ris, nunggu medis kelamaan, Ris! Keburu makin parah ni anak orang. Gotong aja deh, kuat nggak lo?” ucap Yuna panik, perempuan itu bahkan melupakan untuk berbicara sopan.

Tak banyak bicara, Haris mengangguk menyetujui. “Tunggu,” ucap Haris. Kemudian seakan ingin menunjukkan kepeduliannya terhadap sang adik kelas, Haris membaringkan tubuh Gia sementara. Kemudian secepat kilat melepas almet OSIS kebanggaannya dan menjadikannya selimut untuk tubuh mungil Gia, menyisakan kaus celup ikat abal-abal berlengan pendek yang dibuat seragam dengan teman satu angkatannya.

Kemudian dengan hati-hati, pria itu membopong Gia dengan mudah. “Ayo, ke mana jalannya?”

Sebagai seorang wanita yang melihat tingkah Haris yang benar-benar gentle, Yuna mendadak gugup. Ia bahkan menelan ludah sebelum menjawab pertanyaan Haris. Setelah tersadar, barulah Yuna menunjukkan jalannya. “S-sini.”

“Vio, izin ya!” ucap Yuna. Setelah dibalas anggukan oleh Vio, yang Haris dan Yuna lakukan selanjutnya adalah bergegas membawa Gia kembali ke aula.

“Heh, liat sini semua! Jangan norak! Temennya sakit bukannya ditolongin malah diliatin doang!” ujar Vio.

Dhimas menghela napasnya, dalam hati ia berdecak. Haris benar-benar harus berterima kasih pada Gia sebab gadis itu menyelamatkan Haris menjauh, meninggalkan Dhimas dan sisa kelompok 1 yang lain dengan siksaan pada pos terakhir yang bahkan memiliki clue 'Kerajaan Setan'.


“Baringin sini aja, Ris!” ucap Yuna. “Jagain bentar, gue panggil medis dulu!”

“Gue aja, Kak,” balas Haris. Setelah membaringkan Gia pada sebuah karpet yang digelar di aula untuk alas tidur, Haris melanglang buana untuk mencari divisi medis.

Selang sekitar tiga menit, seorang divisi medis perempuan bertanda nama Mutia pada rompi PMR-nya datang menghampiri Yuna dengan tas berisi obat-obatan. “Kenapa, Yun? Pusing?” tanyanya. Yuna menggeleng, “Nggak tau, Mut. Tadi nyampe pos gue langsung pingsan. Kata Haris emang udah pucet dari pos sebelumnya.”

“Harisnya mana, Mut?” tanya Yuna lagi ketika menyadari Haris belum kembali. “Nggak tau juga, tadi gue disuruh duluan,” balas Mutia, yang kemudian mengoleskan minyak angin pada kedua pelipis Gia.

Panjang umur, yang dibicarakan akhirnya tiba. Haris berjalan dengan langkah lebar dengan tangan kanan yang menjinjing asal jaket tebal miliknya. Kemudian Haris ikut duduk di sebelah Yuna.

“Ini kenapa, Ris?”

“Kedinginan,” balas Haris singkat. Setelahnya ia menukar almet OSIS-nya yang menjadi selimut darurat untuk Gia dengan jaket yang ia bawa. “Kayaknya emang nggak kuat dingin, Kak. Soalnya tadi sempet menggigil juga,” lanjutnya.

“Ohh, ya udah ya udah. Sepatunya buka dulu deh, tolong balurin minyak kayu putih dulu ya telapak kakinya! Gue ambilin selimut deh,” ucap Mutia. Kemudian meninggalkan Haris dan Yuna yang dengan segera melakukan instruksi Mutia.

“Kakinya aja dingin banget, buset!” ujar Yuna saat pertama kali menyentuh telapak kaki Gia. Haris hanya diam, fokus membalurkan minyak kayu putih pada telapak kaki kanan Gia. Sesekali ia mencengkramnya pelan, berharap akan menyalurkan sedikit kehangatan di sana.

“Lo kok tadi nggak takut, Ris jalan keluar dari hutan sendirian?” tanya Yuna. “Nggak nangis lagi kayak tahun lalu?”

Haris terkekeh, “Kan berdua sama lo, Kak! Bertiga deng, sama Gia.”

“Lo lagian aneh-aneh, Kak. Kenapa nggak di tempat tahun lalu aja sih? Tempat TNI? Ini di kaki gunung gini dingin banget tau. Kasian lu anak orang pada kedinginan,” ujar Haris.

“Salahin Vio lahh! Tapi katanya sih tempat TNI yang tahun lalu itu udah penuhh di-booking orang. Kalo mau kita harus ngundur acaranya, tapi kalo diundur tuh sekolahnya nggak mau,” jelas Yuna.

“Gue ngeri Gia kesurupan sumpah. Untung sakit doang, nggak untung juga sih. Tapi, mending lah daripada kesurupan. Gue mau bawanya juga gimana ya kalo kesurupan,” celoteh Haris lagi.

“Iya anjir! Gue juga takut bawanya kalo kesurupan,” balas Yuna.

Percakapan keduanya terhenti setelah Mutia kembali membawa sehelai selimut dengan kedua tangannya. “Pakein lagi aja kaus kakinya,” titah Mutia yang langsung dilaksanakan oleh Haris dan Yuna. Setelahnya ia melebarkan selimut itu untuk membuat Gia lebih hangat. Membuat tubuhnya kini terbalut dengan jaket miliknya sendiri, jaket tebal Haris, dan sehelai selimut.

Penanganan selanjutnya diambil alih oleh Mutia, gadis itu kini mendekatkan minyak angin pada hidung Gia. Membiarkan gadis itu menghirupnya dan berharap gadis itu segera sadar.

Entah sudah berapa menit Haris habiskan untuk mengurus Gia hingga HT Yuna kembali berbunyi. Memperdengarkan suara Vio yang memang tertuju padanya.

“Yun, yuna?”

“Ya, ya?”

“Haris nanti suruh gabung sama kelompoknya lagi, ya! Di tempat terakhir buat kelompok-kelompok pada ngumpul. Kelompok satu udah keluar dari pos gue.”

“Oh gitu? Oke, oke. Ini Haris sama gue, kok! Nanti gue anter ke sana.”

“Sip, thank you!”

“Yooo!”

“Mut, gue tinggal ya!” pamit Yuna. Haris yang sudah tahu harus melakukan apa itu pun turut bangkit dan segera memakai kembali almetnya dan membuntuti Yuna yang akan mengantarkannya kembali bergabung dengan kelompoknya.

Tak masalah, Haris justru bersyukur dalam hati. Memang ia membutuhkan Dhimas untuk menenangkan jantungnya yang sedari tadi berdetak kencang. Takut. Sejujurnya Haris sangat takut sedari tadi. Kalau bukan karena Gia, ia pastikan kakinya itu tak akan sanggup melangkah hingga kembali ke aula.

Setelah menempuh perjalanan yang tidak jauh, Haris akhirnya kembali bergabung dengan kelompoknya. Dan tanpa sepengetahuannya, di sisi lain, Gia sudah kembali tersadar. Gadis itu sempat bingung lantaran terbangun di aula dengan selimut dan sebuah jaket yang menghangatkannya.

Terlebih, ketika ia menemukan sebuah bordiran inisial yang familiar dalam ingatannya pada salah satu sisi bawah pada bagian dalam jaket. Gia langsung tahu milik siapa jaket yang ada padanya dengan sekali tebakan. Sebab ia temukan bordiran yang sama dengan sapu tangan yang ia terima dari seseorang di sekolah lamanya.

Bordiran biru tua dengan font latin yang cantik nan rapi, mengukir dua huruf yang membuatnya menipiskan bibir mengukir sebuah senyuman.

M. H.