06.15 Pagi, Setelah Sekian Lama
Seperti biasa, Haris berdiri di depan gerbang untuk melaksanakan tugasnya. Mencari mangsa untuk diserahkan kepada Pak Asep untuk diberikan poin atau hanya teguran—jika Pak Asep masih menoleransinya. Gerbang sekolah masih sepi, rasanya masih terlalu pagi untuk meramaikan sekolah yang tak pernah menjadi tempat favorit para remaja seusia Haris pada umumnya.
Bicara soal Haris, pemuda itu kembali memasukkan ponselnya ke dalam saku almet biru setelah membaca pesan yang terakhir Gia kirimkan. Kemudian selayaknya remaja pada umumnya, Haris pun mati-matian menahan sudut bibirnya yang berkedut mewakilkan perasaan menggelitik yang ia rasakan dalam sanubari. Namun, bagaimanapun juga, gelagat orang jatuh cinta memang tak bisa disembunyikan rapat-rapat. Sampai-sampai Dhimas yang berdiri di sebelah Haris itu menangkap raut wajah Haris yang pancarkan bahagia lebih dari biasanya.
“Seger amat,” kata Dhimas.
“Apaan?”
“Muke lu, kayak bayi baru kelar mandi. Kurang cemongnya aja!” balas Dhimas lagi. Dalam mengejek persoalan Haris dan Gia, Dhimas juara satunya.
“Mana si Dedek?” canda Dhimas.
“Yeh, monyet!” umpat Haris seraya tertawa. Paham akan siapa yang dimaksud sahabatnya itu. “Lagi di jalan,” balas Haris. Pada akhirnya menjawab pula pertanyaan Dhimas yang menjengkelkan.
“JIAKH HAHAHAHAH!” seru Dhimas. “Pantesan beda gitu ya aura lo hari ini. Kayak—lebih ramaah, banyak senyumnya, aih aihh!”
“Diem ah! Jangan ganggu!” canda Haris. “Songong bet lauuu!” balas Dhimas seraya menonjok pelan bahu Haris.
“Eh tapi, gue penasaran lo minta maafnya gimana. Gimana sih?” tanya Dhimas.
“Udah gue bilang nggak bakal gue ceritain ke lo semua, nyet! Rame doang yang ada, puyeng!” balas Haris seraya tertawa.
Setelahnya Dhimas tak membalas. Lagipula, ia pun tak benar-benar menanyakan Haris. Dhimas hanya senang memancing teman-temannya untuk kemudian diejek habis-habisan. Haris mengetahuinya, maka ia berhati-hati dan memilih untuk menyimpan ceritanya rapat-rapat. Cukup Tuhan, dirinya, dan Gia yang tahu. Biarlah hal itu menjadi cerita yang berharga untuknya dan Gia.
Omong-omong soal Gia, gadis itu sudah tiba di sekolah. Haris melihatnya dari kejauhan, Gia baru saja turun dari motor dengan sangat hati-hati sebab kakinya yang terluka. Gadis mungil itu tiba dengan penampilan yang agak berbeda dari biasanya. Dan Haris mengetahuinya.
Biasanya Gia akan tiba di sekolah dengan gaya rambut yang sama. Entah diikat dengan gaya pony tail atau dibiarkan tergerai begitu saja dengan ikat rambut yang dijadikan gelang pada tangan kanannya. Namun hari ini, Gia memilih untuk menata rambutnya dengan gaya half updo yang membuat penampilannya tetap rapi meski masih ada sebagian rambut yang tergerai. Entah penglihatan Haris yang bias atau memang fakta, Gia terlihat jauh lebih cantik dari biasanya.
Haris memantau diam-diam Gia yang mulai melangkah menuju gerbang. Jalannya sedikit pincang, disebabkan luka di kakinya yang belum sembuh sempurna. Gadis itu bahkan datang ke sekolah tanpa mengenakan sepatu, melainkan mengunakan sandal jepit lantaran kakinya yang masih diperban. Membuat Haris turut meringis setiap kali melihat Gia harus kesulitan berjalan.
Tak lama, Gadis itu pun tiba di hadapan Yuna yang baru saja kembali dari urusannya. Gia berhenti sejenak untuk membiarkan kakak kelasnya memeriksa atributnya.
“Ihh, itu kakinya yang kemarin luka ya?” tanya Yuna.
“Iya, Kak. Izin pake sendal ya?” balas Gia.
“Wuidihhh, jagoan dari mana nih pake sendal?” canda Dhimas. Gia menoleh ketika mendengar perkataan Dhimas yang merujuk padanya.
“Itu gara-gara yang jatoh kemaren ya, Gi? Kok bisa sih sampe luka gitu?” tanya Dhimas lagi.
“Iya, Kak. Kepeleset, terus kena ranting gitu makanya luka, panjang banget lagi lukanya. Kemaren juga darahnya banyak banget,” balas Gia.
Dhimas bergidik ngeri, “Duhhhileh, bae-bae deh lo jalan. Awas keinjek orang kaki lu!”
“Iyaaaa, makasih Kadhimm! Duluan yaa!”
Sekon berikutnya Gia pun kembali melangkah untuk menuju kelas. Tentu saja ia tak boleh menyia-nyiakan waktu sebab kecepatan jalannya yang melambat. Kalau tidak bergerak sekarang, dipastikan Gia akan tiba di kelas saat bel masuk berbunyi.
Tak lupa Gia menyapa Haris singkat melalui anggukan kepala yang dibalas dengan cara yang sama oleh Haris. Gia menangkap kakak kelasnya itu tersenyum tipis ke arahnya, membuat Gia turut mengulum senyuman kecil—yang kemudian mengembang semakin lebar ketika keduanya sudah tak saling berpapasan.
Kalau Gia bisa berjalan seraya melompat kecil, maka ia akan segera merealisasikannya. Gadis itu tak pernah tahu bahwa hanya berpapasan dengan seseorang yang membuatnya jatuh dan suka akan begitu membahagiakan. Rasanya teori Senin pagi yang suram itu runtuh seketika saat ia menjumpai seseorang yang selalu gagah setiap kali almet biru itu tersemat padanya. Seseorang yang dapat membuatnya menyukai setiap kenangan perihal sekolah melalui pertemuan yang terjadi bahkan tanpa ada sepatah kata pun yang terucap.
06.15 pagi setelah sekian lama, musim semi seakan tiba hanya untuk Haris dan Gia. Pun, terbukanya gerbang pagi itu seakan menjadi pembuka jalan untuk cerita yang nyaris usai.
Sebab pada 06.15 pagi hari itu, setelah sekian lama, keduanya kembali bertemu dan menyapa dalam waktu yang dicuri untuk berdua.
Haris menoleh, arah pandangnya mengikuti sejauh mana Gia sudah berjalan. Kegiatannya tak berlangsung lama, sebab Haris harus kembali mengawasi siswa yang datang. Maka ia memutus kontak mata, kembali mengalihkan pandangannya sebelum akhirnya menunduk dan menghela napasnya.
“It's been a long time. Nice to see you again, Anggi!” ucapnya dengan suara yang nyaris tak terdengar.