06.14
Pukul enam pagi, Haris berdiri tepat di depan cermin yang tergantung di salah satu dinding kamar bercat biru tua miliknya. Tangan kanannya asik menyisirkan rambut sementara tangan kirinya turut merapikan agar penampilannya semakin sempurna. Setelahnya ia menyambar ponselnya yang masih tersambung dengan pengisi daya sejak semalam.
Drrt.. drrtt
Getaran ponsel miliknya yang tak lama kemudian membuat sebuah notifikasi pop up muncul di layar membuat kedua alisnya bertaut. Haris menggerakkan ibu jarinya guna membuka notifikasi yang berasal dari Gia. Yang membuat kedua alisnya bertaut adalah fakta bahwa ini masih terlalu pagi untuknya menerima notifikasi dari gadis itu.
Gia Kakak, absenn
Kening Haris semakin mengernyit. Pagi banget? batinnya.
Namun pemuda yang kini hampir siap dengan penampilannya itu tetap mengetikkan balasan. Setelahnya, tanpa menunggu balasan Gia, Haris menyambar tasnya asal sambil memasukkan ponselnya ke dalam saku celana.
Haris melangkahkan kakinya perlahan menuruni satu persatu anak tangga. Lalu berhenti tepat di depan meja makan. Ia menarik kursi, meletakkan tas hitamnya di atas kursi yang selalu tak berpenghuni lantaran kurangnya satu anggota keluarga untuk set meja makan lima orang. Setelahnya ia menunjuk hidangan telur dadar setengah matang mirip yang biasa mereka beli dari restoran cepat saji, “Ini punya siapa, nih?”
“PUNYA HANUMM, JANGAN DIMAKAN!!” balas Hanum yang terdengar posesif dari arah dapur. Haris menoleh kepada gadis yang baru saja mengamankan sarapan paginya itu. Rupanya ia sedang membuat susu sebagai pelengkap sarapannya. Haris tak marah, pria itu terkekeh sebelum akhirnya menggelengkan kepalanya.
“Kamu mau, Kak? Mama bikinin ya?” ucap Mama yang baru saja tiba di sebelahnya. Wanita itu kemudian menyuruh Haura duduk di kursi yang berada di depan Haris untuk ikut sarapan.
“Nggak usah, Ma. Haris berangkat aja, gampang nanti sarapan di sekolah,” balasnya.
“Bener, nih?” tanya Mama memastikan. Haris hanya memberikan anggukan singkat untuk meyakinkan sang ibu. Setelahnya Mama tersenyum simpul seraya mengangguk, “Ya udah. Tapi jangan lupa sarapan ya!”
Pemuda itu lagi-lagi hanya mengangguk, kemudian mengambil tangan sang ibu untuk diciumnya. Meminta restu agar harinya berjalan dengan lancar. Tak lupa ia mengucap salam perpisahan kepada kedua adiknya yang akhirnya dibalas dengan ucapan-ucapan penuh cinta yang selalu membuat dadanya membuncah di pagi hari. Rasanya tak ada yang lebih berharga dan menenangkan dari ucapan 'hati-hati di jalan' dari manusia-manusia favoritnya yang setiap pagi mampir ke dalam rungunya.
Haris tersenyum senang ketika ia berjalan menuju rak sepatu. Ia mengambil sepatu miliknya dan memakainya. Setelah penampilannya lengkap, Haris bangkit berdiri. Tak lupa menepuk-nepuk sedikit bagian belakang celana putihnya agar tidak kotor.
Haris mengucap pamit sekali lagi. Dan sebelum ia benar-benar pergi, Haris mengambilkan sepatu Hanum yang masih bertengger di rak sepatu keluarganya. Kemudian meletakkannya di lantai dengan posisi sepatu menghadap pintu agar Hanum tinggal memakainya saat sudah selesai sarapan nanti. Selalu, Haris selalu menunjukkan perhatiannya melalui aksinya.
Sesampainya di sekolah, Haris memarkirkan motor di parkiran belakang. Jalanan cukup ramai pagi ini, membuatnya baru sampai di sekolah pukul 06.15 pagi. Alasan yang sangat mendukung bagi Haris untuk tidak menaruh tasnya di kelas terlebih dulu, melainkan ia harus segera stand by dan menjalankan tugasnya untuk piket pagi. Maka Haris memilih untuk menghampiri pos satpam dan menitipkan tasnya di sana. Toh, ia pun sudah berkawan baik dengan semua satpam sekolah.
“Babeh, nitip tas sebentar ya. Mau piket dulu udah kesiangan,” ucap Haris, menyerahkan ransel hitamnya setelah mengeluarkan almet OSIS dari dalamnya.
“Oh, iye taro aje situ, Ris,” balas Babeh, satpam paling tua di antara tiga satpam sekolah.
“Makasih, Beh!” balas Haris.
“Eh, tadi ada yang nitip makanan buat lu, tuh!” ucap Babeh lagi. Pria paruh baya dengan badan tambun nan bugarnya itu berkata seraya mengatur lalu lintas di depan sekolah agar tidak terjadi kemacetan lantaran banyak orang tua yang berhenti di di depan sekolah untuk mengantar anak-anaknya.
Kening Haris berkerut, “Makanan? Buat saya beneran? Salah kali, Beh?”
Babeh berdecak, “Kagakk. Orang bener buat elu. M. Haris IPA 1 die pesennye! Emang ada lagi nama Haris di kelas lu?”
“Kagak ada, sih!” balasnya. “Dari siapa, Beh?” tanya Haris lagi.
“Ada deh, itu lu liat aja sendiri, Ris. Tuh di deket plastik putih tuh. Ada bungkusan mika, ah itu ada label kuningnya. Baca aja dah!” sahut Babeh. Setelahnya Haris tak lagi bertanya apapun sebab Babeh sibuk membukakan pagar untuk mobil kepala sekolah yang baru saja datang.
Maka Haris mengurungkan niatnya untuk langsung bergabung dengan petugas piket OSIS pagi itu, ia memilih untuk mengecek makanan yang dititipkan untuknya di pos satpam terlebih dulu.
Tak berselang lama, Haris menemukan bungkusan mika yang dimaksudkan Babeh sebelumnya. Di dalamnya tersaji empat buah roti bakar cokelat berbentuk segitiga, menu sarapan yang cocok untuk perutnya yang masih kosong pagi itu. Haris tersenyum simpul, rupanya ada untungnya ia tidak sarapan di rumah.
Tangan kanannya bergerak mencabut post it kuning yang tertempel di sana. Kemudian matanya memindai setiap huruf yang berbaris merangkai sebuah kalimat singkat di atas kertas kuning itu. Kedua alisnya semakin bertaut, rupanya sang pengirim tak menuliskan namanya terang-terangan. Hanya tertera sebuah keterangan bahwa roti ini berasal dari seseorang dengan nama samaran “06.14”.
Namun bukan Haris jika menyerah begitu saja. Otaknya terus berputar memikirkan sebuah jawaban, ia memikirkan setiap orang dan besar kemungkinannya untuk mengirimkan Haris sarapan pagi secara diam-diam. Pun, ia berusaha memikirkan jawaban dari satu-satunya clue yang tertera di sana. Bagaimana bisa seseorang menyamarkan namanya dengan sebuah jam? Atau—angka? Atau apakah ini maksudnya adalah sebuah waktu yang hanya mereka berdua yang tahu?
“Bukan lah, kalo ini Gia yang ngirim pasti jamnya bukan 06.14 tapi 06.15, kan? Biasanya dia absen jam segitu,” Haris bermonolog.
“06.14? Apaan dah?” gumam Haris lagi, masih memandangi kertas kuning kecil di tangannya.
Selang beberapa lama, matanya kembali berbinar. Elemen-elemen lampu bohlam beserta simbol cinta rasanya mengudara mengitari Haris dan sekujur tubuhnya. Haris mengetahui siapa pengirimnya.
Sekon berikutnya tak sama lagi, Haris merasakan pipinya pegal lantaran harus menahan senyuman miliknya yang kian memberontak untuk semakin mengembang. Membuat sudut bibirnya berkedut berkali-kali.
Ia kemudian menampar-nampar pelan pipinya sendiri, berusaha mengingatkan diri akan tanggung jawab yang harus ia emban pagi itu. “Fokus, Ris, fokus!”
Haris bergabung dengan rekan OSIS-nya untuk melaksanakan tugas setelah memasukkan post it kuning yang berhasil membuatnya tersenyum dan berdebar tidak karuan pagi itu ke dalam saku almetnya. Menyimpannya di sana untuk waktu yang lama, sebagaimana ia menyimpan cerita pagi ini dalam memorinya untuk waktu yang lama.
“What goes around comes around :)”
— 06.14